Sunday, April 5, 2009

Makalah Perumahan Public

MAKALAH INFRA STRUKTUR
“ PERUMAHAN PUBLIK “



Disusun oleh :
KELOMPOK 7
Agus Budianto Ulil (071624)
M.Pandu Imbar (0716 )
Nicky Putra TS (071688 )
Sulistiyono(071700)
Yusep Depyudin(071640)

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
FAKULTAS TEKNIK SIPIL
CILEGON – BANTEN
2009

Kata Pengantar

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayahnya kepada kami, sehingga Kami mampu menyelesaikan makalah yang berjudul “Perumahan Publik” ini dengan baik dan lancar. Kami juga tak lupa mengucapakan terima kasih atas bimbingan serta dukungan yang telah diberikan oleh dosen kami, Arif Budiman, ST ,MEng.
Makalah Kami yang berjudul “Perumahan Publik” membahasa mengenai. Harapan kami adalah semoga makalah yang kami buat ini bermanfaat untuk para pembaca.
Kami sadar bahwa makalah yang kami buat ini adalah sangatlah jauh dari kata saempurna, untuk itu kami meminta maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan, karena Kami juga masih dalam proses pembelajaran.


Cilegon, Maret 2009


Penulis













PEMBAHASAN

A. Pengantar.

Rumah, bagi banyak orang tidak menjadi kata sakral. Namun bagi lebih banyak orang lagi, kata ‘rumah’ menjadi kata yang teramat mahal. Padahal, rumah adalah bangunan dasar, fundamental dan sekaligus menjadi prasyarat bagi setiap orang untuk bertahan dan hidup dan menikmati kehidupan bermartabat, damai, aman dan nyaman. Dengan kata lain, dampak negatif bahkan ancaman nyawa baik fisik maupun mental terbuka pada individu-individu yang tak punya rumah. Lebih jauh, tanpa mempunyai (akses) perumahan, kehidupan pribadi, maupun sosial akan sulit dicapai. Tak berlebihan, hak atas perumahan menjadi variabel penting dan menjadi sebuah hak independen atau hak yang berdiri sendiri (independent or free-standing right) dalam mengukur apakah seseorang menikmati hak atas standar hidup yang layak (the right to a adequate standard of living).
Hak rakyat atas perumahan dalam disiplin hak asasi manusia (HAM) seringkali dipersamakan dengan hak rakyat atas tempat untuk hidup. Karena hak ini berkaitan dengan hidup seseorang, maka rumah dalam pengertian ini mencakup makna perumahan yang memadai (adequate housing). Kata ‘memadai’ ini menjadi penting untuk membedakan pendefinisian kata ‘rumah’ menjadi tidak sekadar sebentuk bangunan persegi empat yang mempunyai atap. Dari standar internasional HAM, kita dapat meminjam makna rumah yang memadai, yakni ketersediaan pelayanan, material, fasilitas dan infrastruktur. Memadai juga mengandung makna adanya pemenuhan prinsip-prinsip seperti affordability, habitability, accessibility. Selanjutnya, ‘memadai’ juga mempertimbangkan faktor-faktor yang wajib dipertimbangkan dan dipenuhi seperti faktor lokasi (location) dan culturally adequate. Standard internasional menyatakan legal security of tenure sebagai sebuah prinsip yang erat kaitannya dengan pemenuhan hak rakyat atas perumahan.

B. Prinsip – Prinsip Utama Perumahan

Penting untuk mengemukakan prinsip-prinsip dasar yang dimuat dalam General Comment No. 4 United Nations (UN) Committee on Economic, Social and Cultural Rights – selanjutnya akan disebut Komite. Hal ini dapat menjadi alat ukur (parameter) bagi perlindungan dan pemenuhan hak rakyat atas perumahan. Prinsip-prinsip utama dalam pemenenuhan hak rakyat atas perumahan, seperti :
a. Prinsip aksesibilitas (accessibility). Prinsip ini bermakna bahwa perumahan mesti dapat dimiliki setiap orang. Dalam prinsip ini dikenal dengan pemenuhan perumahan berdasarkan prioritas, seperti akses perumahan untuk komunitas atau golongan yang tak beruntung (disadvantaged groups) dan komunitas yang rentan seperti individu lanjut usia (lansia), anak-anak, orang cacat, dan individu yang menderita penyakit kronis;
b. Prinsip keterjangkauan/afordabilitas (affordability). Prinsip ini secara singkat bermakna bahwa setiap orang dalam praktik dapat memiliki rumah. Harga rumah harus dapat terjangkau bagi setiap orang;
c. Prinsip habitabilitas (habitability). Prinsip ini juga merupakan prasyarat sebuah rumah dapat dikatakan ‘memadai’. Prinsip ini bermakna bahwa rumah yang didiami mesti memiliki luas yang cukup dan juga dapat melindungi penghuninya dari cuaca, seperti hujan, panas dan ancaman kesehatan bagi para penghuninya.

C. Permasalahan Perumahan
Ilustrasi bentuk – bentuk kejahatan hak rakyat atas perumahan yang terjadi tahun 2003 – 2004 :
a. Pelanggaran kewajiban pemerintah untuk memfasilitasi perumahan rakyat
Terdapat sebuah contoh, pelanggaran obligasi pemerintah dalam pemenuhan perumahan bagi masyarakat. Kasus ini terjadi di Papua Barat dimana telah terjadi kejahatan atas kurang lebih 1349 anggota legiun veteran (LVRI) yang mempunyai hak untuk memiliki perumahan. Kasus ini dengan jelas mempertontonkan pelanggaran prinsip aksesibilitas dalam pemenuhan hak rakyat atas perumahan.
Kasus berawal dari pengucuran dana stimulan sebesar Rp 13 milyar dari Kementerian Permukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil) kepada LVRI untuk membangun fasilitas perumahan bagi ribuan pejuang kemerdekaan ini. Dana stimulan ini kemudian diserahkan kepada Dinas Pekerjaan Umum. Masalah muncul ketika dana ini tidak digunakan untuk pembangunan perumahan, melainkan digunakan untuk proyek sarana dan prasarana jalan dan pembuatan drainase. Tentu saja, proyek ini tidak dapat dinikmati secara langsung oleh semua anggota veteran – dikarenakan domisili mereka yang menyebar di Papua Barat, juga beberapa telah meninggal dunia, dan pindah domisili ke luar daerah. Perkembangan selanjutnya, Dinas PU bekerjasama dengan LVRI memberikan uang tunai Rp 4,5 juta kepada para anggota veteran. Hal ini mendapat kritik dan penolakan dari sebagian anggota lain, karena menurut penghitungan, dari total Rp 13 miliar seharusnya para anggota veteran ini dan ahli waris berhak memperoleh dana Rp 10 juta untuk membangun rumah-rumah mereka.
b. Penggusuran paksa
Penggusuran paksa dan melawan hukum (arbitrary and forced eviction) di dalam General Comment ICESCR No. 7, Komite menguraikan problem ini. Individu dan komunitas digusur secara paksa tanpa ada peluang untuk mempertahankan hak-haknya. Kejahatan ini berkaitan erat dengan bentuk-bentuk kejahatan terhadap hak-hak sipil dan politik warga negara termasuk tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian dan tentara. Dalam banyak kasus, penggusuran paksa ini dilakukan seiring dengan tindak demolisi atau pembumihangusan dan pembuldozeran rumah-rumah rakyat. Bentuk yang hampir sama, yakni kejahatan pemindahan (displacement) atas nama program dan proyek ‘pembangunan’ atau bahkan atas nama ‘kepentingan umum’ tanpa mekanisme yang berkeadilan.
Di Indonesia, pendefinisian rumah liar yang dibuat Negara ditujukan untuk rumah atau bangunan penduduk yang tidak mengikuti aturan hukum modern, seperti si pemilik tidak dapat menunjukkan alasan hak penguasaan tanah dan rumah atau bangunannya. Ilustrasi kejahatan ini, terjadi seperti kasus penggusuran paksa di Riau. Pada tahun 2002, terjadi penggusuran paksa terhadap bangunan/rumah di banyak wilayah di Indonesia.
c. Pengabaian restitusi dan rehabilitasi yang memadai
Tidak ada restitusi dan rehabilitasi yang memadai. Di Indonesia, kompensasi seringkali diterjemahkan dengan istilah yang beragam menurut kebiasaan setempat, misalnya “uang paku”, “uang kerohiman”, atau “uang jasa pindah”. Tentu saja jumlah kompensasi ini tidak memadai, dalam artian, penduduk yang diberikan kompensasi tidak akan dapat memiliki rumah atau bangunan seperti semula. Keberatan inilah yang menyebabkan banyak penentangan terhadap kebijakan atau praktik-praktik penggusuran. Kasus penolakan untuk pindah misalnya terjadi di Jelambar. Pihak developer tidak memberikan solusi terhadap penduduk. Sementara, Pemerintah Daerah, khususnya Walikota Jakarta Barat gagal memberikan perlindungan kepada penduduk di Jembatan Besi ini, bahkan terlibat dalam upaya penggusuran.
d. Relokasi yang tidak sesuai
Kasus yang secara jelas menunjukkan kegagalan obligasi negara dalam perlindungan hak perumahan berkaitan dengan problem relokasi, misalnya terjadi pada kasus nelayan di Ancol Timur. Sebanyak 206 kepala keluarga nelayan di wilayah Tanah Timbul dipaksa untuk pindah ke wilayah Sungai Tirem, Marunda, Jakarta Utara. Proses penggusuran yang melibatkan Pemerintah DKI Jakarta dan PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) ini, disebabkan lahan akan diperuntukkan untuk bangunan komersil (gedung Bahtera Jaya). Salah satu korban penggusuran sempat mengungkapkan keluhannya karena letak relokasi jauh dari laut, kurang lebih 5 km. Kondisi ini mempersulit penduduk yang bermatapencarian sebagai nelayan. Kasus ini menunjukkan kegagalan negara memenuhi prinsip “location”. Konsep rumah yang memadai juga mesti mempertimbangkan akses pemiliknya terhadap mata pencaharian (pekerjaan), fasilitas kesehatan, sekolah dan fasilitas sosial lainnya serta berada di lokasi yang tidak berdekatan dengan sumber-sumber polusi.
Pada intinya, relokasi maupun resetlement dapat saja dilakukan dengan parameter tidak akan mengurangi, dan sebaliknya akan meningkatkan status dan perekonomian penduduk. Toh tuntutan masyarakat sangat sederhana, ingin hidup sejahtera: bisa punya rumah yang layak!

e. Kejahatan yang dilakukan entitas privat (pelaku non-negara)
Pelanggaran prinsip habitabilitas bisa dilihat dalam kasus penipuan konsumen perumahan di Lampung. LBH Bandar Lampung seringkali mendapat laporan dan pengaduan dari konsumen perihal ketidaktersediaan air bersih. Satu contoh kasus, tidak kurang dari 400 KK di perumahan Beringin Raya Langkapura – yang dipasarkan PT Sinar Waluyo – mengaku tidak mendapatkan sarana air bersih. Menurut LBH Bandar Lampung, kasus-kasus serupa terjadi di banyak perumahan.

D. Pengembangan Perumahan kerap sekali abaikan sanitasi Air
Pengembang perumahan dan permukiman dinilai kerap mengabaikan keberadaan prasarana, sarana serta utilitas (PSU) air minum dan sanitasi yang baik. Perumahan yang dibangun tampak bagus, tertata baik, memiliki ruang terbuka hijau namun untuk aspek air minum dan sanitasi tidak mendapatkan perhatian yang sepatutnya.Direktur Jenderal (Dirjen) Cipta Karya Budi Yuwono mengungkapkan hal tersebut saat membuka workshop Pengembangan Prasarana dan Sarana Air Minum dan Sanitasi yang Berwawasan Lingkungan dalam Pengembangan Permukiman Baru di Jakarta, Selasa (14/10).“Para pengembang perumahan menilai pengadaan PSU sanitasi membutuhkan biaya besar sehingga untuk urusan sanitasi, para pengembang perumahan beranggapan yang penting tidak kelihatan sehingga mereka langsung membuangnya ke sungai atau badan air. Ini jelas mencemari sungai,” ujar Budi Yuwono.Budi Yuwono menambahkan, saat ini 50 persen penduduk Indonesia membuang air limbahnya secara langsung ke sungai-sungai. Hal tersebut berakibat 75 persen kondisi sungai di Indonesia telah tercemari.Menurut Dirjen Cipta Karya perlunya kesadaran dan kepedulian para pengembang perumahan untuk turut menjaga lingkungan hidup dengan cara mengelola sanitasi dengan baik. Budi Yuwono mengatakan kedepannya aspek lingkungan hidup termasuk unsur pengelolaan sanitasi akan menjadi daya jual suatu perumahan.“Kedepannya kompetisi antar pengembangan perumahan juga akan menyangkut aspek pengelolaan sanitasi di perumahannya,” tutur Dirjen Cipta Karya.Pemerintah menyadari belum optimalnya pengelolaan sanitasi tidak terjadi pada skala permukiman tetapi juga pada skala kota. Dari 10 kota di Indonesia yang telah dibangunkan instalasi pengolahan air limbah oleh pemerintah pusat, hingga saat ini rata-rata baru termanfaatkan 30 persen dari total kapasitasnya.“Bahkan ada ada satu kota, yang instalasinya telah dibuatkan sejak 14 tahun lalu, namun hingga kini baru dimanfaatkan 10 persen (dari total kapasitasnya-red),” terang Dirjen Cipta Karya.Upaya perbaikan penanganan sanitasi memerlukan keterlibatan pemerintah daerah (pemda). Dari segi peraturan, pemerintah pusat telah menerbitkan beberapa regulasi pendukung sanitasi diantaranya Peraturan Pemerintah (PP) No 16 tentang Sistem Penyediaan Air Minum dan Peraturan Menteri (Permen) PU tentang Penyelenggaraan Air Minum dan Sanitasi.Namun peraturan tersebut belum efektif dilaksanakan. Budi Yuwono mengharapkan peraturan terkait sanitasi dapat dimasukkan dalam peraturan daerah yang kemudian dipakai antara lain untuk perolehan ijin bagi pengembang perumahan.Sementara itu, anggota Komisi V DPR-RI Enggartiasto Lukito mengakui para pengembang perumahan menganggap PSU air minum dan sanitasi sebagai beban biaya (cost). Selama ini sanitasi perumahan masih menggunakan cara-cara konvensional misalnya membuang limbah padat dengan septic tank dan air buangan melalui selokan yang mengalirkannya ke dalam saluran kota lalu diteruskan bermuara di sungai.“Pada kawasan perumahan sederhana, saluran pembuangan air limbah melalui selokan terkadang sama sekali tidak tersambung pada saluran pembuangan kota,” ujar Enggar.Pembangunan infrastruktur pada kawasan perumahan selama ini telah banyak dibebankan kepada pengembang dimana pada akhirnya pengembang diwajibkan menyerahkan infrastruktur terbangun tersebut kepada pemerintah. Maka apabila pengembang diberi tambahan kewajiban untuk menyediakan PSU sanitasi di kawasan. permukimannya, Enggar menyarankan perlunya diberikan kompensasi dan insentif yang memadai agar seluruh stakeholder merasakan manfaatnya dan melaksankannya dengan baik. (rnd)

E. Badan yang Mengurusi Perumahan Publik atau Rakyat
PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR: 7/PERMEN/M/2007 TENTANG PENGADAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DENGAN DUKUNGAN FASILITAS SUBSIDI PERUMAHAN MELALUI KPR SARUSUN BERSUBSIDI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT,

a. bahwa perumahan dan permukiman merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia dan merupakan faktor penting dalam peningkatan harkat dan martabat manusia, maka perlu diciptakan kondisi yang dapat mendorong pembangunan perumahan untuk menjaga kelangsungan penyediaan perumahan dan permukiman;
b. bahwa dalam rangka menata permukiman di perkotaan dan untuk meningkatkan produktivitas dan efektivitas sumber daya manusia, Pemerintah mencanangkan program pembangunan rumah susun sederhana di kawasan perkotaan;
c. bahwa masyarakat yang tinggal di kawasan perkotaan, khususnya masyarakat berpenghasilan menengah bawah dan berpenghasilan rendah, masih belum mampu tinggal di hunian Rumah Susun Sederhana yang layak, sehat, aman, serasi dan teratur tanpa dukungan fasilitas subsidi perumahan untuk pemilikan rumah;
d. bahwa dalam rangka pemberian subsidi perumahan tersebut perlu memperhatikan kemampuan masyarakat berpenghasilan menengah bawah dan berpenghasilan rendah, kebijakan moneter, sistem pendanaan dan kemampuan Lembaga Penerbit Kredit serta ketersediaan lahan;
e. bahwa dalam rangka pemberian subsidi perumahan tersebut perlu memperhatikan persyaratan teknis perumahan dan permukiman dan bangunan gedung dengan memperhatikan muatan lokal maupun budaya setempat yang berkaitan dengan bentuk arsitektur dan struktur bangunan;
f. bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan perumahan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e diatas, dan guna menjangkau lebih banyak lagi kelompok sasaran masyarakat berpenghasilan menengah bawah dan berpenghasilan rendah, maka diperlukan pengaturan atas: nilai dan masa subsidi; nilai minimum uang muka; nilai maksimum kredit yang dibiayai; dan suku bunga KPR Sarusun Bersubsidi;

No comments:

Post a Comment