BAB III
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Perkerasan Jalan
Perkerasan jalan merupakan lapisan yang terletak diantara lapisan tanah dasar dan roda kendaraan, sehingga merupakan lapisan yang berhubungan langsung dengan kendaraan. Lapisan ini yang berfungsi memberikan pelayanan terhadap lalu lintas setiap harinya, oleh karena itu pada saat penggunaannya diharapkan tidak mengalami kerusakan-kerusakan yang dapat menurunkan kualitas pelayanan lalu lintas. Untuk mendapatkan perkersan yang memiliki daya dukung yang baik dan memenuhi faktor ekonomis yang diharapkan maka perkerasan dibuat berlapis lapis. Pada gambar 3.1 diperlihatkan lapisan-lapisan perkerasan yang paling atas disebut lapisan permukaan yaitu kontak langsung dengan roda kendaraan dan lingkungan sehingga merupakan lapisan yagn cepat rusak terutama akibat air. Di bawahnya terdapat lapisan pondasi, dan lapisan pondasi bawah, yang diletakkan di atas tanah dasar yang telah dipadatkan.
Gambar 3.1. Susunan Kontruksi Perkerasan Kaku
(Sumber:Pavement Design Guide)
Menurut Yoder, E.J dan Witezak (1975), pada umumnya jenis kontruksi perkerasan jalan ada 2 jenis :
1. Perkerasan Lentur (Flexible Pavement)
Yaitu perkerasan yang menggunakan aspal sebagai bahan pengikat.
2. Perkerasan Kaku (Rigid Pavement)
Yaitu perkerasan yang mengunakan semen dan air sebagai bahan pengikat.
Dalam tugas akhir ini dibahas mengenai pengaruh kelebihan muatan terhadap pengurangan umur perkerasan jalan dengan menggunakan Metode Analisa Komponen/Bina Marga 2002 dengan memakai perkerasan kaku (Rigid Pavement). Perkerasan kaku (Rigid Pavement) adalah suatu kontruksi perkerasan dimana sebagai pelapis atas dipergunakan pelat beton, yang terletak di atas pondasi atau langsung di atas tanah dasar pondasi atau langsung di atas dasar (subgrade) (Manu, 1995).
Gambar 3.2. Penyebaran Beban Roda Hingga Lapisan Subgrade
(Sumber:Pavement Design Guide)
B. Klasifikasi Jalan
1. Klasifikasi Menurut Fungsi Jalan
Menurut UU No.38 Tahun 2004 tentang jalan, berdasarkan fungsinya jalan umum di bagi menjadi :
a. Jalan Arteri
Jalan arteri adalah jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien.
b. Jalan Kolektor
Jalan kolektor adalah jalan yang melayani angkutan pengumpul/pembagi dengan ciri-ciri : perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi.
c. Jalan Lokal
Jalan lokal adalah jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.
d. Jalan Lingkungan
Jalan lingkungan adalah jalan umum yang berfungsi melayani angkutan lingkungan, dengan ciri perjalanan jarak dekat.
2. Klasifikasi Menurut Kelas Jalan
a. Klasifikasi menurut kelas jalan berkaitan dengan kemampuan jalan untuk menerima beban lalu lintas, dinyatakan dalam Muatan Sumbu Terberat (MST) dalam satuan ton.
b. Klasifikasi menurut kelas jalan dan ketentuannya serta kaitannya dengan kasifikasi menurut fungsi jalan dapat dilihat dalam UU 22 Thn 2009 Tentang LLAJ.
3. Klasifikasi Menurut Medan Jalan
a. Medan jalan diklasifikasikan berdasarkan kondisi sebagian besar kemiringan medan yang diukur tegak lurus garis kontur.
b. Klasifikasi menurut medan jalan untuk perencanaan geometrik dapat dilihat dalam Tabel 3.1.
Tabel 3.1. Klasifikasi Menurut Medan Jalan.
No. Jenis Medan Notasi Kemiringan Medan (%)
1. Datar (D) < 3
2. Perbukitan (B) 3 – 25
3. Pegunungan (G) > 25
Sumber:Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota Dep.PU
c. Keseragaman kondisi medan yang diproyeksikan harus mempertimbangkan keseragaman kondisi medan menurut rencana trase jalan dengan mengabaikan perubahan-perubahan pada bagian kecil dari segmen rencana jalan tersebut.
4. Klasifikasi Menurut Wewenang Pembinaan Jalan
Klasifikasi jalan menurut wewenang pembinaannya sesuai UU 38 Tahun 2004 tentang jalan adalah jalan Nasional, Jalan Propinsi, Jalan Kabupaten/Kotamadya, dan Jalan Desa.
Jalan umum menurut statusnya dikelompokkan ke dalam :
a. Jalan nasional
1) Jalan arteri, dalam sistem jaringan jalan primer.
2) Jalan kolektor yang menghubungkan antar ibukota provinsi dalam sistem jaringan jalan primer
3) Jalan stategis nasional
4) Jalan tol.
b. Jalan propinsi
Jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan: ibukota propinsi dengan ibukota kabupaten/kota, antar ibukota kabupaten/kota dan jalan strategis propinsi.
c. Jalan kabupaten
1) Jalan lokal dalam sistem jaringan jalan primer yang tidak termasuk jalan nasional dan provinsi yang menghubungkan :
a) Ibukota kabupaten dengan ibukota kecamatan.
b) Antar ibukota kecamatan.
c) Ibukota kabupaten dengan pusat kegiatan lokal, dan
d) Antar pusat kegiatan local.
2) Jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder dalam wilayah kabupaten.
3) Jalan strategis kabupaten.
d. Jalan kota
Jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder yang menghubungkan:
1) Antar pusat pelayanan dalam kota.
2) Pusat pelayanan dengan persil.
3) Antar persil.
4) Antar pusat permukiman yang berada dalam kota.
e. Jalan desa
Jalan umum yang menghubungkan kawasan dan/atau antar permukiman di dalam desa, serta jalan lingkungan.
C. Beban Berlebih
Beban berlebih (overloading) adalah suatu kondisi beban gandar (as) kendaraan melampaui batas beban maksimum yang diijinkan (Hikmat Iskadar, Jurnal Perencanaan Volume Lalu-lintas Untuk Angkutan Jalan,2008). Beban berlebih (overloading) adalah beban lalu-lintas rencana (jumlah lintasan opersioanal rencana) tercapai sebelum umur rencana perkerasan atau sering disebut dengan kerusakan dini (Hikmat Iskandar, Jurnal Perencanaan Volume Lalu-lintas Untuk Angkutan Jalan,2008). Beban berlebih (overloading) adalah jumlah berat muatan kendaraan angkutan penumpang, mobil barang, kendaraan khusus, kereta gandengan dan kereta tempelan yang diangkut melebihi dari jumlah yang di ijinkan (JBI) atau muatan sumbu terberat (MST) melebihi kemampuan kelas jalan yang ditetapkan (Perda Prov.Kaltim No.09 tahun 2006)
Ada beberapa yang dapat diidentifikasikan sebagai beban berlebih yaitu :
1. Berat as kendaraan yang melampaui batas maksimum yang diizinkan (MST = Muatan sumbu terberat ) yang dalam hal ini MST ditetapkan berdasarkan PP (Peraturan Pemerintah) yang berlaku :
a. UU 22 Tahun 2009 Pasal 19:MST berdasarkan berat as kendaraan:
1) Jalan kelas I: MST = 10 ton
2) Jalan kelas II: MST = 8 ton
3) Jalan kelas III : MST ≤ 8 ton
4) Jalan kelas khusus : MST > 10 ton
b. Pasal 9 KM Perhitungan No,75/1990, khusus untuk jenis truk angkutan peti kemas:
1) Sumbu tunggal roda tunggal: 6 ton
2) Sumbu tunggal roda ganda: 10 ton
3) Sumbu ganda roda ganda: 18 ton
4) Sumbu tiga (triple) roda ganda: 20 ton
2. Jumlah lintasan rencana tercapai oleh lalu lintas yang operasional sebelum usia rencana tercapai, hal ini sering diungkapkan sebagai kerusakan dini
Kasus overloading jalan yang rusak dewasa ini sering dituduhkan sebagai akibat dari overloading kendaraan-kendaraan pengangkut barang. Secara definisi overloading yang terjadi perlu ditetapkan statusnya apakah overloading berdasarakan peraturan yaitu beban as yang ada melampui MSTnya atau usia rencana yan telah dicapai lebih dini.
Adapun status overloading yang ada tetap sulit ditentukan karena tidak ada data yang aktual untuk mengkonfirmasikannya. Overloading yang mungkin terjadi adalah overloading yang didasarkan kepada peraturan yang berlaku, sedangkan dari sisi perencanaan beban lalu lintas untuk perkerasan tidak ada istilah overloading, yang ada adalah usia rencana yang dicapai lebih dini. Mengapa? Karena dalam menghitung beban lalu lintas rencana tidak ada pembatasan beban, kendaraan dengan berat as yang besar memiliki VDF yang besar pula.
JBI (jumlah berat yang diijinkan) adalah berat maksimum kendaraan bermotor berikut muatannya yang diijinkan berdasarkan ketentuan. Muatan sumbu terberat (MST) adalah jumlah maksimum roda-roda kendaraan pada sumbu yang menekan jalan (Perda Prop.Kaltim No.09 tahun 2006). Firdaus (1999) mendefinisikan Muatan Sumbu Terberat (MST) adalah muatan sumbu dimana nilai daya perusak (Damage Factor) terhadap struktur perkerasan jalan mendekati atau sama dengan satu. Pengaruh merusak dari sumbu yang diambil sebagai standar adalah sumbu tunggal roda ganda dengan beban 8,16 ton.
D. Konsep Dasar Beban Berlebih
Kerusakan jalan yang diakibatkan oleh berat dan lintasan kendaraan dinyatakan dalam angka ekivalen (E) atau Equivalent single axle load (ESAL) yaitu angka yang menyatakan jumlah lintasan sumbu tunggal seberat 8160 kg (1800 lbs) yang akan menyebabkan derajat kerusakan yang sama apabila beban sumbu tersebut lewat satu kali (Bina Marga, 1987 dan Dirtjen. Perhubungan Darat, 1996).
Muatan Sumbu Terberat (MST) dipakai sebagai dasar pengendalian dan pengawasan muatan kendaraan di jalan yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Sepang dan Mouradhy (1995) mengungkapkan bahwa pengaruh beban lalu-lintas terhadap kontruksi perkerasan jalan ditentukan oleh frekuensi/jumlah lintasan kendaraan niaga (Commercial Vehicle) dan beban sumbu masing-masing kendaraan. Setiap muatan sumbu yang melintas satu kali di atas suatu ruas jaln akan memberikan nilai kerusakan tertentu dan setiap penambahan 1 ton beban sumbu akan menyebabkan nilai kerusakan berlipat pada jalan yang bersangkutan.
Tabel 3.2. Kelas Jalan Berdasarkan Fungsi dan Penggunaannya
Sumber : UU 22/2009 Pasal 19
Menurut pedoman perencanaan tebal lapis tambah perkerasan lentur dengan metode lendutan, Departemen Pekerjaan Umum (Pd. T-05-2005-B) ketentuan beban sumbu standar ( Standard Axle Load) kendaraan adalah sebagai berikut :
1. Single axle, single whell = 5,4 ton
2. Single axle, dual whell = 8,16 ton
3. Double axle, dual whell = 13,76 ton
4. Triple axle, dual whell = 18,45 ton
Sedangkan penentuan angka ekivalen (E) masing-masing golongan beban gandar sumbu setiap kendaraan menurut pedoman perencanaan tebal perkerasan lentur, Bina Marga 2002 adalah berdasarkan lampiran D peraturan tersebut. Sedangkan untuk roda tunggal penentuan angka ekivalen rumus yang digunakan adalah sebagai berikut :
Angka ekivalen roda tunggal = .…(3.1)
Dimana:
L = Beban sumbu kendaraan (ton)
k = 1 : untuk sumbu tunggal
= 0.086 : untuk sumbu tandem
= 0.021 : untuk sumbu triple
Semua beban kendaraan dengan gandar yang berbeda diekivalensikan ke dalam beban standard gandar dengan menggunakan angka ekivalen beban sumbu tersebut sehinggan diperole beban kendaraan yang ada dalam sumbu standar (Equivalent Single Axle Load) 18 kip Esal. Penambahan beban melebihi beban sumbu kendaraan akan mengakibatkan penambahan daya rusak yang sangat signifikan. Kerusakan terjadi lebih cepat karena konsentrasi beban pada setiap roda kendaraan sangat tinggi akibat jumlah axle yang terbatas apalagi dengan adanya beban berlebih, karena pada perencanaan perkerasan jalan masih mengacu kepada desain kendaraan untuk muatan normal.
Anak Agung Gde Kartika, (2001) menyatakan bahwa Equivalent Single Axle Load (ESAL) adalah merupakan faktor pengali beban sumbu kendaraan non-standard menjadi beban sumbu tunggal standard (8,16 ton). Beban lalu lintas yang diperlukan dalam merencanakan struktur perkerasan jalan adalah jumlah total perulangan beban sumbu standar ekivalen yang akan diperkirakan akan lewat pada jalur rencana yang sedang direncanakan selama masa layan (Kokasih, 1995). Adapun tahapan yang diperlukan di dalam menghitung beban lalu lintas :
1. Lalu Lintas Kendaraan
2. Angka Ekivalen
Angka ekivalen kendaraan (E kend) didapat dengan rumus
Ekend= Esb depan+Esb belakang ......(3.2)
Sedangkan faktor ekivalen merupakan faktor konversi beban sumbu kendaraan terhadap beban sumbu standar, yang menurut Metoda Analisa Komponen ditetapkan sebesar 8,16 ton.
3. Beban As Kendaraan
Tabel 3.3. Komposisi Roda dan Unit Ekivalen 8,16 ton Beban As Kendaraan
Sumber : Manual Pemerikasaan Perkerasan Jalan dengan Alat Benkleman Beam,
Departemen Umum, Direktorat Jenderal Bina Marga No 01/MN/B/1983
Penimbangan berat muatan sumbu kendaraan sangat dipengaruhi oleh konfigurasi roda, letak beban dan posisi kemiringan permukaan landasan sebagaimana tercermin pada ilustrasi gambar berikut ini, sebagai contoh kecil ;
1. Walau berat muatan sumbu sendiri (payload) tetap dan total berat kendaraan (GVW) dalam hal ini juga tetap 13 ton, tetapi letak muatan berbeda mengakibatkan muatan sumbu roda belakang berubah dari 8 ton menjadi 9 ton, sehingga secara keseluruhan muatan sumbu terberatnya sudah melampui MST yang diizinkan.
Gambar 3.3. Distribusi pada Beban Standart dan Overload
2. Ilustrasi lain, truk bersumbu triple pada keadaan muatan yang sama tetapi kondisi roda yang berbeda akan menghasilkan muatan sumbu roda yang berbeda.
Gambar 3.4. Distribusi Muatan pada Roda Kendaraan
E. Parameter Perencanaan Perkerasan
Dengan mengetahui secara tepat tingkat kemampuan suatu jalan dalam menerima suatu beban lalu intas, maka tebal lapisan perkerasan jalan dapat ditentukan dan umur rencana perkerasan tersebut akan sesuai dengan yang direncanakan. Beban berulang atau repetition load merupakan beban yang diterima struktur perkerasan dari roda-roda kendaraan yang melintasi jalan raya secara dinamis selama umur rencana. Besar beban yang diterima bergantung dari berat kendaraan, konfigurasi sumbu, bidang kontrak antara roda dan kendaraan serta kecepatan dari kendaraan itu sendiri. Hal ini akan memberi suatu nilai kerusakan pada perkerasan akibat muatan sumbu roda yang melintasi setiap kali pada ruas jalan.
Berat kendaraan dibebankan ke perkerasan jalan melalui roda kendaraan yang terletak di ujung-ujung sumbu kendaraan. Masing-masing kendaraan mempunyai konfigurasi sumbu yang berbeda-beda. Sumbu depan dapat merupakan sumbu tunggal roda, sedangkan sumbu belakang dapat merupakan sumbu tunggal, ganda maupun triple. Berat kendaraan dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut :
1. Fungsi Jalan
Kendaraan berat yang memakai jalan arteri umumnya membuat muatan yang lebih berat dibandingkan dengan jalan pada medan datar.
2. Keadaan Medan
Jalan yang mendaki mengakibatkan truk tidak mungkin memuat beban yang lebih berat jika dibandingkan dengan jalan pada medan datar
3. Aktivitas Ekonomi di Daerah yang Bersangkutan
Jenis dan beban yang diangkut oleh kendaraan berat sangat tergatung dari jenis kegiatan yang ada di daerah tersebut, truk di daerah industri mengangkut beban yang berbeda jenis dan beratnya dengan di daerah perkebunan.
4. Perkembangan Daerah
Beban yang diangkut yang ditimbulkan oleh beban lalu lintas tidaklah sama antara yang satu dengan yang lain. Perbedaan ini mengharuskan suatu standar yang bisa mewakili untuk semua jenis kendaraan, sehingga semua beban yang diterima oleh sturktur perkerasan jalan dapat disamakan ke dalam beban standar. Beban standar ini digunaka sebagai batasan maksimum yang diijinkan untuk suatu kendaraan.
Beban yang sering digunakan sebagai batasan maksimum yang diijikan untuk sutau kendaraan adalah beban gandar maksimum. Beban standar ini diambil sebesar 18.000 pounds (8,16 ton) pada sumbu standar tunggal. Diambilnya angka ini karena daya perusak yang ditimbulkan beban gandar terhadap struktur perkerasan jalan adalah satu.
F. Kriteria Perencanaan Perkerasan Kaku
1. Daya Dukung Tanah Dasar
Daya tahan kontruksi perkerasan tak lepas dari sifat dari tanah dasar karena secara keseluruhan perkerasan jalan berada di atas tanah dasar. Tanah dasar yang baik untuk kontruksi perkerasan jalan adalah tanah dasar yang berasal dari lokasi itu sendiri atau didekatnya yang telah dipadatkan sampai dengan tingkat kepadatan tertentu sehingga mempunyai daya dukung yang baik serta berkemampuan mempertahankan perubahan volume selama masa pelayanan walaupun terhadap perbedaan kondisi lingkungan dan jenis tanah setempat.
Sifat masing-masing tanah tergantung dari tekstur, kepadatan, kadar air, kondisi lingkungan dan sebagainya. Tanah dengan tingkat kepadatan yang tinggi menglami perubahan volume yang kecil jika terjadi perubahan kadar air dan mempunyai daya dukung yang lebih besar jika dibandingkan dengan tanah yang sejenis yang tingkat kepadatannya lebih rendah.
Daya dukung tanah (subgrade) pada perencanaan perkerasan kaku dinyatakan dengan nilai CBR (California Bearing Ratio). CBR pertama kali diperkenalkan oleh California Division Of Highways pada tahun 1982. Orang yang banyak mempopulerkan metode ini adalah O.J.Porter. Harga CBR itu sendiri dinyatakan dalam persen. Harga CBR tanah dasar yang menyatakan kualitas tanah dasar dibandingkan bahan standar berupa batu pecah yang mempunyai nilai CBR 100% dalam memikul beban lalu lintas. Terdapat beberapa parameter petunjuk mutu daya dukung tanah dasar, dan CBR merupakan parameter penunjuk daya dukung tanah dasar yang paling umum digunakan di Indonesia. Hubungan antara daya dukung tanah (DDT) dengan CBR dapat menggunakan grafik korelasi atau dapat menggunakan rumus :
DDT = 4.3 log CBR + 1.7 ...................Metode Bina Marga ....(3.3)
DDT = 3.71 log CBR + 1.35 ...............Metode AASHTO ....(3.4)
Pada pedoman ini digunakan Modulus Resilien (MR) sebagai parameter tanah dasar yang digunakan dalam perencanaan. Korelasi CBR dengan Modulus Resilient (MR) adalah sebagai berikut :
Gambar 3.5. Tebal Pondasi Bawah Minimum Untuk Perkerasan beton Semen
Sumber : Pedoman Perencanaan Perkerasan Jalan Beton Semen XX-2002
Gambar 3.6. CBR Tanah Dasar Efektif dan Tebal Pondasi Bawah
Sumber : Pedoman Perencanaan Perkerasan Jalan Beton Semen XX-2002
2. Perkerasan Beton Semen
Campuran beton yang dibuat untuk perkerasan beton semen harus memiliki kelecakan yang baik agar memberikan kemudahan dalam pengerjaan tanpa terjadi segregasi dan bleeding Kekuatan beton harus dinyatakan dalam nilai kuat tarik lentur (Flexural Strength) umur 28 hari, yang didapat dari hasil pengujian balok dengan pembebanan tiga titik secara tipikal sekitar 3-5Mpa (30-50kg/cm2). Hubungan antara kuat tekan karakteristik dengan kuat terik-lentur beton dapat didekati dengan rumus:
Fcf = K(fc’)0,50 dalam Mpa atau .....(3.5)
Fcf = 3,13K(fc’)0,50 dalam kg/cm2 ...... (3.6)
Dimana :
Fc’ : kuat tekan beton karakteristik 28 hari (kg/cm2)
Fcf : kuat tarik lentur beton 28 hari (kg/cm2)
K : Konstanta. 0,7 untuk agregat tidak dipecah dan 0,75 untuk agregat pecah
3. Pertumbuhan Lalu Lintas (i%)
Yang dimaksud dengan pertumbuhan lalu lintas adalah pertambahan atau perkembangan lalu lintas dari tahun ke tahun selama umur rencana. Faktor yang mempengaruhi besarnya pertumbuhan lalu lintas adalah :
1. Perkembangan daerah tersebut.
2. Bertambahnya kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut.
3. Naiknya keinginan untuk memiliki kendaran pribadi.
Faktor pertumbuhan lalu lintas dinyatakan dalam persen/tahun (%/tahun)
Tabel 3.4. Faktor Pertumbuhan Lalu Lintas (R)
Sumber : Pedoman Perencanaan Perkerasan Jalan Beton Semen XX-2002
4. Umur Rencana
Umur rencana adalah jumlah waktu dalam tahun dihitung sejak jalan tersebut mulai dibuka saat diperlukan perbaikan berat atau dianggap perlu untuk diberi lapis permukaan yang baru. Faktor umur rencana merupakan variable dalam umur rencana dan faktor pertumbuhan lalu lintas yang dihitung dengan menggunakan rumur sebagai berikut :
....(3.7)
Dimana :
R : Faktor pertumbuhan lalu lintas
i : Laju pertumbuhan lalu lintas per tahun dalam %
UR : Umur rencana (tahun)
5. Jumlah Lajur
Lajur rencana merupakan salah satu lalu lintas dari suatu ruas jalan raya yang menampung lalu lintas terbesar (lajur dengan volume tertinggi). Umumnya lajur rencana adalah salah satu lajur dari jalan raya dua jalur atau tepi luar dari jalan raya yang berlajur banyak. Presentase kendaraan pada jalur rencana dapat juga diperoleh dengan melakukan survey lalu lintas. Jika jalan tidak memiliki tanda batas, maka jumlah lajur ditentukan dari lebar perkerasan menurut tabel berikut :
Tabel 3.5. Jumlah Lajur Berdasarkan Lebar Perkerasan dan Koefisiean Distribusi Kendaraan (C)
Sumber : Pedoman Perencanaan Perkerasan Jalan Beton Semen XX-2002
Tabel 3.6. Koefisien Distribusi Kendaraan
Jumlah Jalur Kendaraan Ringan* Kendaraan Berat**
1 arah 2 arah 1 arah 2 arah
1 jalur 1,00 1,00 1,00 1,00
2 jalur 0,60 0,50 0,70 0,50
3 jalur 0,40 0,40 0,50 0,475
4 jalur 0,30 0,45
5 jalur 0,25 0,425
6 jalur 0,20 0,40
* Berat total <5 ton, misalnya: Mobil Penumpang, Pick Up, Mobil Hantaran
** Berat total ≥ 5 ton, misalnya: bus, truck, tractor, semi trailer, trailer
Sumber : Pedoman Perencanaan Perkerasan Jalan Beton Semen XX-2002
6. Lalu Lintas Rencana
Lalu lintas rencana adalah jumlah kumulatif sumbu kendaraan niaga pada lajur rencana selama umur rencana. Meliputi proporsi sumbu serta distribusi beban pada setiap jenis sumbu kendaraan. Beban pda suatu jenis sumbu secara tipikal dikelompokan dalam interval 10 KN (1 ton) bila diambil dari survey beban.
Jumlah sumbu kendaraan niaga selama umur rencana dihitung dengan rumus berikut:
JKSN = JSKNH x 365 x R x C .....(3.8)
Dimana :
JSKN : Jumlah total sumbu kendaraan niaga selama umur rencana.
JSKNH : Jumlah total sumbu kendaraan niaga per hari pada saat jalan dibuka
R : Faktor pertumbuhan komulatif yang besarnya tergantung dari pertumbuhan lalu lintas tahunan dan umur rencana
C : Koefisien distribusi kendaraan
7. Faktor Keamanan Beban
Penentuan beban rencana, beban sumbu dikalikan dengan faktor kemanan beban (FKB). Faktor keamanan beban ini digunakan berkaitan dengan adanya berbagai tingkat relibilitas perencanaan seperti terlihat pada tabel:
Tabel 3.7. Faktor Keamanan Beban(Fkb)
Sumber : Pedoman Perencanaan Perkerasan Jalan Beton Semen XX-2002
8. Sambungan
Perkerasan kaku terdiri dari banyak unit pelat yang mempunyai sambungan baik memanjang maupun melintang, kecuali pada perkerasan rigid yang hanya mempunyai sambungan memanjang bila lebar lebih dari 6 m.
Sambungan pada perkerasan beton semen ditujukan untuk :
1. Membatasi tegangan dan pengendalian retak yang disebabkan oleh penyusutan, pengaruh lenting serta beban lalu lintas
2. Memudahkan pelaksanaan dan mengakomodasi gerakan pelat.
Pemasangan sambungan memanjang ditujukan untuk mengendalikan terjadinya retak memanjang. Jarak antar sambungan memanjang sekitar 3-4m.
Ukuran batang pengikat dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
At = 204 x b x h dan .......(3.9)
l = (38,3 x Φ) + 75 .... (3.10)
Dimana:
At = luas penampang tulangan (mm2)
b = Jarak terkecil antar sambungan (m)
h = Tebal pelat (m)
l = Panjang batang pengikat yang dipilih (mm)
Φ = Diameter batang pengikat (mm)
Jarak sambungan susut melintang untuk perkerasan beton bersambung tanpa tulangan sekitar 4-5m. Sambungan ini harus dilengkapi ruji polos panjang 45cm, jarak antara ruji 30cm.
Tabel 3.8. Diameter Ruji
Sumber : Pedoman Perencanaan Perkerasan Jalan Beton Semen XX-2002
9. Penulangan
Besi tulangan dapat berupa tulangan baja yang telah dipabrikasi atau hot rolled steel bar (baik grade 250 maupun grade 460) atau colt rolled steel bar. Jika tulangan berbentuk lembaran yang difabrikasi digunakan, tulangan harus dilebihkan antara satu lempengan tulangan dengan yang lain pada sambungan. Tulangan dipasang dengan penyangga ditahan pada posisi yang diinginkan, diukur dari permukaan pembetonan sebagai berikut:
1) 60 ± 10 mm dibawah permukaan beton, untuk tebal pelat kurang dari 270 mm.
2) 70 ± 10 mm dibawah permukaan beton, untuk tebal pelat 270 mm atau lebih.
10. Kekuatan Struktur Perkerasan Kaku
Struktur kekuatan perkerasan rigid dirancang berdasarkan jumlah repetisi beban sumbu standar, dan pada akhir umur rencana diperkirakan akan mengalami batas kerusakan yang diijinkan. Perkerasan rigid hanya mengandalkan kekuatan struktur pelat beton semen. Pelat beton semen dirancang pada kekuatan tinggi dan mempunyai ketebalan struktur yang besar. Lapis atas merupakan pelat beton semen yang dihampar diatas lapis pondasi.
Gambar 3.7. Grafik PenentuanTtebal Slab Beton,Fcf = 4,25MPa, Lalu lintas Dalam kota, dengan Ruji, FKB= 1,1
Sumber : Pedoman Perencanaan Perkerasan Jalan Beton Semen XX-2002
Gambar 3.8. Grafik Penentuan Tebal Slab Beton,Fcf = 4,25MPa, Lalu lintas Dalam Kota, dengan Ruji, FKB= 1,2
Sumber : Pedoman Perencanaan Perkerasan Jalan Beton Semen XX-2002
Gambar 3.9. Grafik Penentuan Analisis Fatik dan Beban Repetisis Ijin berdasarkan Rasio Tegangan, dengan atau Tanpa Bahu.
Sumber : Pedoman Perencanaan Perkerasan Jalan Beton Semen XX-2002
Gambar 3.10. Grafik Penentuan Analisis Erosi dan Jumlah Repetisi Beban ijin, Berdasarkan Faktor Erosi, Tanpa Bahu Beton
Sumber : Pedoman Perencanaan Perkerasan Jalan Beton Semen XX-2002
Gambar 3.11. Grafik Penentuan Analisis Erosi dan Jumlah Repetisi Beban Ijin, berdasarkan Faktor Erosi, dengan Bahu Beton
Sumber : Pedoman Perencanaan Perkerasan Jalan Beton Semen XX-2002
10. Analisa Rencana Anggaran Biaya
Rencana anggaran biaya merupakan perhitungan banyaknya biaya yang diperlukan untuk bahan dan upah, serta biaya-biaya lain yang berhubungan dengan pelaksanaan proyek pembangunan. Faktor yang berpengaruh terhadap penyusunan anggaran biaya suatu bangunan adalah faktor teknis dan faktor nonteknis. Faktor teknis berupa ketentuan-ketentuan dan persyaratan yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan pembangunan serta gambar-gambar konstruksi bangunan. Faktor non teknis berupa harga-harga bahan bangunan dan upah tenaga kerja.
RAB = Σ(Volume x Harga Satuan Pekerjaan)
Menyusun RAB diperlukan jumlah volume per satuan pekerjaan dan analisa harga satuan pekerjaan berdasarkan data-data dan hasil perhitungan berdasarkan teori dan analisa yang berlaku. Harga satuan pekerjaan adalah jumlah harga bahan dan upah tenaga kerja atau harga yang akan dibayar untuk menyelesaikan suatu pekerjaan konstruksi berdasarkan perhitungan analisis.
a. Analisis Harga Satuan Upah
Sistem pengupahan menggunakan satuan upah berupa orang hari standar, yaitu sama dengan upah pekerjaan dalam 1 hari kerja (8 jam kerja termasuk istirahat 1 jam). Perhitungan produktifitas tenaga kerja sebagai berikut:
Pendukung peralatan pengaspalan digunakan tenaga kerja (dengan 7jam kerja efektif/hari):
1) Mandor : 1org x 7 jam = 7 jam
2) Pekerja terlatih : 4 org x 7 jam = 28 jam
3) Pekerja biasa : 10 org x 7 jam = 70 jam
Dari perhitungan produktivitas satu gugus alat pengaspalan didapat produktivitas 1 gugus alat AMP sebesar 175,105 m3/jam (Lihat perhitungan RAB AC-WC) Maka:
1) Produktivitas Mandor : 175,105 / 7 = 25,015 m3/jam
2) Pekerja terlatih : 175,105 / 28 jam = 6,25 m3/jam
3) Pekerja biasa : 175,105 / 70 jam = 2,5 m3/jam
Jadi koefisien untuk upah :
1) Mandor : 1/ 25,015 = 0,0399
2) Pekerja terlatih : 1/6,25 = 0,1599
3) Pekerja biasa : 1 / 2,5 = 0,3998
b. Analisis Harga Satuan Bahan atau Material
Perhitungan harga satuan bahan dilaksanakan berdasarkan hal-hal berikut:
1) Faktor kembang susut dan kehilangan bahan
2) Kuantitas (didapat dari spesifikasi teknis)
3) Harga satuan dasar bahan
Perhitungan yang dilakukan untuk mendapatkan kuantitas komponen bahan dalam satuannya masing-masing.
c. Analisis Harga Satuan Alat Berat
Perhitungan komponen alat didasarkan pada:
1) Jenis dan Kapasitas
2) Faktor efisiensi produksi
3) Waktu siklus kerja dan Kuantitas jam kerja
Perhitungan dilakukan untuk mendapatkan kuantitas jam kerja suatu jenis alat. Produksi peralatan dihitung berdasarkan volume persiklus waktu dan jumlah siklus dalam satu jam, secara umum dinyatakan dengan rumus:
Q = qxNxE = qx(60/Ws)x E ....(3.11)
Dimana:
Q : produksi per-jam dari alat (m3/jam, m/jam, m2/jam)
q : kapasitas alat per-siklus (m3, m2,m)
N : jumlah siklus dalam satu jam
E : efisiensi kerja total
Ws : waktu siklus (menit)
Tabel 3.9. Faktor Efisiensi Kerja Alat
Sumber: Panduan Analisa Harga Satuan Bina Marga Tahun 1995
Tabel 3.10. Faktor Bucket Untuk Wheel Loader
KONDISI PEMUATAN JENIS MATERIAL FAKTOR BUCKET
Pemuatan ringan Pemuaan material bahan dari stockpile atau material yang telah dikeruk oleh excavator lain, dengan tidak memerlukan lagi daya gali da bahan dapat dimuat munjung.Contoh: Pasir, tanah berpasir tanah colloidal dengan kadar air sedang 1,00 ÷ 0,80
Pemuatan sedang Pemuatan dari stockpile lepas yang lebih sukar dikeruk dan dimasukkan ke dalam bucket tapi dapat dimuat hamper munjung. Contoh : Pasir kering, tanah berpasir, tanah campur tanah liat, gravel yang belum disaring, pasir padat. 0,80 ÷ 0,60
Pemuatan yang agak sulit Pemuatan batu belah atau batu cadas belah, tanah liat yang keras, pasir campur gravel, tanah berpasir tanah liat dengan kadar air yang tinggi, bahan bahan tersebut telah ada pada stockpile sulit untuk mengisi bucket dengan material material tersebut 0,60 ÷ 0,50
Pemuatan yang sulit Batu bongkahan besar besar dengan bentuk yang tidak beraturan dengan banyak ruangan diantara tumukannya, batu hasil ledakan, batu bundar yang besar besar,tanah bercampur lempung. 0,50 ÷ 0,40
Sumber: Panduan Analisa Harga Satuan Bina Marga 1995
Tabel 3.11. Faktor Bucket untuk Penggusuran dengan Bulldozer
KONDISI PEMUATAN JENIS MATERIAL FAKTOR BUCKET
Pemuatan ringan Pemuaan material bahan dari stockpile atau material yang telah dikeruk oleh excavator lain, dengan tidak memerlukan lagi daya gali da bahan dapat dimuat munjung.Contoh: Pasir, tanah berpasir tanah colloidal dengan kadar air sedang 1,00 ÷ 0,80
Pemuatan sedang Pemuatan dari stockpile lepas yang lebih sukar dikeruk dan dimasukkan ke dalam bucket tapi dapat dimuat hamper munjung. Contoh : Pasir kering, tanah berpasir, tanah campur tanah liat, gravel yang belum disaring, pasir padat. 0,80 ÷ 0,60
Pemuatan yang agak sulit Pemuatan batu belah atau batu cadas belah, tanah liat yang keras, pasir campur gravel, tanah berpasir tanah liat dengan kadar air yang tinggi, bahan bahan tersebut telah ada pada stockpile sulit untuk mengisi bucket dengan material material tersebut 0,60 ÷ 0,50
Pemuatan yang sulit Batu bongkahan besar besar dengan bentuk yang tidak beraturan dengan banyak ruangan diantara tumukannya, batu hasil ledakan, batu bundar yang besar besar,tanah bercampur lempung. 0,50 ÷ 0,40
Sumber: Panduan Analisa Harga Satuan Bina Marga1995
Tabel 3.12. Faktor Bucket untuk Excavator
KONDISI PEKERJAAN JENIS MATERIAL FAKTOR BUCKET
Penggalian dan pemuatan ringan Menggali dan memuat dengan stockpile atau material yang telah dikeruk oleh excavator lain dengan tidak memerlukan lagi daya gali dan bahan dapat dimuat munjung ke dalam bucket. Contoh : pasir, tanah berpasir, tanah colloidal dengan kadar air sedang. 1,00 ÷ 0,80
Penggalian dan pemuatan sedang Menggali dan memuat stockpile lepas dari tanah yang sulit untuk digali dan dikeruk tetapi dapat dimuat hamper munjung. Contoh: pasir kering, tanah berpasir, gravel yang belum disaring, pasir padat dan sebagainya. 0,80 ÷ 0,60
Penggalian dan pemuatan yang agak sulit Menggali dan memuat batu batu pecah, tanah liat yang keras, pasir campur kerikil, tanah berpasir, tanah colloidal, tanah liat dengan kadar air yang tinggi yang sulit untuk mengisi bucket. 0,60 ÷ 0,50
Penggalian dan pemuatan yang sulit Batu bongkahan besar besar dengan bentuk yang tidak beraturan dengan banyak ruangan diantara tumukannya, batu hasil ledakan, batu bundar yang besar besar,tanah bercampur lempung 0,50 ÷ 0,40
Sumber: Panduan Analisa Harga Satuan Bina Marga 1995
Tabel 3.13. Faktor Posisi untuk Excavator
POSISI ALAT KONDISI LOKASI FAKTOR POSISI
Baik Luas, lapang ,datar 1,00 ÷ 0,90
Sedang Terbatas, agak miring 0,90 ÷ 0,70
Sulit Sempit, miring 0,70 ÷ 0,50
Sumber: Panduan Analisa Harga Satuan Bina Marga 1995
Tabel 3.14. Faktor Sudut untuk Bulldozer
KONDISI PENGGUSURAN JENIS MATERIAL FAKTOR BUCKET
Penggusuran ringan Penggusuran dapat dilaksanakan dengan sudut penuh. Contoh: tanah lepas kadar air rendah, tanah berpasir tak dipadatkan, tanah biasa 1,10 ÷ 0,90
Penggusuran sedang Tanah lepas tetapi tidak mungkin menggusur dengan sudut penuh. Contoh: tanah bercampur kerikil atau split, batu pecah 0,90 ÷ 0,70
Penggusuran yang agak sulit Kadar air tinggi dan tana liat, pasir bercampur kerikil, tanah liat yang sangat kering, dan tanah asli. 0,70 ÷ 0,60
Penggusuran yang sulit Batu batu hasil ledakan, batu batu berukuran besar. 0,60 ÷ 0,40
Sumber: Panduan Analisa Harga Satuan Bina Marga 1995
G. Kriteria Perencanaan Perkerasan Lentur
1. Struktur Perkerasan Lentur
Konstruksi jalan terdiri dari tanah dan perkerasan jalan. Penetapan besaran rencana tanah dasar dan material-material yang akan menjadi bagian dari konstruksi perkerasan, harus didasarkan atas penilaian hasil survey dan penyelidikan laboratorium oleh seorang ahli.
Bagian perkerasan jalan pada umumnya meliputi: lapis pondasi bawah (Sub Base Course), lapis pondasi atas (Base Course), dan lapis permukaan (Surface Course)
Gambar 3.12. Tipikal Penampang Melitang Perkerasan
Lentur Jalan (Wright 1996)
a. Tanah Dasar
Kekuatan dan keawetan konstruksi perkerasan jalan sangat tergantung dari sifat-sifat dan daya dukung tanah dasar. Penentuan daya dukung tanah dasar berdasarkan evaluasi hasil pemeriksaaan laboratorium tidak dapat mencakup secara detail (tempat demi tempat), sifat-sifat dan daya dukung tanah dasar sepanjang suatu bagian jalan. Koreksi perlu dilakukan baik dalam tahap perencanaan detail maupun pelaksanaan, disesuaikan dengan kondisi setempat.
b. Lapis Pondasi Bawah (Sub Base Course)
Fungsi lapis pondasi bawah antara lain:
1) Bagian dari konstruksi perkerasan untuk mendukung dan menyebarkan beban roda.
2) Mencapai efisiensi penggunaan material yang relatif murah agar lapisan-lapisan selebihnya dapat dikurangi tebalnya (penghematan biaya konstruksi).
3) Mencegah tanah dasar masuk kedalam lapisan pondasi.
4) Lapis pertama agar pelaksanaan dapat berjalan lancar. Berhubungan dengan terlalu lemahnya daya dukung tanah dasar terhadap roda-roda alat-alat besar atau karena kondisi lapangan yang memaksa harus segera menutup tanah dasar dari pengaruh cuaca.
Lapis pondasi bawah sebaiknya dibuat segera setelah pekerjaan pembentukan selesai, untuk mencegah kerusakan lapis pembentukan,akibat:
1) Hujan, yang dapat mengakibatkan permukaan yang tidak terlindung menjadi lunak dan bahkan tererosi; atau
2) Sinar matahari, yang dapat mengakibatkan pengeringan permukaan dan menimbulkan retak pada lapis tanah dasar.
Lapis pondasi bawah harus diteruskan sejauh mungkin dari garis kerb sampai kesaluran samping, hal ini membantu penyaluran air permukaan selam pelaksanaan konstruksi dan memungkinkannya mengalir jauh dari struktur jalan utama dan untuk menyokong kerb.
c. Lapis Pondasi (Base Course)
Fungsi lapis pondasi adalah:
1) Bagian perkerasan yang menahan beban roda.
2) Perletakan terhadap lapis permukaan.
Bahan-bahan untuk lapis pondasi umumnya harus cukup kuat dan awet sehingga dapat menahan beban-beban roda. Bermacam-macam bahan alam/bahan setempat (CBR≥50%, PI ≤4%) dapat digunakan sebagai bahan lapis pondasi, antara lain: batu pecah, kerikil pecah, stabilisasi tanah dengan semen atau kapur.
d. Lapis Permukaan (Surface Course)
Fungsi lapis permukaan antara lain:
1) Bagian perkerasan untuk menahan beban roda.
2) Lapisan rapat air untuk melindungi badan jalan dari kerusakan akibat cuaca.
3) Lapisan aus (wearing course)
Bahan untuk lapis permukaan umunya adalah sama dengan bahan untuk lapis pondasi, dengan persyaratan yang lebih tinggi. Penggunaan bahan aspal diperlukan agar lapisan dapat bersifat kedap air, disamping itu bahan aspal sendiri memberikan bantuan tegangan tarik, sehingga mempertinggi daya dukung lapisan terhadap beban roda lalu lintas.
2. Konsep Perancangan Tebal Perkerasan Lentur
Tahapan dalam perencanaan perkerasan lentur berdasarkan (Pedoman Penentuan Tebal Perkerasan Lentur, Dep. PU) adalah sebagai berikut :
a. Daya Dukung Tanah Dasar
Daya dukung tanah dasar ditentukan berdasarkan rumus dibawah :
DDT = 4,3 log (CBR) + 1,7 ....(3.12)
b. Faktor Regional
Faktor Regional ini digunakan sebagai faktor koreksi. Faktor regional yang digunakan hanya dipengaruhi oleh bentuk alinyemen (kelandaian dan tikungan), persentase kendaraan berat dan yang berhenti, serta iklim (curah hujan) sebagai berikut:
Tabel 3.15. Faktor Regional (FR)
Kelandaian I (<6%) Kelandaian II (<6-10%) KelandaianIII (>10%)
% Kendaraan Berat % Kendaraan Berat % Kendaraan Berat
≤ 30% > 30% ≤ 30% > 30% ≤ 30% > 30%
IklimI <900mm/th 0,5 1,0-1,5 1,0 1,5-2,0 1,5 2,0-2,5
IklimII ≥900mm/th 1,5 2,0-2,5 2,0 2,5-3,0 3,0-3,5
Sumber:Pedoman Penentuan Tebal Perkerasan Lentur Metode Analisa Komponen 1987
c. Indeks Permukaan
Indeks Permukaan adalah nilai kerataan atau kehalusan serta kekokohan permukaan yang berhubungan dengan tingkat pelayanan bagi lalu lintas yang lewat.
Tabel 3.16. Indeks Permukaan pada Akhir Umur Rencana (UR) (IPt)
LER =Lintas Ekivalen Rencana* Klasifikasi Jalan
Lokal Kolektor Arteri Tol
< 10
10-100
100-1000
>1000 1,0-1,5
1,5
1,5-2,0
- 1,5
1,5-2,0
2,0
2,0-2,5 1,5-2,0
2,0
2,0-2,5
2,5 -
-
-
2,5
* LER dalam satuan angka ekivalen 8,16 ton beban sumbu tunggal
Sumber:Pedoman Penentuan Tebal Perkerasan Lentur Metode Analisa Komponen 1987
Dalam menentukan indeks permukaan pada awal rencana (IPo), perlu diperhatikan jenis lapis permukaan jalan (kerataan/kehalusan serta kekokohan) pada awal umur rencana, menurut daftar dibawah ini :
Tabel 3.17. Indeks Permukaan pada Awal Umur Rencana (UR) (IPo)
Jenis Lapis Perkerasan IPo Roughness (mm/km)
LASTON
Asbuton/HRA
BURDA
BURTU
LAPEN
Lapis Pelindung
Jalan Tanah
Jalan Kerikil ≥ 4
3,9-3,5
3,9-3,5
3,4-3,0
3,9-3,5
3,4-3,0
3,4-3,0
2,9-2,5
2,9-2,5
≤ 2,4
≤ 2,4 ≤ 1000
> 1000
≤ 2000
> 2000
≤ 2000
>2000
≤ 3000
> 3000
Sumber:Pedoman Penentuan Tebal Perkerasan Lentur Metode Analisa Komponen 1987
d. Angka Ekivalen
Angka ekivalen (E) masing-masing golongan beban sumbu (setiap kendaraan) ditentukan menurut rumus dasar dibawah ini:
Angka ekivalen = K ….(3.13)
e. Lalu Lintas
1) Lalu lintas harian rata-rata (LHR) setiap jenis kendaraan ditentukan pada awal umur rencana, yang dihitung untuk dua arah pada jalan tanpa median atau masing-masing arah pada jalan dengan median.
2) Lintas Ekivalen Permukaan (LEP)
Lintas Ekivalen Permukaan (LEP) dihitung dengan rumus sebagai berikut:
3) Lintas Ekivalen Akhir (LEA)
Lintas Ekivalen Akhir (LEA)dihitung dengan rumus sebagai berikut:
4) Lintas Ekivalen Tengah (LET)
Lintas Ekivalen Tengah (LET) dihitung dengan rumus sebagai berikut:
5) Lintas Ekivalen Rencana (LER)
Lintas Ekivalen Rencana (LER) dihitung dengan rumus sebagai berikut:
LER = LET x FP
Faktor penyesuaian (FP) tersebut diatas ditentukan dengan rumus :
FP = UR/10
f. Penentuan Tebal Perkerasan
1) Indeks Tebal Perkerasan
Indeks tebal perkerasan dinyatakan dengan rumus :
ITP = a1D1 + a2D2 + a3D3 ...(3.14)
a1 a2 a3 = Koefisien kekuatan relatif bahan-bahan perkerasan
D1 D2 D3 = Tebal masing-masing lapis perkerasan (cm)
Angka 1,2,3 berarti lapis permukaan, lapis pondasi dan lapis pondasi bawah.
g. Koefisien Kekuatan Relatif (a)
Koefisien kekuatan relatif (a) diperoleh berdasarkan jenis lapisan perkerasan yang digunakan. Pemilihan jenis lapisan perkerasan ditentukan dari :
1. Material yang tersedia.
2. Dana awal yang tersedia
3. Tenaga kerja dan peralatan yang tersedia
4. Fungsi jalan
Koefisein kekuatan relatif masing-masing bahan dan kegunaannya sebagai lapis permukaan, pondasi, pondasi bawah, ditentukan secara korelasi sesuai dengan nilai mashall test (untuk bahan dengan aspal), kuat tekan (untuk bahan yang distabilisasi dengan semen atau kapur), atau CBR (untuk bahan lapis pondasi bawah). Besarnya koefisien kekuatan relatif ditentukan oleh tabel di bawah ini :
Tabel 3.18. Koefisien Kekuatan Relatif (a)
Koefisien kekuatan Relatif Kekuatan Bahan Jenis Bahan
a1 a2 a3 MS (kg) Kt (kg/cm2) CBR %
0,40
0,35
0,32
0,30
0,35
0,31
0,28
0,26
0,30
0,26
0,25
0,20
0,28
0,26
0,24 744
590
454
340
744
590
454
340
340
340
590
454
340
LASTON
ASBUTON
Hot Rolled Asphalt
Aspal Macadam
LAPEN (Mekanis)
LAPEN (Manual)
LASTON ATAS
0,23
0,19
0,15
0,13
0,15
0,13
0,14
0,12
0,14
0,13
0,12
0,13
0,12
0,11
0,10
22
18
22
18
100
60
100
80
60
70
50
30
20 LAPEN (Mekanis)
LAPEN (Manual)
Stab. tanah dengansemen
Stab. Tanah dengan kapur
Pondasi Macadam (basah)
Pondasi Macadam (kering)
Batu Pecah (kelas A)
Batu Pecah (kelas B)
Batu Pecah (kelas C)
Sirtu/pitrun (kelas A)
Sirtu/pitrun (kelas B)
Sirtu/pitrun (kelas C)
Tanah/Lempung kepasiran
Sumber:Pedoman Penentuan Tebal Perkerasan Lentur Metode Analisa Komponen 1987
h. Persamaan Bina Marga
Penentuan nilai ITP selain menggunakan grafik juga ada dengan menguunakan rumus. ITP (indeks tebal perkerasan) suatu perkerasan di Indonesia biasanya digunakan rumus persamaan Bina Marga pada dasarnya bersumber dari rumus AASHTO. Kemudian rumus tersebut disesuaikan dengan kondisi yang ada di indonesia yaitu dengan menyesuaiakan beberapa parameternya.
Persamaan Metode Analisa Komponen Bina Marga’2002 adalah :
…(3.15)
Dimana :
LER = Lintas Ekivalen Rencana
ITP = Indeks Tebal Perkerasan
IPo = Indeks Permukaan pada Awal Umur Rencana
IPt = Indeks Permukaan pada Akhir Umur Rencana
FR = Faktor Regional
DDT = Daya Dukung Tanah
LER x 3650 = Komulatif Rencana Selama Umur Rencana atau N
Dengan mengacu kepada persamaan dasar MAK tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa umur rencana jalan yang lebih akurat adalah bukan dari penentuan tahun UR tetapi dari Jumlah Komulatif ESAL selama umur rencana atau dalam persamaan di atas dinyatakan dengan LER x 3650. Besar LER x 3560 ini merupakan pendekatan dari bentuk kurva hubungan antara LEP, LEA dan UR yang dapat diuraikan sebagai berikut :
i(%)
LEP LEA
UR
Gambar 3.13. Kurva Komulatif ESAL
Sumber: Bina Marga
Dimana :
LEP = Lintas Ekivalen Permulaan
LEA = Lintas Ekivalen Akhir
I = Pertumbuhan Lalu Lintas (%)
H. Rencana Anggaran Biaya
Rencana anggaran biaya merupakan perhitungan banyaknya biaya yang diperlukan untuk bahan dan upah, serta biaya-biaya lain yang berhubungan dengan pelaksanaan proyek pembangunan. Faktor yang berpengaruh terhadap penyusunan anggaran biaya suatu bangunan adalah faktor teknis dan faktor nonteknis. Faktor teknis berupa ketentuan-ketentuan dan persyaratan yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan pembangunan serta gambar-gambar konstruksi bangunan. Faktor non teknis berupa harga-harga bahan bangunan dan upah tenaga kerja.
RAB = Σ(Volume x Harga Satuan Pekerjaan) ......(3.16)
Menyusun RAB diperlukan jumlah volume per satuan pekerjaan dan analisa harga satuan pekerjaan berdasarkan data-data dan hasil perhitungan berdasarkan teori dan analisa yang berlaku. Harga satuan pekerjaan adalah jumlah harga bahan dan upah tenaga kerja atau harga yang akan dibayar untuk menyelesaikan suatu pekerjaan konstruksi berdasarkan perhitungan analisis.
1. Analisis Harga Satuan Upah
Sistem pengupahan menggunakan satuan upah berupa orang hari standar, yaitu sama dengan upah pekerjaan dalam 1 hari kerja (8 jam kerja termasuk istirahat 1 jam). Perhitungan produktifitas tenaga kerja sebagai berikut:
Pendukung peralatan pengaspalan digunakan tenaga kerja (dengan 7jam kerja efektif/hari):
a) Mandor : 1org x 7 jam = 7 jam
b) Pekerja terlatih : 4 org x 7 jam = 28 jam
c) Pekerja biasa : 10 org x 7 jam = 70 jam
Dari perhitungan produktivitas satu gugus alat pengaspalan didapat produktivitas 1 gugus alat AMP sebesar 175,105 m3/jam (Lihat perhitungan RAB AC-WC) Maka:
a) Produktivitas Mandor : 175,105 / 7 = 25,015 m3/jam
b) Pekerja terlatih : 175,105 / 28 jam = 6,25 m3/jam
c) Pekerja biasa : 175,105 / 70 jam = 2,5 m3/jam
Jadi koefisien untuk upah :
a) Mandor : 1/ 25,015 = 0,0399
b) Pekerja terlatih : 1/6,25 = 0,1599
c) Pekerja biasa : 1 / 2,5 = 0,3998
2. Analisis Harga Satuan Bahan atau Material
Perhitungan harga satuan bahan dilaksanakan berdasarkan hal-hal berikut:
a) Faktor kembang susut dan kehilangan bahan
b) Kuantitas (didapat dari spesifikasi teknis)
c) Harga satuan dasar bahan
Perhitungan yang dilakukan untuk mendapatkan kuantitas komponen bahan dalam satuannya masing-masing.
3. Analisis Harga Satuan Alat Berat
Perhitungan komponen alat didasarkan pada:
a) Jenis dan Kapasitas
b) Faktor efisiensi produksi
c) Waktu siklus kerja dan Kuantitas jam kerja
Perhitungan dilakukan untuk mendapatkan kuantitas jam kerja suatu jenis alat. Produksi peralatan dihitung berdasarkan volume persiklus waktu dan jumlah siklus dalam satu jam, secara umum dinyatakan dengan rumus:
Q = qxNxE = qx(60/Ws)x E .....(3.17)
Dimana:
Q : produksi per-jam dari alat (m3/jam, m/jam, m2/jam)
q : kapasitas alat per-siklus (m3, m2,m)
N : jumlah siklus dalam satu jam
E : efisiensi kerja total
Ws : waktu siklus (menit)
I. Damage Factor Cost (DFC)
Damage Factor Cost (DFC) adalah biaya yang ditimbulkan akibat kerusakan jalan oleh lalu lintas dan dalam penelitian ini perhitungan DFC didasari atas kendaraan berat (truk) overloading. Untuk menghitung besaran DFC sepanjang ruas jalan yang dilewati, terlebih dahulu dihitung FC truk per ESAL pada kondisi normal dengan mempertimbangkan repetisi beban truk overloading pada ruas Jalan Cikande – Rangkasbitung. Kerusakan jalan akibat beban muatan lebih menyebabkan tambahan biaya (additional cost) terhadap biaya penanganan kerusakan dan biaya operasional kendaraan itu sendiri.
J. Defisit Design Life Cost (DDLC)
Alokasi anggaran penanganan jalan dilakukan untuk menangani ruas Jalan Cikande – Rangkasbitung sedemikian rupa sehingga umur rencana ruas jalan tersebut mampu melayani arus lalu lintas sesuai umur rencana. Namun kondisi kendaraan berat (truk) overloading telah mengakibatkan umur rencana jalan tidak tercapai atau umur pelayanannnya lebih kecil dari umur yang direncanakan semula. Biaya akibat penurunan umur pelayanan jalan dari yang ditargetkan, berdasarkan penurunan UR menjadi UP selama (UR-UP) tahun, sehingga disebut sebagai Defisit Design Life Cost (DDLC).
DDLC = (MC overload)-(MC normal) .......(3.18)
Dimana :
DDLC = Defisit Design Life Cost, kerugian biaya akibat pengurangan dari UR ke UP.
MC normal = Biaya penanganan kerusakan jalan pada kondisi muatan normal baik pemeliharaan rutin dan berkala maupun peningkatan jalan.
MCoverload = Biaya penanganan kerusakan jalan pada kondisi muatan lebih, baik pemeliharaan rutin dan pemeliharaan berkala maupun peningkatan jalan.
UP = Umur rencana jalan yang terjadi (tahun )
UR = Umur rencana jalan yang ditargetkan (tahun)
No comments:
Post a Comment