Aliansi Wahabi dan Dinasti Al-Saud I
Muasal Aliansi Wahabi-Sa`udi
Imperium Usmaniyah & Jazirah Arabia
Secara nominal, sebagian besar wilayah yang sekarang dikenal sebagai Kerajaan Sa`udi Arabia (KSA) adalah bagian dari Imperium Usmaniah atau Khilafah Usmaniah (KU). KU menjadi penguasa di wilayah tersebut setelah Dinasti Mamluk melemah pada awal abad XVI. Raja Mamluk terakhir menyerahkan kunci Mekkah kepada Sultan Salim I dari KU pada 1517. Ini menandai kekuasaan Sultan Usmaniyah di wilayah Hijaz. Kemudian, pada 1534 KU menguasai Baghdad dan lembah Eufrat sampai daerah Timur Jazirah Arabia. Pemberontakan Banu Khalid pada 1670 berhasil mengusir KU dan baru dua abad kemudian KU kembali mengguasai wilayah Timur Arabia.
Akan tetapi, wilayah pedalaman Jazirah Arabia, yang dikenal dengan Najd, tidak pernah dikuasai KU. Najd tetap dikuasai Amir-amir setempat. Begitu pula, konfederasi suku-suku yang ada di Najd tetap memiliki otonomi dan kemerdekaan dari penguasa-penguasa luar, apakah itu KU, penguasa Hijaz (Syarif), maupun Banu Khalid di wilayah Timur Jazirah Arabia. Najd sendiri tidak begitu menarik bagi penguasa-penguasa dari luar ini. Selain karena daerahnya hanya menghasilkan sedikit surplus korma dan ternak, perdagangan juga tidak makmur.
Dir`iyyah dan `Uyaynah, Najd
Salah satu pemukiman di Najd adalah Dir`iyyah. Ini pemukiman kecil – paling-paling 70 keluarga yang terdiri dari petani, pedagang, pekerja, tokoh agama, dan budak. Sejak tahun 1727, Dir`iyyah diperintah oleh Muhammad ibn Sa`ud (wafat 1765) dari klan Al-Sa`ud. Klan ini menguasai oase, ladang pertanian, dan sumur-sumur di Dir`iyyah. Selain itu, klan al-Sa`ud juga berhasil mempertahankan pemukiman dari serangan amir-amir oase atau konfederasi suku-suku lain. Karenanya, penduduk membayar upeti kepada klan al-Sa`ud.
Kendati demikian, klan al-Sa`ud bukanlah klan yang kuat dan kaya. Malahan, menurut Madawi al-Rasheed, penulis A History of Sa`udi Arabia, klan Sa`ud tidak memiliki asal-usul kesukuan yang jelas. Salah satu teori mengatakan klan al-Sa`ud hanyalah pendiri pemukiman Dir`iyyah yang tidak memiliki ikatan yang kuat dengan konfederasi suku-suku setempat. Selain itu, surplus kekayaan mereka – dari memungut pajak dan upeti maupun dari perdagangan – tidak seberapa besar. Akibatnya, kemampuan mereka untuk menguasai jalur kafilah perdagangan maupun pemukiman-pemukiman lain terbatas.
Nasib mereka berubah setelah mereka bergabung dengan Wahabiyah. Pendiri gerakan ini, Muhammad ibn Abd al-Wahhab berasal dari Banu Tamim, salah satu suku di Najd, yang menetap di `Uyaynah. Ia berasal dari keluarga ulama, tetapi tidak kaya. Salah satu riwayat menyebutkan ia mempunyai tiga istri, sebidang kebun korma, dan sepuluh atau dua puluh lembu. Ia pernah pergi ke Madinah, Basrah dan Hasa (di Timur Jazirah Arabia, tempat Banu Khalid). Sepulang dari sekolah, ia kembali ke `Uyaynah.
Amir `Uyaynah, Usman ibn Mu`ammar, pada mulanya memberi ruang gerak bagi al- Muhammad ibn Abd al-Wahhab dan ajaran barunya. Akan tetapi, tidak lama kemudian, Muhammad ibn Abd al-Wahhab menimbulkan keributan. Ia menghukum orang yang tidak mau shalat jamaah, ikut merajam seorang perempuan yang selingkuh, dan banyak ulama menentang aliran baru tersebut dan kuatir ajarannya meluas. Amir `Uyaynah tidak senang, begitu pula Banu Khalid yang berkuasa di Hasa, dan banyak amir lain di Najd. Mereka meminta Amir `Uyaynah supaya membunuh Muhammad ibn Abd al-Wahhab. Akan tetapi, karena takut terjadi kerusuhan, Amir hanya meminta Muhammad ibn Abd al-Wahhab dan keluarganya supaya pergi. Muhammad ibn Abd al-Wahhab pergi ke Dir`iyyah, kurang lebih 60 km dari `Uyaynah.
Aliansi al-Wahhab-al-Sa`ud
Muhammad ibn Sa`ud menerima Muhammad ibn Abd al-Wahhab dan memberinya perlindungan dari musuh-musuhnya.
Muhammad ibn Sa`ud menyambut Muhammad ibn Abd al-Wahhab dan mengatakan, ‘Oasis ini adalah milikmu, jangan takut pada musuh-musuhmu. Demi Allah, walaupun seluruh Najd berkumpul untuk mengusirmu, kami tidak akan setuju.’ Muhammad ibn Abd al-Wahhab membalas, ’Kamu adalah penguasa di pemukiman ini dan orang yang bijaksana. Saya minta engkau bersumpah bahwa engkau akan melaksanakan jihad terhadap orang-orang kafir. Sebagai gantinya, engkau akan menjadi imam, pemimpin masyarakat Muslim, dan aku akan menjadi pemimpin di bidang agama.’ (Al-Rasheed, 2002: 17).
Pada tahun 1744, kemitraan al-Wahhab dengan Muhammad ibn Sa`ud dimulai lewat upacara sumpah yang menetapkan Ibn Sa`ud sebagai amir (pemimpin sekular) dan al-Wahhab menjadi imam – dan kemudian berubah menjadi Syeikh al-Imam. Putra tertua Muhammad ibn Sa`ud, Abd al-Aziz ibn Sa`ud dinikahkan dengan putri al-Wahhab. Muhammad ibn Abd al-Wahhab mulai menyebarkan ajarannya di masyarakat Dir`iyyah dan yang malas mengikuti pengajiannya disuruh membayar denda atau mencukur jenggot. Dinasti Sa`ud-Wahhabi pun terbentuk, demikian pula dinasti yang nanti menjadi penguasa Sa`udi Arabia (Allen, 2006: 52).
Al-Rasheed menyebutkan beberapa faktor di balik keberhasilan Muhammad ibn Abd al-Wahhab mendapatkan kepercayaan dari klan Al-Sa`ud. Ajaran baru tersebut dapat menjadi sumber legitimasi bagi penguasa Dir`iyyah. Selain itu, Muhammad ibn Abd al-Wahhab menjanjikan mereka kekayaan lewat zakat yang diperoleh seiring dengan perluasan pengaruh Wahabiyah. Akhirnya, persaingan amir `Uyaynah dan Dir`iyyah juga memainkan peran. Pemukiman Dir`iyyah yang kecil dan tidak berpengaruh ingin menyaingi `Uyaynah yang ketika itu lebih penting di bidang ekonomi dan politik.
Gerakan Wahabiyah dan dinasti Sa`ud sejak kemunculannya berusaha menundukkan suku-suku di jazirah Arab di bawah bendara Wahabi/Sa`udi. Menyamun, menyerang, dan menjarah suku tetangga adalah praktik yang luas dilakukan suku-suku Badui di Jazirah Arab sepanjang sejarahnya. Pada tahun 1746 Imam al-Wahhab mengeluarkan proklamasi jihad terhadap siapa saja yang menentang al-Da`wa lil-Tauhid. Gazwah mulai dilangsungkan ke daerah suku-suku yang sekarang dinyatakan kafir – biasanya dengan menyerang yang lebih lemah terlebih dahulu dan mengadakan kesepakatan nonagresi dengan suku yang kuat (Allen, 2006: 54-55).
Kelompok-kelompok suku di Najd yang bergabung dengan sekte Wahabi tidak hanya berjihad menyebarkan paham Wahabiyah. Melalui jihad, mereka juga memperoleh pendapatan dan pampasan perang dari penaklukan, penjarahan, dan pembunuhan yang mereka lakukan. Sebanyak seperlima dari perolehan tersebut diberikan kepada amir dan sisanya dibagi oleh suku-suku yang ikut berjihad. Kaum ulama mendapatkan zakat sebagaimana biasa. Jadi, semua mendapat bagian (Allen, 2006: 55).
Pada tahun 1765, Muhammad ibn Sa`ud dibunuh ketika sembahyang. Ia digantikan putranya, Abd al-Aziz ibn Sa`ud. Abd al-Aziz melanjutkan, dan dalam banyak hal, meningkatkan peperangan dan penyergapan yang dimulai ayahnya, dengan bantuan mertuanya, Muhammad ibn Abd al-Wahhab. Mertua dan menantu ini memperkenalkan senjata api kepada para pengikut mereka, dan mengajari mereka bagaimana menggunakannya sebagai pengganti tombak dan pedang. Ia juga membentuk pasukan elit dengan persenjataan yang lebih memadai. Merekalah yang menjadi tulang punggung ghazwah yang dilancarkan ke berbagai kawasan di Jazirah Arab.
Tentu saja, ghazwah bukan hanya urusan militer. Muhammad ibn Abd al-Wahhab membekali setiap mujahidnya dengan firman atau printah tertulis yang ditujukan kepada penjaga pintu surga, yang memintanya supaya langsung memperkanankan pemegang firman supaya langsung masuk surga sebagai syahid. Kultus syahadah yang banyak dikenal di kalangan Syiah diadopsi juga oleh kalangan Wahabi dan menjadi salah satu daya gerak di balik ghazwah. “Dan dengan demikian mujahid Amir Abd al-Aziz ibn Sa`ud berada dalam situasi menang-menang: jika mereka menang di dalam perang, mereka mendapatkan keuntungan harta benda; jika mereka binasa, mereka langsung masuk surga” (Allen, 2006, 59).
Setiap suku yang belum masuk Wahabi diberi dua tawaran jelas: masuk Wahabi atau diperangi sebagai orang-orang musyrik dan kafir. Yang setuju harus mengucapkan bay`ah ketundukan dan menunjukkan loyalitas dengan bersedia ikut berjihad dan membayar zakat. Yang menentang akan diperangi dan dijarah. Tidak banyak yang bisa bertahan menghadapi kekuatan dan kebrutalan Amir Abd al-Aziz.. Pada 1773, tidak ada lagi lawan berarti di Najd dan kota Riyadh sudah menyerah. Hingga ia wafat pada 1806, Abd al-Aziz ibn Sa`ud menebar teror ke banyak wilayah Jazirah Arab sampai ke Oman dan Yaman di Selatan dan sampai ke Baghdad dan Damaskus di Utara.
Serangan ke Karbala, Mekkah, dan Madinah
Pada tahun 1802, putra tertua Abd al-Aziz yang bernama Sa`ud ibn Sa`ud menyerang Karbala – tempat paling suci umat Syiah. Mereka menjarah makam Imam Husein cucu Nabi dan putra Ali bin Abi Talib, membantai siapa saja yang merintangi jalan mereka. Mereka banyak mendapatkan pampasan perang – seperlimanya menjadi bagian Sa`ud, sisanya bagi pasukan dengan ketentuan pasukan berkuda mendapat dua kali bagian pasukan yang berjalan kaki. Kurang lebih lima ribu penduduk Karbala dibunuh, sehingga kabarnya sampai ke wilayah-wilayah lain di Turki, Persia, dan daerah Arab lainnya. Pemerintah Kekhalifahan Turki, Khalifah Mahmud II, kemudian dikecam karena gagal menjaga Makam Imam Husein (Allen, 2006: 63).
Pada tahun 1803-1804, pasukan Wahabi juga menyerbu Mekkah dan Medinah. Mereka membunuh syekh dan orang awam yang tidak bersedia masuk Wahabi. Perhiasan dan perabotan yang mahal dan indah – yang disumbangkan oleh banyak raja dan pangeran dari seluruh dunia Islam untuk memperindah banyak makam wali di seputar Mekkah dan Madinah, makam Nabi, dan Masjidil Haram – dicuri dan dibagi-bagi. Pada 1804, Mekkah jatuh ke tangah Wahabi. Dunia Islam guncang, lebih-lebih karena mendengar kabar bahwa makam nabi telah dinodai dan dijarah, rute jamaah haji ditutup, dan segala bentuk peribadatan yang tidak sejalan dengan praktik Wahabi dilarang (Allen, 2006: 64).
Abd al-Aziz, yang setelah kematian Muhammad ibn Abd al-Wahhab memegang dua gelar amir dan imam sekaligus, wafat pada 1806. Ia dibunuh ketika sedang sembahyang di masjid Dir`iyyah. Pembunuhnya adalah pengikut Syiah dari Karbala yang memburunya dalam rangka membalas dendam terhadap perbuatan pasukan Wahabi di Karbala. Ia digantikan oleh putranya, Sa`ud ibn Sa`ud yang berkuasa sampai 1814, yang digantikan putranya bernama Abdullah ibn Sa`ud.
Reaksi Konstantinopel
Dominasi Wahabi di tanah suci juga menjadi tantangan langsung terhadap otoritas Khalifah di Turki. Beberapa kali serangan dilancarkan oleh Khalifah dari Baghdad tetapi gagal. Muhammad Ali Pasya, wazir atau wakil Khalifah di Mesir, diserahi tanggungjawab mengambil alih Hijaz dan tanah suci dan mengembalikannya kepada Khalifah sebagai khadimul haramayn. Setelah gagal di tahun 1811, pada 1812 pasukan kekhalifahan Usmani dari Mesir tersebut berhasil menduduki Madinah. Pada tahun 1815, kembali pasukan dari Mesir menyerbu Riyadh, Mekkah, dan Jeddah. Kali ini pasukan Wahhabi kucar-kacir.
Ibrahim Pasya, putra sang penguasa Mesir, datang dengan kekuatan sekitar 8000 pasukan kavaleri dan infantri dari Mesir, Albania, dan Turki. Ibrahim menawarkan enam keping perak untuk setiap kepala pengikut Wahabi yang berhasil dibunuh. Di akhir pertempuran, lapangan di depan markasnya berdiri piramida kepala pengikut Wahhabi. Pada 1818, pertahanan terakhir Wahabi yang dipimpin Abdullah ibn Sa`ud di Dir`iyyah diserbu dan setelah beberapa bulan dikepung, mereka menyerah.
Ibrahim Pasya mengumpulkan semua ulama Wahabi yang bisa didapat, kira-kira lima ratusan ulama, dan menggiring mereka ke masjid besar. Di sana, selama tiga hari, ia memimpin debat keagamaan dalam rangka meyakinkan ulama Wahabi bahwa ajaran mereka sesat. Di akhir hari keempat, kesabarannya habis dan ia memerintahkan pengawalnya supaya membunuh mereka sehingga masjid Dir`iyyah, dalam kata-kata pengelana William Palgrave, ‘menjadi kuburan berdarah teologi Wahabi.’
Abdullah ibn Sa`ud sendiri beserta beberapa anggota keluarganya ditawan dan dibawa ke Kairo dan kemudian ke Konstantinopel. Di ibukota Khilafah Usmani itu dia dipermalukan, diarak keliling kota di tengah cemoohan penonton selama tiga hari. Kemudian kepalanya dipenggal dan tubuhnya dipertontonkan kepada kerumunan yang marah. Sisa-sisa keluarga Sa`udi-Wahabi menjadi tawanan di Kairo.
Kehancuran Wahabi disambut gembira di banyak negeri Muslim. Seorang ulama mazhab Hanafi bernama Muhammad Amin ibn Abidin yang hidup di awal abad XIX mengatakan, “Ia mengaku pengikut mazhab Hanbali, tapi dalam pemikirannya hanya dia saja yang Muslim dan semua orang lain adalah musyrik. Ia mengatakan bahwa membunuh Ahlussunnah adalah halal, sampai akhirnya Allah menghancurkannya pada tahun 1233 Hijriah (1818) melalaui pasukan Muslim.” (Allen, 2006: 68).
Demikianlah, fase pertama aliansi Wahabi-Saudi, yang juga dikenal dengan Negara Saudi I, berhenti secara brutal, sekejam serbuan dan penaklukan yang mereka lakukan sejak aliansi terbentuk.***
Sumber pustaka: paramadina.wordpress
Aliansi Wahabi dan Dinasti Al-Saud II & III
Negara Saudi II dan III
Negara Wahabi/Saudi II (1824-1891)
Pada tahun 1924, Turki ibn Abdullah, putra dari penguasa Saudi yang dipenggal di Istambul, mengambil alih Riyad, sebuah pemukiman di sebelah selatan Dir`iyyah yang dikemudian hari menjadi kota penting. Ini dapat terjadi karena pasukan dari Mesir mengundurkan diri Dari Najd pada 1821. Dari sana, kekuasannya meluas ke daerah `Aridh, Kharj, Hotah, Mahmal, Sudayr dan Aflaj. Pada 1830, ia juga berhasil memperluas kekuasaan sampai ke wilayah Hasa, salah satu medan perang saudara di antara faksi-faksi klan Saudi. Amir Turki sendiri tidak mengutak-atik kekuasaan Usmaniyah dan Mesir di wilayah Hijaz, yang menjamin keamanan kafilah-kafilah haji. (al-Rasheed, 23).
Konflik internal di dalam negara Wahabi/Saudi kedua sudah dimulai sejak masa Amir Turki, Salah seorang musuhnya adalah Mishari, seorang saudara sepupu yang ia angkat menjadi Gubernur di Manfuhah, berada di balik komplotan yang membunuh Turki pada 1834, selepas salat Jumat. Ia digantikan anaknya, Faisal, yang dengan bantuan `Abdullah ibn Rashid, Amir dari Ha’il, berhasil membalas kematian ayahnya pada tahun yang sama. Tetapi, ia tidak lama berkuasa. Karena menolak membayar upeti kepada pasukan Mesir yang menduduki Hijaz, pada tahun 1837 ia ditangkap dan dikirim ke Kairo. Perebutan kekuasaan terjadi lagi di Riyad, di antara sesama keluarga Saud.
Pada 1840, Mesir meninggalkan Arabia dan pada tahun 1943, Faisal ibn Turki al-Saud melarikan diri dari Mesir dan kembali ke Riyad dan menjadi amir kembali sampai wafat pada 1865. Selama berkuasa, Faisal mengakui kekuasaan Khilafah Usmaniyah dan membeyar upeti kepada Khalifah. Setelah kematiannya, putra-putranya (dari istri yang berbeda-beda) bertarung memperebutkan kekuasanaan. Mereka adalah `Abdullah, Sa`ud, Muhammad, dan `Abd al-Rahman. `Abdullah, anak tertua yang menggantikan Faisal, bersaing dengan saudara-saudaranya. `Abdullah bahkan pernah meminta bantuan dari Midhat Pasya, Gubernur Usmaniyah di Baghdad, supaya membantunya dalam pertarungannya melawan saudara-saudaranya. Permintaan ini dipenuhi dan invasi dari Bagdad terjadi pada 1870, walaupun hanya berhasil menghentikan perang saudara sebentar. Demikian pula, Sa`ud memerangi abangnya dengan bantuan dari konfederasi suku-suku yang ingin bebas dari kekuasaan abangnya, dan dari dominasi klan Sa`udiyyah. `Abdullah menyerah dan Sa`ud praktis berkuasa sejak 1871 sampai ia wafat pada 1875. Setelah itu, perebutan kekuasan dilanjutkan `Abd al-Rahman, `Abdullah, dan keturunan Sa`ud (Al-Rasheed, 2005: 24,36; Al-Fahad, 2004).
Pada tahun 1887, `Abdullah meminta Muhammad ibn Rasyid, peguasa Ha’il, supaya membantunya menyingkirkan keturunan Sa`ud yang juga keponakan-keponakannya. Muhammad ibn Rasyid, pemimpin klan yang sudah lama menjadi musuh klan Sa`udi, bersedia. Setelah membasmi sebagian besar keponakan `Abdullah, sisanya kucar-kacir melarikan diri. Akan tetapi, Ibn Rasyid sendiri mengkhianati orang yang mengundangnya. Ia menawan `Abdullah dan mengasingkannya ke Ha’il, ibukota klan Rasyidi. Klan Rasyidi kemudian menguasai Riyad dan banyak wilayah Najd lainnya, atas nama Khalifah Usmani. Setelah `Abdullah wafat pada 1889, `Abd al-Rahman, yang sempat menjadi gubernur di bawah kekuasaan Rasyidi, masih berusaha merebut kekuasaan dari keluarga Rasyidi akan tetapi gagal. Muhammad ibn Rasyid mengalahkannya pada 1891 dan `Abd al-Rahman harus melarikan diri ke beberapa tempat sampai akhirnya, sejak 1893, ia menetap di Kuwait di bawah perlindungan klan al-Sabah, penguasa Kuwait yang ketika itu merupakan salah satu pelabuhan penting yang di kawasan Teluk, tempat Khilafah Usmani dan Inggris berebut pengaruh dan kekuasaan, dengan kemenangan Inggris melalui traktat perlindungan yang ditandatangani pada 1899.
Dimensi Agama pada Masa Negara Saudi II
Pada masa Negara Saudi II yang penuh pergolakan, ulama Wahabi secara politik didukung oleh Amir Turki dan Faisal. Setelah menguasai Riyad, Amir Turki segera meminta `Abd al-Rahman ibn Hasan, cucu pendiri Wahabiyah, supaya kembali ke Riyad dan menduduki jabatan yang dulu dipegang kakeknya, yaitu menjadi pemimpin agama dan penasihat penguasa.
Ulama Wahabi menjadi kadi dan guru agama, sambil menyebarkan paham Wahabiyah di wilayah-wilayah yang dikuasai Amir Turki dan Faisal. Para ulama Wahabi, yang menguasai pengetahuan keagamaan yang bersumber dari kitab suci, hadis, dan keteladanan al-salaf al-salih. Selain itu, jika diingat bahwa banyak ulama Wahabi adalah keturunan dari Muhammad ibn `Abd al-Wahhab dengan julukan Al al-Syaikh, maka ulama Wahabi juga memiliki status sosial yang terhormat.
Kadi, yang juga wakil resmi Wahabiyah, menjadi arbitrator sengketa, khatib salat Jumat, imam salat, dan guru agama di masjid agung kota-kota. Jika dikaitkan dengan dukungan politik yang mereka peroleh dan kaitan “kelas” ulama dengan Al al-Syaikh, jelaslah tidak banyak ruang bagi penolakan terhadap paham Wahabi. Salah satu di antaranya adalah kota `Unayzah di wilayah Qasim. Wilayah Qasim, dengan dua kota utama `Unayzah dan Buraidah, menentang Faisal, memiliki kontak yang lebih sering dengan daerah Usmaniyah melalui perdagangan, sebagai jalur utama orang naik haji dari Irak dan negeri-negeri Muslim di Timur ke Makkah dan Madinah, dan pendidikan, serta kalangan ulamanya juga tidak pernah seluruhnya menjadi Wahabi sehingga dapat mempertahankan tradisi mereka. Kekuasaan dinasti Rasyidi di wilayah ini turut menopang semangat menentang Wahabi (Al-Fahad, 2004: 505; Al-Rasheed, 2002: ).
Pembentukan Negara Wahabi/Saudi III (1902-1932
Pada tahun 1902, `Abdul Aziz, putra `Abd al-Rahman ibn Sa`ud yang mengungsi ke Kuwait, memulai usaha meraih kembali kejayaan dinasti Saudi yang hilang. Dengan bantuan Syeikh Kuwait yang selama ini melindunginya, Ibn Saud – nama populer `Abdul Aziz – berhasil meraih Riyad dan mengumumkan pemulihan kembali kekuasaan dinasti Sa`ud di sana. Klan al-Sabah di Kuwait mendorong Ibn Sa`ud menaklukkan Riyad karena mereka takut kekuasaan Rasyidi semakin kuat dan luas – terutama karena aliansi Rasyidi dengan Khilafah Usmani – sehingga mengancam Kuwait (al-Rasheed, 40).
Pertarungan di Najd terjadi antara Ibn Sa`ud yang dibantu Kuwait dan Inggris melawan Ibn Rasyid yang dibantu Khilafah Usmani. Inggris ikut campur karena kuatir dukungan Khilafah Usmani terhadap Ibn Rasyid akan mengancam kepentingan mereka di Kuwait. Pada tahun 1906, wilayah Qasim direbut sehingga kekuasaan Ibn Sa`ud semakin dekat ke jantung klan Rasyidi di Najd utara. Selain Qasim, Ibn Sa`ud juga menguasai kota-kota penting lain seperti `Unayzah dan Buraydah. Najd praktis terbelah dua: separuh dikuasai Ibn Sa`ud dan separuh lagi dikuasai Ibn Rasyid.
Ibn Sa`ud mengalihkan sasaran ke Hasa, tempat di kawasan timur Jazirah Arabia yang banyak didiami masyarakat Syiah. Setelah Hasa akhirnya takluk pada 1913, Ibn Sa`ud mengadakan perjanjian dengan ulama Syiah yang menetapkan bahwa Ibn Sa`ud akan memberikan mereka kebebasan menjalankan keyakinan mereka dengan syarat mereka patuh kepada Ibn Sa`ud. Pada saat yang sama, Syiah tetap dianggap sebagai kalangan Rafidlah, artinya yang menolak iman (al-Rasheed, 41).
Pada 26 Desember 1915, ketika Perang Dunia I berkecamuk, Ibn Sa`ud menyepakati traktat dengan Inggris. Berdasarkan traktat ini, pemerintah Inggris mengakui kekuasaan Ibn Sa`ud atas Najd, Hasa, Qatif, Jubail, dan wilayah-wilayah yang tergabung di dalam keempat wilayah utama ini. Apabila wilayah-wilayah ini diserang, Inggris akan membantu Ibn Sa`ud. Traktat ini juga mendatangkan keuntungan material bagi Ibn Sa`ud. Ia mendapatkan 1000 senapan dan uang £20.000 begitu traktat ditandatangani. Selain itu, Ibn Sa`ud menerima subsidi bulanan £5.000 dan bantuan senjata yang akan dikirim secara teratur sampai tahun 1924. Sebagai imbalannya, Ibn Sa`ud tidak akan mengadakan perundingan dan membuat traktat dengan negara asing lainnya. Ibn Sa`ud juga tidak akan menyerang ke, atau campur tangan di, Kuwait, Bahrain, Qatar, dan Oman – yang berada di bawah proteksi Inggris. Traktat ini mengawali keterlibatan langsung Inggris di dalam politik Ibn Sa`ud (Nakash, 2006: 33-34; Al-Rasheed, 2002: 42).
Sementara itu, saingan Ibn Sa`ud di Najd, Ibn Rasyid, tetap bersekutu dengan Khilafah Usmaniah. Ketika Kesultanan Usmani kalah dalam Perang Dunia I bersama-sama dengan Jerman, klan Rasyidi kehilangan sekutu utama. Selain itu, yang tidak kalah pentingnya, Rasyidi dilanda persaingan internal di bidang suksesi. Perang antara Ibn Sa`ud dan Ibn Rasyid sendiri tetap berlangsung selama PD I dan sesudahnya. Akhirnya, pada 4 November 1921 dan setelah berbulan-bulan dikepung, Ha’il, ibukota Rasyidi, jatuh ke tangan Ibn Sa`ud yang dibantu Inggris melalui dana dan persenjataan. Penduduk oase subur di utara itu pun mengucapkan bay`ah ketundukan kepada Ibn Sa`ud.
Sesudah menaklukkan Ha’il, Ibn Sa`ud beralih ke Hijaz. Satu-demi-satu kota di Hijaz jatuh ke tangan Ibn Sa`ud. `Asir, wilayah di Hijaz selatan, jatuh pada 1922, disusul Taif, Makkah, dan Medinah di tahun 1924, dan Jeddah di awal tahun 1925. Pada tahun 1925 juga, di bulan Desember, Ibn Sa`ud menyatakan diri sebagai Raja Hijaz, dan pada awal Januari 1926 ia menjadi Raja Hijaz dan Sultan Najd dan daerah-daerah bawahannya. Untuk pertama kali sejak Negara Saudi II, empat wilayah penting di Jazirah Arabia, yaitu Najd, Hijaz, `Asir, dan Hasa, kembali berada di tangan kekuasaan klan Saudi. Pada tahun 1932, Ibn Saud telah berhasil menyatukan apa yang sekarang dikenal sebagai Kerajaan Saudi Arabia. Penemuan minyak di wilayah padang pasir itu memberikan Ibn Saud kekayaan berlimpah yang ia perlukan membangun negerinya. Pada tahun 1953 ia wafat dan digantikan oleh Raja Saud dan kemudian Raja Faisal.
Dua Ilustrasi Fatwa Wahabi
1. Fatwa yang menghalalkan permintaan bantuan kepada Gubernur Usmaniyah
Ketika terjadi perang saudara di dalam tubuh klan Saudi pada abad XIX, `Abdullah yang sedang diperangi saudara-saudara dan keponakannya memutuskan untuk meminta bantuan dari Gubernur atau Wali Khilafah Usmaniyah yang berkedudukan di Bagdad, bernama Midhat Pasya. Masalahnya, dilihat dari paham Wahabiyah, adalah: apakah boleh meminta bantuan dan pertolongan dari orang-orang kafir dan musyrik seperti gubernur Khilafah Usmaniyah? Jawabannya, dalam situasi normal, tentu saja tidak.
Akan tetapi, `Abdullah berhasil mendapatkan fatwa dari salah seorang ulama,yaitu Muhammad ibn Ibrahim ibn `Ajlan. Menurutnya, meminta bantuan kepada Khilafah Usmaniyah tidak slebih berdosa dari tindkan yang dilakukan Ibn Taymiyah ketika ia meminta bantuan dari orang-orang Mesir dan Suriah dalam perang melawan invasi pasukan Mongol di akhir abad ke-13 dan awal abad ke-14. Jadi, menurut `Ajlan, boleh meminta bantuan dari orang-orang kafir ketika ada darurah (yaitu situasi genting dan darurat sehingga yang tadinya dilarang menjadi diperbolehkan). Apalagi, panglima dan perwira tinggi pasukan dari Bagdad juga tampak soleh.
Fatwa di atas menyulut kontroversi di kalangan ulama Wahabi. Sebagian mengatakan fatwa itu tidak sah dan sebagian lagi, seperti Hamad ibn `Atiq, mengatakan bahwa Ibn `Ajlan sudah murtad. Ulama besar Wahabi saat itu, `Abd al-Latif ibn `Abd al-Rahman ibn Hasan Al al-Syaikh, menghantam argumen `Ajlan walaupun ia tidak memandangnya murtad. Ia bilang bahwa
Suriah dan Mesir masa Ibn Taimiyah bukanlah kafir tapi muslim. Ibn Taimiyah sendiri pernah mengatakan bahwa negeri-negeri tersebut adalah darul islam.
Argumen mengenai kesalehan komandan dan perwira tidak dapat diterima karena banyak sekali orang-orang kafir yang nyata (kafir mu`ayyan) – seperti tokoh sufi semacam Ibn `Arabi dan Ibn al-Farid, adalah orang-orang yang terkenal kesalehannya.
Ada sebagian ulama yang membolehkan meminta bantuan orang-orang kafir atau nonmuslim, akant tetapi itu hanya dalam perang antara umat Islam melawan non-Muslim. Dalam kasus fatwa `Ajlan, yang berperang adalah pasukan Sa`ud melawan `Abdullah yang sama-sama muslim walaupun yang satu – yaitu pasukan Sa`ud, masuk kategori pemberontak (bughah).
Argumen dlarurah tidak dapat digunakan dalam kasus ini karena tidak terkait dengan agama dan iman dan hanya dalam rangka mempertahankan kekuasaan.
Masalahnya bukanlah boleh-tidaknya meminta bantuan Khilafah Usmaniyah. Sebab, penguasa Usmaniyah sendiri ingin datang, bertahan, dan memerintah di wilayah yang dikuasai Saudi/Wahabi (Al-Fahad, 2004: 501-504).
2. Fatwa membolehkan meminta pertolongan Amerika dalam Perang Teluk 1990-1991.
Pada 1990, Alm Saddam Husein menginvasi Kuwait dan menimbulkan salah satu krisis dan kemudian perang penting setelah Perang Dingin. Dalam rangka menentang agresi dan invasi tersebut, Raja Saudi Arabia meminta bantuan terutama dari Amerika Serikat. Majelis ulama senior Arab Saudi mengeluarkan fatwa yang membolehkan tindakan tersebut dengan alasan dlarurah.
Beberapa peristiwa yang tidak ada fatwa yang melarang/membolehkannya
Traktat Ibn Sa`ud – Inggris pada 26 Desember 1915
`Abd al-Rahman, ayahanda Ibn Sa`ud, yang mengungsi ke Kuwait, dilindungi klan al-Sabah, dan mendapat insentif bulanan dari Khalifah Usmaniyah.
Penempatan pangkalan udara penting milik AS di Dhahran, dari 1942 sampai 1962
Sumber pustaka: paramadina.wordpress
Sejarah Wahabisme (1)
Sejarah Wahabisme (1)
Sekilas Tantang Wahabisme Dan Pendirinya
Sekte Wahabiyah ini dinisbatkan kepada Muhammad ibn Abdil Wahhab ibn Sulaiman an- Najdi. Lahir tahun 1111 H dan wafat tahun 1206 H.
Beliau telah belajar sedikit ilmu agama dari beberapa gurunya termasuk ayahnya sendiri. Disebutkan bahwa dia gemar membaca bertita dan kisah-kisah para pengaku kenabian, seperti Musailamah al Kadzdzâb, Sujâh, Aswad al Ansi dan Thulaihah al Asdi. Sejak masa studinya telah tampak dari gelagatnya penyimpangan besar, sehingga ayahnya dan para gurunya mengingatkan masyarakat akan bahaya penyimpangannya. Mereka bertutur, “Anak ini akan tersesat dan akan menyesatkan banyak orang yang Allah sengsarakan dan jauhkan dari rahmat-Nya!”.
Pada tahun 1143.H Muhammad ibn Abdil Wahhab menampakkan ajakannya kepada aliran baru, akan tetapi ayahnya bersama para masyaikh, guru-guru besar di sana berdiri tegak menghalau kesesatannya itu. Mereka menbongkar kebatilan ajakannya. Ajakannya tidak laku, sehingga ketika ayahnya wafat pada tahun 1153 H, ia mulai berleluasa dalan ajakannya. Ia mulai menyuarakan kembali ajakannya di kalangan para awam yang lugu dan tak tau banyak tentang agama, maka sekelompok orang awam menerima ajakannya dan mendukungnya. Atas kelahiran sekte sempalan ini, masyarakat di sana bangkit dan hamper-hampir membunuh Ibnu Abdil Wahhab (penganjurnya). Ia melarikan diri ke kota Al ‘Aniyyah. Di sana ia mendekatkan diri kepada Emir kota tersebut, ia menikah dengan saudari Emir. Di sana ia memulai kembali ajakannya kepada bid’ah yang ia cetuskan itu, tetapi tidak lama kemudian, masyarakat Al ‘Ainiyyah keberatan dengan ajakannya, mereka mengusirnya dari kota tersebut. Ia pergi meninggalkan Al ‘Ainiyyah menuju Ad Dir’iyyah (sebelah timur kota Najd), sebuah daerah yang dahulu ditinggali oleh Musailamah al kadzdzâb yang mengaku-ngaku sebagai nabi itu dan dari kota itulah gerombolan kaum murtaddin berusaha menyerang kota Madinah sepeninggal Nabi saw.
Di kota tersebut, ia mendapat dukungan dari Emirnya yaitu Muhammad ibn Sa’ud, dan masyarakat di sana menyambut ajakannya dengan hangat.
Ketika itu ia bertingkah seakan seorang mujtahid agung. Ia tidak pernah menghiraukan pendapat para imam dan ulama terdahulu maupun yang sezaman dengannya, sementara itu semua tau bahwa ia sangat tidak layak untuk mensejajarkan dirinya di barisan para ulama mujtahidin.
Demikianlah disifati oleh saudara kandunganya, seorang alim besar bermana Sulaiman ibn Abdil Wahhab. Sebagai saudara kandung ia tau persis kondisi saudara tersebut. Syeikh Sulaiman ini telah menulis sebuah buku yang membidas ajakan saudaranya yang sesat dan menyimpang itu. Di antara beliau mengatakan:
اليوم ابتلى الناس بمن ينتسب الى الكتاب والسنه ويستنبط من علومهما ولا يبالى من خالفه، ومن خالفه فهو عنده كافر، هذا وهو لم يكن فيه خصله واحده من خصال اهل الاجتهاد، ولا واللّه ولا عشر واحده، ومع هذا راج كلامه على كثير من الجهال، فانا للّه وانا اليه راجعون.
Sekarang, orang-orang telah ditimpa bala’ (bencana) dengan seorang yang mengaitkan dirinya dengan Alqur’an dan Sunnah, menyimpulkan dari keduanya, dan tidak menghiraukan sesiapa yang menyelisihinya. Siapa yang menyelisihinya adalah kafir menurutnya. Demikinlah, sementara ia bukan seorang yang menyandang satu dari sekian banyak syarat ijtihad… tidak bahkan sepersepuluh syaratnya pun tidak ia miliki. Namun demikian ucapannya laris di kalngan kaum jahil. Innâ Lilâhi wa Innâ Ilahi Râji’ûn.
Sejarah Wahabi (2)
Dasar Pemikiran Wahabisme
Sekte memiliki dasar doqma ajaran yang dinyatakan dan dasar yang tersembunyi. Dasar yang dinyatakan adalah memurnikan tauhid hanya untuk Allah SWT., memerangi syirik dan berhala-berhala/sesembahan selainAllah. Akan tetapi realita sepak terjang sekte ini tidak mencerminbkan sedikitpun dasar yang mereka nyatakan, seperti akan Anda saksikan nanti.
Adapun dasar yang tersembunyi ialah merobek-robek kasatuan Umat Islam, membangkitkan fitnah dan mengobarkan peperangan di antara sesame mereka demi kepentingan para penjajah Barat. Ini adalah poros yang seluruh upaya dan usaha kaum Wahhabi bergerak untuknya sejak awal pembentukannya hingga hari ini. Inilah dasar sesungguhnya sekte ini yang untuknya dasar pertama yang dinyatakan dieksploitasi demi merayu kaum awam yang lugu dan kosong pamahaman agama mereka.
Tidak diragukan lagi bahwa slogan memurnikan Tauhid hanya untuk Allah SWT. dan memerangi kemusyrikan adalah slogan yang sangat menawan dan memikat, di bawah slogan itu mereka yang telah terjaring aliran akan bersemangat, sementara itu mereka tidak memahami bahwa slogan itu hanya sekedar kedok demi meralisasikan tujuan awal yang disembunyikan itu.
Para peneliti sejerah aliran Wahhabiyah telah membuktikan bahwa ajakan ini telah dibentuk atas perintah langsung Kementrian urusan Penjajahn Kerajaan Inggris. Sebagai contoh baca buku Pilar-pilar Penjajahan tulisan Khairi Hammâd, Tarikh Najd tulisan Lison John Philippi yang menyamar dengan nama Abdullah Philippi dan serta Wahhabiyah Naqdun wa Tahlîl tulisan Hamayun Hamta.
Sejarah Wahhabiyah (3)
Pilar Pemikiran Aliran Wahhabyiah
Kaum Wahhabi membagi akidah menjadi dua bagian:
Pertama, yang datang dalam Alqur’an dan atau Sunnah. Mereka mengklaim bahwa bagian ini mereka ambil dari dasar Alqur’an dan Sunnah tanpa berujuk kepada ijtihad para mujtahidin dalam memahami maknanya, baik dari kalangan Sahabat, Tabi’in atau para imam mujtahidin lainnya.
Kedua, apa-apa yang tidak ada nash yang datang tentangnya. Di sini mereka mengklaim mengambilnya dar pemahaman Imam Ahmad dan Ibnu Taimiyah.
Akan tetapi dalam kedua perkara ini mereka mengalami kegagalan, mereka terjatuh dalam kontardiksi dan akhirnya menerjang hal-hal yang terlarang. Sebagai contoh:
Mereka sangat Letaralis.
Mereka beku dan terpaku atas makna-makna yang mereka fahami dari zahir sebagian nash, karenanya mereka menyalahi dasar-dasar, ushûl dan ijma’. Dari sini Syeikh Muhammad Abduh menyifati mereka dengan, “Sangat sempit kesabaran dan kreatifitasnya, sesak dadanya disbanding kaum muqallid, mereka berpandangan wajib hukumnya mengambil makna lahiriyah yang difahami dari teks yang datang dan mengikat diri dengannya tanpa memerhatikan apa yang ditetapkan oleh dasar-dasar yang atasnya agama ini diegakkan.”
Mereka menyalahi Imam Ahmad.
Pada kenyataannya, mereka telah nyata-nyata menyalahi Imam Ahmad dalam hal pengkafiran sesiapa yang menyalahi mereka, sementara itu mereka tidak menemukan pada fatwa-fatwa Imam Ahmad yang dapat dijadikan dasar untuk keyaknan mereka tersebut. Bahkan sebaliknya, Imam prilaku hidup dan fatwa-fatwa Ahmad bertolak belakang dengan mereka. Beliau tidak mengafirkan ahli Kiblat (kaum Muslim) karena sebab dosa, baik dosa bera atau kecil kecuali sengaja meninggalkan shalat. Selain itu mereka jga tidak menemukan pada Ibnu Taimiyah sesuatu yang dapat menjadi bukti kebenaran akidah mereka (tentang pengafiran), bahkan yang datang dari Ibnu Taimiyah adalah bertolak belakang dengannya.
Ibnu Taimiyah berkata:
إنَّ مَنْ وَالىَ مُوافِقِيْهِ وَعادَى مُخَالفيه، وفرق جماعه المسلمين، وكفر وفسق مخالفيه فى مسائل الاراء والاجتهادات، واستحل قتالهم، فهو من اهل التفرق والاختلاف.
“Sesiapa yang mencintai teman-teman satu pendapat, memusuhi yang menyalahnya, memecah belah jama’ah kaum Muslim, mengafirkan dan menuduh fasik mereka yang menyelisihinya dalam masalah-masalah pandangan dan rana ijithad serta menghalalkan memerangi mereka maka ia tegolong ahli tafarruq dan ikhitlâf (pemecah belah umat dan pengobar perselisihan).”
Dengan demikian kaum Wahhabi –sesuai fatwa Ibnu Taimiyah- adalah kaum pemecah belah umat dan pengobar perselisihan!
Akidah Wahhâbiyah dalam masalah hukum menziarai makam-makam (kuburan) meniscayakan harus dikafirkan dan dimusyrikkannya Imam Ahmad ibn Hanbal dan sesiapa yang menyetuji pendapatnya! Dan darah-darah mereka adalah halal untuk dicucurkan dan harta-harta mereka adalah halal untuk dirampas!
Ibnu Taimiyah telah menukil bahwa Imam Ahmad ibn Hanbal telah menulis satu juz tentang ziarah makam Imam Husain as. Di Karbala’, apa yang harus dilakukan oleh peziarah. Ibnu Taimiyah berkata:
ان الناس فى زمن الامام احمد كانوا ينتابونه، اى يقصدون زيارته.
“Sesungguhnya manusia di zaman Imam Ahmad senantiasa mendatangi makam Husain.”
Sementara dalam akidah kaum Wahhâbiyah mengadakan perjalanan ke makam-makam dengan tujuan menziarainya adalah syirik yang karenanya pelakunya berhak dihalalkan darah dan hartanya!
Maka dengan dasar akidah tersebut, Imam Ahmad dan kaum Muslimin yang hidup sezaman atau sebelum dan sesudahnya yang berpendapat bahwa prktik tersebut adalah mustahab adalah halal darah dan harta mereka!
Bahkan dapat disimpulkan dari keyakinan mereka bahwa seluruh umat Islam itu kafir dan musyrik!! Dan tidak terkecuali para sahabat Nabi saw. juga.
Lala atas dasar apa kaum Wahhâbiyah itu mengaku sebagai pengikut dan pewaris mazhab Imam Ahmad ibn Hanbal?!
Hal yang sama juga berlaku pada keyakinan Wahhâbiyah tentang memohon syafa’at dari Nabi saw.
Dalam pandangan Wahhâbiyah, memohon syafa’at dari Nabi saw. Setelah wafat beliau adalah syirik. Dan sesiapa yang mengatakan; “Wahai Rasulullah berilah aku syafa’atmu!” maka ia telah syirik akbar, terbesar, karena –dalam anggapan Wahhâbiyah- orang tersebut telah menjadikan nabi saw. Sebagai arca yang disembah selain Allah. Karenanya ia kafir dam musyrik, darah dan hartanya halal!
Padahal telah tetap dalam hadis shahih bahwa banyak dari sahabat dan tabi’în yang melakukannya. Ibnu Taimiyah pun telah menshahihkannya dari banyak jalus periwayatan. Ia meriwayatkannya dari al Baihaqi, ath Thabarâni, Ibnu Abi ad Dunya, Ahmad ibn Hanbal dan Ibnu as Sunni. Kendati kemudian ia tetap bersikeras meyakini pendapatnya dan menyelisihi hadis shahih. Namun demikian Ibnu Taimiyah tidak menganggapnya sebagai syirik, seperti yang diyakini kaum Wahhâbiyah!! Lebih lanjut baca az Ziyârah; Ibnu Taimyah:7/101-106)
Maka atas dasar akidah kaum Wahhâbiyah itu, para sahabat dan tabi’în adalah telah kafir dan menyekutukan Allah dan tentunya wajib dibunuh!!
Dan tidak hanya mereka yang dihukumi kafir oleh kaum Wahhâbiyah, akan tetapi, orang-orang lain pun yang telah sampai kepada mereka praktik para sahabat dan tabi’în tersebut dalam memohon syafa’at dari Nabi saw. Kemudian tidak mengingkarinya dan tidak mengafirkan mereka, maka ia juga kafir!!! Darah dan hartanya halal!
Dengan demikian, siapa yang akan selamat dari vonis kafir oleh kaum Wahhâbiyah!! Lalu siapakah sebenarnya Salaf panutan mereka itu, jika para sahabat dan tabi’în (yang merupakan generasi keemasan) telah mereka kafrikan?!
Sejarah Wahhabiyah (4)
Akidah Wahhâbiyah Tentang Sahabat Nabi saw.
Seperti telah lewat disebutkan, bahwa keyakinan Wahhâbiyah meniscayakan kafirnya sebagian besar sahabat yang hidup sepeninggal Nabi saw. Dimana mereka membolehkan memohon syafa’at dari Nabi saw. Atau membolehkan safar, mengadakan perjalanan menuju makam suci Nabi saw. Atau menyaksikan sahabat lain atau orang lain melakukannya tetapi tidak menegurnya atau menvonisnya kafir dan syirik dan tidak pula menghalalkan darah dan hartanya!
Ini adalah konsekuensi logis akidah mereka itu! Dan demikianlah mereka telah menvonis. Akan tetapi ketika hendak berbelit-belit dalam ajakan kapada alirannya, mereka berpura-pura mengagungkan para sahabat Nabi saw. demi merayu kaum awam yang lugu! Sebagaimana mereka sepertinya juga tajut dari berterus terang!
Kaum Wahhaâbiyah juga mencerca para sahabat yang hidup sezaman dengan Nabi saw. Muhammad ibn Abdil Wahhâb –pendiri sekte ini- berkata tentang sahabat Nabi saw.
ان جماعه من الصحابه كانوا يجاهدون مع الرسول ويصلون معه ويزكون ويصومون ويحجون، ومع ذلك فقد كانوا كفارا بعيدين عن الاسلام!!
“Sekelompok sahabat ada yang berjihad bersama Rasulullah, shalat bersamanya, membayar zakat, berpuasa dan haji, namun demikian mereka itu adalah kaum kafir dan jauh dari Islam!”
Dan sebagai bukti kebencian mereka kepada sahabat Nabi saw., kaum Wahhâbiyah memuji Mu’waiyah setinggi langit! Demikian juga dengan Yazid putranya. Sementara sejarah tidak menyaksikan seorang yang lebih memusuhi sabahat setia Nabi saw. Lebih dari Mu’awiyah. Dan tidak ada seorang yang sangat membenci dan menghina para sahabat Nabi saw. lebih dari Yazid.
Dalam tida tahun masa kekuasannya, Yazid telah melakukan tiga kejahatan dan kekafiran besar.
Membantai keluarga Nabi saw.; Husain dan keluarga serta pengkiut setianya di padang Karbala.
Membantai penduduk kota suci Madinah dan membebaskan pasukannya untuk berbuat apa saja selama tiga hari. Sehingga ratusan penduduk sipil dibantai, tidak terkecuali anak-anak kecil dan kaum manula. Tidak cukup itu mereka memperkosa putrid-putri sahabat mulia, sehingga tidak kurang dari 1000 gadis mereka perkosa!
Membombardir Ka’bah dengan alasan menekan basis pertahanan Abdullah ibn Zubair.
Selain itu sejarah mencacat bahwa Yazid adalah pemabok berat … meninggalkan shahat… dan atas dasar fatwa kaum Wahhâbiyah, sesiapa yang meninggalkan shalat maka ia dihukumi kafir….
Imam Ahmad ibn Hanbal pun telah melaknat Yazid…
Jadi jika benar kaum Wahhâbiyah mengaku sebagai pengikut Imam Ahmad ibn Hanbal maka mereka harus mengafirkan Yazid dan melaknatinya selalu!! Tetapi anehnya, kaum Wahhâbiyah itu malah tak henti-hentinya memintakan rahmat untuk Yazid dan memujinya setinggi langit…. Sampai-sampai kementrian pendidikan, wazârah al Ma’ârif Kerajaan Saudi Arabia menerbitkan buku dengan judul Haqâiq ‘An Amîrul Mu’minîn Yazid!
Pembunuhan Massal dan Keji oleh Wahabi
Pembunuhan Massal dan Keji oleh Wahabi
Pembunuhan Massal dan Keji
Ibn `Abd al-Wahhab mengikuti kaedah khusus dalam pembahagian harta rampasan daripada umat Islam yang meninggalkannya. Ada ketikanya, dia membahagikannya di antara 2 atau 3 orang pengikutnya. Amir Najd menerima habuannya daripada ghanimah itu dengan persetujuan Muhammad bin `Abd al-Wahhab sendiri. Ibn `Abd al-Wahhab melakukan mu`amalah yang buruk dengan umat Islam yang tidak tunduk kepada hawa nafsu dan pendapatnya seumpama mu`amalah kafir harbi dan dia menghalalkan harta mereka.
Harta yang banyak itu tidak diketahui datang dari mana, dan Ibn Basyr al-Najdi sendiri tidak mendedahkan sumber harta kekayaan yang banyak itu tetapi berdasarkan fakta-fakta sejarah, Ibn `Abd al-Wahhab memperolehinya daripada serangan dan serbuan yang dilakukannya bersama-sama para pengikutnya terhadap kabilah-kabilah dan kota-kota yang kemudian meninggalkannya untuknya. Ibn `Abd al-Wahhab merampas harta kekayaan itu dan membahagi-bahagikannya kepada penduduk Dar`iyyah.
Jelaslah, bahawa tawhid yang diserukan oleh Muhammad bin `Abd al-Wahhab dan jemaahnya adalah dengan mengharuskan darah dan harta orang yang mengingkari dakwah mereka, juga menerima kata-kata atau akidah-akidah mereka bahawa Allah berjisim, mempunyai anggota tubuh badan dan sebagainya.
Ringkasnya, Muhammad ibn `Abd al-Wahhab kelihatan menyeru kepada agama Tawhid tetapi tawhid sesat ciptaannya sendiri, dan bukannya tawhid menurut seruan al-Qur’an dan al-Hadith. Sesiapa yang tunduk (kepada tawhidnya) akan terpelihara diri dan hartanya dan sesiapa yang enggan pula dianggap kafir harbi (yang perlu diperangi) sama ada darah dan hartanya.
Di atas alasan inilah, golongan Wahhabi menguasai medan peperangan di Najd dan kawasan-kawasan di luarnya seperti Yaman, Hijaz, sekitar Syria dan `Iraq. Mereka mengaut keuntungan yang berlimpah daripada kota-kota yang mereka kuasai mengikut kemahuan dan kehendak mereka, dan jika mereka boleh menghimpunkan kawasan-kawasan itu ke dalam kekuasaan dan kehendak mereka, mereka akan lakukan semua itu, tetapi jika sebaliknya mereka hanya memadai dengan merampas harta kekayaan sahaja.
Muhammad Abdul Wahab memerintahkan orang-orang yang cenderung mengikuti dakwahnya supaya memberikan bai`ah dan orang-orang yang enggan wajib dibunuh dan dibahagi-bahagikan hartanya. Oleh kerana itu, dalam proses membuang dan mengasingkan penduduk kampung di sekitar al-Ahsa’ untuk mendapatkan bai`ah itu, mereka telah menyerang dan membunuh 300 orang dan merampas harta -harta mereka.[9][10]
Akhirnya Muhammad meninggal dunia pada tahun 1206H/1791M tetapi para pengikutnya telah meneruskan mazhabnya dan menghidupkan bid`ah dan kesesatannya kembali. Pada tahun 1216H/1801M, al-Amir Sa`ud al-Wahhabi mempersiapkan tentera yang besar terdiri daripada 20 000 orang dan melakukan serangan ganas ke atas kota suci Karbala’ di `Iraq.
Karbala merupakan sebuah kota suci dihiasi dengan kemasyhuran dan ketenangan di hati umat Islam. Pelbagai bangsa berhasrat untuk ke sana sama ada mereka berbangsa Iran, Turki, Arab dan sebagainya. Tentera Wahhabi mengepung dan memasuki kota itu dengan melakukan pembunuhan, rampasan, runtuhan dan kebinasaan.
Wahhabi telah melakukan keganasan dan kekejaman di kota Karbala’ dengan jenayah yang tidak mengenal batas perikemanusiaan dan tidak mungkin dapat dibayangkan. Mereka telah membunuh 5000 orang Islam atau bahkan lebih lagi, sehingga disebutkan seramai 20 000 orang.
Apabila al-Amir Sa`ud menyudahi perbuatan keji dan kejamnya di sana, dia merampas khazanah harem al-Imam al-Husayn bin `Ali (`a.s) yang banyak dengan harta, perhiasan dan hadiah yang dikurniakan oleh raja, pemerintah dan lain-lain kepada maqam suci ini. Selepas melakukan keganasan yang cukup menjijikkan ini, dia kemudian menakluki Karbala’ untuk dirinya sehingga para penyair menyusun qasidah-qasidah penuh dengan rintihan, keluhan dan dukacita mereka.
Puak Wahhabi mengambil masa selama 12 tahun membuat serangan ke atas kota Karbala’ dan kawasan sekitarnya, termasuk Najaf. Mereka kembali sebagai perampas, penyamun dan pencuri dengan memulainya pada tahun 1216H/1801M. Para penulis Syi`ah bersepakat bahawa serangan dan serbuan itu berlaku pada hari `Aid al-Ghadir bagi memperingati ketetapan Nabi (s.`a.w) mengenai perlantikan al-Imam `Ali bin Abi Talib sebagai khalifah selepas baginda.
Al-`Allamah al-Marhum al-Sayyid Muhammad Jawwad al-`Amili mengatakan: “ Allah telah menentukan dan menetapkan dengan kebesaran dan keihsanan-Nya dan juga dengan berkat Muhammad dan Al baginda saw, untuk melengkapkan juzuk ini daripada kitab Miftah al-Karamah, selepas pertengahan malam yang ke-9, bulan Ramadan al-mubarak tahun 1225H/1810M - menurut catatan penyusunnya …
”Dengan kekacauan fikiran dan kecelaruan keadaan, orang-orang `Arab dikelilingi oleh orang-orang dari `Unaizah yang mengucapkan kata-kata puak al-Wahhabi al-Khariji di al-Najaf al-Asyraf dan masyhad al-Imam al-Husayn (`a.s) - mereka telah memintas jalan dan merampas hak milik para penziarah al-Husayn (`a.s) sebaik sahaja mereka kembali daripada ziarah itu pada pertengahan bulan Sya`ban. Mereka membunuh sebahagian besar daripadanya, terdiri daripada orang-orang `Ajam, dianggarkan 150 orang ataupun kurang ..”
Latar belakang Pengasas Mazhab Wahhabi
Muhammad bin `Abd al-Wahhab dilahirkan di perkampungan `Uyainah, salah sebuah kampung dalam Najd di bahagian selatan pada tahun 1115H/1703M. Bapanya, `Abd al-Wahhab merupakan seorang Qadi di sini. Muhammad dikatakan pernah mempelajari bidang fiqh al-Hanbali dengan bapanya, yang juga adalah salah seorang tokoh ulama al-Hanabilah. Semenjak kecil, dia mempunyai hubungan yang rapat dengan pengkajian dan pembelajaran kitab-kitab tafsir, hadith dan akidah.
Pada zaman remajanya, Muhammad selalu memperendah-rendahkan syiar agama yang biasanya dipegang oleh penduduk Najd, bukan sahaja di Najd bahkan sehingga sejauh Madinah selepas dia kembali daripada menunaikan haji. Dia sering mengada-adakan perubahan dalam pendapat dan pemikiran di dalam majlis-majlis agama, dan dia dikatakan tidak suka kepada orang yang bertawassul kepada Nabi (s.`a.w) di tempat kelahiran (marqad) baginda yang suci itu.
Kehidupannya selama beberapa tahun dihabiskan dengan mengembara dan berdagang di kota-kota Basrah, Baghdad, Iran, India dan Damsyik. Di Damsyik, dia dikatakan telah menemui kitab-kitab karangan Ibn Taimiyyah al-Harrani (m.728H/1328M) yang mengandungi ajaran-ajaran yang berunsur kontroversi berbanding dengan Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah.
Dia kembali ke Najd dan kemudian berpindah ke Basrah. Dalam perjalanan nya ke Syam, di Basrah dia berjaya memenuhi matlamatnya menegah orang ramai daripada melakukan syiar agama mereka dan menghalang mereka daripada perbuatan tersebut. Justeru itu penduduk Basrah bangkit menentangnya, dan menyingkirkannya daripada perkampungan mereka. Akhirnya dia melarikan diri ke kota al-Zabir.
Dalam perjalanan di antara Basrah dan al-Zabir, akibat terlalu penat berjalan kerana kepanasan sehingga hampir-hampir menemui ajalnya, seorang lelaki (dari kota al-Zabir) telah menemuinya lalu membantunya ketika melihatnya berpakaian seperti seorang alim. Dia diberikan minuman dan dibawa balik ke kota tersebut. Muhammad bin `Abd al-Wahhab berazam untuk ke Syam tetapi dia tidak mempunyai harta dan bekalan yang mencukupi, lalu bermusafir ke al-Ahsa’ dan dari situ, terus ke Huraymilah (dalam kawasan Najd) juga.
Pada tahun 1139H/1726M, bapanya berpindah dari `Uyainah ke Huraymilah dan dia ikutserta dengan bapanya dan belajar dengannya tetapi masih meneruskan tentangannya yang kuat terhadap amalan-amalan agama di Najd, yang menyebabkan berlakunya pertentangan dan perselisihan yang berkecamuk di antaranya dan bapanya di satu pihak dan, di antaranya dengan penduduk-penduduk Najd di pihak yang lain.
Keadaan tersebut terus berkekalan sehingga ke tahun 1153H/1740M apabila bapanya meninggal dunia. Sejak dari itu, Muhammad tidak lagi terikat. Dia telah mengemukakan akidah-akidahnya yang sesat, menolak dan mengenepikan amalan-amalan agama yang dilakukan serta menyeru mereka menyertai kumpulannya. Sebahagian tertipu manakala sebahagian lagi meninggalkannya hingga dia mengisytiharkan kekuasaannya di Madinah.
Muhammad kembali ke `Uyainah yang diperintah oleh `Uthman bin Hamad yang menerima dan memuliakannya dan berlakulah ketetapan di antara mereka berdua bahawa setiap seorang hendaklah mempertahankan yang lain dengan seorang memegang kekuasaan dalam perundangan Islam (al-tasyri`) dan seorang lagi dalam pemerintahan. Pemerintah `Uyainah mendokong Muhammad dengan kekuatan dan Muhammad bin `Abd al-Wahhab pula menyeru manusia mentaati pemerintah dan para pengikutnya.
Berita telah sampai kepada pemerintah al-Ahsa’ bahawa Muhammad bin `Abd al-Wahhab mendakyahkan pendapat dan bid`ahnya, manakala pemerintah `Uyainah pula menyokongnya. Beliau telah memerintahkan supaya suatu risalah peringatan dan ancaman dihantar kepada pemerintah `Uyainah. Pemerintah `Uyainah telah memanggil Muhammad dan memberitahunya bahawa dia enggan membantunya. Ibn `Abd al-Wahhab berkata kepadanya: “ Sekiranya engkau membantuku dalam dakwah ini, engkau akan menguasai seluruh Najd.” Pemerintah tersebut menyingkir kannya dan memerintahkannya meninggalkan `Uyainah dengan cara mengusirnya pada tahun 1160H/1747M.
Pada tahun itu, Muhammad keluar dari `Uyainah ke Dar`iyyah di Najd yang diperintah oleh Muhammad bin Sa`ud (m.1179H/1765M) yang kemudian menziarahi, memuliakan dan menjanjikan kebaikan kepadanya. Sebagai balasannya, Ibn `Abd al-Wahhab memberikan khabar gembira kepadanya dengan jaminan penguasaan Najd keseluruhannya. Dengan cara itu, suatu ketetapan dimeterai.[6][7] Penduduk Dar`iyyah mendokongnya sehingga akhirnya Muhammad ibn `Abd al-Wahhab dan Muhammad bin Sa`ud memeterai perjanjian atau memorandum persefahaman (`aqd al-Ittifaqiyyah).
Ibn Basyr al-Najdi yang dipetik oleh al-Alusi mengatakan: “ Penduduk Dar`iyyah pada masa itu dalam keadaan sangat menderita dan kepayahan, mereka lalu berusaha untuk memenuhi kehidupan mereka … Aku lihat kesempitan hidup mereka pada kali pertama tetapi kemudian aku lihat al-Dar`iyyah selepas itu - pada zaman Sa`ud, penduduknya memiliki harta yang banyak dan senjata disaluti emas, perak, kuda yang baik, para bangsawan, pakaian mewah dan lain-lain lagi daripada sumber-sumber kekayaan sehinggakan lidah kelu untuk berkata-kata dan gambaran secara terperinci tidak mampu dihuraikan.”
“ Aku lihat tempat orang ramai pada hari itu, di tempat dikenali al-Batin - aku lihat kumpulan lelaki di satu pihak dan wanita di satu pihak lagi, aku lihat emas, perak, senjata, unta, kuda, pakaian mewah dan semua makanan tidak mungkin dapat digambarkan dan tempat itu pula sejauh mata memandang, aku dengar hiruk-pikuk suara-suara penjual dan pembeli … “
Al-Alusi dalam penjelasannya tentang Wahhabi mengatakan: “ Mereka menerima hadith-hadith yang datang daripada Rasulullah (s.`a.w) bahawa Allah turun ke langit dunia dan berkata: Adakah orang-orang yang ingin memohon keampunan?”[13][14] Sehinggalah dia mengatakan: “ Mereka mengakui bahawa Allah ta`ala datang pada hari Qiyamat sebagaimana kata-Nya: “ dan pada hari itu diperlihatkan neraka Jahannam, dan pada hari itu ingatlah manusia akan tetapi tidak berguna lagi mengingat itu baginya “ (al-Fajr (89): 23) dan sesungguhnya Allah menghampiri makhluk-Nya menurut kehendak-Nya seperti yang disebutkan: “ dan Kami lebih hampir kepadanya daripada urat lehernya “ (Qaf (50): 16).
Dapat dilihat dalam kitab al-Radd `ala al-Akhna’i oleh Ibn Taimiyyah bahawa dia menganggap hadith-hadith yang diriwayatkan tentang kelebihan ziarah Rasulullah (s.`a.w) sebagai hadith mawdu` (palsu). Dia juga turut menjelaskan “ orang yang berpegang kepada akidah bahawa Nabi masih hidup walaupun sesudah mati seperti kehidupannya semasa baginda masih hidup,” dia telah melakukan dosa yang besar. Inilah juga yang diiktiqadkan oleh Muhammad bin `Abd al-Wahhab dan para pengikutnya, bahkan mereka menambahkan pemalsuan dan kebatilan Ibn Taimiyyah tersebut.
Para pengikut akidah Wahhabi yang batil memberikan tanggapan kepada para pengkaji yang melakukan penyelidikan mengenai Islam - menerusi pemerhatian dan penelitian kepada kitab-kitab mereka dan mengenali Islam menerusi bahan-bahan cetakan mereka sendiri - hingga menyebabkan mereka akhirnya beranggapan bahawa Islam adalah agama yang kaku, beku, terbatas dan tidak dapat dimanfaatkan pada setiap masa dan zaman.
Wa min Allah at Tawfiq
Benarkah Wahhabiyah Pewaris sejati Madzhab salaf? (1)
Benarkah Wahhabiyah Pewaris sejati Mazhab Salaf? (1)
Mentawîl Ayat-ayat Sifat Adalah Mazhab Salaf Shaleh
Ada dua poin yang perlu dicermati dengan teliti, Pertama, mazhab Wahhabi kental dengan faham Tasybîh dan Tajsîm dalam memahami nash-nash tentang sifat Allah SWT. tetapi mereka selalu mengelaknya dan berbelit-belit dalam membela diri. Kedua, mereka mengklaim bahwa faham mereka itu adalah representatif faham para sahabat Nabi dan tabi’în serta Salaf Ummat ini.
Dalam klaim mereka para sahabat dan tabi’în dalam menyikapi ayat-ayat atau hadis-hadis sifat adalah memberlakukan pemaknaannya dengan makna lahiriyah yang dikesankan oleh lahir lafadznya. Kata عينٌ - ساقٌ- يَدٌ- dan semisalnya harus dimaknai secara lahiriyah apa adanya tanpa memasukkan unsur majazi yang akrab dipergunakan dalam sastra Arab. Kata يدٌ harus dimaknai tangan, kata عينٌ harus dimaknai mata, dan kata ساق harus dimaknai betis. Ketika kata-kata itu dipergunakan untuk menyebut sifat Allah SWT. [1] maka arti yang sama pula harus kita fahami darinya.
Dasar pemahaman seperti ini tidak asing dalam pola pikir Sekte Wahhabiyah dan dapat dengan mudah kita temukan keterangan dan uraiannya dalam buku-buku akidah mereka. Jadi tidak perlu rasanya saya menyebutkannya lagi dari keterangan mereka. Artikel ini, tidak bermaksud menyalahkan atau mendukung pola pandang seperti itu. Hanya saja yang menjadi sorotan artikel kali ini adalah apakah benar para sahabat dan tabi’în (Salaf Shaleh) berfaham seperti itu? Sepertinya, para arsitek Sekte Wahhabiyah perlu mencari pembelaan bahwa mazhab mereka dalam masalah sifat Allah ini adalah memiliki akar historis yang menyambungkannya kepada generasi awal Islam yang cemerlang… tentunya agar dapat menarik para peminat agar tergiur dengan slogan, “Mazhab kami adalah mazhab Salaf; Sahabat dan Tabi’în” … Minimal itu adalah trik pemasaran yang sungguh simpatik dan diharap dapat mendongkrak tinggkat minat para konsumen.
Mazhab Salaf Bertolak-belakang dengan Faham Wahhabiyah!
Para tokoh Sekte Wahhabiyah, seperti Ibnu Utsaimin dan lainnya telah panjang lebar mengkritik segala bentuk usaha mena’wilkan ayat-ayat atau hadis-hadis sifat. Mereka mengecamnya sebagai slogan kaum Jahmiyah dan Mu’aththilah… telah menyalai Al Qur’an dan Sunnah serta telah terjebak oleh kesesatan para filsuf. Kepalsuan slogan mereka ini telah memikat sebagian pelajar agama yang belum matang pemahaman agamanya. Bahkan tidak jarang muncul anggapan bahwa mena’wîl ayat-ayat sifat adalah dhalâl, kesesatan, bid’ah, terjangkit faham Jahmiyah dan para salaf tidak mengenal ta’wîl !! Akan tetapi, setiap yang mau menyempatkan diri membuka-buka lembaran kitab para ulama pasti akan mengetahui dengan gamblang bahwa para Salaf; generasi terdahulu, sahabat, tabi’în dan tabi’ut tabi’în telah melibatkan diri dalam mena’wil ayat-ayat atau hadis-hadis sifat… mereka menegaskan bahwa dzahir sebagian ayat sifat itu bukan yang dimaksud olehnya. Dan sikap mereka itu pastilah diambil dari Kitabullah dan Sunnah Nabi saw. yang shahihah. Dalam kesempatan ini saya akan sebutkan beberapa contoh dari ta’wîl mereka agar dimengerti bahwa klaim kaum Wahhabi dalam hal ini adalah tidak berdasar dan justru bukti-bukti yang ada menentang klaim mereka!
Al Qur’an dan Sunnah Mengajarkan Ta’wîl
1) Allah SWT telah mengajari kita ta’wîl [2] dalam kitab suci-Nya. Allah SWT berfirman:
نَسُوا اللهَ فَنَسِيَهُمْ
“mereka telah lupa kepada Allah, Maka Allah melupakan mereka.” (QS.9 [at Taubah] :67)
إِنَّا نَسِيْناكمْ
“Sesungguhnya Kami telah melupakan kamu.” (QS.32 [as Sajdah];14)
Ayat-ayat yang menyebutkan sifat lupa bagi Allah SWT haruslah dita’wîl dengan makna selain makna dzahirnya. Allah Maha Suci dari sifat lupa kendati kata lupa telah dipergunakan dalam ayat-ayat Al Qur’an untuk Allah SWT. Kita tidak dibenarkan menetapkan sifat lupa bagi Allah SWT. walaupun dengan mengatakan bahwa “lupa Allah tidak seperti lupa kita”, seperti yang biasa dikatakan oleh kaum Musyabbihah/Wahhabi ketika menyebut beberapa sifat Allah yang tertera dalam Al Qur’an, sebab Allah telah berfirman:
وَ ما كانَ رَبُّكَ نَسِيًّا
“… dan tidaklah Tuhanmu lupa.” (Q.S. Maryam: 64)
Tidaklah halal bagi seorang yang berakal waras untuk mengatakan bahwa “Allah lupa, tetapi tidak seperti lupa kita, Allah duduk tetapi tidak seperti duduk kita, Allah bersemayam di langit tetapi Dia tidak menyerupai sesuatu apapun.” Kata-kata terakhir (tetapi tidak seperti lupa kita dll.) tidak berguna sama sekali, ia tidak dapat menghindarkan dari tuduhan tasybîh dan tajsîm, sebab tidak semua kata yang datang dalam sifat Allah SWT. dapat ditetapkan sebagai sifat bagi Allah secara lahiriyah.
Ketika kaum Wahhabi mengatakan Allah duduk, Allah turun, maka tidaklah berguna kata-kata yang mengatakan bahwa duduk dan turun Allah tidak seperti duduk dan turun kita, sebab turun itu artinya pergeseran dan perpindahan dari sebuah tempat yang lebih tinggi ke tempat lain yang lebih rendah, artinya ada gerak di situ, lalu apabila setelah menetapkan sifat itu bagi Allah SWT kita mengatakan tetapi tidak seperti duduk dan turun kita maka kita akan menafikannya, baik kita sadari atau tidak.
Jadi kata-kata itu adalah kontradiksi belaka, sebab yang namanya turun meniscayakan adanya gerak, dan gerak adalah sifat makhluk, hâdits. Jika dikatakan adanya turun tetapi tanpa gerak, itu tidak logis dan benar-benar telah menjungkir-balikkan makna bahasa!! Itu adalah kontradiksi antara pembukaan kalimat dan akhirannya! Berbeda dengan ketika kita mengatakan, “Allah Maha mendengar, Samî’ tetapi tidak seperti pendengaran kita, Allah Maha Melihat, Bashîr tetapi tidak seperti penglihatan kita” sebab maksud “Allah Maha Mendengar” ialah kita menetapkan sifat mendengar, sam’u, kemudian kita menyucikan Allah dari kebutuhan kepada alat bantu dalam mendengar yaitu telinga. Di sini dapat dibayangkan adanya sifat mendengar tanpa bantuan alat kemudian kita menyerahkan kepada Allah pengetahuan tentang bagaimana sifat Maha Mendengar itu, sebab sifat Dzat Maha Pencipta tidaklah mampu dijangkau oleh makhluk-Nya yang serba lemah ini. Di sini ada penetapan sifat dan ada penyucian dari menyerupai makhluk-Nya dan kemudian men-tafwîdh [3] , menyerahkan ilmu tentangnya kepada Allah SWT. dan itu sangatlah berbeda dengan ucapan kaum Wahhabi, “Allah duduk, Allah turun tetapi tidak seperti duduk dan turunnya kita.” Seperti telah disebutkan sebelumnya.
Kenyataan ini akan makin jelas dengan memerhatikan contoh di bawah ini.
2) Dalam Shahih Muslim disebutkan sebuah riwayat hadis qudsi:
يَا ابنَ آدَمَ مَرِضْتُ فَلَم تَزُرْنِيْ قال: يا ربِّ كيفَ أَعودُكَ وَ أنتَ ربُّ العالَمِيْنَ، قال: أمَا علِمتَ أَنَّ عبْدِيْ فلانًا مَرِضَ فلَمْ تَعُدْهُ، أما علمتَ أَنَكَ لو عُدْتَهُ وَجَدْتَنِي عِنْدَهُْ
“Hai anak Adam, Aku sakit tapi engkau tidak menjenguk-Ku. Ia [hamba] berkata, ‘Bagaimana aku menjenguk-Mu sementara Engkau adalah Rabbul ‘Âlamîin?’ Allah menjawab, ‘Tidakkah engkau mengetahui bahwa hamba-Ku si fulan sakit, engkau tidak menjenguknya, tidakkah engkau mengetahui bahwa jika engkau menjenguknya engkau akan dapati Aku di sisinya…“ (HR. Muslim,4/1990, hadis no.2569)
Wahai Saudaraku:
Wahai Anda yang berakal waras, bolehkah kita mengatakan, “Kita akan menetapkan bagi Allah sifat sakit, tetapi sakit Allah tidak seperti sakit kita; makhluk-Nya?!! Bolehkah kita meyakini bahwa jika ada seorang hamba sakit maka Allah juga akan terserang sakit, dan Dia akan berada di sisi si hamba yang sakit itu?, dengan pemahaman dzahir teksnya dan dengan tanpa memasukkan unsur majazi?!! Pasti tidak!!
Bahkan kita berhak mengatakan bahwa siapa saja yang mensifati Allah dengan “Sakit” atau “Dia sedang Sakit” dia benar-benar telah kafir! Sementara pelaku pada kata kerja مَرِضْتُ adalah kata ganti orang pertama/aku/si pembicara yaitu Allah. Jadi berdasarklan dzahir teks dalam hadis itu, Allah-lah yang sakit. Tetapi pastilah dzahir kalimat itu bukan yang dimaksud. Kalimat itu harus dita’wîl. Demikian pandangan setiap orang berakal. Dan ini adalah sebuah bukti bahwa Sunnah pun mengajarkan ta’wîl kepada kita.
Makna hadis di atas menurut para ulama sebagaimana diuraikan Imam Nawawi dalam Syarah Muslim sebagai berikut, “Para ulama berkata, ‘disandarkannya sifat sakit kepada-Nya sementara yang dimaksud adalah hamba sebagai tasyrîf, pengagungan bagi hamba dan untuk mendekatkan. Para ulama berkata tentang maksud ‘engkau akan dapati Aku di sisinya’ engkau akan mendapatkan pahala dari-Ku dan pemuliaan-Ku… “ (Syarah Shahih Muslim,16/126)
Berdasarkan kaidah yang ditegakkan di atas pondasi Al Qur’an dan Sunnah di atas, para sahabat, tabi’în dan para imam mujtahidîn berjalan dalam memahami ayat-ayat dan hadis-hadis sifat.
Untuk lebih meyakinkan mari kita ikuti ta’wîl mereka sebagai terangkum di bawah ini.
Ibnu Abbas ra. Menta’wîl
Di antara sahabat besar yang berjalan di atas kaidah ta’wîl adalah Sayyiduna Ibnu Abbas ra., anak paman Rasulullah saw. dan murid utama Imam Ali -karramallahu wajhahu- dan pernah mendapat do’a Nabi saw. , “Ya Alah ajarilah dia (Ibnu Abbas) tafsir Kitab (Al Qur’an).” (HR. Bukhari)
Telah banyak riwayat yang menukil ta’wîl beliau tentang ayat-ayat sifat dengan sanad yang shahih dan kuat.
Di bawah ini akan saya sebutkan sebagiannya.
1) Ibnu Abbas menta’wîl ayat:
يومَ يُكْشَفُ عَنْ ساقٍ
“Pada hari betis disingkapkan.” (QS.68 [al Qalam]:42)
Ibnu Abbas ra. berkata, “Disingkap dari kekerasan (kegentingan).”
Di sini kata ساقٍ (betis) dita’wîl dengan makna شِدَّةٌ kegentingan.
Ta’wîl di atas telah disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathu al Bâri,13/428 dan Ibnu Jarir dalam tafsirnya,29/38. Ia mengawali tafsirnya dengan mengatakan, “Berkata sekelompok sahabat dan tabi’în dari para ahli ta’wîl , maknanya ialah, “Hari di mana disingkap (diangkat) perkara yang genting.”
Dari sini tampak jelas bahwa menta’wîl ayat sifat adalah metode para sahabat dan tabi’în. Mereka adalah salaf kita dalam metode ini.Ta’wîl itu juga dinukil oleh Ibnu Jarir dari Mujahid, Said ibn Jubair, Qatadah dll.
2) Ibnu Abbas ra. menta’wîl ayat:
و السَّمَاءَ بَنَيْناهَا بِأَيْدٍ و إِنَّا لَمُوسِعُونَ
“Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan Sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa.” (QS.51 [adz Dzâriyât] : 47)
Kata أَيْدٍ secara lahiriyah adalah telapak tangan atau tangan dari ujung jari jemari hingga lengan, ia bentuk jama’ dari kata يَدٌ. (Baca Al Qamûs al Muhîth dan Tâj al ‘Ârûs,10/417.)
Akan tetapi Ibnu Abbas ra’ di sini mena’wîlnya dengan بِقُوَّةٍ dengan kekuatan. Demikian diriwayatkan al Hafidz Imam Inbu Jarir ath Thabari dalam tafsirnya, 7/27. Selain dari Ibnu Abbas ra., ta’wîl serupa juga diriwayatkannya dari para tokoh tabi’în dan para pemuka Salaf Shaleh seperti Mujahid, Qatadah, Manshur Ibnu Zaid dan Sufyan.
3) Ibnu Abbas ra. menta’wil ayat yang menyebut Allah melupakan kaum kafir dengan ta’wîl ‘menelantarkan/membiarkan’.
Allah SWT berfirman:
فَاليومَ نَنْساهُمْ كما نَسُوا لِقاءَ يومِهِم هَذَا
“Maka pada hari ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini…” (QS.7 [al A’râf];51)
Ibnu Jarir berkata:
‘Yaitu maka pada hari ini yaitu hari kiamat, kami melupakan mereka, Dia berfirman, Kami membiarkan mereka dalam siksa… “ (Tafsir Ibnu Jarir,8/201)
Di sini Ibnu Jarir mena’wîl kata melupakan dengan membiarkan. Dan ia adalah pemalingan sebuah kata dari makna aslinya yang dzahir kepada makna majazi/kiasan. Beliau telah menukil ta’wîl tersebut dengan berbagai sanad dari Ibnu Abbas ra., Mujahid dll. Ibnu Abbas ra. adalah seorang sahabat besar dan pakar dalam tafsir Al Qur’an….Mujahid adalah seorang tabi’în agung…Ibnu Jarir ath Thabari adalah Bapak Tafsir kalangan Salaf…
Catatan:
Para tokoh sentral Sekte Wahhabiyah, seperti Syeikh Abdurrahman ibn Hasan Âlu Syeikh, tidak meragukan sedikitpun keagungan Ibnu Abbas dan murid-murid beliau dan bahwa mereka adalah tokoh-tokh ahli tafsir generasi tabi’în. [4]
Ketika menyebut Mujahid misalnya, Syeikh Abdurrahman ibn Hasan Âlu Syeikh berkata: “Mujahid adalah Syeikh, tokoh ahli tafsir, seorang Imam Rabbani, naman lengkapnya Mujahid ibn Jabr al Makki maula Bani Makhzûm. Fadhl ibn Maimûn berkata, ‘Aku mendengar Mujahid berkata, ‘Aku sodorkan mush-haf kepada Ibnu Abbas beberapa kali, aku berhenti pada setiap ayat, aku tanyakan kepadanya; tentang apa ia turun? Bagaimana ia turun? Apa maknanya?.”Ia wafat tahun102H pada usia 83 tahun, semoga Allah merahmatinya. Ibnu Abdil Wahhab sendiri telah berhujjah dan mengandalkannya dalam banyak masalah dalam kitab at Tauhidnya.
Dengan demikian ke-salaf-an mereka tidak diragukan bahkan oleh Wahhabiyah sendiri!!! Jadi sekali lagi jelaslah bahwa telah tetap adanya metode ta’wîl oleh para salaf. Dan di atas jalan inilah para ulama, seperti Imam al Asy’ari dan para pengikutnya berjalan. Jadi jika ada yang menuduh sikap menta’wîl adalah sikap menyimpang dan berjalan di atas kesesatan faham Jahmiyah, dan ber-ilhad [5] dalam ayat-ayat dan asmâ Allah seperti yang dituduhkan kaum Wahhabi, semisal Ibnu Utsaimin [6] dan kawan-kawannya, maka ia benar-benar telah kebelinger dan benar-benar dalam kekeliruan nyata!! Dari sini dapat dimengerti betapa palsunya klaim mengikuti Salaf yang selalu dipropagandakan kaum Wahhabi untuk menipu kaum awam.
Semoga kita diselamatkan dari kesesatan dan penyimpangan dalam agama. Amîn Ya Rabbal Âlamin.
___________________________
[1] Sebenarnya, kata-kata itu bukan disebut sebagai sifat, apalagi Sifat Dzatiyah Allah, ia adalah kata-kata yang di-idhafah-kan (disandarkan) kepada Allah SWT., seperti: يد الله ,عين الله di nama kata يد di-idhafah-kan/disandarkan kepada Allah. Jadi pada dasarnya, salahlah mereka yang menyebutnya sebagai sifat! Berbeda dengan kata: سميع- بصير-عليم kata-kata itu dan semisalnya benar sebagai kata sifat, jika ia disematkan untuk Allah maka ia adalah sifat Allah SWT. Semoga kami berkesempatan menguraikan masalah ini lebih rinci dalam kesempatan lain.
[2] Ta’wîl dimaksud di sini adalah mengartikan sebuah kata atau kalimat bukan dengan makna dzahir karena ada alasan yang mengharuskan atau membenarkan pemindahan makna dari makna hakiki kepada makna majazi. Dan jika ada yang keberatan dengan istilah ta’wil maka kami tidak keberatan jika istilah itu diganti dengan istilah lain, apapun namaya, sebab yang penting bagi kami adalah esensi masalah bukan bertengkar tentang istilah dan penamaan. Harap dimengerti dengan baik!
[3] Dalam artikel lain insyaallah akan dibahas masalah tafwîdh.
[4] Fathu al Majîd Syarah KItab at Tauhîd:405.
[5] Ber-ilhad dalam ayat-ayat dan asma’ Allah adalah sikap memplesetkan ayat-ayat dan asma’ Allah yang sangat dikecam keras dalam Al- Qur’an. Secara bahasa kata ilhâd artinya membelokkan/memiringkan. Ber-ilhad dalam sifat dan asma’ Allah itu dilakukan dengan salah satu dari tiga sikap, 1) menolak, 2) menta’wil dan 3) menyalahinya. Menta’wil dalam pandangan Wahhabiyah sama dengan men-tahrif (memplesetkan/merusak makna hakiki). Ibnu Utsaimin mendefenisikan tahrîf dengan mengataan, ”Men-tahrif itu merubah lafadznya atau memalingkan maknanya dari yang dimaukan Allah dan Rasul-Nya, seperti ia berkata, kata استوى على العرش Allah bersemayam di atas Arsy-Nya diartikan menguasai Arsy-Nya. Atau ينزِلُ ربُّنا إلي السماء الدنيا Tuhan turun ke langit dunia diartikan dengan turun perkara-Nya, bukan Tuhan yang turun! (Baca Syarah Aqidah al Washithiyah: 63.) Jadi siapapun yang menta’wil ayat-ayat sifat berarti ia benar-benar telah ber-ilhad dalam asmâ’ Allah dan itu sikap menentang dan merusak agama dan ia sangat terkecam! Demikianlah kaum Wahhabi memahami agama dan menyikapi para sahabat Nabi mulia dan para Salaf Shaleh! Para sahabat kini mereka tuduh sebagai kaum Mulhidîn dalam asmâ’ dan ayat-ayat Allah SWT., sementara itu dalam rangka mengelabui kaum awam mereka mengklaim bahwa mazhab mereka adalah mazhab para sahabat dan Salaf Shaleh! Alangkah buruknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta.” (QS.18 [al Kahfi]:5).
[6] Syarah Aqidah al Washithiyah: 58-63.
Benarkah Wahhabiyah Pewaris Sejati Mazhab salaf ? (2)
Benarkah Wahhabiyah Pewaris Sejati Mazhab salaf ? (2)
Mazhab Tafwîdh Adalah Mazhab Salaf Shaleh
Setelah kami terangkan sebelumnya bawa ta’wîl adalah mazhab Salaf yang telah tetap berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah, kini mari kita teliti masalah tafwîdh.
Tafwîdh dimaksud di sini ialah menyerahkan pemaknaan kata atau kalimat kepada Allah SWT. dengan tidak menafsirkannya, baik makna maupun kaif-nya [1]
Imam Ahmad ibn Hanbal berkata ketika ditanya tentang hadis-hadis sifat:
نُؤْمِنُ بِها و نُصَدِّقُ بها ولا كيف ولا مَعْنَى.
“Kami mengimaninya, mempercayainya, dan tanpa kaif dan makna.”
Pernyataan ini telah dinukil dengan sanad shahih oleh al Khallâl. Dan penegasan para imam Salaf bahwa sikap yang harus ditempuh adalah memberlakukan kata-kata sifat itu sebagimana datang dalam ayat atau riwayat dengan tidak memberikan makna apapun dan terjun dalam menerangkan apa maksudnya adalah sangat banyak untuk dinukil di sini. Di antaranya apa yang ditegaskan Imam at Turmudzi dalam kitab Sunan-Nya:“ Mazhab yang benar dalam masalah ini menurut ahli ilmu dari para imam, seperti Sufyan ats Tsawri, (Imam) Malik ibn Anas, Ibnu Mubârak, Ibnu Uyainah, Wakî’ dan selain mereka ialah mereka meriwayatkan hadis-hadis seperti ini kemudian mereka berkata, ‘Hadis-hadis seperti itu diriwayatkan, kita imani dan tidak berkta kaif (bagaimana)?
’ وَ هذا الذي اختارَهُ أهلُ الحديثِ أنْ تُرْوَى، ولا تُفَسَّر، ولا تُتَوَهَم، ولا يُقالُ كيفَ، و هذا أَمْرُ أهلِ العلمِ الذي اختاروه و ذهبوا إليهِ
Inilah mazhab yang dipilih oleh Ahli Hadis, hadis-hadis seperti ini diriwayatkan sebagaiamana datangnya, (1) diimani, (2) tidak ditafsirkan, (3) tidak dibayang-bayangkan dan (4) tidak dikatakan kaif?. Inilah pandangan Ahli Ilmu yang mereka pilih dan tempuh.”
Wahai Saudaraku:
dan kata-kata beliau ولا تُفَسَّر (tidak ditafsirkan) adalah senada dengan ucapan sebagian ulama Salaf ketika berkata:
قِراءَتُها تَفْسِيْرُها
“Membacanya itulah tafsirnya.”
Sedangkan maksud kata: ولا تُتَوَهَم (tidak dibayang-bayangkan) ialah hendaknya dipalingkan dari makna dzahirnya yang mengesankan adanya penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya, dengan menyerahkan makna yang sebenarnya kepada Allah SWT. Adapun kaif (bagaimana) bentuk dan modelnya maka tidak perlu diserahkan maknanya kepada Allah SWT sebab kaif itu adalah mustahil bagi Allah SWT. seperti ditegaskan Imam Malik:
ولا كيفَ و كيفٌ عنْهُ مرفُوْعٌ
“Tidak boleh dikatakan kaif, sebab kaif itu terangkat (mustahil bagi Allah).
”Maksudnya ialah tidak boleh dibayang-bayangkan bagaimana bentuk dan modelnya sifat Allah itu. Inilah mazhab Salaf. Adz Dzahabi mengutip pernyataan Imam Malik tentang hadis-hadis sifat:
أَمِرُّها كما جاءَتْ بِلا تفسيْرٍ.
“Berlakukan hadis-hadis itu sebagaiaman datangnya tanpa ditafsirkan.” (Siyar A’lâm an Nubalâ’, 8/105).
Pada beberapa lembar adz Dzahabi berkata:
“Ucapan kami dalam masalah ini: menerimanya, memberlakukannya dan menyerahkan maknanya kepada penyabdanya yang ma’shum.”Di sini adz Dzahabi menegaskan bahwa yang harus ditempuh adalah tafwîdh/menyerahkan maknanya kepada yang ma’shum! Dan pandangan seperti ini sesuai dengan pandangan Imam Ahmad di atas:
ولا كيف ولا مَعْنَى.
“… Tanpa kif dan makna.”
Dengan demikian jelaslah bahwa mazhab Salaf; Imam Ahmad dan para imam dan ahli hadis seperti adz Dzahabi dan lainnya adalah tafwîdh dan ini adalah akidah yang diyakini para pemuka agama ini dari kalangan Salaf dan Khalaf yang sesuai dengn firman Allah SWT.:
“… Padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.”
Ibnu Hajar al Asqallani menyebutkan bahwa ada tiga aliran dalam menyikapi nash-nash tentang sifat…. “Aliran Ketiga: Memberlakukannya sebagaimana datangnya dengan menyerahkan maknanya kepada Allah –Ta’alâ-“ Setelahnya beliau berkomentar, “Ath Tahyyibi berkata, ‘Ini adalah mazhab yang mu’tamad (dipegangi) dan dengannya para Salaf Shaleh bermazhab.
”Ibnu Hajar sendiri cenderung mendukung poendapat tafwîdh, ia berkata, “Yang benar adalah menahan diri dari pembahasan seperti ini dan menyerahkannya kepada Allah dalam semuanya dan bercukup-cukup dengan mengimani semua yang Allah tetapkan dalam Kitab-Nya atau atas lisan Nabi-Nya.” (Fathu al Bâri,13/383)
Beberapa halaman setelahnya, Ibnu Hajar berkata mengutip al hafidz Ibnu Daqîqil Ied, “Ibnu Daqîqil Ied berkata, ‘Kami berpendapat tentang sifat-sifat yang musykil bahwa ia benar dan haq, sesuai dengan makna yang dikehendaki Allah. Maka barang siapa mena’wilnya, kami akan perhatikan ta’wilnya, jika ia dekat dengan penggunaan bahasa Arab, kami tidak menentangnya, jika jauh menyimpang maka kami berhenti dan kembali kepada hanya mengimaninya dengan meniadakan penyerupaan, tanzîh.” (Fathu al Bâri,13/383)
Wahai Saudaraku:
Keterangan Ibnu Daqîqil Ied di atas adalah kokoh, darinya dimengerti bahwa ta’wil dan juga tafwîdh adalah metode yang ditempuh para pemuka Salaf. Dan pandangan ini didukung oleh Al Qur’an dan Sunnah! Jadi salahlah anggapan sementara orang yang mengatakan bahwa tafwîdh adalah mazhab Salaf dan ta’wil adalah mazhab Khalaf. Sebab para tokoh Salaf juga melakukan ta’wil dan kondisi tertentu dan menyerahkan maknanya kepada Allah dalam kondisi dan kasus lain.
Dari sini dapat dimengerti bahwa tuduhan Kaum Wahhabiyah yang diambilnya dari panutan mereka; Ibnu Taimiyah al Harrâni bahwa tafwîdh adalah mazhab paling keji dan menyimpang di antara mazhab-mazhab ahli bid’ah adalah kepalsuan belaka! Ibnu Taimiyah berkata:
فَتَبَيَّنَ أَنَّ أقْوالَ أهلِ التفويضِ الذينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ مُتَّبِعُونَ لِلسُّنَّةِ و السلفِ مِنْ شَرِّ أَقوالِ أهلِ البِدَعِ و الإلْحادِ.
“Maka jelaslah bahwa ucapan ahli tafwîdh yang mengaku-aku mengikuti Sunnah dan para Salaf adalah sejelek-jeleknya ucapan ahli bid’ah dan kaum pengingkar Tuhan, ilhâd.” [2]
Tuduhan palsu ini segera mendapat tempat istimewa di kalangan penggede Sekte Wahhabiyah dan dijadikannya hujjah seakan ia wahyu suci yang tiada kebaitilan datang kepadnya baik dari arah depan maupun belakang, firman yang diturunkan dari Dzat Yang Maha Bijak dan Mengetahui!
Ibnu Utsaimin, seorang pimpinan tertinggi Sekte Wahhabiyah setelah kematian Abdul Aziz ibn Bâz, mengatakan,
“Dengannya kita mengetahui kesesatan atau kebohongan mereka yang berkata, ‘mazhab Salaf adalah tafwîdh’. Mereka sesat jika mengatakannya dengan dasar kebodohan akan thariqah Salaf, dan mereka berbohong jika mereka menyengaja memalsu…Ringkas kata, tidak diragukan bahwa mereka yang berkata bahwa mazhab Ahlusunnah adalah tafwîdh telah salah, sebab mazhab Ahlusunnah adalah menetapkan makna (apa adanya, seperti telah disinggung sebelumnya_Abu Salafy) dan menyerahkan kaif.Ketahuilah bahwa tafwîdh -seperti dikatakan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah- adalah sejelek-jeleknya ucapan Ahli Bid’ah dan pengingkar Tuhan.” [3]
Selain Ibnu Utsaimin, tokoh Wahhabiyah lain seperti Syeikh Nashiruddin al Albani- yang hanya kenyang dengan uraian Ibnu Taiymiah dan miskin dari siraman uraian para ulama Ahlusunnah- juga terjatuh dalam lembah kebodohan tersebut. Ketika mengomentari kitan Sunnah karya Ibnu Abi Âshim:212, pada ucapan Ibnu Abbas ra., “Mengapakah mereka berpaling dari ayat-ayat yang muhkamât dan binasa dalam ayat-ayat mutasyâbihât.” Ia berkata, “Mereka dipalingkan darinya oleh ta’wîl dan tafwîdh.”
Kata-kata Syeikh Albani ini sungguh mengelikan dan terasa lucu bagi santri abangan sekalipun… tetapi apa hendak dikata, sebab ia pengetahuannya hanya terbatas pada kitab-kitab akidahk Ibnu Taimiyah dan kaum Mujassimah lainnya. Maka atas dasar ini, para tokoh Salaf yang telah kami kutip keterangan dan pandangan mereka tentang tafwîdh adalah sejelek-jelek ahli bid’ah dan mereka adalah kaum Mulhidûn,pengingkar Tuhan dan tentunya tidak sungkan-sungkan mereka juga akan menvonis mereka sebagai telah kafir!Dan inilah Wahhabi… semua ahli bid’ah! Semua kafir! Semua mulhid! Yang muwahhid dan ahlusunah hanya Ibnu Taimiyah, Ibnu Abdul Wahhâb dan para pengikutnya.
Selamat atas umat Islam dengan lahirnya Jama’ah Takfiriyah ala Ibnu Taimiyah dan Ibnu Abdil Wahhâb!
____________________________
[1] Kaif maksudnya ialah model atau bentuk sesuatu. Para ulama Salaf tidak menafsirkan ayat atau hadis sifat dengan menyebutkan bagaimana bentuk atau model dari sifat itu, seperti kata –فَرِحَ – ضَحِكَ -غَضِبَ ketika disandarkan kepada Allah SWT. mereka tidak melibatkan diri dalam memaknainya, mereka menyerahkan pemaknaannya kepada Allah SWT. dan salahlah orang yang menganggap bahwa para ulama Salaf mengatakan bahwa sifat-sifat seperti itu memiliki kaif hanya saja ia majhûl tidak diketahui. Ini adalah kebohongan atas nama Salaf!! Perhatikan ini!
[2] Al Muwâqah,1/180. Adapun apa yang ia sebutkan untuk membuktikan ucapannya di atas bahwa para sahabat telah menafsirkan Al Qur’an adalah tidak benar, sebab, memang benar bahwa para sahabat telah menafsirkan Al Qur’an, tetapi mereka dalam banyak kali menyerahkan hakikat makna ayat-ayat sifat kepada Allah… mereka men-tafwidh-kannya kepada Allah SWT. Inilah yang inti dari sikap mereka, dan bukan menafsirkan dengan menetapkan sifat-sifat itu sesuai apa adanya tanpa melibatkan unsur majazi, seperti yang dimaukan Ibnu Taimiyah dan kaum Mujassimah; Musyabbihah lainnya!
[3] Syarah Aqidah al Wâshithiyah:43-44.
Latar Belakang Doktrin Mazhab Takfiriyah (1)
Melacak Akar Ekritmisme Interen!
Sejarah Islam pernah dicemari dengan sikap kaku dan sok paling Islami sendiri yang dilakonkan oleh sekelompok orang dungu, kaku, dangkal pemahaman agamanya dan berhati kaku bak batu. Kelompok ini kemudian dikenal dengan julukan Khawarij. Dan dalam banyak hadis yang diriwayatkan para muhaddis, konon Nabi saw. pernh menjuluki mereka dengan Kilâbun Nâr/anjing-anjing neraka!
Ciri paling menonjol kelompok ini -selain kegetolan dalam menjalankan ritual-ritual Islam walaupun dengan dasar kebodohan- adalah sikap ekstrim internal. Mereka bersikap keras, kaku tak kenal toleransi terhadap sesama kaum Muslim yang berbeda faham dengan mereka. Mereka tidak ragu-ragu menjatuhkan vonis kafir terhadap kelompok lain selain kelompok mereka.
Mulai Khalifah Ali ibn Abi Thalib –karramallahu wajhahu- hingga para pendukung setia beliau telah mereka kafirkan. Vonis itu mereka jatuhkan dengan satu alasan yang sangat naïf sekali, yaitu karena Khalifah Ali ra. Mau menerima tahkîm yang sebenarnya juga atas paksaan mereka setelah mereka tertipu dengan tawaran pihak pemberontak yang dipimpin oleh Mu’awiyah ibn Abi Sufyan dan ‘Amr ibn al ‘Âsh. Dengan alasan karena Khalifah Ali ra. telah memposisikan manusia sebagai hakim/pelerai masalah, maka Ali telah sebab hak sebagai hakim adalah hak Allah SWT.
Setelah itu mereka lebih bersikap aneh, ketika menvonis kafir dan halal darahnya orang yang tidak mengafirkan Khalifah Ali ra. dan semua kaum Muslim yang tidak sejalan dengan faham mereka!
Ringkas kata, pilar akidah mereka paling dasar adalah mengafirkan kelomok lain!
Mereka dapat disebut sebagai biang doktrin Jama’ah Takfiriyah yang berwawasan cupet dan mudah menvonis kafir siapapun yng berbeda faham atau pendapat dengannya.
Kecenderungan bersikap “ektrim internal” ini tidak berhenti di sini. Virus penyakit ini terus menjalar dan menjangkit banyak kalangan yang dangkal, kaku dan berpikiran “hitam putih”.
Kendati banyak sabda Nabi saw. yang mengecam sikap takfiîr sesama Muslim, sepertinya tidak mereka indahkan. Mereka terus saja bergelimang dalam lembah takfîr dan dengan seribu satu sikap justivikasi yang mau menang sendiri mereka terus maju tak gentar mengafirkan kaum Muslim.
Kelompok Hanâbilah[1] Pewaris Manhaj Takfîr!
Hampir seluruh kelompok dan aliran dalam Islam terjebak dalam jaring perangkap Takfîr, tidak terkecuali kelompok-kelompok yang ternaungi dalam payung Ahlusunnah pun, seperti Hanâbilah, Asy’ariyah dan lainnya.
Mereka saling melempar tuduhan takfîr dalam perselisihan mereka seputar masalah-masalah rincian akidah yang masih dibenarkan terjadi perbedaan pemahaman di dalamnya. Akan tetapi gentingnya permusuhan yang terjadi sa’at itu membuat mereka lupa akan prinsip-prinsip dasar Islam yang menyatukan mereka dan akhirnya berbgai tuduhan keji saling terlontar sampai batas pengafiran individu dan komunitas!
Buku-buku akidah yang kental dengan nuansa pertentangan dan permusuhan telah banyak ditulis dan dipublikasikan… diajarkan dan dijadikan kurikulum halaqah-halaqah dars dan diskusi kalangan santri dan penuntut ilmu-ilmu Islam bahkan di sebagian negeri-negeri Islam masih dijadikan buku paket andalan dalam pengajaran akidah Islammyah.
Para pembesar ulama Islam, seperti Imam Abu Hanifah sebagai obyek pengafiran dalam buku-buku bernuansa sektarian tersebut.
Seperti saya sebut bahwa kelompok Hanâbilah adalah yang paling gigih dan bersemangat dalam hal ini. Buku-buku akidah karya ulama kelompok ini hampir dipenuhi dengan hujatan dan tuduhan bid’ah dan bahkan pengafiran terhadap tokoh-tokoh kelompok lain. Namun demikian tidak berarti kelompok lain, Asy’ariyah misalnya, terbebas dari sikap kaku dan ekstrim.
Dalam kesempatan ini saya akan sebutkan beberapa contoh dari warisan intelektual “Salaf Shaleh” mereka:
Abdullah (w.290H) putra Imam Ahmad ibn Hambal –rahimahullah- dalam kitab as Sunnah-nya yang ia tulis telah mencecer panjang lebar seribu satu kecaman yang konon didengar dari ayahnya; Imam Ahmad terhadap Imam Abu hanifah; Imam Besar Ahlusunnah Wal Jama’ah. Di antaranya Imam Abu Hanifah disebutnya sebagai:
Kafir…
Zindiq (kata lain dari kafir)…
Mati sebagai seorang Jahmi…
Ia meruntuhkan bangunan Islam batu demi batu…
Tidak dilahirkan di masa Islam bayi yang lebih sial dan menebar madhrat atas umat Islam dari Abu Hanifah…
Ia seorang nabthi bukan seorang Arab…
Para pecandu arak lebih mulia dari pengikut Abu Hanifah…
Para pengikut Abu Hanifah lebih berbahaya dari para perampok…
Para pengikut Abu Hanifah tidak berbeda dengan mereka yang memamerkan auratnya di dalam masjid…
Ia adalah Abu Jîfah bukan Abu Hanifah. Jîfah artinya bangkai…
Allah akan menelungkupkan Abu Hanifah ke dalam api neraka Jahannam…
Setiap Muslim akan diberi pahala besar akan kebenciannya terhadap Abu Hanifah dan para pengikutnya … dan tidak selayaknya bagi seorang Muslim tinggal di kota yang di dalamnya disebut-sebut dengan baik nama Abu Hanifah…
Mengangkat seorang ulama bermazhab Hanafi sebagai qadhi lebih berbahaya dari kemunculan Dajjal…
Abu Hanifajh adalah seorang Murjiah…
Andai dosa Abu hanifah dibagi rata kepada umat ini pasti akan memberatkan timbangan kejelekan mereka…
Umat Islam harus menjauhinya seperti menjahui orang yang terjangkit penyakit lepra….
Abu Hanifah telah meninggalkan agama Islam…
Sebagian fatwanya menyerupai fatwa kaum Yahudi…
Allah telah membelenggu kuburan Abu Hanifah dengan api neraka…
Para ulama bersujud syukur ketika mendengar berita kematian Abu Hanifah…
Kebanyakan ulama membolehkan melaknat Abu Hanifah…
Dan lain sebagianya dari berbagai kecaman yang tidak terbayangkan keji dan caci-maki kelewat batas.
Untuk lebih lanjut saya persilahkan Anda merujuk langsung kitab as Sunnah yang sangat diandalkan para penganut Wahhabi.
Ini salah satu contoh warisan “Salaf Shaleh” yang disakralkan kelompok ektrim, ghulât penganut Mazhab Hanbali.
Pola pikir seperti inilah yang melahirkan Aliran Garis Keras yang selalu memekikkan suara sumbang pembid’ahan dan membidikkan meriam-meriam pengkafiran kearah umat Islam sendiri, sementara itu bisa jadi mereka sendirilah kelompok yang paling terjebak dalam jaring bid’ah itu.
Kelompok inilah yang selalu menghadang dengan cercaan dan tuduhan-tuduhan keji terhadap setiap usaha sehat meluruskan peninggalan para pendahulu dan mengkritik kekeliruan-kekeliruan yang menggiring mereka kearah yang salah dalam memahami dan menilai Islam. Mereka yang mengatakan bahwa Imam Abu Hanifah adalah lebih berbahaya dari Dajjâl tidak heran apabila para pengikutnya akan mengecam kami yang sedang mengkritik kekeliruan pendahulunya dengan tuduhan yang jauh lebih keji dari tuduhan yang pernah dialamatklan kepada Abi Hanifah, dengan mengatakan bahwa kami adalah Ahli Bid’ah, pelanjut Misi Fir’aun dan Pengekor kaum Orientalisme Kafir! Dan lain sebagianya.
Dari kutipan di atas, sebenarnya kita dapat mengambil pelajaran bahwa berkuasanya emosi atas ilmu pengetahuan dan raibnya sikap obyektif dan berhati-hati di kalangan para pendahulu kita (yang sementara ini kita kagumi dan kita kecam siapapun yang menyalahinya)!!
Sebenranya kitab-kitab seperti itu dapat dijadikan bahan pelajaran untuk mengukur kesadaran, kejujuran dan pemahaman mereka terhadap hujjah-hujjah lawan-lawan mereka!
Sebenarnya mereka telah menzalimi Abu Hanifah ketika mereka mengumbar berbagai tuduhan dan kecaman, dan ini bias menjadi barometer kezaliman mereka dalam menyikapi tokoh-tokoh lain atau kelompok-kelompok lain dalam Islam seperti Mu’tazilah, Syi’ah, dan Asya’irah, kaum Shufiyah dan lainnya! Sebab apabila kita menerima bahwa kecaman membabi buta dan pengkafiran semena-mena atas Abu Hanifah itu salah dan atas dorongan nafsu, lalu apakah yang mencegah kita meyakini bahwa sikap berlebihan dalam memusuhi, megecam dan menghujat kelompok lain itu juga salah dan atas dorongan nafsu pula?!
Orang berakal adalah yang pandai mengambil pelajaran dari apa yang terjadi, sehingga tidak gegabah dalam mengkafirkan orang/kelompok lain sebelum mengenal dan memahami dengan baik hujjah-hujjah mereka dan tidak adanya pencegah untuk dijatuhkannya vonis tersebut, serta memahami syubhat dan uzur mereka dari keterangan mereka sendiri bukan melalui penukilan musuh-musuh mereka, seperti yang sering terjdi. Sebab seperti dalam kasus di atas, sebagian yang dituduhkan oleh Abdullah putra Imam Ahmad tidak pernah diterima dan diakui keberadaannya di Mazhab mereka. Mereka menolak tuduhan bahwa Imam mereka; Abu Hanifah berpendapat atau meyakininya, seperti tuduhan bahwa mazhab Abu Hanifah adalah menolak hadis-hadis Nabi saw.
Itu artinya, sebenarya, mazhab Hanbali, yang sekarang diandalkan para penganut Wahhabiyah terdapat cela dan cacat metodis dalam penukilan. Mereka menelan mentah-mentah berbagai riwayat yang mencoreng nama baik lawan-lawan mereka, sementara mereka tidak mau tau hujjah-hujjah lawan-lawan mereka! Betapa sering mereka mengkafirkan orang/kelompok lain dengan hujjah/syubhat yang tidak benar kita jadikan alasan pengafiran!
Kaum Hanâbilah, tentunya kelompok ektrim mereka, mayoritas kelompok Islam lainnya, seperti Mu’tazilah, Asya’irah, Syi’ah, Qadariyah, Murjiah, Jahmiyah dan lainnya.
________________________________________
[1] Mazhab Hanbali memiliki dua sayap, pertama mazhab fikih (yaitu sekumpulan fatwa-fatwa Imam Ahmad dalam bidang fikih yang dirangkum oleh para murid dan pengikutnya) dan kedua, mazhab kalam/teologi.
Sayap kedua Mazhab Hanbali diwakili oleh ahli hadis, yang melestarikan pandangan-pandangan Imam Ahmad, sebelum kemunculan Imam Abu al- hasan al Asy’ari dengan konsep pembaharuannya yang merevisi beberapa pandangan Imam Ahmad dan atau memberikan sentuhan akliyah pada pandangan-pandangannya, yang kemudian secara berlahan kehadiran pemikiran Asy’ari menggeser dominasi Mazhab Hanbali.
Perseteruan dan bahkan permusauhan antara para pengikut Mazhab Hanbali (yang mengklain sebagai pengikut Manhaj Salaf) dengan Asy’ari dan pengikutnya yang merupakan pendatang baru tak terelakkan, dan tidak jarang pertumpahan darah pun harus menjadi kata akhir penyelesaian!
Kini kelompok Hanâbilah ini diwakili oleh kaum Wahhabi. Wahhabi adalah pewaris tunggal Mazhab Kalam Hambali dengan berbagai sikap ektrim, kaku dan kedangkalan pemahaman keagamaan.
Latar Belakang Dokrtin Mazhab Takfiryah (2)
Apakah Benar Imam Ahmad ibn Hanbal adalah Bapak Mazhab Takfiryah?
Imam Ahmad dalah salah satu ulama besar di zamannya, namun demikian beliau tidak ma’shum dari kesalahan. Kaum Hanbaliyah selalu bersandar kepada pendapat-pendapat Imam Ahmad dalam mengafirkan para penentangnya dari kelompok-kelompok kaum Muslimin lain.
Penukilan yang santer dari Imam Ahmad oleh kaum Hanbaliyah dalam sikap takfîr ini bias benar tetapi bias juga salah/palsu. Apabila benar, maka kita wajib menolaknya sebab syarat-syarat yang harus terpenuhi bagi seorang yang berhak dijatuhi vonis kafir berdasarkan nash-nash pasti Syari’at Islam tidak terpenuhi di sini. Dan apabila penukilan itu palsu atas nama Imam Ahmad, maka itu adalah bukti kuat adanya kepalsuan di dalam “Gerbong Rombongan” aliran Hanbaliyah.
Kedua asumsi di atas pasti ditolak oleh kaum Hambaliyah/Salafiyah. Mereka menolak bahwa Imam Ahmad mengafirkan kaum Muslimin dan pada waktu yang sama mereka juga menolak bahwa kaum Hanbaliyah telah berbohong dan memalsu atas nama Imam Ahmad!
Tetapi sayangnya, kedua penolkan itu sulit dikumpulkan, sebab penukilan dari Imam Ahmad dalam sikap pengafiran tidak mungkin dipungkiri oleh yang memiliki sedikit pengetahuan tentang peninggalan Imam Ahmad pasti tau hal itu.
Coba Anda baca kitab As Sunnah karya al Khallâl, Thabaqât karya Abu Ya’lâ, Al Ibânah karya Ibnu Buththah, Syarah Ushûl I’tiaqâd Ahlisunnah karya Lâlaka’i, dan sebagianya.
Boleh jadi Imam Ahmad terjatuh dalam sikap seperti itu sebagai reaksi berlebihan terhadap apa yang menimpanya dalam pertentangannya denan kelompok lain, khususnya setelah mereka mendapat dukungan penguasa di masanya dan kemudian melakukan intimidasi dan menekanan serta penyiksaan dan pemaksaan terhadap yang tidak sependapat dengan mereka dalam masalah-masalah yang sedang diperselisihkan. Dan sudah seharusnya para pewaris mazhab Hanbaliyah merevisi sikap seperti itu, agar sikap berani itu mencadi catatan baik bagi mereka, sebabbukankah “semua orang, ucapannya boleh diterima atau ditolak, kecuali Nabi Muhammad saw.’! yang selama ini juga menjadi slogan kaum Hanbaliyah/Wahhabiyah/Salafiyah?!
Di bawah kami akan ajak Anda menyimak beberapa contoh sikap ektrim Imam Ahmad ibn Hanbal.
1) Kaum Hanbaliyah menukil dari Imam Ahmad (tentunya, jika mereka benar dan jujur dalam penukilan itu): “Barang siapa mengklain bahwa Al Qur’an itu makhlûq maka ia adalah seorang Hajmi yang kafir! Dan barang siapa mengklain bahwa Al Qur’an adalah Kalamullah/kalam Allah, lalu ia berhenti; tidak mengatakan bahwa ia makhlûq maka ia lebih khbîts, busuk dari pendapat pertama. Dan barang siapa mengklaim bahwa ucapan kita dalam melantunkan ayat-ayat Al Qur’an adalah makhlûq dan Al Qur’an adalah Kalamullah maka ia seorang Jahmi. Dan barang siapa yang enggan mengafirkan mereka semua maka ia juga kafir seperti mreka!”.[1]
Wahai Saudaraku:
Tidak diragukan bahwa ucapan yang dinukil atas nama Ahmad di atas mengandung ghuluw, sikap berlebihan dalam mengafirkan sesame kaum Muslimin. Dan dari sini kita dapat “memaklumi” sikap gegabah dan berlebihan kaum Hanbaliyah/Wahhabiyah/Salafiyah dalam menvonis bid’ah dan kafir seligus.
Apapun kenyataannya, andai benar ucapan itu pernah disampaikan Imam Ahmad ibn Hanbal, maka perlu diketahui bahwa Islam dan ajaran mulianya jauh lebih mulia dan agung dari Imam Ahmad dan ulama lainnya. Kita tidak akan mengorbankan Islam demi membela Imam Ahmad dan mengatakan bahwa apa yang dikatakan Imam Ahmad itu adalah suar Islam!
Kaum Mu’tazilah tanpa terkecuali meyakin bahwa Al Qur’an itu makhlûq. Apakah mereka menjadi kafir?! Apalagi mereka yang sekedar mengatakan bahwa Al Qur’an adalah Kalamullah/kalam Allah, lalu ia berhenti”, apalagi dengan mayoritas ualam dan penganut mazhab Asy’ari yang meyakini bahwa “ucapan kita dalam melantunkan ayat-ayat Al Qur’an adalah makhlûq”.
Andai kita menerima ucapan Imam Ahmad pastilah kita harus mengafirkan semua mereka itu! Sanggupkah kita mengatakannya?! Ini tentu sangat riskan.
2) Kaum Hanbaliyah menukil dari Imam Ahmad (tentunya, jika mereka benar dan jujur dalam penukilan itu):“Tidak ada kelompok yang lebih berbahaya atas Islam dari Jahmiyah. Mereka tidak bermaksud melainkan membatalkan Al Qur’an dan hadis-hadis Rasulullah saw.”[2]
Barang siapa yang bermaksud membatalakn Al Qur’an dan Sunnah pastilah ia kafir, akan tetapi dari mana kita dapat memastikan bahwa mereka itu bermaksud demikian?!
3) Kaum Hanbaliyah menukil dari Imam Ahmad (tentunya, jika mereka benar dan jujur dalam penukilan itu): “Barang siapa berpendapat bahwa ucapan/bacaan Al Qur’annya adalah makhlûq maka ia seorang Jahmi akan dikekalkan dalam api neraka.”[3]
Pendapat yang mengatakan bahwa bacaan Al Qur’annya adalah makhlûq itu dikenal dengan nama Lafdziyah. Pendapat ini telah diyakini oleh banyak ulama Islam, seperti Imam Bukhari dan Al Karâbisi, bahkan hampir seluruh umat Islam, selain Hanbaliyah berpendapat demikian. Lalu apakah mereka semua kafir dan akan akan dicampakkan ke dalam api nereka?! Selain itu, siapa yng menginformasikan kepada Ahmad dan selainnya bahwa setelah masuk neraka nanti, mereka tidak akan dikelurkan lagi alias kekal, khâlidîna Fîhâ? Subhanallah, ini sangat keterlaluan!Jika akhir-akhir ini, teman-teman Wahhabi mengelak jika dikatakan bahwa Imam Ahmad -simbol Salaf dalam pandangan mereka- telah menvonis kafir seraca person, mu’ayyan, maka kami akan nukilkan sebuah data yang melaporkan bahwa al Marwazi menukil dari Imam Ahmad, “Aku berkata kepada Abu Abdillah -Imam Ahmad-, ‘sesungguhnya al Karâbisi-seorang ulama Mazhab Syafi’i- berpendapat bahwa’ siapa yng tidak meyakini bahwa bacaan Al Qur’annya makhlûq maka ia kafir.’ Maka Ahmad berkata, ‘Dialah yang kafir!’”[4]4) Telah dinukil dari pembesar Mazhab Hanbaliyah, khususnya Imam Ahmad sendiri bahwa mereka menghalalkan darah kelompok yang meyakini bahwa Al Qur’an adalah makhlûq.Dan yang enggan mengafirkan mereka maka ia tidak boleh didengar hadisnya, tidak boleh diucapkan salam atasnya, sekalipun kerabat kita, tidak boleh melayat jenazahnyan, jika sakit tidak boleh dijenguk.[5] Ini adalah sangsi atas yang enggan mengafirkan mereka, lalu apa bayangan kita tentang yang meyakininya sendiri?!Walaupun harus kita akui, bahwa para penagnut Sekte Wahhabiyah sekarang tidak lagi mengafirkan mereka yang meyakini bahwa Al Qur’an adalah makhlûq, mereka hanya menvonisnya sebagai penyandang Bid’ah, atau menvonisnya sebagai kafir kecil yang tidak mengeluarkannya dari lingkaran Islam, kufrun dûna kufrin! Jadi dengan demikian dapat kami katakana, para penganut sekte Wahhabiyah adalah kafir semua menurut vonis Imam Ahmad di atas!! Akankah kita menerima itu? Tentu tidak!!!Dari sini dapat kita mengerti bahwa Imam Ahmad sangat ektrim dalam pengafiran sesame Muslim, tentunya jika nukilan-nukilan itu benar dari beliau! Dan inilah akar Doktrin Takfîr yang harus disebantas keberadaaannya dari pikiran kaum Muslimin.Tidakkah benar apabila kita melempar batu tuduhan kepada para pemikir Islam, seperti Sayyid Quthb, al Maududi dan lainnya, bahwa merekalah yang menyulut “sumbu bom” pengafiran yang sedang digandrungi sebagian pemuda Muslim di berbagai belahan dunia Islam! Semua akarnya dapat ditemukan dalam pernyataan dan doktrin Imam Ahmad ibn Hanbal dan para pemuka Mazhab Hanbaliyah, tidak terkecuali pendiri Sekte Wahhabiyah! 5) Yang berbahaya adalah bahwa vonis pengafiran yang dijatuhkan Imam Ahmad dan para penganut mazhabnya atas lawan-lawan mazhabnya adalah pengafiran yang mengeluarkan dari agama Islam dengan segala konsekuaensinya; halal darahnya, istrinya harus dipisah darinya dll. Dan kelak di akhirat akan dikekalkan di dalam apai neraka!Perhatikan apa yang diriwayatkan Ibnu Abi Hâtim –salah seorang ualam bermazhab Hanbali-, ia berkata, “Barang siapa mengklaim bahwa Al Qur’an adalah makhlûq maka ia kafir dengan kekafiran yang mengeluarkannya dari agama!! Dan barang siapa yang mengerti dan tidak bodoh tetapi meragu akan kekafirannya maka iam juga kafir!!” [6]Abu Salafy berkata: Kami serahkan kepada Anda untuk menilai kekakuan dan kesempitan perpikir yang muncul dari ulama dan pembesar Mazhab Hanbali seperti di atas!
________________________________________
[1] Thabaqât al Hanâbilah,1/29.
[2] Thabaqât al Hanâbilah,1/47.
[3] Thabaqât al Hanâbilah,1/47.
[4] Thabaqât al Hanâbilah,1/62.
[5]Thabaqât al Hanâbilah,1/157.
[6] Thabaqât al Hanâbilah,1/286.
Latar Belakang Dokrtin Mazhab Takfiryah (3)
Latar Belakang Doktrin Madzhab Takfiriyah (3)
Perseteruan antara Imam Ahmad dengan lawan-lawan pendapatnya, sepertinya tidak berhenti sampai pada apa yang telah disebutkan sebelumnya. Ia lebih dari itu, sebagaimana dinukil oleh para penganut Mazhab Hanbaliyah.
1) Para ulama Hanbaliyah juga menukil dari Ahmad bahwa,:
“Jahmiyah telah terpecah menjadi tiga kelompok, satu kelompok berpendapat bahwa Al Qur’an itu adalah Kalamullah ia makhlûq. Sekelompok berpendapat bahwa Al Qur’an itu adalah Kalamullah, tetapi mereka diam (tidak komentar apapun selanjutnya), ini adalah kelompok Wâqifiyyah yang terlaknat. Dan sebagian lagi berkata, ‘Ucapan dengan bacaan Al Qur’an kita adalah makhlûq. Semua mereka itu adalah Jahmiyah yang kafir!! Mereka harus diminta bertaubat, jika enggan bertaubat maka harus dibunuh!!” [1] dan “…barang siapa yang demikian pendapatnya dan enggan bertaubat maka tidak boleh dinihaki, tidak boleh menjadi qadhi dan sembelihannya tidak halal dimakan.” [2]
Wahai Saudaraku:
Subhanallah, ungguh ektrim dan kaku sikap yang dinukil dari Imam Ahmad di atas! Bukankah para fuqaha membolehkan memakan daging sembelihan Ahlul Kitab:Yahudi dan Nashrani?! Lalu mengapakah daging sembelihan kaum Muslim yang masih bersyahadah dengan syahadatain, dan rela Allah SWT sebagai Tuhan mereka, Muhammad sebagai saw. Nabi mereka dan Islam sebagai agama mereka dan rajin menegakkan rukun-rukun Islam dan menjauhi hal-hal yang haram, hanya karena berbeda pendapat dalam masalah sepele seperti itu divonis kafir dan haram sembelihannya?!
Subhanallah, sungguh dalam pengaruh pertikaian mazhab di antara umat Islam, sampai-sampai pilar-pilar ajaran Islam diabaikan, sehingga Islam yang jelas ajarannya kini menjadi bak resep rahasia yang tak mampu dimengerti bahkan oleh kebanyakan ulama sekalipun!
Kamipun yang sedang membongkar kebobrokan kondisi sebagian pendahulu juga khawatir dikecam oleh para pengkultus peninggalan Salaf!
2) Di antara pernyataan Imam Ahmad yang sering dibawa-bawa para pemuka mazhab Hanbaliyah adalah bahwa “Husain al-Karâbisi menurut kami adalah kafir!” [3]
Wahai Saudaraku:
Al Karâbisi adalah seorang tokoh mazhab Syafi’i dan seorang pakar dalam “Jarhu wat- Ta’dil” (ilmu rijal hadis). Dan ini adalah bukti adanya takfîr mu’ayyan (pengkafiran atas person) yang sering dielak oleh para pengkultus Salaf dari kalangan Wahhabiyah! Dan tentunya pengkafiran itu sangat tidak berdasar, sebab, andai al-Karâbisi salah dalam pendapatnya, bukankah ia sedang berta’wil, jadi ia tidak boleh dikafirkan. Kesalahannya, andai ia salah harus disanggah dengan argumentasi, dalil dihadapi dengan dalil bukan dengan meriam pengkafiran!
3) Ketika Imam Ahmad mengetahui bahwa Ibnu Abi Qatilah mencela ahli hadis dengan kata-kata mereka adalah kaum yang busuk, Imam Ahmad bangkit marah dan berkata, “Ia adalah seorang zindiq! Ia adalah seorang zindiq! Ia adalah seorang zindiq!.” [4]
Wahai Saudaraku:
Kecaman dan celaan atas ahli hadis dengan menggebyah uyah tanpa kecuali adalah sikap keliru, bias jadi berdosa karenanya, sebab kenyataannya tidak sedikit ahli hadis yang baik dan shaleh! Akan tetapi adalah tidak benar juga apabila disikapi dengan memvonis sebagai zindiq!! Sebab zindiq itu artinya kafir.
Memang adalah hal yang nyata bahwa telah terjadi saling melempar kecaman antara ahli- hadis dan ahli ra’yu. Bahkan antara ahli hadis sendiri sering terjadi saling kecam-mengecam, seperti antara Sufyan ats-Tsawri dan Syu’bah, antara Imam Malik dan Ibnu Ishaq dll. Kendati demikian tidak boleh kita menvonis mereka sebagai zindiq, sebab kenyataannya mereka adalah syeikh-syeikh andalah Imam Ahmad sendiri.
4) Dan termasuk sikap ghuluw/melampaui batas Imam Ahmad dalam sisi ini adalah apa yang dinukil oleh kaum Hanbaliyah, bahwa ketika ada yang bertanya kepada beliau tentang apakah boleh shalat di belakang/bermakmum dengan seorang pemabok? Maka Imam Ahmad menjawab, “Tidak boleh!” orang itu bertanya kembali, bagaimana hukum shalat bermakmum dengan seorang yang meyakini Al Qur’an itu makhlûq? Imam Ahmad berkata, “Subhanallah, saya larang kamu shalat dibelakang seorang muslim yang pemabok, malah sekarang bertanya tentang orang kafir! [5]
Wahai Saudaraku:
Subhanallah, bagaimana perselisihan dan permusuhan mazhabiyah telah menjerumuskan Imam Ahmad dalam jurang pengkafiran dan andai beliau tidak melibatkan diri dalam permasalah seperti itu pastilah lebih maslahat, sebab dalil-dalil tentang masalah yang sedang diperselisihkan ini adalah bersifat dzanniyah/tidak pasti dalâlah/petunjuknya. Kini beliau memandangnya lebih besar kekejian dan dosanya dibanding dengan masalah yang sudah pasti dalam pandangan Islam yaitu meminum khamr/minuman keras.
Sikap ekstrim lain yang dinisbatkan kepada Imam Ahmad adalah vonisnya bahwa “al- Wâqifi adalah kafir!” [6]
Al-Wâqifi adalah orang yang berpendapat bahwa Al Qur’an adalah Kalamullah, dan ia tidak mau melibatkan diri dalam membahas permasalahan apakah ia qadîm atau hadist/makhlûq. Lalu bagaimana orang seperti itu divonis kafir?!
Di antara lagi adalah pernyataannya yang mengatakan: “Boleh meminta bantuan dari orang-orang Yahudi dan Nashrani, dan jangan meminta bantuan dari penyandang hawa/pendapat bid’ah.” [7]
5) Imam Ahmad menvonis kafir siapapun yang mencaci seorang sahabat Nabi saw. Imam Ahmad ditanya tentang seorang yang mencaci seorang dari sahabat Nabi saw. maka ia berkata, “Aku tidak melihatnya di atas agama Islam.” [8]
Vonis di atas jelas tidak berdasar, sebab pada kenyataannya kaum nawashib (para pembenci Ali dan Ahlulbait Nabi saw.), khususnya bani Umayyah telah membenci Ali dan melaknatinya di setiap acara keagamaan dan dari atas mimbar selama kurun waktu yang tidak sebentar. Lalu apakah mereka semua divonis kafir?! Atau vonis kafir itu khusus dijatuhkan atas mereka yang membenci dan mencaci sahabat-sahabat dari kalangan bani Umayyah saja seperti Mu’awiyah, Abu Sufyan, Hindun, Amr ibn ‘Ash dkk.?!
Apakah Imam Ahmad akan menvonis kafir para ulama dan perawi hadis yang terbukti membenci dan mencaci maki Ali ra. seperti Harîz ibn Utsman al Himshi?! Padahal Imam Ahmad sendiri memuji Harîz dengan mengatakan, “Harîz adalah tsiqah (jujur terpercaya). tsiqah (jujur terpercaya). tsiqah (jujur terpercaya).” (beliau ulang tiga kali sebagai bukti kuatnya pujian atas Harîz).
Demikianlah beberapa contoh pernyataan Imam Ahmad atau yang di atasnamakan Imam Ahmad telah diterima oleh para penganut mazhab Wahhbiyah sekarang ini!
____________________________________
[1] Thabaqât al Hanâbilah,1/343.
[2] Ibid.
[3] Ibid.172.
[4] Ibid.1/280.
[5] Ibid.1/326.
[6] Manâqib Imam Ahmad; Ibnu al Jauzi:206.
[7] Ibid.208.
[8] Ibid.214.
Latar Belakang Dokrtin Mazhab Takfiryah (4)
Al Barbahâri Bapak Mazhab Takfîriyah
Konsekuensi logis dari doktrin-doktrin ekstrim yang yang diatas namakan Imam Ahmad adalah bermunculannya sikap-sikap kaku dan lahirnya Islam Garis Keras yang selalu membidikkan “moncong mereiam-meriam” pengkafiran ke wajah umat Islam yang bersembah sujud hanya kepada Allah SWT karena satu sebab yang naïf yaitu karena mereka berbeda pendapat. Karena siapapun yang berbeda dengan mereka maka ia telah menyalahi Islam dan menentang Allah SWT. Salah satu dari “Lulusan Madsrasah Takfîr” tersebut adalah Syeikh Hasan al-Barbahâri al Hanbali, imam Mazhab hanbaliyah di masanya (w.329 H) yang digelari oleh kaum Wahhabiyah sekarang dengan Imam Ahli Sunnah wa al Jama’ah di masanya.
Dalam kitabnya Syarah as Sunnah, terbitan Dâr al Ghurabâ’ al Atsariyah, al Barbahâri berkata dalam mukaddimahnya, “Ketahuilah bahwa Islam adalah Sunnah dan Sunnah adalah Islam!” Di sini ia mengidentikkan Islam dengan Ahlusunnah, siapun yang bukan Sunni berarti ia bukan Muslim! Andai yang ia maksud adalah Sunnah Nabi Muhammad saw. pastilah semua sepakat dengannya, tetapi yang ia maksud adalah Sunnah yang diterima oleh kelompok Hanbaliyah, dengan gegabah menvonis kafir kelompok di luar mereka, seperti yang telah Anda saksikan sebagiannya dalam kitab As-Sunnah tulisan Abdullah putra Imam Ahmad yang telah kami sebutkan sebelumnya dan seperti akan kami sebutkan di bawah ini dari pernyataan al-Barbahâri sendiri. Pada halaman 109 al-Barbahâri menjatuhkan vonis kafir atas siapapun yng berani menolak satu kata pun dari apa yang ia tulis dalam kitabnya tersebut;
“Sesungguhnya barang siapa menghalalkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang saya tulis dalam kitab ini maka ia benar-benar tidak beragama dengan agama Allah dan ia telah menolak total agama Allah.”
Di sini, ia mendudukan kitab kaarangannya sejajar dengan Kitab Allah yang tidak datang kepadanya sedikitpun kebatilan baik dari arah depan maupun belakang!
Padahal kita semua mengetahui bahwa kitab karangannya itu penuh dengan hadis-hadis palsu dan ucapan-ucapan batil. Ia mempertegas penyerupaannya itu dengan mengatakan;
“Sebagaimana jika ada seorang yang mengimani semua yang difirmankan Allah akan tetapi ia meragukan satu huruf saja maka ia sama dengan menolak seluruh firman Allah dan ia pasti dihukumi kafir.”
Subhanallah! Sungguh naïf sikap dan cara berpikir seperti itu. Semoga Allah menyelamatkan umat Islam dari kesesatan, amîn.
Sunnah apa yang sedang diajarkan al-Barbahâri?! Sunnah dan akidah apa yang sedang diperjuangkan al-Barbahâri dan kemudian dilestarikan kaum Wahhabiyah?! Pasti tidak lain adalah akidah tajsim yang meyakini Allah berpostur seperti makhluk-Nya. Maha suci Allah dari apa yang mereka sifati. Al-Barbahâri setiap kali duduk di kesempatan apapun kecuali ia menyebut-nyebu bahwa;
“Allah mendudukan Nabi Muhammad saw. bersama-Nya di Arsy-Nya bersandingan.”[1]
Inilah Islam yang sedang diperjuangkan al-Barbahâri, Imam Jama’ah Hanbaliyah di masanya. Dan dalam kesempatan lain kami akan membahas akidah Tajsîm dan Tasybîh yang kelihatan nyata dalam ajaran aliran Madzhab Hanbaliyah!
________________________________________
[1] Thabaqât al Hanâbilah,2/43.
Latar Belakang Dokrtin Mazhab Takfiryah (5)
Ibnu Taimiyah & Ibnu al Qayyim Bapak Mazhab Takfîriyah?
Kendati Ibnu Taimiyah telah bertaubat dari sikap arogan dan gegabah dalam mengafikan sesama Muslim hanya karena berbeda aliran seperti dilaporkan adz Dzahabi, akan tetapi doktrin Takfîr yang ia konsepkan telah mengalir ke seluruh pembulu darah umat yang terkagum akan keilmuan dan konsep Islamnya Ibnu Taimiyah. Khusunya dalam uraiannya tentang pemetaan Tauhid menjadi Tauhid Rubûbiyah dan Tauhid Ulûhiyah, di mana ia meremehkan bobot dan nilai sayap pertama dan memberikan penekanan berlebihan pada sayap tauhid kedua. Kendati pembagian itu tidak pernah dikenal di masa Nabi saw., para sahabat dan tabi’în. Ia adalah pembagian bid’ah yang tidak dikonsepkan dalam Al Qur’an maupun Sunnah. Tauhid adalah satu. Inilah yang mendorong para pengagum Ibnu Taimiyah dari kalangan Wahhabiyah untuk mengatakan bahwa para rasul diutus untuk menandaskan Tauhid Ulûhiyah sebab Tauhid Rubûbiyah telah diyakini kaum kafir!
Sebab dalam anggapan konsep Ibnu Taimiyah di atas bahwa bertabarruk dengan para nabi atau para wali adalah menodai kemurnian Tauhid dalam Ulûhiyah dengan kesyirikan… palakunya adalah sedang menjalankan praktik syirik…. Dan demikian dengan praktik-praktik lain yang telah dijalankan turun-temurun berdasarkan arahan para ulama dari berbagai mazhab dan didasarkan atas dalil-dalil yang ada dan diyakini keshahihannya. Semua itu dinilainya telah menodai kemurnian Tauhid Rubûbiyah.
Padahal, semestinya, mereka itu hanya boleh disalahkan saja! Itupun kalau kita terima argumentasi ala Ibnu Tamiyah dan Wahhâbiyah tentangnya!
Tetapi, demikian ketergelinciran seorang alim akan membawa dampak bahaya yang berekepanjangan jika tidak cepat-cepat diluruskan!
Ibnu Qayyim Pelanjut Manhaj Takfîri
Sebagai murid kesayangan, pengagum dan menyebar ide-ide Ibnu Taimiyah, Ibnu al Qayyim al Jawziyah tidak dapat melepaskan diri dan pikirannya dari jeratan jaring doktrin Takfîr sesama Muslim. Banyak catatan dan pernyataan yang tegas-tegas menyebut kelompok lain yang berbeda pendapat dengannya divonisnya kafir!
Di bawah ini akan kami sebutkan satu di antara sekian banyak pernyataan dan vonis kafir/musyrik yang dilemparkan Ibnu al Qayyim kepada kelompok Islam lain.
Dalam Nûniyah-nya, Ibnu al Qayyim menvonis musyrik kelompok Mu’aththilah (yang dalam pandangan Wahhabiyah mencakup kelompok Asy’ariyah/Ahlusunnah/NU/). Ia menulis pasal dengan judul: Pasal: Tentang keterangan bahwa al Mu’aththil adalah Musyrik!”
Pensyarahnya, Syeikh Dr. Muhammad Khalîl Harâs menegaskan bahwa yang beliau maksud dengan al Mu’aththil adalah:
1) Para Filsuf.
2) Mu’tazilah.
3) Asy’ariyah.
4) Al Qarâmithah, dan
5) Kaum Shufi.[1]
Di sini antara al Qarâmithah dan asy Asy’ariyah dan Mu’tazilah dicampur aduk tanpa dipilah.
Ibnu al Qayyim dalam bait-bait qashidah-nya mengatakan:
Akan tetapi penganut faham Mu’aththilah lebih jahat dari
kaum musyrik berdasarkan dalil aqli dan naqli…
Orang Mua’ththil sangat menentang Tuhan atau
menentang ke Maha Sempurnaan-Nya…
Kaum Musyrikûn lebih ringan kekafirannya
keduanya adalah pengikut setan…[2]
Wahai Saudaraku:
Adakah pengafiran terhadap Jumhûr kaum Muslimin yang lebih terang-terangan dari pernyataan di atas?! Sebab pada kenyataannya kaum Hanbaliyah (teologis) adalah minoritas, paling tidak di masa Ibnu al Qayyim, dan sebelum atau setalahnya. Mayoritas umat Islam terdiri dari pengikut asy Asy’ariyah, Syi’ah atau Mu’tazilah. Dan mereka inilah kelompok-kelompok yang mena’wilkan sifat yang oleh Ibnu al Qayyim (dan kaum Wahhabiyah sekarang) dijuluki dengan Mu’aththilah!
Inilah Bapak Mazhab Takfîri yang menjadi panutan dan rujukan utama para penganut Sekte Wahhabiyah sekarang ini. Mereka tidak pernah terbuka untuk meralat kekakuan sikap dan kesempitan metodologi para pendahulu mereka, dan bahkan tak henti-hentinya mereka mengusung ide-ide takfîr mereka!
Semoga kita semua diselamatkan dari kesesatan, amîm.
________________________________________
[1] Syarah Nûniyah Ibn al Qayyim,1/27.
[2] Syarah Nûniyah Ibn al Qayyim,2/315.
Siapa Pencetus Julukan ‘Wahhaby’?
Pertama kali pribadi yang menyebut ajaran sekte sempalan yang diajarkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab dengan sebutan Wahhaby adalah saudara tua sekandungnya, Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahab yang selalu mencoba meluruskan pemahaman adiknya yang salah-kaprah tentang Islam dan ajaran Salaf Saleh. Sebuah surat (risalah) panjang beliau tulis untuk adiknya yang kemudian dibukukan (baca: dicetak)…
——————————————————————-
Siapa Pencetus Gelar/Julukan ‘Wahhaby’?
Saya terkejut dan merasa kegelian dengan cara argumentasi beberapa teman Wahaby dalam membela sekte karya Muhammad bin Abdul Wahab itu, terkhusus dalam masalah pengistilahan kata Wahabi-y, Wahhabi-y atau Wahabisme buat kaum yang selama ini mengatasnamakan dirinya sebagai Salafi-y. Sebagian ‘pura-pura’ merasa bangga dengan sebutan Wahhaby tadi, dengan alasan bahwa karena kata itu diambil dari salah satu nama Allah (al-Wahhab = Maha Pemberi anugerah). Padahal semua tahu bahwa Wahhaby bukan diambil dari nama mulia nan agung itu, melainkan dari Ibn Abdul Wahhab, nama orang biasa yang hidup di dataran jazirah Arab yang kering nan tandus. Dari sini jelas sekali bahwa Wahhaby dari nama Allah sangat tidak beralasan dan cenderung dibuat-buat. Berbeda dengan kaum Wahhaby lain yang tanpa basa-basi dan jelas-tegas menolak penisbatan kata Wahhaby kepada mereka, tanpa pura-pura merasa bangga. Sayangnya, lagi-lagi mereka terjerumus ke dalam kesesatan cara berpikir (versi mereka) yang selama ini mereka sendiri mengakui bahwa hal itu sesat, berargumen dengan bersandar pada pendapat para orientalis yang kafir. (Lihat blog: http://abusalma.wordpress.com/2007/11/07/siapa-pencetus-pertama-istilah-wahhabi/, karya Jalal Abu Alrub) Coba jika ternyata yang anti Wahhaby menulis artikel yang bersandar kepada buku-buku dan karya tulis yang ditulis oleh kaum Orientalis, pasti mereka akan menyatakan bahwa itu adalah kesesatan dan tidak dapat dipercaya. Jangankan dalam kasus semacam itu, dalam kasus kritisi fatwa si Utsaimin tentang “Bumi sebagai Pusat Tata Surya” yang terdapat dalam blog Wahaby lain, teman-teman yang tidak setuju dengan fatwa tersebut dianggap sebagai “bodoh tentang ajaran Islam” atau “Taklid Buta kepada Ilmuwan Barat yang Kafir”. Apakah dalam penamaan istilah Wahhaby pemilik blog itu tidak takild pada ucapan para orientalis yang kafir? Saya hanya menukil saja ayat yang berbunyi: “Kabura Maqtan ‘Indallahi an Taquluu ma laa Taf’aluun” (Murka besar Allah sewaktu kalian berbicara namun tidak kalian kerjakan). Apa yang dilakukan penulis dalam masalah pencetus julukan Wahaby tadi (yang menuduh kaum Orientalis) tidak lebih hanya pelaksanaan istilah “Maling teriak maling”, pencuri (Wahaby) yang menuduh dan meneriaki pencuri lain (orientalis) untuk usaha pembersihan diri.
Pertama kali pribadi yang menyebut ajaran sekte sempalan yang diajarkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab dengan sebutan Wahhaby adalah saudara tua sekandungnya, Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahab yang selalu mencoba meluruskan pemahaman adiknya yang salah-kaprah tentang Islam dan ajaran Salaf Saleh. Sebuah surat (risalah) panjang beliau tulis untuk adiknya yang kemudian dibukukan (baca: dicetak) dengan judul:
“الصواعق الإلهية في مذهب الوهابية”
(Petir-petir Ilahi pada Mazhab al-Wahabiyah)
Kitab tersebut beberapa kali di cetak di Turkia, Pakistan dan beberapa negara lain, terakhir dicetak beberapa percetakan di Beirut-Lebanon. Tentu, kitab semacam ini tidak akan pernah kita temukan di toko-toko buku di Arab Saudi yang mazhab resminya adalah Wahhabiyah, karena akan merusak status quonya.
Dari sini jelas sekali bahwa penamaan sekte sempalan ajaran Muhammad bin Abdul Wahab sebagai “Wahaby” bukan pihak di luar Islam atau di luar mazhab Hambali, tetapi dari saudara tua Muhammad bin Abdul Wahhab sendiri, Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab. Di awal-awal risalah tersebut Syeikh Sulaiman menyatakan alasannya kenapa menyebutnya dengan ‘Wahhabiyah’ dan bukan ‘Muhammadiyah’? Beliau memaparkan bahwa, memang secara kaidah harusnya menyebutnya dengan ‘Muhamadiyah’ yang dinisbahkan kepada Muhammad bin Abdul Wahab, bukan Wahhabiyah. Akan tetapi, beliau khawatir jika ajaran sesat adiknya itu diberi nama ‘Muhamadiyah’ -yang berarti senama dengan nama Rasululah yang sakral itu- dan jika ajaran itu menyebar dan tentu akan mendapat tantangan sehingga ajaran itu menjadi bahan cemooh dari banyak pihak, maka beliau khawatir nama Muhamadiyah disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertangungjawab. Atas dasar itu, beliau merelakan penamaan ‘Wahhaby’ (yang beliau juga bin Abdul Wahhab) sebagai nama sekte sempalan ajaran adiknya, dinisbahkan kepada ayahandanya. Setelah dicetuskan istilah tersebut oleh Syeikh Sulaiman, para ulama lainpun mengikuti pengistilahan tersebut. Maka dari itu, setelah itu bermunculanlah beberapa kitab dan risalah yang ditulis oleh banyak ulama dari manca negara-negara Tim-Teng yang mengkritisi sekte sempalan Muhammad bin Abdul Wahab yang dikenal dengan Wahhaby tersebut. Sejak saat itu, sekte sempalan itu disebut WAHHABI. Jadi apa yang dilakukan Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab dengan memberikan julukan “Wahhaby” untuk sekte karya adiknya itu dikarenakan beliau melaksanakan kaidah “Taqdimul Qobih ‘alal Aqbah” (mendahulukan yang jelek dari yang lebih jelek). Bagaimana tidak, karena penisbatan kepada ayahnya untuk sekte itu merupakan suatu yang jelek (buruk), namun di sisi lain, jika dinamakan dengan nama adiknya maka ia merasa khawatir nama yang mirip dengan nama Rasulullah itu kelak akan dijadikan bahan ejekan orang. Dia berpikir, daripada nama Rasulullah dijadikan bahan cemoohan maka lebih baik nama ayahnya saja yang dijadikan nama sekte adiknya tersebut, karena setiap sekte harus dinamai dan umumnya penamaan setiap sekte dinisbahkan kepada pendirinya. Atas dasar itulah akhirnya beliau menamainya dengan “Wahabisme”.
Adapun letak kesesatan ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab versi kakaknya, Sulaiman bin Abdul Wahab, adalah terletak pada pengkafiran (Takfir) sekte tersebut terhadap kelompok muslim lain di luar sektenya. Dalam risalah karya Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahab hal itu telah disinggung. Di sini, kita akan nukilkan -dari kitab lain yang juga menyingung tentang- penggalan diskusi antara Muhammad bin Abdul Wahab dengan kakaknya, Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahab, seorang yang lebih alim dari berbagai bidang ilmu keagamaan (terkhusus masalah mazhab Hambali) dibanding adiknya. Syeikh Sulaiman pernah bertanya kepada Muhammad bin Abdul Wahab dengan pertanyaan:
“Berkata saudara yang lebih besar dan lebih alim, Sulaiman bin Abdul Wahab, kepada saudaranya (adiknya): “Wahai Muhammad bin Abdul Wahab, ada berapa rukun Islam itu?” Ia menjawab: “Ada lima.” Lantas Sulaiman berkata: “Engkau telah menjadikannya enam. Yang keenam adalah; barangsiapa yang tidak mengikutimu maka ia bukan muslim. Ini adalah rukun Islam keenam menurutmu”.” (Lihat kitab ad-Da’awi al-Munawi’in li Da’wah as-Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab, I’dad: Abdul Aziz bin Muhammad bin Abdul Lathif, Darul Wathan li an-Nasyr as-Saudiyah, cetakan pertama, tahun 1412)
Sekarang yang menjadi problem buat kaum Wahhaby dan mereka harus segera mereka menjawabnya adalah:
1- Masihkah kalian akan mengaku dan bangga bahwa Wahhaby berasal dari salah satu nama Allah, Al-Wahhab? Tidak ada bukti otentik atas kebanggan tersebut kecuali karena untuk menutupi rasa malu saja.
2- Masihkah kalian menganggap bahwa Wahhaby adalah julukan yang diberikan oleh kaum non-muslim untuk pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab?
3- Masihkah kalian berargumen dengan argumen para orientalis dalam menetapkan tuduhan kalian, sedang kalian melupakan tokoh mazhab Hambali Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab, sudara tua Muhammad bin Abdul Wahhab?
4- Kenapa kalian berargumen dengan buku-buku karya orientalis padahal jika itu dilakukan oleh orang lain (selain kelompok kalian) maka dengan serta merta kalian akan mengatakan itu merupakan kesesatan? Mana konsistensi kalian terhadap pendapat dan ucapan kalian sendiri?
5- Masihkah kalian menginkari akan ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab tentang pengkafiran terhadap kelompok lain, padahal banyak bukti yang membuktikan hal tersebut? Dalam tulisan yang akan datang akan sebutkan sedikit demi sedikit pengkafiran tersebut.
Dan Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab pun Turut Dicela
Para ulama Wahhaby sepakat bahwa kitab karyanya (risalah) yang ditulis untuk menasehati adiknya itu diharamkan untuk dicetak dan dibaca. Buku itu digolongkan sebagai buku sesat, karena ia telah mengkritisi akidah adiknya yang dianggapnya telah keluar dari kesepakatan kaum muslimin. Orang-orang Indonesia yang pernah belajar di Arab Saudi, terkhusus yang mengikuti ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab (Wahhaby) akan tahu betapa bencinya para ulama Wahaby terhadap pribadi Sulaiman bin Abdul Wahhab.
———————————————————
Dan Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab (Saudara Muhammad bin Abdul Wahhab) pun Turut Dicela
Setelah membaca beberapa komentar yang ada, ternyata ada sebagian teman Wahhaby (pengunjung blog ini) memberikan komentar berdasarkan jiwa fanatisme yang bersumber dari hawa nafsunya terhadap ajaran Muhamad bin Abdul Wahab, dan tanpa didasari oleh kajian ilmiah terhadap sejarah hidup Muhammad bin Abdul Wahab bersama saudaranya, Sulaiman bin Abdul Wahhab, lantas menatakan bahwa di akhir hayat Sulaiman bin Abdul Wahab, ia akhirnya mengikuti dan membenarkan ajaran adiknya. Pernyataan ini sangat lucu dan tidak sesuai dengan kenyataan yang ada.
Jika kita menengok di alam realitanya maka akan kita dapati bahwa, betapa kaum Wahaby Arab Saudi sangat muak dengan orang yang bernama Sulaiman bin Abdul Wahab al-Hanbali, saudara kandung Muhammad bin Abdul Wahab. Para ulama Wahhaby sepakat bahwa kitab karyanya (risalah) yang ditulis untuk menasehati adiknya itu diharamkan untuk dicetak dan dibaca. Buku itu digolongkan sebagai buku sesat, karena ia telah mengkritisi akidah adiknya yang dianggapnya telah keluar dari kesepakatan kaum muslimin. Orang-orang Indonesia yang pernah belajar di Arab Saudi, terkhusus yang mengikuti ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab (Wahhaby) akan tahu betapa bencinya para ulama Wahaby terhadap pribadi Sulaiman bin Abdul Wahhab.
Dalam buku yang berjudul “Kutub Hadzara al-Ulama’ minha” (كتب حذر العلماء منها) yang dikarang oleh seorang Wahaby kontemporer yang bernama Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan Aali Salman (cetakan Dar as-Shomi’i, Riyadh, Cet: I, Thn: 1415 H) diakui bahwa buku itu dapat menggoyahkan ajaran Wahabisme di wilayah Jazirah Arabiyah. Penulis menyatakan bahwa: “Kitab ini –yaitu kitab “as-Showa’iq al-Ilahiyah fi Mazhab al-Wahhabiyah” karya Syeikh Sulaiman- memiliki dampak yang sangat negatif sekali. Dikarenakannya (kitab tadi, red) penduduk “Huraimala’” menarik diri (dari ajaran Wahabisme, red). Dan bukan hanya pada batas (wilayah) itu saja. Akan tetapi pengaruh kitab itu sampai pada wilayah “Uyainah”. Hingga orang yang mengaku memiliki ilmu pun di wilayah tadi (Uyainah) juga dilanda rasa bimbang dan ragu terhadap kebenaran dakwah ini (Wahhabiyah, red)” (Lihat; 1/271).
Ternyata buku karya Sulaiman bin Abdul Wahab yang jika dilihat dari kuantitas dan kapasitas lembarannya tidak begitu banyak dan tebal, namun berhasil menggoyah ajaran dakwah adiknya, Muhammad bin Abdul Wahhab yang memiliki tulisan yang banyak itu. Buku yang layak dimiliki oleh setiap orang yang mencari kebenaran, pembasmi ajaran Wahhabisme. Buku ini dilarang di wilayah Saudi karena akan menggoyahkan status quo para ulama Wahabi (muthowwi’) yang sok benar dan sok monoteis (ahli tauhid). Tetapi kebenaran tidak dapat ditutup-tutupi. Walau buku itu dilarang di Saudi Arabia, namun masih bisa kita dapati di beberapa negara-negara Timur Tengah lainnya.
Ini juga sebagai bukti kepada kita bahwa, banyaknya buku yang ditulis oleh seseorang bukan lantas membuktikan kebenaran ajarannya dan kehebatan orangnya. Buku kecil yang berlandaskan ajaran yang benar dan metode yang bagus sesuai dengan ajaran Islam yang dibawa oleh Muhammad Rasulullah dan Salaf Saleh akan mampu menghalau buku yang berjilid-jilid tapi dibangun di atas kesesatan, seperti karya para ulama Wahhaby. Apa yang mereka tulisa dalam kitab yang berjilid-jilid itu adalah pengejawantahan dari apa yang diyakini dan diungkapkan melalui mulut mereka. Jadi kita tidak boleh silau hanya dengan sisi zahirnya saja. Bukankah Allah SWT pernah berfirman: “Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras.” (QS al-Baqarah: 204)
Dari sini jelas sekali bahwa, ternyata buku itu ditulis oleh Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahab untuk menjawab dakwah ‘aliran dan sekte sesat’ (versi sang kakak) yang dikarang oleh Muhammad bin Abdul Wahab, adiknya. Dan tidak ada bukti konkrit dan otentik –baik sejarah yang tertulis atau karya lain Syeikh Sulaiman- yang menunjukan bahwa Sulaiman bin Abdul Wahab di akhir hayatnya mengamini dan menyokong dakwah sang adik. Lantas, masihkah kaum Wahhaby memaksa diri untuk menyatakan bahwa Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab di akhir hayatnya menyokong dakwah adiknya? Dan terbukti, bisa ditanyakan kepada pelajar Wahaby Indonesia yang belajar di Saudi Arabia -khususnya- tentang bagaimana pendapat para guru mereka tentang pribadi Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab. Mereka akan mendengar cacian dan makian yang diarahkan kepada pribadi Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab yang bukan hanya tidak mengimani ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab, bahkan mengkritisinya dengan argument yang kuat, tegas dan ilmiah. Jika orang besar dan ulama mazhab Hanbali (Ahlusunah) seperti Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab saja dicaci-maki dan dinyatakan sesat, apalagi orang seperti Sastro ini.
Beberapa Bukti Pengkafiran Muhammad bin Abdul Wahhab oleh ulama Wahabi
Dan ternyata, sayangnya, kebiasaan buruk (sunnah sayyi’ah) itu masih terus dilestarikan oleh para pengikut setia dan orang-orang yang taklid buta terhadap Muhammad bin Abdul Wahhab yang mengatasnamakan diri sebagai Salafy, bahkan mengaku sebagai Ahlusunah wal Jamaah. Jikalau sekte sempalan ini tidak mendapat dukungan dana, kekuatan militer dan perlindungan penuh dari negara kaya minyak seperti Saudi niscaya nasibnya akan sama dengan nasib sekte-sekte sempalan lainnya, binasa. Awalnya, sekte ini tidak jauh berbeda dengan sekte seperti al-Qiyadah al-Islamiyah yang baru-baru ini dinyatakan sesat oleh para ulama di Indonesia.
———————————————————-
Beberapa Bukti Pengkafiran Muhammad bin Abdul Wahhab
(Pencetus Wahabisme)
Setelah kita mengetahui realita yang ada bahwa, para pengikut Salafy (yang pada hakekatnya adalah Wahhaby) yang selama ini selalu menyebut sesat kelompok lain dengan dalih akidah mereka (non Wahaby) masih bercampur dengan keyakinan Syirik, Khurafat dan Bid’ah sehingga menyebabkan mereka merasa paling benar sendiri dan hanya sekte merekalah yang mewakili Islam sejati. Semua keyakinan dan prilaku sekte itu ternyata merupakan hasil taklid buta mereka terhadap pencetus Wahabisme, Muhammad bin Abdul Wahhab yang selama hidupnyapun telah melakukan pengkafiran semacam itu. Pada kesematan ini, kita akan sebutkan beberapa contoh dari pengkafiran yang dilakukan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab terhadap kelompok lain yang tidak sepaham dengan keyakinan barunya (baca: Bid’ahnya).
Dalam kitab “Ar-Rasa’il as-Syakhsyiah li al-Imam as-Syeikh Muhammad Abdul Wahhab” dalam surat ke 11 halaman 75 disebutkan bahwa; “Fatwaku adalah menyatakan bahwa Syamsaan beserta anak-anak mereka dan siapapun yang menyerupai mereka. Aku menamai mereka dengan Toghut (sesembahan selain Allah, red)…”. dan yang lebih dahsyat lagi adalah apa yang dnyatakannya dalam kitab yang sama (Ar-Rasa’il as-Syakhsyiah li al-Imam as-Syeikh Muhammad Abdul Wahhab) dalam surat ke 34 halaman 232 dimana Ibn Wahhab menuliskan: “…kami telah menyatakan kafir terhadap thoghut-thoghut para penghuni al-Kharj dan selainnya”. Dan kita tahu bahwa, al-Kharj adalah nama satu daerah yang berjarak kurang lebih delapan puluh kilo meter dari kota Riyadh. Daerah al-Kharj membawahkan beberapa desa dengan banyak penduduk. Hal itu sebagaimana yang telah tercantum dalam kitab “al-Mu’jam al-Jughrafi lil Bilad al-Arabiyah as-Saudiyah” jilid 1/392 atau kitab “Mu’jam al-Yamamah” jilid 1/372. Jelas sekali bahwa betapa Muhammad bin Abdul Wahhab tanpa ragu lagi menyatakan kaum muslimin yang tidak menerima ajaran sesat sektenya dengan vonis “KAFIR”, sebagaimana yang pernah kita singgung dalam singungan surat yang ditulis Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab al-Hanbali saudara tua dan sekandung Muhammad bin Abdul Wahhab, yang selalu menegur kesesatan adiknya.
Bukan hanya pengkafiran yang dilakukan Muhammad bin Abdul Wahhab, cacian, makian dan hinaan pun terlontar dari otak dan hatinya yang kotor yang ditujukan untuk para tokoh dan pembesar Ahlusunah, yang tidak setuju dengan ajarannya. Dalam kitab “Ar-Rasa’il as-Syakhsyiah li al-Imam as-Syeikh Muhammad Abdul Wahhab” surat ke 34 halaman 232 dalam mengata-ngatai seorang tokoh yang bernama Syeikh Sulaiman bin Sahim, ia mengatakan: “Akan tetapi sang hewan ternak (bahim, arab) Sulaiman bin Sahim tidak memahami makna ibadah”. Seakan hanya Muhammad bin Abdul Wahhab saja yang memahamai ajaran tauhid dengan benar dan tidak menganggap benar dan menyatakan sesat pemahaman kelompok lain diluar Wahabismenya. Dan dalam kitab “Majmu’ Mu’allafaat al-Imam as-Syeikh Muhammad Abdul Wahhab” jilid1 halaman 90-91 disebutkan bahwa ia (Muhammad bin Abdul Wahhab) mengata-ngatai Syeikh Sulaiman dan menjulukinya dengan julukan “Sapi”, dengan ungkapannya: “Orang ini seperti Sapi yang tidak dapat membedakan antara tanah dan kurma”. Padahal dosa Syeikh Sulaiman bin Sahim adalah menolak dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab yang dianggap sesat dari ajaran dan ijma’ ulama Islam, terkhusus Ahlusunah wal Jamaah. Hal ini yang dinyatakan sendiri oleh Bin Abdul Wahhab dalam lanjutan kitab tersebut dengan ungkapan: “Karena mereka telah berusaha…untuk mengingkari dan berlepas tangan dari agama ini” (Kitab ar-Rasa’il as-Syakhsyiah…5/167). Agama mana yang dimaksud oleh Muhamad bin Abdul Wahhab? Agama baru yang dibawanya, ataukah agama Islam yang dibawa oleh Muhammad Rasulullah SAW yang –dalam masalah tauhid dan syirik- dipahami dan disepakati oleh semua kelompok Islam, termasuk pemahaman kakaknya yang tergolong ulama mazhab Hambali? Apakah orang seperti Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab al-Hambali (kakaknya) atau Syeikh al-Allamah Sulaiman bin Muhammad bin Ahmad bin Sahim (wafat tahun 1181 H) yang salah seorang ulama dan tokoh besar di zamannya (sebagaimana yang telah disebutkan dan diakui sendiri oleh seorang Wahhaby kontemporer Abdullah bin Abdurrahman Aali Bassam dalam kitabnya “Ulama’ an-Najd Khilala Sittata Quruun” dalam jilid ke 2 halaman 381 pada Tarjamah nomer 191, cetakan Maktabah an-Nahdhatul Haditsah di Makkah al-Mukarramah, cetakan pertama tahun 1398 H), juga tidak memahamai konsep tauhid dan syirik yang dibawa oleh Islam Muhamad bin Abdullah (Rasulullah)? Apakah layak dia mengata-ngatai seorang ulama besar semacam itu dengan ungkapan-ungkapan kotor yang tidak layak diungkapkan oleh seorang muslim awam sekalipun, apalagi ini yang mengaku sebagai mujaddid (pembaharu) agama Islam? Lantas mana akhlak Rasulullah, akhlak Islam dan akhlak mulia agama Allah? Jika pengolok-olok semacam ini disebut sebagai “Pembaharu Islam“ maka jangan salahkan jika Islam menjadi obyek olok-olokan musuh-musuhnya. Untuk lebih mengetahui kenapa Syeikh Sulaiman bin Sahim mengingkari dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab dan apa saja yang diungkapkan Muhammad bin Abdul Wahhab kepadanya dengan bahasa yang kasar dan menunjukkan kebaduian prilaku Muhammad bin Abdul Wahhab, bisa dilihat dalam buku yang dikarya oleh seorang penulis Wahhaby kontemporer Dr Abdullah al-Utsaimin dalam buku karyanya; “Mauqif Sulaiman bin Sahim min Dakwah as-Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab” dari halaman 91 hingga 113 yang dicetak di Riyadh-Saudi tahun 1404 H.
Belum lagi kalau kita membaca buku “Al-Fitnatul Wahhabiyah” (Fitnah Wahabisme) karya Syeikhul Islam dan Mufti Besar Mazhab Syafi’i yang berdomisili di kota suci Makkah, Syeikh al-Allamah Ahmad bin Zaini Dahlan (wafat tahun 1304 H dan dimakamkan di Madinah) dimana beliau hidup di masa-masa ekspansi pemaksaan ajaran Wahabisme ke segenap jazirah Arab. Syeikhul Islam Zaini Dahlan menjelaskan bagaimana para pengikut setia Bin Abdul Wahhab (meniru pencetusnya) dalam pengkafiran kaum muslimin yang bukan hanya sekedar melalui ungkapan dan tulisan, bahkan dengan tindakan yang sewenang-wenang, bahkan pembantaian. Dan ternyata, sayangnya, kebiasaan buruk (sunnah sayyi’ah) itu masih terus dilestarikan oleh para pengikut setia dan orang-orang yang taklid buta terhadap Muhammad bin Abdul Wahhab yang mengatasnamakan diri sebagai Salafy, bahkan mengaku sebagai Ahlusunah wal Jamaah. Jikalau sekte sempalan ini tidak mendapat dukungan dana, kekuatan militer dan perlindungan penuh dari negara kaya minyak seperti Saudi niscaya nasibnya akan sama dengan nasib sekte-sekte sempalan lainnya, binasa. Awalnya, sekte ini tidak jauh berbeda dengan sekte seperti al-Qiyadah al-Islamiyah yang baru-baru ini dinyatakan sesat oleh para ulama di Indonesia. Dan ternyata kaum Salafypun ikut-ikutan menyesatkan al-Qiyadah al-Islamiyah, padahal mereka mempunyai kendala yang sama, sekte sempalan yang dahulu diangap sesat. “Maling teriak maling”, itulah kata yang layak dinyatakan kepada kaum Wahaby yang mengaku Salafy dan Ahlusunah itu. Wahai kaum Wahaby, sesama sekte sesat dilarang saling mendahului dan saling menyesatkan.
Sekarang, masihkah pengikut Wahaby (yang berkedok Salafy) menanyakan bahwa Syeikh mereka tidak mengkafirkan kaum muslimin dan menampik kenyataan yang tidak bisa mereka pungkiri ini? Apa yang kita sebutkan di atas tadi adalah sedikit dari apa yang dapat disebutkan dalam blog yang sangat terbatas ini. Masih banyak hal yang dapat kita sebutkan untuk membuktikan pengkafiran Wahabisme terhadap kaum muslimin, disamping prilaku mereka yang sebagai bukti konkrit lain dari pengkafiran tersebut. Lihat bagaimana prilaku mereka pada setiap musim haji yang mengobral murah dengan membanting harga kata “Syirik” dan “Bid’ah” bahkan dibagi dengan cuma-cuma pada jamaah haji. Seakan para rohaniawan Wahhaby pada musim haji melakukan “Cuci Gudang” kata bid’ah dan syirik untuk saudara-saudara mereka sesama muslim.
Jika orang muslim telah dikafirkan dan orang besar (baca: ulama) seperti Syeikh Sulaiman bin Sahim dicaci-maki dan dihina oleh orang seperti Muhammad bin Abdul Wahhab maka jangan heran jika sekarang ini para pengikut setia dan fanatiknya (kaum Wahaby) juga turut mengikuti jejak langkah manusia tak beradab seperti Muhammad bin Abdul Wahhab itu. Ungkapan dan tuduhan jahil (bodoh), munafik, zindik bahkan sebutan anjing atau hewan-hewan lain dari kelompok Wahaby terhadap pengikut muslim lain merupakan hal biasa yang telah mereka dapati secara turun-temurun. Makanya, jangan heran jika orang seperti Sastro ini lantas dibilang bodoh, munafik, zindik bahkan dinyatakan sebagai anjing. Itulah watak preman kaum Wahaby yang jelas tidak cocok dengan budaya Timur yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia yang sangat menjujung tinggi etika dan adab (sopan santun), tidak seperti masyarakat Arab.
Benarkah Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab telah Bertaubat?
Bantahan terhadap pernyataan Ulama wahabi bahwa Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab mengikut paham serta ajaran adiknya.
Jika kitab “As-Showa’iq al-Ilahiyah fi Mazhab al-Wahhabiyah” adalah merupakan surat teguran Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab terhadap adiknya (Muhammad bin Abdul Wahhab) secara langsung, namun kitab kedua beliau; “Fashlul Khitab fi Mazhab Muhammad bin Abdul Wahhab” adalah surat yang ditujukan kepada “Hasan bin ‘Idan”, salah satu sahabat dan pendukung setia nan fanatik Muhammad bin Abdul Wahhab (pencetus Wahabisme). Jadi ada dua karya yang berbeda dari Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab yang keduanya berfungsi sama, mengkritisi ajaran Wahabisme, walaupun keduanya berbeda dari sisi obyek yang diajak bicara. Dan tidak benar jika dikatakan bahwa terjadi perubahan judul dari karya beliau tadi. Karena ada dua buku dengan dua judul yang berbeda.
—————————————————-
Benarkah Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab telah Bertaubat?
Salah seorang teman Wahhaby menyatakan bahwa di akhir hayat Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab –salah seorang ulama mazhab Hambali, saudara tua dan sekandung Muhammad bin Abdul Wahhab, pendiri Wahabisme- beliau bertaubat dan menyesali segala yang telah dilakukannya berupa penentangan keras terhadap ajaran adiknya, Wahabisme. Penentangan itu dilakukannya dengan berupa nasehat kepada Sang adik, baik melalui lisan maupun dengan menulis surat (risalah) yang selama ini dilakukannya atas keyakinan ajaran Sang adik. Bukti-bukti konkrit, kuat dan ilmiah telah beliau sampaikan ke Sang adik, namun apa daya, ikhtiyar menerima kebenaran bukan terletak pada tangan Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab. Apakah benar Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab tobat dari memusuhi sekte ajaran adiknya yang dikenal dengan Wahabiyah itu?
Namun salah satu pendapat teman Wahaby tadi tidak sendiri. Sebelumnya, terdapat individu lain yang menyatakan hal yang sama. Bedanya individu Wahaby tersebut merupakan seorang penulis, bukan hanya seorang bloger ataupun yang hanya punya hoby mengintip-ngintip blog orang. Namun kesamaannya adalah, selain dia sesama pengikut Wahaby, ia juga sama-sama malu-malu (mungkin masih ragu dan takut salah) untuk menyatakan hal itu, karena tidak punya bukti konkrit yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Orang yang saya maksud adalah Khairuddin az-Zarkali yang bermazhab Wahaby asal Syiria. Dalam kitab “al-A’lam” jilid 3 halaman 130 dia menyatakan dalam karyanya tersebut; “Ada yang menyatakan bahwa Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab telah bertaubat dalam menentang pemikiran adiknya, Muhammad bin Abdul Wahhab”. Namun dalam bukunya itu dia tidak berani memberi isyarat tentang kebenaran pernyataan tadi, apalagi meyakininya dengan menyebut bukti-bukti konkrit. Hal itu karena memang ketiadaan bukti yang konkrit serta otentik akan ke-taubat-an Syeikh Sulaiman dalam penentangannya atas ajaran adiknya.
Ada seorang penulis lain asal Syiria yang juga menjelaskan tentang pribadi Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab. Dia adalah Umar Ridho Kahhalah pengarang kitab “Mu’jam al-Mu’allifin” (lihat jilid 4 halaman 269, tentang Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab). Cuman terjadi perbedaan di antara kedua penulis tadi sewaktu menyebut tahun wafat Syeikh Sulaiman. Al-Kahhalah menyebutkan bahwa Syeikh Sulaiman meninggal tahun 1206 Hijriyah. Sedang az-Zarkali menyebutkannya pada tahun 1210 Hijriyah.
Mengenai karya-karya Syeikh Sulaiman yang menangkal ajaran adiknya (Wahabisme), Al-Kahhalah dalam kitab “Mu’jam al-Mu’allifin” (jilid 4 halaman 269) menyebutkan judul kitab “As-Showa’iq al-Ilahiyah fi Mazhab al-Wahhabiyah” (Petir-Petir Ilahi pada Mazhab Wahabisme). Begitu juga yang dinyatakan dalam kitab “Idhoh al-Maknun” (lihat jilid 2 halaman 72). Dan di dalam kitab “Idhoh al-Maknun” juga disinggung tentang kitab lain karya Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab yang berjudul “Fashlul Khitab fi Mazhab Muhammad bin Abdul Wahhab” (Seruan Utama pada Mazhab Muhammad bin Abdul Wahhab). Namun, surat panjang yang kemudian dicetak menjadi kitab yang sudah beberapa kali dicetak itu memiliki judul panjang; “Fashlul Khitab min Kitab Rabbil Arbab, wa Hadis Rasul al-Malak al-Wahhab, wa kalaam Uli al-Albab fi Mazhab Muhammad bin Abdul Wahhab” (Seruan Utama dari Kitab Penguasa dari segala penguasa (Allah SWT), dan hadis utusan Maha Kuasa dan Maha Pemberi anugerah (Muhammad SAW), dan ungkapan pemilik akal sehat pada mazhab Muhammad bin Abdul Wahhab). Kitab ini telah dicetak di beberapa Negara; di India pada tahun 1306 H, di Turkia pada tahun 1399 H, di Mesir, Lebanon dan beberapa Negara lainnya.
Jika kitab “As-Showa’iq al-Ilahiyah fi Mazhab al-Wahhabiyah” adalah merupakan surat teguran Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab terhadap adiknya (Muhammad bin Abdul Wahhab) secara langsung, namun kitab kedua beliau; “Fashlul Khitab fi Mazhab Muhammad bin Abdul Wahhab” adalah surat yang ditujukan kepada “Hasan bin ‘Idan”, salah satu sahabat dan pendukung setia nan fanatik Muhammad bin Abdul Wahhab (pencetus Wahabisme). Jadi ada dua karya yang berbeda dari Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab yang keduanya berfungsi sama, mengkritisi ajaran Wahabisme, walaupun keduanya berbeda dari sisi obyek yang diajak bicara. Dan tidak benar jika dikatakan bahwa terjadi perubahan judul dari karya beliau tadi. Karena ada dua buku dengan dua judul yang berbeda. Alhamdulillah, di perpustakaan pribadi kami, kedua kitab tadi tersimpan secara rapih dan menjadi salah satu koleksi berharga -dari sekian banyak buku dan referensi- dalam menyingkap hakekat Wahabisme, terkhusus Wahabisme (Salafy gadungan) yang berada di Indonesia.
Kedua surat itu walaupun memiliki perbedaan dari sisi obyek yang diajak bicara (satu buat sang adik, dan satu lagi buat pendukung fanatik buta adiknya), namun memiliki kesamaan dari sisi kekuatan dan keilmiahan argumentasinya, baik argument dari al-Quran, Hadis dan Salaf Saleh. Tentu sebagai seorang kakak, Syeikh Sulaiman tahu betul sifat dan watak adiknya yang hidup bersamanya dari semenjak kecil. Dia paham bahwa apa yang dilakukannya akan sia-sia, namun apa yang dilakukannya itu tidak lain hanya sebagai argumentasi pamungkas (Itmam al-Hujjah) akan segala perbuatan adiknya. Sehingga ia berpikir, dengan begitu ia tidak akan dimintai pertanggungjawaban lagi oleh Allah, kelak di akherat, sebagai seorang kakak dan seorang ulama yang dituntut harus sigap dalam melihat dan menyikapi segala penyimpangan, berdasarkan konsep “Amar Makruf Nahi Munkar” yang diperintahkan (diwajibkan) Islam.
Namun secara realita, usaha Syeikh Sulaiman tidak memberi hasil. Muhammad bin Abdul Wahhab tetap menjadi Muhammad bin Abdul Wahhab Sang pencetus Wahabisme, Syeikhul Wahhabiyah. Apalagi dia merasa di atas angin setelah mendapat dukungan penuh Klan Saud, dari sisi harta dan kekuatan. Sedang sejarah telah menulis bahwa kekuatan Klan Saud tadi didapat dari dukungan kerajaan Inggris, penjajah Jazirah Arab kala itu dalam memenangkan Klan Saud di atas semua kabilah Arab yang ada dan menentang keberadaan imperialis Inggris kala itu. Muhammad bin Abdul Wahhab tidak lagi bisa mendengar (tuli) dan melihat (buta) akan kebenaran argumen al-Quran, hadis dan ungkapan Salaf Saleh yang keluar dari siapapun, termasuk Sang kakak yang tergolong salah seorang ulama mazhab Hambali di zamannya. Segala usaha Syeikh Sulaiman terhadap Sang adik dan pendukung setia adiknya tadi ibarat apa yang pernah Allah SWT singgung dalam al-Quran yang berbunyi; “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk” (QS al-Qoshosh: 56). Karena orang-orang semacam itu (Muhammad bin Abdul Wahhab beserta pengikut setianya) ibarat apa yang telah disinggung dalam al-Quran:
“Maka apakah kamu dapat menjadikan orang yang pekak bisa mendengar atau (dapatkah) kamu memberi petunjuk kepada orang yang buta (hatinya) dan kepada orang yang tetap dalam kesesatan yang nyata?” (QS az-Zukhruf: 40)
Atau ayat:
“Apakah dapat kamu memberi petunjuk kepada orang-orang yang buta, walaupun mereka tidak dapat memperhatikan” (QS Yunus 43).
Dari sini jelas sekali bahwa, kebenaran pernyataan yang menyatakan bahwa Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab telah bertobat merupakan pernyataan yang tidak berdasar. Karena tidak ada bukti konkrit dan otentik akan kebenaran hal itu, seperti bukti tertulis karya Syeikh Sulaiman sendiri atau paling tidak orang yang sezaman dengan beliau. Yang ada hanya pengakuan-pengakuan dari para ulama Wahaby kontemporer (yang tidak mengetahui ihwal meninggalnya Syeikh Sulaiman, apalagi hidupnya) yang menyatakan bahwa Syeikh Sulaiman telah tobat dan bahkan telah mengikuti bahkan menyokong sekte ajaran adiknya. Ini adalah pembohongan atas nama Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab. Semua itu mereka lakukan tidak lain hanya untuk membersihkan pengaruh negatif akibat pengingkaran kakak kandung pencetus Wahabisme yang akan memberikan image negatif terhadap perkembangan sekte Wahabisme ini.
Jadi, atas dasar itu jangan heran jika pengikut Wahhaby seperti Khairuddin az-Zarkali tidak berani dengan terang-terangan bahkan cenderung ragu dalam menghukumi kebenarannya. Apalagi ditambah dengan kenyataan yang ada di luar bahwa para pengikut sekte Wahhaby ini –terkhusus para dedengkotnya yang berada di Saudi, Yaman dan Kuwait- sangat membenci Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab. Jika Syeikh Sulaiman benar-benar telah bertaubat, kenapa ada kesepakatan (terkhusus antar ulama Wahaby beserta para santri mereka) untuk mencela dan menghina ulama mazhab Hambali (salah satu mazhab Ahlussunah wal Jamaah) ini? Jika mazhab Hambali (yang metode mazhabnya banyak diadopsi oleh Wahhaby) saja diolok-olok, bagaimana dengan mazhab lain Ahlussunah seperti mazhab Hanafi, Maliki dan Syafi’i? Maka jangan heran jika para pengikut Wahaby akhirnya mudah mengolok-olok mazhab-mazhab resmi Ahlussunah wal Jamaah. Layakkah mereka mengaku sebagai Ahlussunah wal Jamaah?
Mengapa Mereka Enggan Disebut Wahhâbi?
Ditulis pada Nopember 11, 2007 oleh abusalafy
Bantahan Atas Artikel Blog muwahiid.wordpress.com:
Siapakah Wahhabi? (1)
Mengapa Mereka Enggan Disebut Wahhâbi?
Sering kita dengar atau baca, kebanyakan penganut sekte bentukan Muhammad ibn Abdil Wahhâb merasa begitu gusar disebut sebagai kaum Wahhâbi alias bermadzhab Wahhâbi, seperti yang ditampakkan juga oleh seorang Misionaris Wahhabiyah bernama -Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Lc -(lihat tulisannya dibawah dan disini)-, sementara kalimat/istilah/penyebutan itu tidak mengandung konotasi pujian atau celaan. Ia bukan celaan, andai mereka mengku bahwa apa yang mereka anut itu adalah sebuah mazhab. Sebab sebuah mazhab yang ditegakkan di atas dalil-dalil yang shahihah tidak akan dicemari dengan nama baru yang disandangnya atau penamaan baru yang disematkan orang kepadanya!
Saya benar-benar terheran-heran terhadap para muqallidin (yang hanya pandai bertaqlid buta, tanpa kefahaman, namun tidak pernah mau mengakuinya) yang tak henti-hentinya menampakkan kegusaran mereka dan mengeluhkan bahwa istilah Wahhâbi itu sengaja digelindingkan “musuh-musuh da’wah” dengan konotasi mengejek, sementara itu perlu mereka sadari bahwa penamaan itu di luar area pertikaian. Ini yang pertama.
Kedua, berapa banyak ulama Wahhâbi sendiri menerima dengan lapang dada penamaan itu. Mereka tidak malu-malu atau enggan menyebut diri mereka sebagai Wahhâbi, bahkan sebagian mereka menulis buku atau risalah bertemakan Akidah Wahhâbiyah. Itu semua tidak semestinya dirisaukan.
Di antara ulama Wahhâbi yang menggunakan istilah atau menamakan aliran/mazhab mereka dengan nama Wahhâbi adalah Sulaiman ibn Sahmân, dan sebelumnya Muhammad ibn Abdil Lathîf. Baca kitab ad-Durar as Saniyyah,8/433, serta masih banyak lainnya. Demikian juga para pembela Wahhâbi, seperti Syeikh Hamid al Faqi, Muhammad Rasyid Ridha, Abdullah al Qashîmi, Sulaiman ad Dukhayyil, Ahmad ibn Hajar Abu Thâmi, Mas’ud an Nadawi, Ibrahim ibn Ubaid –penulis kitab at Tadzkirah- dan banyak lagi selain mereka. Mereka semua menggunakan istilah atau nama tersebut untuk merujuk kepada aliran yang dibawa Muhammad ibn Abdil Wahhâb at Tamimi an Najdi. Kendati Syeikh Hamid al Faqi terkesan meragukan i’tikad baik mereka yang menggunakan nama itu dan ia mengusulkan lebih tepatnya ajakan Muhammad ibn Abdil Wahhâb itu dinamai dengan Da’wah Muhammadiyah mengingat nama pendirinya adalah Muhammad bukan Abdul Wahhâb! Dan sikap ini diikuti oleh sebagian Misinioris dan jugu da’wah serta aktifis sekte ini, seperti Shaleh ibn Fauzân ketika ia mengecam Abu Zuhrah dan lainnya.
Tuntutan Syeikh Fauzân dan Hamid al Faqi agar nama Wahhâbi dijauhkan dari penggunaan dan sebagai gantinya nama Da’wah Muhammadiyah mengingat pendiri sekte ini adalah Muhammad adalah tuntutan yang aneh bin ajaib, dengan satu alasan yang sederhana, yaitu bahwa kebanyakan mazhab-mazhab yang ada di kalangan kaum Muslimin tidak dinisbatkan kepada nama pendirinya, akan tetapi dinisbatkan kepada nama ayah-ayah atau kakek-kakek mereka.
Mazhab Hanbali misalnya, dinisbatkan kepada kakek Imam Ahmad, sebab nama beliau adalah Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal. Sementara itu syeikh Fauzân dan al Faqi serta para penganut Wahhâbi tidak sediktpun memprotes penamaan tersebut, mereka tidak mengatakan bahwa mazhab Imam Ahmad itu seharusnya dinamakan dengan nama Mazhab Ahmadi!
Begitu juga dengan Mazhab Syafi’i, ia dinisbatkan kepada Syafi’ -kakek keempat Imam Syafi’i -sebab nama lengkap beliau adalah Muhammad ibn Idris ibn Abbas ibn Utsman ibn Syafi’. Lalu mengapa mereka tidak memprotesnya dengan mengatakan penamaan itu tidak benar, sebab nama pendiri mazhab itu adalah Muhammad, jadi penamaan yang tepat adalah Mazhab Muhammadi!
Begitu juga dengan Mazhab Hanafi, ia dinisbatkan kepada Abu Hanifah, sementara Hanifah itu sendiri bukan nama pendirinya, nama pendirinya adalah Nu’mân ibn Tsabit.
Hal yang sama kita jumpai dalam penamaan Mazhab Teoloqi/Kalam Asy’ari, para penganut mazhab tersebut dipanggil dengan nama Asyâ’irah (bentuk jamak Asy’ari) dengan dinisbatkan kepada Abu al Hasan al Asy’ari, sementaa nama Asy’ar adalah nama kakek Abu al Hasan yang kesekian sejak masa jahilah sebelum kedatangan Islam yang menjadi moyang bani Asya’irah, yaitu Asy’ar ibn Adad ibn Zaid ibn Yasyjab ibn Arîb ibn Zaid ibn kahlan ibn Saba’. Dapat kita perhatikan bahwa antara Abu al Hasan –pendiri mazhab- dan Asy’ar terdapat puluhan ayah… begitu pula dengan Mazhab Ibadhiyah –salah satu sekte Khawarij yang masih eksis hingga sekarang- ia dinisbatkan kepada Abdullah ibn Ibâdh…. Dan begitu seterusnya. Anda tidak akan menemukan sebuah mazhab yang dinamai dengan nama pendirinya kecuali sangat sedikit sekali, seperti Mazhab Maliki yang dinisbatkan kepada Imam Malik ibn Anas, atau Mazhab Zaidiyah yang dinisbatkan kepada Imam Zaid ibn Ali ibn Husain ibn Ali ibn Abi Thalib ra. atau Mazhab Ja’fariyah yang dinisbatkan kepada Imam Ja’far ibn Muhammad ibn Ali ibn Husain ibn Abi Thalib ra. (imam keenam mereka).
Jadi ringkas kata, mereka yang menisbatkan Mazhab Syeikh Muhammad ibn Abdil Wahhâbi dengan menyebut Mazhab Wahhâbi tidak lebih dekat kepada kebenaran dibanding mereka yang menamakan para pengkiut Imam Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal dengan nama al- Hanabilah (bentuk jamak kata Hanbali)!!
Selain itu, sering kita saksikan bahwa para Wahhâbiyun dengan seenaknya sendiri menyebut kelompok-kelompok tertentu dengan sebutan dan gelar dengan kesan kental mengejek, seperti al Jâmiyyîn, Al Bâziyyîn, al Quthbiyyîn, al Bannaiyyîn, al Albâniyyîn, al-Sururiyyin dan lain-lain.
Bahkan yang mengherankan ialah ternyata Shaleh ibn Fazân –yang keberatan digunakannya istilah Wahhabi- ternyata dengan serampangan menggunakan istilah Surûriyah untuk pengikut Muhammad ibn Surûr ibn Nâyif ibn Zainal Âbidîn. Mengapa ia tidak menamainya dengan nama Muhammadiyah/Muhammadi mengingat pendirinya/pimpinan kelompok itu bernama Muhammad dan bukan Surûr?!!
Namun, apa hendak dikata, kaum Wahhâbiyah tidak pernah ingin dibatasi dengan aturan main dan etika dalam berkomunikasi! Apa yang mau mereka lakukan, ya mereka lakukan, jangan ada yang menanyakan mengapa? “Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai.” (QS.21[Al Anbiyâ’];23)
Atau jangan-jangan keberatan mereka atas penamaan/penisbatan itu sebenarnya bersifat politis dan demi kepentingan “Da’wah Pemurnian Tauhidi ala mereka”, agar kaum awam tidak lagi mengingat potret kelam pendiri sekte Mazhab ini yang akrab dengan doktrin pengafiran dan pencucuran darah-darah suci kaum Muslimin lain selain pengikut mazhabnya, sebab kalau mereka menyadari hal itu pasti mereka akan merasa jijik terhadapnya! Bisa jadi itulah alasan hakiki dibalik keberatan itu, namum kami tidak ingin bersepekulasi atau sû’dzdzan, mungkin ada alasan lain yang luhur. Wallahu A’lam.
FATWA ULAMA WAHABI TENTANG JULUKAN WAHABI
Siapakah Wahhabi?
Penulis: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Lc
Selubung Makar di Balik Julukan Wahhabi
Di negeri kita bahkan hampir di seluruh dunia Islam, ada sebuah fenomena ‘timpang’ dan penilaian ‘miring’ terhadap dakwah tauhid yang dilakukan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimi An-Najdi rahimahullahu[1]. Julukan Wahhabi pun dimunculkan, tak lain tujuannya adalah untuk menjauhkan umat darinya. Dari manakah julukan itu? Siapa pelopornya? Dan apa rahasia di balik itu semua …?
Dan ternyata, memunculkan istilah ‘Wahhabi’ sebagai julukan bagi pengikut dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, merupakan trik sukses mereka untuk menghempaskan kepercayaan umat kepada dakwah tauhid tersebut. Padahal, istilah ‘Wahhabi’ itu sendiri merupakan penisbatan yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz berkata: “Penisbatan (Wahhabi -pen) tersebut tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Semestinya bentuk penisbatannya adalah ‘Muhammadiyyah’, karena sang pengemban dan pelaku dakwah tersebut adalah Muhammad, bukan ayahnya yang bernama Abdul Wahhab.” (Lihat Imam wa Amir wa Da’watun Likullil ‘Ushur, hal. 162) Tak cukup sampai di situ. Fitnah, tuduhan dusta, isu negatif dan sejenisnya menjadi sejoli bagi julukan keji tersebut. Tak ayal, yang lahir adalah ‘potret’ buruk dan keji tentang dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, yang tak sesuai dengan realitanya. Sehingga istilah Wahhabi nyaris menjadi momok dan monster yang mengerikan bagi umat. Fenomena timpang ini, menuntut kita untuk jeli dalam menerima informasi. Terlebih ketika narasumbernya adalah orang kafir, munafik, atau ahlul bid’ah. Agar kita tidak dijadikan bulan-bulanan oleh kejamnya informasi orang-orang yang tidak bertanggung jawab itu. Meluruskan Tuduhan Miring tentang Wahhabi [1].
Wahai Saudaraku:
Lihatlah kenaifan cara berfikir pimpinan tertinggi Seke Wahhabiyah Ben Baz di atas. dan apa yang kami tulis rasanya sudah cukup untuk membuktikan kenaifan dan kesalahannya.
Dan untuk meraih simpati Umat Islam, ia mengaitkan kesinisan terhadap Wahhabyiah adalah hasil trik sukses musuh-musuh Islam! Bukan karena doqma-doqma konyol Sekte Wahhabiyah sendiri!
AHLUSUNNAH ADALAH MUSYRIKUN DI MATA KAUM WAHABI/SALAFI
Termasuk kemungkaran, bid’ah dhalalh dan kemusyrikan dalam pandangan kaum Wahabi/Salafi adalah menghormati hari lahir Nabi mulia Muhammad saw.dengan mengadakan perayaan yang di dalamnya dibacakan ayat-ayat suci Al Qur’an, membacakan syair-syair pujian untuk beliau, serta membagi-bagikan makana atau santunan apapun untuk kaum Mukminin dll. yang masuk dalam bingkai ungkapan rasa cinta dan syukur kita atas kelahiran beliau sebagai junjungan, Nabi akhir dan Rasul kesayangn Allah SWT.
Praktik seperti itu dalam pandangan kaum Wahabi/Salafi adalah sebagai bentuk penyembahan selain Allah SWT. Ia menyerupai praktik kaum Nasrani dalam menyambut hari lahir al-Masih as.
Tidak jarang kita saksikan para kyia dan khatib mereka menggembar-gemborkan suara sumbang pengkafiran atau tuduhan bahwa praktik itu serupa dengan praktik orang-orang Kristen, seperti dibanyak masjid mereka!
Ternyata memang demikian ajaran kaum Wahabi itu! Dan stempel kemusyrikan yang mereka alamatkan kepada kaum Muslimin Ahlusunnah yang selalu dengan penuh kecintaan mengadakan perayaan Maulidan adalah pola pikir sesat kaum Wahabi!
Ini sangat berbahaya dan perlu disikapi oleh kita semua! Sikap mudah mengkafirkan orang lain dengan tanpa alasan jelas, atau dengan alasan yang belum pasti, apalagi yang kita kafirkan adalah umum kaum Muslimin, di dalamnya tidak jarang terrdapat para wali, para ulama, dan kaum shalihin adalah sikap sesat yang harus diberantas agar tidak membuat kekacauan di tengah-tengah umat Islam.
Sikap mengkafirkan kaum Muslimin Ahlusuunah oleh kaum Wahabi bukanlah sebuah fitnah, ia adalah sebuah fakta. Saya hanya akan sebutkan sekelumit saja fatwa-fatwa pengkafiran tersebut oleh Ulama wahabi. Fatwa Syeikh Abdurrahman bin Hasan Âlu Syeikh:
Dan mereka, kaum Musyrikun telah mengada-ngada hari-hari raya di sisi kuburan yang disembah selain Allah. Mereka menamainya sebagai ied, seperti hari raya al Badawi di mesir dan lainnya. Bahkan ia lebih dahsyat dari kemusyrikan, sebab di dalamnya terdapat kemusyrikan dan maksiat-maksiat besar. (Qurratul ‘Uyûn, baca Fathul Majîd:145.)
Coba Anda perhatikan bagaimana kaum Muslimin yang merayakan hari lahirnya Syeikh al Badawi, seorang wali besar yang diakui para ulama Ahlusunnah kewaliannya sebagai kaum Musyrikun!!
Fatwa Syeikh Muhammad Hamid al Faqi:
Peringatan hari lahir dan hari wafat yang ramai diadakan di negri ini dengan nama para wali adalah sebuah bentuk penyembahan dan pengagungan, ta’dzîm. (Ta’liq Fathul Majîd:154)
Jadi kaum AHLUSUNNAH yang mengadakan perayaan hari lahir Nabi saw. atau para wali Allah adalah KAUM MUSYRIKUN DALAM SUDUT PANDANG GOLONGAN WAHABI ATAU YANG SERING MENYEBUT DIRINYA SALAFI. yang sedang mengadapan praktik penyembahan kepada selain Allah!!
Subhanallah! Sampai kapan kalian hai Wahabi mengkafirkan Ahlusunnah dan semua golongan yang tidak sama dengan kalian!!!
Setelah fatwa di atas masihkan Anda mengingkari bahwa mazhab Anda itu ditegakkan di atas pengkafiran kaum Musliumin?!
Di Mata Kaum Wahhabiyah: NU adalah Ahlusunnah Gadungan lagi SESAT
Dalam pemetaan mazhab-mazhab teologi Islam, khusunya dalam masalah pemahaman terhadap sifat-sifat Allah SWT. kita akan menemukan beberapa aliran yang saling berseberangan. Di antara aliran-aliran tersebut adalah:
A) Musyabbihah, yaitu aliran yang meyakini bahwa Allah SWT. menyandang berbagai sifat yang juga disandang oleh makhuk-Nya, seperti keyakinan bahwa Allah berpostur seperti layaknya makhkuk; memiliki tangan, mata, betis, wajah seperti tangan, mata, betis, wajah makhluk-Nya, dll. Maha suci Allah dari menyerupai makhluk-Nya.
B) Mu’aththilah, yaitu kelompok yang menafikan semua sifat dari Allah SWT. dengan anggapan bahwa menetapklan sifat bagi Dzat Allah menyalahi kemaha sucian-Nya. Semua ayat dan hadis yang menyebut sifat Allahpun mereka tolak.
C) Mufawwidhah, yaitu mengimani adanya sifat itu sebagaimana datang dalam Al Qur’an atau nash shahih, tetapi tidak melibatkan diri dalam usaha memahami atau menafsirkannya. Makna sesungguhnya dari sifat-sifat itu mereka serahkan kepada Allah SWT.
D) Muawwilah, yiatu kelompok yang melibatkan diri dalam mena’wilkan ayat-ayat atau nash shahih yang berbicara tentang sifat Allah SWT. yang secara lahir mengesankan adanya keserupaan dengan sifat makhluk-Nya. Mereka tidak menetapkan untuk Allah SWT. sifat-sifat makhluk-Nya tetapi tidak juga menolak berbagai sifat yang telah tetap bagi Dzat Allah SWT. Mereka meyakini bahwa Dzat Allah memiliki berbagai sifat indah dan asmâ’ yang mulia yang layak bagi kemaha agungan dan kemaha sucian-Nya. Sifat-sifat itu tidak menyerupai sifat makhluknya. Setiap ayat atau hadis yang mengesankan adanya keserupaan sifat Allah SWT. dengan sifat makhluk-Nya maka akan dita’wîl agar sesuai dengan kemaha sucian Allah.
Kelompok terakhir (Muawwilah) ini sekarang lebih diwakli oleh kelompok teologi Ahlusunnah wal Jama’ah; Asy’ariyah (yang dipelopori oleh Abul Hasan al Asy’ari) dan Al Maturidiyah yang dipelopori oleh Al Maturidi), dan oleh mazhab teologi Mu’tazilah dan teologi Syi’ah.
Kelompok Musyabbihah yang diwakili golongan Wahabi selalu memamahi nash-nash dengan pemahaman leteralis, dangkal, jumud dan menolok memasukkan unsur majazi dalam memahami nash… karenanya mereka terjatuh dalam tasybîh, menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Sampai-sampai mereka menetapkan semua sifat yang disandang makhluk untuk Allah Sang Khaliq yang Maha Suci dan Maha Agung. Sebagian dari penganut paham ini menyederhanakan unsur tasybîhnya dengan mengatakan setelah menyebut sifat tertentu Allah, seperti Allah mempunyai dua mata, tetapi tidak seperti mata makhluk-Nya… Allah turun ke langit terdekat dengan dunia di sepertiga terakhir malam, tetapi tidak seperti turunnya makhluk-Nya … Allah mempunyai betis, tetapi tidak seperti betis makhluk-Nya… dan dmikian seterusnya.
Kelompok ini sekarang lebih diwakili oleh teologi Wahhabiyah yang diadopsinya dari Ibnu Taimiyah!
Artikel ini tidak bermaksud meneliti latar belakang dan argumen masing-masing aliran di atas, hanya saja ia ingin menginformasikan bahwa para tokoh Sekte Wahhabiyah yang Musyabbihah itu telah mengklaim bahwa mereka-lah yang mewakili paham Ahlusunnah wal Jama’ah, sementara aliran teologi Asy’ariyah yang Ahlusunnah justru dituduhnya sebagai Mu’aththilah yang merupakan anak dari faham Bid’ahnya Jahm ibn Shafwân!
Mulai dari pendiri sekte Wahhabiyah hingga para menerusnya, tak henti-hentinya mereka menuduh bahwa aliran teologi Asy’ariyah dan Al maturidi bukan dari Ahlusunnah…. Asy’ariyah adalah adalah Ahlusunnah Gadungan… Asy’ariyah dan Al maturidi adalah Mu’aththilah yang sesat menurut kalangan wahabi. Dan seperti kita ketahui bersama, bahwa di tanah air tercinta kita, kelompok yang menganut aliran Asy’ariyah adalah NU. Jadi kini gelar Ahlusunnah telah dirampas dari NU untuk dijadikan hak paten Wahhabiyah/Salafiyah. NU adalah Ahlusunnah Gadungan…. NU adalah Mu’aththilah yang berseberangan dengan ajaran Nabi saw. dan para sahabat mulia –radhiyallah ‘anhum-.
Dalam kitab at Tauhid, pada bab tentang firman Allah:
حَتَّى إِذَا فُزِعَ عَنْ قُلُوبِهِم قالوا ماذا قال رَبُّكُمْ، قالوا الحَقَّ و هُو العليُّ الكبيرُ.
“Sehingga apabila telah dihilangkan ketakutan dari hati mereka, mereka berkata “Apakah yang telah difirmankan oleh Tuhan-mu?” mereka menjawab: (perkataan) yang benar”, dan Dia-lah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
Muhammad ibn Abdil Wahhâb, pendiri Sekte Wahhabiyah berkata, “Pada ayat di atas terdapat beberapa masalah…. Masalah kedua puluh: Adanya penetapan sifat, berbeda dengan (faham) Asy’ariyah yang Mu’arththilah itu! [1]
Jadi jelas dalam klaim pendiri sekte Wahhabiyah bahwa Asy’ariyah adalah kelompok Mu’aththilah!
Tokoh besar, penerus Da’wah Wahhabiyah, Ibnu Utsaimin (1421H) kembali mempertegas klaim Ibnu Abdil Wahhâb di atas. Ketika menysarahi kitab al Aqidak al Wasithiyah karya Ibnu Taimiyah ia menegaskan bahwa Asy’ariyah bukan bagian dari Ahlusunnah. Mereka adalah Mu’aththilah!
Ibnu Utsaimin berkata, “Maka diketahui dari ucapan penulis bahwa tidaklah masuk dalam kelompok Ahlusunnah siapa yang menyalahi mereka dalam cara mereka. Maka Asy’ariyah dan al Maturidiyah, misalnya tidak bisa dikelompokkan dalam kelompok Ahlusunnah dalam hal ini, sebab mereka menyalahi agama Nabi saw. dan para sahabat dalam memberlakukan sifat Allah SWT. sesuai dengan hakikatnya. Maka dari itu salahkah orang yang mengatakan bahwa Ahlusunnah itu ada tiga: Salafiyûn, Asy’ariyûn dan al Maturidiyûn. Anggapan ini salah. Kami berkata, ‘Bagaimana mereka semua digolongkah Ahlusunnah padahal mereka saling bersesilih?! Tiada setelah haq kecuali kesesatran, dhalâl…[2]
Dalam kesempatan lain ia menegaskan bahwa Asy’ariyah bukan Ahlusunnah, ia berkata, “Asyâ’irah dan al Maturidiyûn menetapkan sifat, tetapi mereka menyahali Ahlusunnah dalam banyak permasalahan sifat.”[3]
Jadi jelas Asy’ariyah bukan Ahlusunnah, mereka telah menyalahi ajaran Ahlusunnah dalam banyak permasalahan sifat!!
Dalam kesempatan ketiga ia mempertegas bahwa Asy’ariyah adalah kelompok ahli ta’thîl, Mu’aththliah!
Pada pembahasan keenam, Ibnu Utsaimin menegaskan, “Tolok ukur penetapan atau penafian asmâ’ dan sifat itu adalah nash/sam’u, akal-akal kita tidak mampu menetapkan atas Allah apapun. Jadi penentunya adalah sam’u, berbeda dengan Asy’ariyah, Mu’tazilah dan Jahmiyah dan selain mereka dari aliran-aliran ahli ta’thîl.”[4]
Dalam kesempatan lain ia menguraikan ucapan Ibnu Taimiyah yang mengatakan bahwa mazhabnya (yang ia aku sebagai representatif ajaran Salaf dan Ahlusunnah) sebagai mazhab yang moderat, wasath dalam masalah sifat Allah SWT. yang berdiri tegak di antara dua faham menyimpang yaitu Ahli Ta’thîl al Jahmiyah dan Ahli Tamstîl al Musyabbihah. Dalam kesempatan itu Ibnu Utsaimin mengatakan, “Ini adalah dua tepi yang ekstrim; Ahli Ta’thîl al Jahmiyah dan Ahli Tamstîl al Musyabbihah.
Jahmiyah yang mengingkari sifat-sifat Allah Azza wa Jalla….
Mu’tazilah mengingkari sifat-sifat Allah dan menetapkan asmâ’-Nya.
Asy’ariyah menetapkan asmâ’-Nya dan tujuh sifat bagi-Nya.
Semua mereka ini tercakup dalam kelompok Ahli Ta’thîl, hanya saja sebagian dari mereka Mu’aththil total seperti kelompok Jahmiyah, sementara yang lainnya berfaham Mu’aththilah tetapi tidak total (relatif) seperti Mu’tazilah dan Asyâ’irah.”[5]
Dan ajaran Asy’ariyah, seperti juga Mu’tazilah, kata Ibnu Utsaimin, Imam besar Wahhabiyah di masanya adalah perusak agama. Mereka mentahrif/ membelokkan nash-nash suci kemudian menamakan pembelokan mereka itu dengan istilah ta’wîl. Dan semua itu merupakan akibat dari virus bid’ah yang disebarkan musuh-musuh Islam, seperti bid’ahnya Jahm.[6]
Jadi dalam pandangan Ibnu Utsaimin, Asy’ariyah adalah ahli bid’ah dan sengaja memplesetkan nash Qur’ani dengan nama ta’wîl.[7] Andai bukan karena berkedok dengan kedok ta’wîl palsu itu pastilah mereka sudah layak disebut telah kafir, sebab mereka telah berbohong atas nama Allah.[8]
Kelompok Mu’aththilah Adalah Kafir!!
Syeikh Abdurrahman ibn Hasan Âlu Syeikh menegaskan bahwa kelompk Mu’aththilah adalah telah kafir, ia berkata:
وَ أُلئك المُعَطِّلَةُ كَفَرُوا بما في الكتابِ و السنَّةِ مِنْ ذلكَ، وَتناقَضُوا فبَطَل قولَ المعطِّلِيْنَ بالعقلِ و النقلِ، و للهِ الحمدُ وَ الْمِنَةُ، و إجماعِ أهلِ السنَّةِ مِنَ الصحابَةِ و التابعين و تابِعِيهِمْ و أئمَةِ المسلمينَ.
“Mereka kaum Mu’aththilah telah kafir dengan Al Qur’an dan Sunnah dalam ayat-ayat sifat, dan saling bertentangan, maka –dengan puji dan anugerah Allah- batilah ucapan kaum Mu’aththilah berdasarkan dalil akal dan naqli, dan ijmâ’ Ahlusunnah dari Sahabat, tabi’în, tabi’ut tabi’în dan para imam kaum Muslimin.”[9]
Setelah mengklaim bahwa hanya Wahhabiyah yang Muwahhid, dan selain mereka adalah Musyrik, kini mereka mengklaim hanya Wahhabiyah saja yang Ahlusunnah dan selain mereka adalah Ahli Bid’ah!!
Inilah hakikat Wahhabiyah!
________________________________________
[1] Fathu al Majîd Syarh Kitâb at Tauhid; Syeikh Abdurrahman ibn Hasan Âl Syeikh (W.1257H):204. Cet. Dâr al Kotob al Ilmiyah Beirut- Lebanon. Cet. Keempat tahun 1428H/2007M.
[2] Syarah al Aqidak al Wasithiyah:22. cet. Maktabah al Hikam al Ilmiyah.Beirut. Tahun.1424 H/2003M.
[3] Syarah al Aqidak al Wasithiyah:32..
[4] Syarah al Aqidak al Wasithiyah:37.
[5] Syarah al Aqidak al Wasithiyah:288.
[6] Syarah al Aqidak al Wasithiyah:11.
[7] Syarah al Aqidak al Wasithiyah:40.
[8] Syarah al Aqidak al Wasithiyah:37.
[9] Fathu al Majîd Syarh Kitab at Tauhid:402.
Kaum/Sekte Wahhabiyah Di Mata Ulama Ahlusunnah
Bantahan Atas Siapakah Wahabi (2)
Wahhâbiyah Dan Doktrin Pengkafiran Kaum Muslimin
Secara umum penentang Syeikh Muhammad ibn Abdil Wahhâb -pendiri sekte Wahhâbiyah- dan aliran bentukannya dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok.
Pertama, Mereka yang berlebihan dalam mencaci-maki aliran ini sehingga mengafirkannya dan juga pendirinya. Dengan tidak mereka sadari mereka telah terjatuh dalam jurang pengafiran sebagaimana Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb dan para pengikutnya terjatuh di dalamnya. Walaupun jarang kita temukan Ulama Ahlusunnah yang mengafirkan Sekte Sempalan ini.
Kedua, Mereka yang menggolongkan Wahhâbiyah sebagai “Sekte bid’ah yang sesat”, namun mereka tidak mengafirkannya. Mereka mengecam doktrin Sekte ini yang tak segan-segan menjulurkan lidah mereka untuk mengafirkan sesama Muslim dengan alasan-alasan yang naïf.
Ketiga, Mereka yang mengakui sebagian jasa-jasa sekte ini dan tidak menggolongkannya dala daftar hitam sekte sesat apalagi kafir, akan tetapi mereka mengkritik doktin pendirinya yang terlalu memperlebar peta pengafiran atas sesama Muslim dan menghalalkan memerangi dan mencucurkan darah-darah suci mereka dengan tuduhan bahwa mereka telah kafir/musyrik.
Kelompok ketiga ini sebenarnya tidak layak digolongkan sebagai musuh-musuh dan penentang aliran Wahhâbiyah, namun disayangkan bahwa kaum Wahhâbiyah sendiri menggolongkan mereka dalam daftar musuh-musuh mereka dan tidak segan-segan mengafirkan mereka!
Tuduhan Para Ulama Islam Terhadap Syeikh Muhammad ibn Abdil Wahhâb
Banyak sekali tuduhan dan kecaman ulama Islam atas Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb dan doktrin-doktrinnya, di antara tuduhan yang paling akurat dan paling berbahaya adalah mereka menuduh Syeikh terlalu melebarkan peta pemusyrikan dan pengafiran sesama Muslim yang tidak sependapat dengannya, sampai-sampai, mereka yang simpatik dengan da’wah dan ajakan Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb-pun serta para pendukung setianya dari kalangan ulama Salafiyyîn tidak mampu menolak tuduhan ini. Seperti Syeikh asy Syawkani, misalnya, kendati dalam sisi konsep Tauhid ia sangat Salafy sesuai dengan pengakuan kaum Wahhâbi sendiri, dan sangat fanatik membela ajakan Wahhâbiyah dan pujiannya terhadap pendirinya; Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb-, namun demikian ia tak kuasa kecuali mengatakan:
و لَكِنَّهُم يَرَوْنَ أنَّ مَنْ لَمْ يَدْخُلْ تَحْتَ دَوْلَةِ طاحِبِ نَجْد، مُمَثِّلاً لأَوامِرِهِ، فَهُوَ خارِجٌ عَنِ الإسْلامِ.
“Akan tetapi mereka berpandangan bahwa siapa yang tidak masuk/bergabung di bawah kekauasaan penguasa Najd (keluarga Sau’d) dengan melaksanakan perintah-perintahnya maka ia keluar dari Islam.” (Al Badru ath Thâli’,2/5)
Demikian juga dengan Manshûr al Hâzimi-seorang ulama Salafy-, kendati ia banyak memuji Syeikh Ibnu Abdil Wahhâbi, akan tetapi ia mengeritknya dalam dua hal, pertama, pengafiran Ahli Kiblat (Kaum Muslimin) dengan sekedar pemelintiran terhadap masalah yang sedang disengketakan…., kedua, pencucuran darah-darah kaum Muslimin yang seharusnya dihormati, dengan tanpa hujjah yang jelas dan bukti yang membenarkannya. (Abjad al ‘Ulûm,3/193).
Begitu juga halnya dengan Syeikh Muhammad Hasan Shadiq Khan -seorang Salafy- ia telah terang-terangan menyatakan bahwa Ahli Hadis telah berlepas diri dari Wahhâbiyah dikarenakan mereka tidak dikenal melainkan dengan sikap keras dan gegabah dalam mencucurkan darah-darah suci kaum Muslimin. (baca Daâwi al Munâwi’în:160)
Tentunya kaum Wahhâbi, dulu dan sekarang pasti akan menolak tuduhan ini dengan berbagai alasan, mulai dari menuduh sumber tuduhan itu adalah sumber Kristen, seperti dilakukan Doktor Abdul Aziz Al Abdil Lathîf! Sementara itu sumber-sumber sejarah yang ditulis para penulis Wahhâbiyah sendiri mengakuinya, seperti yang diakui Ibnu Ghunnâm dalam kitab Tarikh-nya, bahwa lebih dari 300 kali peperangan dikobarkan kaum Wahhâbi atas kaum Muslimin dari kelompok lain; Ahlusunnah maupun Syi’ah, dan pada setiap kalinya ia mengatakan demikian, “Pada tahun ini kaum Muslimin telah berperang melawan kaum kafir…”
seperti kita maklumi bahwa peperangan yang dikobarkan kaum Wahhâbi itu adalah peperangan antara gerombolan pengikut Wahhâbiyah dan kaum Muslimin di berbagai daerah di sekitar kota Najd, Hijaz, Ahsâ’, Iraq. Dan sejarah tidak pernah mencatat bahwa kaum Wahabiyah ini mengangkat senjata mereka melawan kaum kafir; Yahudi dan atau Nashrani. Ini adalah sebuah kenyataan yang tidak seharusnya dibantah oleh para Ghulât; Ekstirimis Wahhâbiyah sekarang! Sebab membela para pendahulu mereka dalam setiap sepak terjang mereka adalah ghuluw atau sikap berlebihan dalam mengultus!!
Tetapi apa hendak dikata Para Ekstirimis Wahhâbiyah tidak pernah mau menerima penukilan data sejarah selain dari kelompok mereka sendiri, mereka menolak semua bukti sejarah yang dibawakan ulama Ahlusunnah yang berselisih pandangan dengan Wahhâbiyah… seakan mereka akan memaksa kita untuk memahami apa yang terjadi saat itu di sana dengan kaca mata Wahhâbiyah! Seakan kaum Muslimin dari kelompok lain itu adalah kaum Kafir Quraisy di hadapan Nabi saw.!!! Ini adalah sikap berlebihan, ghuluw. Jadi pada akhirnya, apa yang dikatakan para penentang Wahhâbiyah itu benar dalam tuduhan mereka bahwa Wahhâbiyah adalah kaum Penebar Teror Pengafiran dan Pengobar Peperangan Sesama Kaum Muslimin!!!
Di antara mereka yang masih tergolong netral dalam menyikapi Wahhâbiyah adalah Syeikh Anwar Syah Kasymiri… namun demikian ia tidak bisa mendiamkan sikap gegabah Wahhâbiyah dalam menvonis kafir atas kaum Muslimin selain kelompok mereka! (baca Daâwi al Munâwi’în:160).
Komentar Para Ulama Sunni
Adapun komentar-komnetar ulama Sunni tentang Sekte Wahhâbiyah sangat banyak sekali, karenanya kami akan batasi dengan menyebutkan beberapa saja darinya:
1. Syeikh Sunni Hanbali Ibnu ‘Afâliq berkata tentang Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb, “Ia bersumpah dengan sumpah palsu bahwa kaum Yahudi dan Musyrikin lebih baik keadaan keberagamaan mereka dibanding kaum Muslimin.” (Daâwi al Munâwi’în:164)
Dan tuduhan ini bukan tidak berdasar, ia dapat dengan mudah kita temukan dalam penegasan-penegasan Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb sendiri, seperti ketika ia mengatakan bahwa “Kaum Musyrikin zaman kita (maksudnya adalah kamu Muslimin dari kelompk lain yang berbeda dengannya) itu lebih kafir dari kaum kafir Quraisy…” yang jelas bahwa kaum kafir Quraisy itu lebih kafir dari Ahlil Kitab; Yahudi dan Nashrani! Jadi kaum Muslimin lebih jelak dari Ahlil Kitab!!
Karenanya tidaklah heran jika Abdul Aziz Al Abdil Lathîf mengolongkan Syeikh mulia Ibnu ‘Afâliq yang Sunni dan Hanbali itu sebagai pembohong besar!!! Mengapa harus begitu, sementara penegasan-penegasan Ibnu Abdil Wahhâb sendiri sangat jelas dalam masalah ini, seperti dapat Anda jumpai dalam kitab Kasyfu asy Syubuhât.
2. Syeikh Sunni Hanbali Sulaiman ibn Sahîm berkata tentang Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb, “Barang siapa tidak menyetujinya dalam semua yang ia katakan dan bersaksi bahwa apa yang ia bawa itu haq, maka ia pastikan orang itu adalah kafir! Dan barang siapa membenarkannya dalam semua yang ia katakan, maka ia berkata, ‘Engkau adalah seorang pengesa Allah, muwahid! walaupun ia seorang yang fasik total!” (Daâwi al Munâwi’în:164)
Syeikh Sunni Hanbali, Salafy, Najdy Utsman ibn Manshûr-salah seorang qadhi pada masa kekuasan Dinasti Keluarga Sa’ud Kedua-[1] berkata tentang Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb, “Allah telah menimpakan balâ’/cobaan/bencana atas penduduk Najd bahkan seluruh penduduk Jazirah Arabiyah dengan bangkitnya seorang atas mereka dan upaya getolnya dalam mengafirkan umat Islam, yang khusus maupun yang umum… dengan menghias alasan yang tidak pernah diwahyukan Allah!” Ia juga berkata, “Tetapi orang ini (Ibnu Abdil Wahhâb) menjadikan keta’atan kepadanya adalah salah sebuah rukum Islam.” (Daâwi al Munâwi’în:166)
3. Syeikh Sulaiman ibn Abdil Wahhâb -saudara kandung Muhammad ibn Abdil Wahhâb, pendiri sekte Wahhâbiyah- berkata tentang saudaranya; Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb, “Berapa rukun Islam hai Muhammad ibn Abdil Wahhâb? Ia menjawab ‘Lima.’ Ya tetapi engkau menjadikannya enam, yang keenam adalah: Barang siapa tidak mengikutimu maka ia bukan seorang Muslim. Ini adalah rukun Islam keenam milikmu.” (Daâwi al Munâwi’în:166)
Apa yang dikatakan Syeikh Sulaiman tentunya bukan sebuah dialoq yang berlangsung antara kedua saudara ini. Ibnu Abdil Wahhâb tidak mengatakan dengan redaksi terang seperti itu, akan tetapi ia adalah kesimpulan dari syarat-syarat rumit yang ditetapkannya untuk menjadi seorang Muslim! Dan kesimpulan itu dapat dibuktikan dari pernyataan pendiri Sekte Wahhâbiyah ini!
4. Syeikh az Zahhâwi berkata, “Jika ada yang bertanya, ‘apa mazhabnya kaum Wahhâbiyah? Apa tujuannya? Lalu kami jawab kedua pertanyaan itu dengan; Pengafiran seluruh kaum Muslimin. Pastilah jawaban itu sangat tepat untuk memperkenalkan sejatinya mazhab Wahhâbiyah kendati ia ringkas!!” (Daâwi al Munâwi’în:167)
5. Syeikh Ahmad Zaini Dahlân -mufti Mazhab Syafi’iyah di kota Makkah- berkata tentang Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb dan para penganutnya, “Mereka tidak meyakini adanya seorang muwahhid (yang mengesakan Allah SWT) selain yang mengikuti mereka dalam pandangan-pandangan mereka.” (Daâwi al Munâwi’în:166)
6. Sayyid Sunni Alawi ibn Ahmad al Hadad al Hadhrami berkata, “Jika ada seorang ingin masuk ke dalam agamanya, ia akan mengatakan, ‘Bersaksilah bahwa engkau dahulu adalah kafir dan bersaksilah bawa kedua orang tuamu mati dalam keaadaan kafir, bersaksilah bahwa si alim fulan anu dan anu itu kafir… jika ia bersaksi atas itu semua maka ia (Ibnu Abdil Wahhâb) akan menerimanya, dan jika tidak ia akan membunuhnya… . setelahnya Sayyid al Haddad melanjutkan, “Bagaimana engkau tidak puas dengan orang yang masih hidup dengan menuduh mereka Musyrikûn, sehingga engkau meneruskannya kepada yang sudah mati bertahun-tahun dengan engkau mengatakan bahwa mereka mati dalam keadaan sesat yang menyesatkan sampai-sampai engkau menyebut nama-nama ulama-ulama besar dan para muhaqqîn.” (Daâwi al Munâwi’în:165)
7. Syeikh Sunni Hasan asy Syatha ad Dimasyqi berkata, “Poros da’wah Wahhâbiyah adalah pengafiran kaum Muslimin… .” (Daâwi al Munâwi’în:165)
Demikianlah kita saksikan bagaimana semua penentang Syeikh baik dari kalangan Asya’irah maupun Salafiyîn, seperti Asy Syawkâni, Ash Shan’âni dan Utsman ibn Manshûr telah bersepakatan mengatakan bahwa Syeikh Muhammad ibn Abdil Wahhâb dan para pengikutnya sangat berlebihan dalam sikap pengafiran sesama kaum Muslimin, baik para ulama maupun kaum awam. Dan na’asnya, apa yang mereka katakan itu dapat dengan mudah kita temukan dalam kitab-kitab Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb sendiri.
Begitu juga dengan para ulama dari mazhab selain Ahlusunnah, seperti Syi’ah dan Ibadhiyah juga menegaskannya!
Jadi, harapan kami ialah hendaknya para Misionaris dan juru da’wah Sekte Wahhâbiyah mengakui kenyataan ini dan tidak menampakkan keengganan menerimanya apalagi berusaha membelanya… doktrin pengafiran sesama Kaum Msulimin adalah sangat kental dalam ajaran Ibnu Abdil Wahhâb dan para pelanjutnya… Ini adalah sebuah kenyataan yang tak mungkin dipungkiri!!!
Mengakui kesalahan itu lebih baik dari pada mempertahankannya dengan menampakkan kedegilan sikap dan fanatisme membabi-buta… Akui saja itu sebagai sebuah kesalahan Syeikh kalian, dan kalian tidak akan mengikuti kesalahan sikap dan pendapatnya… Bukankan Syeikh Muhammad ibn Abdil Wahhâb -pendiri Sekte Wahhâbiyah- itu manusia biasa yang bisa salah dan tergelincir?! Bukankah ia juga mengecam mengikuti dan bertaqlid kepada para ulama dan fuqaha’ dalam seluruh pendapat dan sikapnya?! Kami yakin bahwa ia juga tidak akan setuju dengan sikap kaum Wahhâbiyah sekarang yang masih bersikeras mengikutinya dalam kesalahan doktrin pengafiran kaum Muslimin selain Wahhâbi!
Itu adalah sikap ghuluw yang tak henti-hentinya dikecam Syeikh sendiri semasa hidupnya!
Salam sehajtera atas yang mau merendahkan hatinya mengikuti kebenaran Allah!
****************************************
BANTAHAN TERHADAP FAKTA OLEH KAUM WAHABI
Siapakah Wahhabi?
Penulis: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Lc
Tuduhan: Mengkafirkan kaum muslimin dan menghalalkan darah mereka.[7]
Bantahan: - Ini merupakan tuduhan dusta terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, karena beliau pernah mengatakan: “Kalau kami tidak (berani) mengkafirkan orang yang beribadah kepada berhala yang ada di kubah (kuburan/ makam) Abdul Qadir Jaelani dan yang ada di kuburan Ahmad Al-Badawi dan sejenisnya, dikarenakan kejahilan mereka dan tidak adanya orang yang mengingatkannya. Bagaimana mungkin kami berani mengkafirkan orang yang tidak melakukan kesyirikan atau seorang muslim yang tidak berhijrah ke tempat kami…?! Maha suci Engkau ya Allah, sungguh ini merupakan kedustaan yang besar.” (Muhammad bin Abdul Wahhab Mushlihun Mazhlumun Wa Muftara ‘Alaihi, hal. 203)
lihat: blog muhawiid.wordpress.com
Wahai Saudaraku:
Coba Anda perhatikan wahai saudaraku, bagaimana Syaikh Ibnu Abdil Wahhab ketika mengelak dan membela diri dari tudingan Pengkifarn kaum Muslimin, ia justru masih tak kuasa menyembunyikan kayakinnya dalam mengafirkan kaum Muslimin dengan menuduh mereka menyembah berhala yang ada di kuburan Syaikh Abdul Qadir al Jilani di Iraq dan Sayyid Ahmad al Badawi di Mesir! Padahal seperti dimaklumi bahwa kaum Muslimin pecinta para wali Allah dan hamba-hamba-Nya yang shaleh yang dengan penuh kerinduan menziarahi makam mereka dan mungkin banyak di antara mereka yang mencium batu nisan makam-makan para Wali Allah dituduhnya sebagai menyembah berhala!!! Dan menyebut nisan itu sebagai berhala!!
Adakah pengafiran yang lebih terang dari itu? sementara itu ia dengan kata-kata dusta mengatakan tidak mengafirkan mereka? Lalu bagaimana bayangan kita ketika ia berkata-kata ketika tidak sedang membala diri?! Pasti lebih tegas lagi menyeramkan! Dapatkah Ibnu Abdil Wahhab dan para Muqallid butanya mengatakan bahwa di kuburun para Waliyullah itu terdapat berhala yang disembah para peziarahnya? Berhala yang ia maksud tiada lain adalah batu nisam…. Dan praktik mengusap dan atau menciumnya di golongkannya sebagai menyembah selain Allah SWT. Jadi merek adalah kaum Musyrikûn! Kendati disini ia mengatakan bahwa mereka diselamatkan dari hukum kemusyrikan (ala Wahhabiyah ) itu dikarenakan kejahilan mereka akan hkikat apa yang mereka kerjakan, namun dalam banyak kesempatan dan komentarnya, Ibnu Abdil Wahhâb tidak mengecualikan mereka yang jahil/bodoh dari hukum dan status kemusyrikan!!
Syeikh Utsman ibn Manshûr adalah seorang ulama Wahhabiyah bermazhabkan Hanbali dan berpikiran salafy, serta bekerja untuk Dinasti Keluarga Sa’ud. Ia banyak mendapatkan pujian dari para ulama Wahhabiyah seperti al Bassâm, Bakr Abu Zaid dan Shaleh al Qâdhi, akan tetapi akhirnya ia harus menuai kecaman keras dari Ekstrimis Wahhabiyah, semua kedekatan dan kelutusan serta keteguhannya terhadap Da’wah Wahhabiyah tidak mampu menyelamatkannya, sebab mereka hanya akan berdamai dengan siapa yang memuja dan menyanjung Ibnu Abdil Wahhab -pendiri Sekte Wahhabiyah- saja!
Adapun yang mengkritiknya maka nasib mereka adalah kecaman dan laknatan. Sementara itu para Ekstrimis Wahhabiyah tidak akan malu-malu berhujjah dengan komentar seorang seperti al Qashîmi -yang pada akhir hayatnya menjadi seoranmg Ateis-, sebab ia memuji Ibnu Abdil Wahhab!! Itulah logika Ekrtimisme Wahhabiyah yang sedang gentanyangan sekarang mengatas namakan Salafy pemurni ajaran Nabi saw.! Semoga umat Islam diselamatkan dari kejahatnnya, amin.!
Sekte Wahhâbiyah Pewaris Konsep Mujassimah
Dalam beberapa artikel telah kami sebutkan bahwa Wahhâbiyah dalam pokok-pokok pikiran dasarnya, khususnya dalam masalah teks-teks keislaman tentang “Sifât Allah” berseberangan dengan para Salaf ash Shaleh…. Kaum Wahhâbiyah lebih mewarisi pikiran dan pandangan kaum Mujassimah walaupun mereka menolak disebut sebagai berpikiran tajsîm.
Di antara rentetan masalah terkait dengan masalah “Sifât” Allah SWT. kaum Mujassimah, seperti juga Wahhâbiyah meyakni bahwa Allah berada di sebuah tempat tepatnya di langit.
Sederetan ayat disebut-sebut sebagai dasar keyakinan ini. Dan usaha menafsirkan apapun yang dilakukan para ulama untuk memahami ayat-ayat tersebut dalam koridor majâzi dituduhnya sebagai mempermainkan ayat-ayat suci Al Qur’an… para pelakunya mereka tuduh sebagai kaum Mu’aththilah (yang mengosongkan Allah dari menyandang sifat-sifat). Sebagaimana banyak hadis yang diatas-namakan Nabi saw. juga dibawa-bawa, dari mulai hadis yang dari sisi sanadnya shahih hingga hadis-hadis palsu pun mereka usung!
Diantara hadis terkuat yang mereka selalu andalkan dalam mendasarkan keyakinannya dan tidak jarang karenanya mereka mengafirkan sesiapa yang tidak menyetujui keyakinan mereka itu adalah hadis riwayat Imam Muslim dalam Shahih-nya.
Imam Muslim dalam afrâd-nya meriwayatkan dari jalur Mu’awiyah ibn al Hakam, ia berkata, “Aku memiliki seorang budak wanita yang mengembala kambing-kambingku. Lalu pada suatu hari ia pergi mengembala, maka tiba-tiba seekor srigala memangsa seekor kambingku. Aku ini anak Adam (manusia biasa) menyesali seperti hal mereka juga menyesali (jika kehilangan hartanya), maka aku pukul budak itu dengan keras. Kemudian aku mendatangi Rasulullah saw. Dan beliau pun menegurku dengan keras. Aku berkata, “Apa aku perlu memerdekakannya?
Nabi saw. Bersabda kepadaku:
إئْتِنِيْ بِها!
فَأَتَيْتُ بها.
فقال لها: أيْنَ اللهُ؟
قالتْ: في السماءِ.
قال: مَنْ أنا؟
قالتْ: أنتَ رسولُ اللهِ.
قال: إِعْتِقْها فَإِنَّها مُؤْمِنَةٌ.
Nabi saw. Bersabda: “Bawalah dia kepadaku!
Maka aku bawa ia menemui beliau.
Beliau bertanya kepadanya, “Di manakah Allah?”
Budak itu menjawab, “Di langit.”
Nabi saw. Bersabda, “Siapa aku?”
Ia menjawab, “Engkau adalah Rasul, utusan Allah.”
Nabi saw. Bersabda, “Merdekakan dia, sesungguhnya ia seorang mukminah.”
(HR. Muslim,1/382-384/hadis no: 537)
Inilah hadis yang paling diandalkan kaum Wahhâbiyah, tidak terkecuali Muft Agung Syeikh Abdul Aziz ben Bâz, seperti disebutkan dalam fatwanya, dan yang atas dasar itu ia menvonis kafir dan sesat-menyesatkan serta telah menbohongkan Allah dan Rasul-Nya!!
Wahai Saudaraku:
Pertama-tama yang harus kita cermati ketika mengangkat sebuah riwayat/hadis sebagai hujjah/bukti adalah bahwa kesahihan hadis dari sisi sanadnya saja belum cukup. Sebab dalam hal kayakinan perlu ditegakkan di atas dasar pondasi yang kokoh… hadis yang dijadikan dasar hendaknya mutawâtir sehingga ia memberikan kepastian informasi, ilm. Demikian yang ditegaskan para ulama Islam.
Al Hafidz Ibnu Abdil Barr berkata, “Para ulama kami dan selainnya berselisih pendapat tentang hadis/khabar wâhid yang adil (yang belum mencapai derajat mutawâtir), apakah ia memberikan kepastian ilmu dan amal (boleh menjadi dasar pengamalan) atau hanya amal saja? Menurut mayoritas ulama kami (mazhab Malikiyah), ia hanya menentukan amal saja tidak memberika kesimpulan ilmu pasti! In adalah pendapat (Imam) Syafi’i dan jumhûr Ahli Fikih dan Teologi. Menurut mereka tidak-lah memberikan kepastian ilmu kecuali yang dikuatkan dari Allah dan memutus semua uzur sebab ia telah dating dari jalur pasti yang tidak diperselisihkan lagi.
Setelahnya ia menyebutkan pendapat ulama yang berpendapat bahwa ia meberikan kepastian ilmu dzâhir (bukan sekedar dzan, yaitu hanya dalam furû’) dan juga memberikan kepastian diamalkan.
Kemudian ia menutup dengan kata-kata, “Dan pendapat yang kami yakini adalah ia hanya memberikan ketentuan amal saja tidak memberikan kepastian ilmu, seperti empat orang saksi. Dan atas endapat ini kebanyakan Ahli Fikih dan Hadis.”
Dalam Shahihnya, Imam Bukahri menuliskan sebuah bab dengan judul:
بابٌ: ما جاءَ فِيْ إجازَةِ خَبَرِ الواحِدِ الصًّدُوقِ في الأذانِ و الصلاةِ و الصومِ و الفرائِضِ و الأحكامِ.
Bab: Apa-apa yang datang tentang dibolehkannya bersandar dengan khabar seorang yang jujur dalam masalah adzan, shalat, puasa dan kewajiban-kewajiban serta hukum.
Ibnu Hajar mengomentari kata-kata Imam Bukhari di atas dengan, “Kata-katanya dan kewajiban-kewajiban setelah menyebut adzan, shalat, puasa temasuk menyambung kata umum dengan kata khusus. Dan disebutkan secara khusu tiga kewajiba/hukum itu sebagai bukti perhatian atasnya. Al Kirmâni berkata, ‘Hal itu agar diketahui bahwa ia (khabar seorang yang jujur) itu hanya berkalu dalam masalah amalan saja tidak dalam hal keyakianan.’” (Fath al Bâri,13/231)
Serta banyak komentar lainya dari para ulama seperti al Khathib al Baghdadi dalam al Kifâyah Fi ‘Ilmi ad Dirâyah:432, al Hafidz al Baihaqi dalam al Asmâ’’’ wa ash Shifâf:357, Imam an Nawawi dalam Syarah Muslim,1/131 dll.
Bahkan Ibnu Taimiyah –panutan kaum Wahhâbiyah pun- mengakui kaidah ini. Ia berkata dalam Minhâj as Sunnah-nya,2/133:
“Hadis yang ia bawa ini adalah hadis âhad, maka bagaimana dapat ditetapkan dengannya sebuah ashl, prinsip agama yang tidak sah keimanan tanpanya?!”
dari ini semua dapat ditegaskan di sini bahwa hadis âhad hanya memberikan dzan/dugaan bukan ilm/kepastian ilmu. Karenannya tidak boleh dasar akidah ditegakkan di atas pondasi hadis âhad!
Kedua, Seperti diketahui para santri yang rajin bergelut dalam dunia ilmu hadis, apalagi Pakar dan Ahli Hadis bahwa bias jadi sebuah hadis itu dari sisi sanadnya shahih; sanadnya bersambung melalui perantara para perawi yang adil dan punya dhabth/kepepatan hafalan, akan tetapi ia sebenarnya sedang mengidap penyakit, illah atau mengalami keganjilan, syudzûdz.
Biasanya adanya keganjilan dan penyakit itu hanya diketahui oleh pakar Ahli Hadis yang memiliki ketelitian tinggi. Adapun selain mereka, pasti akan kesulitan mengidentifikasi adanya cacat tersembunyi tersebut.
Al Hafidz Ibnu al Jawzi berkata, “Ketahuilah bahwa hadis-hadis itu memiliki kedetailan-kedetailan dan cacat-cacat yang tidak diketahui kecuali oleh para pakar, ulama dan fukaha, terkadang dalam susunannya dan terkadang dalam kupasan kandungannya… “ (Daf’u Syubah at Tasybîh:143)
Dan bagi Anda yang berminat mengetahui lebih lanjut dipersilahkan merujuk kitab Ma’rifah ‘Ulûl al Hadîts; al Hâkim an Nisyaburi:112, naw/habasan: 27 dan Tadrîb ar Râwi; Jalaluddin as Suyuthi,1/233.
Setelah Anda ketahui dua mukaddimah di atas, Anda kami ajak untuk meneliti hadis andalah kaum Wahâbiyah dalam menetapkan konsep “Allah Bersemayam di Langit” dan barang siapa menolaknya maka ia kafir dan sesat menyesakan!! Demikian vonis sadis Ben Bâz!!
Hadis Muslim Adalah Hadis Ahâd!
Untuk dijadikan sebuah hujjah dalam masalah i’tiqâd, hadis Imam Muslim di atas menhadapi sederatan masalah serius yang menghadangnya.
Pertama, Hadis itu adalah hadis ahâd. Sehingga belum cukup kuat untuk dijadikan dasar untuk menetapkan sebuah kayakinan, apalagi sepeting dan seagng itu, yang karananya keimanan dan atau kakafiran seorang akan ditentukan!
Kedua, hadis ini mengidap penyakit dan keganjilan dalam kandungannya, di mana dalam riwayat para muhaddis lain dan dengan jalur yang shahih juga ia diriwayatkan dengan redaksi berbeda yang tidak mengandung keganjilan.
Para ulama hadis, telah meriwayatkan hadis tersebut dengan redaksi:
قال: أَ تَشْهَدِيْنَ أنْ لاَ إلَهَ إلاَّ الله؟
قالتْ: نعم.
قال: : أَ تَشْهَدِيْنَ أنِّيْ رسولُ اللهِ؟
قالتْ : نعمْ.
قال : أَ تُؤْمِنِيْنَ بالبَعْثِ بعدَ المةتِ؟
قالتْ : نعمْ.
قال: فَاعْتِقْها.
“Nabi bertanya, “Apakah engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah?”
Ia menjawab, “Ya.”
Beliau saw. bertanya lagi, “Apakah engkau bersaksi bahwa au adalah Rasul Allah?”
Ia menjawab, “Ya.”
Nabi bertanya, “Apakah engkau beriman akan adanya kebangkita setelah kematian?”
Ia menjawab, “Ya.
Nabi sa. Bersabda, “Merdekakan dia!”
Hadis di atas telah diriwayatkan oleh:
Imam Ahmad dalam Musnad,3/452.
Al Haitsami dalam Majma’ az Zawâid,4.244 dan seluruh perawinya adalah perawi hadis shahih.
Abdurrazzaq dalam Mushannaf,9/175.
Al Bazzâr dalam Kasyfu al Astâr,1/14.
Ad Dârimi dalam Sunan,2/187.
Al Baihaqi dalam Sunan,10/57.
Ath Thabarâni, 12/27 dengan sanad yang shahih.
Ibnu al Jârûd dalam al Muntaqâ:931.
Ibnu Abi Syaibah dalam Musnad,11/20.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa riwayat Muslim itu secara ma’nan (tidak dengan redaksi asli sabda Nabi saw.) atau paling tidak diduga demikian! Dan dengan adanya dugaan, ihtimâl, maka gugurlah beristidlâl/berhujjah dengannya! Sebab bagaimana kita akan membangun sebuah keyakinan dasar di atas dasar hadis yang diduga mengalami perubahan?!
Seperti telah kami singgung sebelumnya, bahwa kaum Mujassimah, temasuk tokoh-tokoh Wahhâbiyah, seperti Ben Bâz begitu getol berpegangan denga riwayat dengan radaksi Muslim di atas: أيْنَ اللهُdengan tanpa menyadari bahwa redaksi ini adalah hasil kreasi dan olah kata perawi tertentu dalam meriwayatkan teks sabda suci Nabi saw.! Tetapi sayangnya penyampaian dengan mengedepankan ma’na bukan terks asli itu salah! Khususnya setelah kita temukan redaksi hadis itu dalam sumber-sumber lain yang sepakat meriwayatkan dengan redaksi yang tidak mengandung kehanjilan dan penyakit!
Redaksi riwayat Imam Muslim dapat dipastikan salah dengan alasan-alasan di bawah ini:
Hadis Riwayat Muslim iu bertentangan dengan bukti-bukti yang mutawâtir dari Nabi saw. bahwa setiap kali ada seorang datang untuk memeluk Islam. Beliau memintanya untuk bersaksi dengan syahâdatain bahwa “Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah” . jika ia menerimanya maka Islamnya diterima.
Nabi saw. Telah menerangkan prinsip-prinsip dasar keimanan dalam hadis Jibril as. Dan di dalamnya tidak disebut-sebut tentang keberadaan Allah di langit seperti yang diyakini kaum Wahhabiyah!
Kayakinan yang ditetapkan dalam hadis Muslim: أيْنَ اللهُ؟ -في السماءِ. tidak menetapkan keimanan akan keesaan Allah SWT dan tidak menafikan sekutu dari-Nya! Lalu dengan demikian bagaiamana dikatakan bahwa Nabi saw. mengatakan bahwa si wanita itu telah beriman?! Bukankah kaum Musyrikun juga meyakini bahwa Allah di langit?! Namun demikian mereka menyekutukan-Nya dengan tuhan-tuhan di bumi!!
Keyakinan bahwa Allah itu berada di langit adalah keyakinan Fir’aun yang telah dikecam habis Al Qur’an. Allah berfirman:
وَ قالَ فِرْعَوْنُ يا هامانُ ابْنِ لي صَرْحاً لَعَلِّي أَبْلُغُ الْأَسْبابَ * أَسْبابَ السَّماواتِ فَأَطَّلِعَ إِلى إِلهِ مُوسى وَ إِنِّي لَأَظُنُّهُ كاذِباً وَ كَذلِكَ زُيِّنَ لِفِرْعَوْنَ سُوءُ عَمَلِهِ وَ صُدَّ عَنِ السَّبيلِ وَ ما كَيْدُ فِرْعَوْنَ إِلاَّ في تَبابٍ .
“Dan berkatalah Firaun:” Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu- pintu, (yaitu) pintu- pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta”. Demikianlah dijadikan Firaun memandang baik perbuatan yang buruk itu, dan dia dihalangi dari jalan (yang benar) ; dan tipu daya Firaun itu tidak lain hanyalah membawa kerugian.” (QS.Ghafir;3-37)
Dalam ayat di atas tegas-tegs dikatakan bahwa sesiapa yang menganggap Allah itu berada di langit adalah telah terhalangi dari ma’rifah, mengenal Allah SWT dengan sebenar arti pengenalan.
Jadi penyakit kayakinan bahwa Allah berada di langit atau ditempat tertentu adalah penyakit kronis. Semoga Alah menyelamatkan kita dari keyakinan itu. Amîn.
Yang tampak dari nash-nash yang menyebut secara lahiriyah bahwa Alah SWT di langit jelas buen demikian maksud sebenarnya. Ia mesti dita’wil sebab Allah tidak bisa ditanyakan dengan kata tanya: Di mana Dia? Kata di mana? Tidak pernah disabdakan Nabi saw., seperti telah kami buktikan. Dan sesiapa yang meyakn dengan makna lahiriyah teks-teks tersebut bearti ia meyakni bahwa Allah SWT bertempat di sebagian makhluk-Nya sendiri? Mungkinkah itu?! Sebab langit adalah ciptaan Allah SWT! Jadi jika diyakini bahwa Allah berada di langit dan pada sepertiga malam turun ke langit terdekat –seperti diyakini kaum Mujassimah dan Wahhâbiyah- beberti mereka meyakini bahwa Allah bertempat pada sebagian makhluk-Nya. Dan itu artinya makhluk-Nya lebi besar dari Allah SWT Sang Pencipta! Maha Suci Allah dari ocehan kaum jahil!
Jika Al Qur’an menyebutkan bahwa Arsy Allah saja lebih luas darti langit-langit dan bumi, lalu bagaimana langit dapat menjadi tempat bagi bersemayamnya Allah?! Maha Suci Allah dari ocehan kaum jahil!
Penutup:
Di sini kami hanya mengingatkan bahwa apabila Anda mengharap dari para Baduwi Arab yang belum mampu melepas diri dari jeratan takhayyul kuno mereka atau mengharap mereka berfikr secara lincah, cerdas dan filosofis…. maka Anda pasti akan dikecewakan. Sebab untuk memahami rahasia keagungan Tuhan Pecipta semesta alam dibutuhkan kecerdasan akal dan kejernihan jiwa dan spiritual.
Akhirnya kami akan tutup artikrl ini dengan mengutip komentar Ibnu Hajar al Asqallani dalam Fath al Bâri-nya,1/220:
“Sesungguhnya jangkauan akal-akal terhadap rahasis-rahasia Ketuhanan adalah tidak sampai, karenanya tidak semestinya ditanya mengapa Dia menetapka huku begini atau begitu, sebagaimana tidak boleh ditanyakan tentang Wajud-Nya dengan: Di mana? dan: Bagaimana?.”
Jadi tidak benar keyakinan yang mensifati Allah SWT dengan di atas atau di bawah sesuatu! Bahwa Allah SWT dengan Dzat-Nya berada atas Arsy-Nya. Kendati setiap ernyataan itu di akhir dengan kata-kata penghias: “Tetapi tidak seperti bersemayamnya makhluk-Nya! Allah turun dari langit tetapi tidak seperti turunnya makhluk! dll. Sebab kata-kata hiasan seperti itu hanya menambah panjang kata-kata dagelan yang tidak lucu!
Afrâd adlah bentuk jamak kata fard, artinya tunggal. Maksud dari sitilah ini ialah bahwa hadis itu hanya diriwayatkan Imam Muslim seorang, Imam Bukhari tidak meriwayatkannya dalam Shahih-nya
Imam Besar Ahlusunnah Sayyid Muhammad Alawi Al Maliki: Jangan Kafirkan Sesama Muslim!
Abuya Sayyid Muhammad Alawi Al Maliki:
Jangan Kafirkan Sesama Muslim!
Menyikapi maraknya aksi adu domba antara sesama Muslim yang dipropagandakan musuh-musuh Islam wal Muslimin, Guru Besar; Sayyid Muhammad Alawi Al- Maliki-rahimahullah- telah jauh-jauh mengingatkan umat Islam agar tidak tertipu dengan tipu muslihat mereka.
Musuh-musuh Islam wal Muslimin selalu mendapatkan kesempatan untuk mengadu domba dan memecah belah kesatuan barisan Umat Islam melalui sekelompok orang/ulama/penulis yang hanya pandai menyebarkan fitnah di tengah-tengah Umat Islam.
Beliau -rahimahullah- berkata:
لَقَدْ ابْتٌلِيْنا بِجماعَةٍ تَخَصَّصَتْ في تَوْزِيْعِ الْكُفْرِ و الشِرْكِ وَ إِصْدارِ الأحكامِ بِأَلْقابٍ وَ أوْصافٍ لا يَصِحُّ ولا يَلِيْقُ أَنْ تُطْلَقَ على مًسْلِمٍ يَشْهَدُ أنْ لآإلَهَ إِلاَّ الله، وَ أَنَّ محمَّدًا رسولُ اللهِ، كقولِ بَعْضِهِمْ ِفيْمَنْ يَخْتَلِفُ في الرَّأْيِو الْمَذْهَبِ مَعَهُ: مُخَرِّفٌ… دجالٌ…مُشَعْوِذٌ… مُبْتَدِعٌ.. وَ فِيْ النهايَةِ مُشْرِكٌ… و كافِرٌ.وَلَقَدْ سَمِعْنا كَثْيْرًا مِنْ السُّفَهاءِ الذيْنَ يَنْسِبُونَ أَنْفُسَهُمْ إلى العقِيْدَةِ يَكِيْلُونَ مثْلَ هَذِهِ الألْفاظِ جُزافًا، و يزِيْدُ بَعْضُ جَهَلَتِهِمْ بقَوْلِهِ: داعِيَةُ الشرْكِ و الضلالِ في هذهِ الأزْمانِ، مُجَدِّدُ مِلَّةِ عمْرِو بْنِ لُحَيْ الْمَدْعُو بِفُلان.
هكذا نَسْمَعُ بَعْضَ السُفَهاءِ يَكسلُ مثلَ هذا السَّبِّ و الشَّتْمِ ، و بِمِثْلِ هذه الألْفاظِ القَبِيْحَةِ التِيْ لا تَصْدُرُ إلاَّ عنِ
السُوْقَةِ الذيْنَ لَمْ يُجِيْدُوا أسْلُوبَ الدعْوَةِ و طَرِيْقَةَ الأَدَبِ في النِّقاشِ.بِ في النِّقاشِ.
“Kita benar-benar telah ditimpa bencana dengan sekelompok orang yang kerjanya khusus membagi-bagi tuduhan kafir dan syirik, dan mengeluarkan vonis dengan julukan-julukan dan sifat-sifat yang tidak layak untuk dituduhkan kepada seorang Muslim yang bersyahadah bahwa ‘Tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah’, seperti ucapan sebagian dari mereka untuk orang yang berbeda pendapat atau berlainan madzhab‘ ‘ rusak akalnya… dajjâl/penipu… tukang sihir… ahli bid’ah… dan akhirnya musyrik … kafir.. .! Kita telah sering mendengar sebagian orang dungu yang mengaku-ngaku pembela akidah melontarkan tuduhan seperti itu dengan tanpa tanggung jawab, dan kaum bodoh dari mereka menambahkan dengan mengatakan: Penganjur kepada syikir dan kesesatan di zaman ini, pembaharu agama Amr bin Luhay yang bernama fulan!
Begitulah kita mendengar dari sebagian orang dungu melontarkan caci-maki dan cercaan dengan kata-kata yang jelek yang tidak selayaknya muncul kecuali dari orang pasaran yang tidak pandai menjalankan metode da’wah dan sopan santun dalam berdialoq.” (At Tahdzîr Min al Mujâzafah Bi at Takfîr:8)
Beliau -rahimahullah- juga menukil fatwa ad Dâ’i Ilallah, al Habib Ahmad Masyhûr al Haddâd yang mengingatkan kita agar menjauhkan diri dari mengafirkan Ahli Kiblah (kaum Muslimin): “Ijma’ telah tetap atas dilarangnya mengafirkan seorangpun dari Ahli Kiblah kecuali disebabkan mengingkari Allah, Dzat Maha Pencipta, atau kemusyrikan yang nyata yang tidak bias dita’wil, atau mengingkari kenabian atau mengingkari hal yang diketahui pasti dari agama, atau mengingkari yang pasti mutawâtir dari agama…”.(At Tahdzîr Min al Mujâzafah Bi at Takfîr:32 dari Syarh Asâs al Aqîdah al Islamiyah)
Jadi pengkafiran sesama kaum Muslimin dari berbagai Mazdahib Islamiyah adalah hasil kerjaan musuh-musuh Islam!
Dari madzhab manapun mereka adalah saudara kita, madzhab mereka adalah madzhab Islamiy.
Belaiu-rahimahullah- memperkenalkan kepada kita madzhab nama saja yang masih tergolong madzhab Islamiy:
فَإِنَّ كُتُبَ فِقْهِ الْمَذَاهِبِ الإسْلامِيَّةِ جَمْيْعَهَا مَشْحُوْنَةٌ و مَمْلُوءَةٌ ِهَذِهِ الْمَسْأَلَةِ، فَانْظُرْ إِنْ شِئْتَ كُتُبَ الفِقْهِ الحَنَفِيْ، وانْظُرْ إِنْ شِئْتَ كُتُبَ الفِقْهِ المالِكِيْ، وَ كُتُبَ الفِقْهِ الشَّافِعِيْ و الْحَنْبَلِيْ، وَ انْظُرْ إِنْ شِئْتَ كُتُبَ الفِقْهِ الزَيْدِيْ و ألأباضِيْ و الجَعْفََرِيْ فَإِنَّكَ تَجِدْهُمْ قَدْ عَقَدُوا بابًا مَخْصُوْصًا في الزِّيارَةِ بَعْدَ أَبْوابِ الْمناسِكِ.
“Maka sebenarnya seluruh buku-buku fikih mazhab-mazhab Islamiyah penuh dengan masalah ini. Perhatikan, jika engkau mau buku-buku fikih (mazhab) Hanafi! Perhatikan, jika engkau mau buku-buku fikih (mazhab) Maliki, dan buku-buku fikih (mazhab) Syafi’i dan Hanbali! Perhatikan, jika engkau mau buku-buku fikih (mazhab) Zaidi, Abadhi atau mazhab Ja’fari, engkau pasti temukan mereka menyusun sebuah bab khusus tentang ziarah (makam Nabi saw.) setelah bab-bab manasik (haji).” (Mafâhim Yajibu An Tushahhah:186)
Inilah madzhab-madzhab Islamiyah menurut beliau, dan seluruh penganut madzhab-madzhab ini adalah saudara kita sesama Muslimin.
Al Allamah Sayyid al Maliki rh. Mencela Wahabi
Al Allamah Sayyid al Maliki rh. Mencela Wahabi
Di antara kebodohan kaum Wahabi yang mendapat sorotan dan kritik tajam fadhilah Allamah Sayyid Muhammad Alawi al Maliki-Pembela dan Imam Ahlusunah Abad 21- adalah masalah tabarruk, mengambil berkah dari Nabi Muhammad saw. Kata beliau, karena kesempitan pandangan mereka dan karena kecupetan daya jangkau dan pikiran mereka, mereka sebagaimana kebiasaan mereka, selalu menganggap segala bentuk praktik mengalap barakah dari Nabi Muhammad saw. yang dilakukan umat Islam di sepanjang masa, sejak masa hidup beliau saw. adalah sebagai praktik syirik dan kesesatan, waliyazubillah.
Kaum wahabi selalu mengaku berpegang dengan para Salafush Sholeh, para sahabat mulia dan para tabi’in. mereka mengatakan bahwa mengalap dan memburu berkah dari Nabi saw. tidak pernah dikalukan oleh para Salaf! Kecuali mungkin hanya Ibnu Umar, dan ia pun ditentang oleh para sahabat!
Kata, Abuya al Maliki rh. anggapan kaum Wahabi itu adalah sebuah kebodohan. Atau mereka berbohong, seperti kebiasaan mereka. Atau mereka itu menipu dan memutar balikkan fakta, seperti sering mereka lakukan!
Abuya berkata:
وَ هذا جَهْلٌ أَو كِْذبٌ أو تَلْبيسٌ.
Dan anggapan itu adalah kebodohan, atau kebohongan atau penipuan. (Mafâhim:156)
Benar sekali apa yang dikatakan Abuya. Mereka memang pandai berbohong dan memutar balikkan fakta. Praktik itu telah dikalukan oleh banyak sahabat seperti: empat Khulafa’ Rasyidin, Ummu Salamah, Khalid bin Walîd, Watsilah bin al Asqa’, Salamah bin al Akwa’, Anas bin Malik, Ummu Sulaim, Usaid bin Khudhair, dll.
Hai kaum yang tertipu dengan kebohongan Ulama kaum Wahabi, baca dan perhatikan bukti-bukti mu’tabarah yang disebutkan oleh Guru Besar Ulama’ Ahlusunnah Abad 21 yang hidup di tengah-tengah sarang Wahabi, agar Anda mengerti hujjah-hujjah Ahlusunnah! Dan sekaligus kepalsuan omongan ulama Wahabi Anda!
Jangan Cuma bisa BBM (Baru Bisa Meniru) Wahabi!
Allamah Al Maliki Mengeluhkan Kebodohan Wahabi Dalam Memahami Konsep Tauhid Telah Buat Ruwet Umat Islam!
Hiruk pukuk pengkafiran yang biasa dipekikkan kaum Wahabi yang cupet itu berawal dari kebodohan dan kesalahan mereka dalam memahami batasan Tauhid. Andai mereka memamahmi dengan benar konsep Tauhid seperti yang difahami ulama Islam pastilah umat Islam akan hidup rukun tanpa harus ada pengkafiran, sebagaimana dituduhkan kaum Wahabi!
Mereka, Arab-arab Baduwi dungu itu sok tau dan mengerti batasan Tauhid. Mereka beranggapan setiap pengagungan dan penghormatan adalah penghambaan bagi yang dihormati dan diagungkan.
Kebodohan mereka inilah yang dihujat habis-habisan oleh Imam Ahlusunnah Abad 21, Al Allamah Sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki. Kerenanya kaum Wahabi kehilangan akal menghadapi dalil-dalil beliau.
Anggapan kaum Wahabi tentang makna batasan Tauhid itu pada hakikatnya, kata Al Allamah al Maliki adalah:
وَ هذا في الحقيقة جَهْلٌ و تَعَنُّتٌ لا يَرْضاهُ اللهُ و رسولُهُ، وتَكَلُّفٌ تَأْباهُ الشريعةُ الإسلامية.
Itu sebenarnya adalah kebodohan dan kedegilan yang tidak diridhai Allah dan rasul-Nya serta mengada-ngada yang tidak diakui Syari’at Islam. (Mafâhim: 22)
Ya, sikap kaum Wahabi itu adalah kebodohan dan kedegilan yang telah membuat kacau umat Islam dan sikap mengada-ngada yang bertentangan dengan ajaran dan Syari’at Islam. Sikap mereka itu bukan sikap Islami.
Kebodohan dan dan kedegilan itu tidak akan muncul dari Arab-arab baduwi itu andai mereka mau merenungkan ayat-ayat Al Qur’an. Kata Allamah al Maliki, ayat-ayat Al Qur’an adalah bukti nyata bahwa pengagungan bukan selamanya bermakna penyembahan. Beliau menyebutkan kisah sujud para malaikat untuk Adam as. dan sujudnya Nabi Ya’qub untuk Nabi Yusuf, putranya sebagai bukti hal itu. Tetapi mana mungkin akal-akal Wahabiyah yang cupet itu mampu memahaminya!!
Sifat-sifat Wahabi / Salafi yang Tercela
Sifat-sifat Wahabi / Salafi yang Tercela
Dari Kitab DURARUSSANIYAH FIR RADDI ALAL WAHABIYAH Syeikhul Islam Allamah Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan Asy-Syafi’i.
Diantara sifat-sifatnya yang tercela ialah kebusukannya dan kekejiannya dalam melarang orang berziarah ke makam Nabi saw dan membaca sholawat atas Nabi saw, bahkan Muhammad bin Abdul Wahhab sampai menyakiti orang yang hanya sekedar mendengarkan bacaan sholawat dan yang membacanya dimalam Jum’at serta yang mengeraskan bacaannya di atas menara-menara dengan siksaan yang amat pedih.
Pernah suatu ketika salah seorang lelaki buta yang memiliki suara yang bagus bertugas sebagai muadzin, dia telah dilarang mengucapkan shalawat di atas menara, namun lelaki itu selesai melakukan adzan membaca shalawat, maka langsung seketika itu pula dia diperintahkan untuk dibunuh, kemudian dibunuhlah dia. Setelah itu Muhammad bin Abdul Wahhab berkata : “perempuan-perempuan yang berzina dirumah pelacuran adalah lebih sedikit dosanya daripada para muadzin yang melakukan adzan di menara-menara dengan membaca shalawat atas Nabi.
Kemudian dia memberitahukan kepada sahabat-sahabatnya bahwa apa yang dilakukan itu adalah untuk memelihara kemurnian tauhid. Maka betapa kejinya apa yang diucapkannya dan betapa jahatnya apa yang dilakukanya Tidak hanya itu saja, bahkan diapun membakar kitab Dalail ul-Khairat. Kitab Dalail Khairat adalah kitab yang memuat 200 Nama-nama Nabi saw, kitab inilah yang dibaca para pejuang Afghanistan sehingga mampu mengusir Uni Sovyet / Rusia, seperti juga Salahuddin al Ayubi yang menghidupkan Mawlid Nabi sehingga tentaranya mampu menahan pasukan Nasrani.
Namun kemudian Wahabi mengirim Taliban yang akan membakar kitab-kitab tsb) dan juga kitab-kitab lainnya yang memuat bacaan-bacaan shalawat serta keutamaan membaca salawat Nabi saw ikut dibakar, sambil berkata apa yang dilakukan ini semata-mata untuk memelihara kemurnian tauhid.
Dia juga melarang para pengikutnya membaca kitab-kitab fiqih, tafsir dan hadits serta membakar sebagian besar kitab-kitab tsb, karena dianggap susunan dan karangan orang-orang kafir. Kemudian menyarankan kepada para pengikutnya untuk menafsirkan Al Qur’an sesuai dengan kadar kemampuannya, sehingga para pengikutnya menjadi BIADAB dan masing-masing menafsirkan Al Qur’an sesuai dengan kadar kemampuannya, sekalipun tidak secuilpun dari ayat Al Qur’an yang dihafalnya.
Lalu ada seseorang dari mereka berkata kepada seseorang : “Bacalah ayat Al Qur’an kepadaku, aku akan menafsirkanya untukmu, dan apabila telah dibacakannya kepadanya maka dia menafsirkan dengan pendapatnya sendiri. Dia memerintah kepada mereka untuk mengamalkan dan menetapkan hukum sesuai dengan apa yang mereka fahami serta memperioritaskan kehendaknya diatas kitab-kitab ilmu dan nash-nash para ulama, dia mengatakan bahwa sebagian besar pendapat para imam keempat madzhab itu tidak ada apa-apanya.
Sekali waktu, kadang memang dia menutupinya dengan mengatakan bahwa para imam ke empat madzhab Ahlus Sunnah adalah benar, namun dia juga mencela orang-orang yang sesat lagi menyesatkan. Dan dilain waktu dia mengatakan bahwa syari’at itu sebenarnya hanyalah satu, namun mengapa mereka (para imam madzhab) menjadikan 4 madzhab.
Ini adalah kitab Allah dan Sunnah Rasul, kami tidak akan beramal, kecuali dengan berdasar kepada keduanya dan kami sekali-kali tidak akan mengikuti pendapat orang-orang Mesir, Syam dan India. Yang dimaksud adalah pendapat tokoh-tokoh ulama Hanabilah dll dari ulama-ulama yang menyusun buku-buku yang menyerang fahamnya.
Dengan demikian, maka faham Wahabi adalah orang yang membatasi kebenaran, hanya yang ada pada sisinya, yang sejalan dengan nash-nash syara’ dan ijma’ ummat, serta membatasi kebathilan di sisinya apa yang tidak sesuai dengan keinginannya, sekalipun berada diatas nash yang jelas yang sudah disepakati oleh ummat.
Dan mereka wahabi adalah orang yang mengurangi keagungan Rasulullah saw dengan banyak sekali atas dasar memelihara kemurnian tauhid mereka mengatakan bahwa Nabi saw itu tak ubahnya :”THORISY”. Thorisy adalah istilah kaum orientalis yang berarti seseorang yang diutus dari suatu kaum kepada kaum yang lain. Artinya, bahwa Nabi saw itu adalah pembawa kitab, yakni puncak kerasulan beliau itu seperti “Thorisy” yang diperintah seorang amir atau yang lain dalam suatu masalah untuk manusia agar disampaikannya kepada mereka, kemudian sesudah itu berpaling.
Mereka menganggap Rasulullah saw tak ubahnya seperti seorang tukang pos yang bertugas menyampaikan surat kepada orang yang namanya tercantum dalam sampul surat, kemudian sesudah menyampaikannya kepada yang bersangkutan, maka pergilah dia. Dengan ini maka jelaslah bahwa kaum Wahabi hanya mengambil al Qur’an sebagian dan sebagian dia tinggalkan.
Dan meraka (para pengikutnya itu) pun memberitahukan apa yang mereka ucapkan itu kepadanya namun dia menampakkan kerelaannya, serta boleh jadi mereka juga mengucapkan kata-kata itu dihadapan gurunya, namun rupa-rupanya dia juga merestuinya, sehingga ada sebagian pengikutnya yang berkata :”SESUNGGUHNYA TONGKATKU INI LEBIH BERGUNA DARIPADA MUHAMMAD, KARENA TONGKATKU INI BISA AKU PAKAI UNTUK MEMUKUL ULAR, SEDANG MUHAMMAD SETELAH MATI TIDAK ADA SEDIKITPUN KEMANFA’ATAN YANG TERSISA DARINYA, KARENA DIA (RASULULLAH S A W) ADALAH SEORANG THORISY DAN SEKARANG SUDAH BERLALU”.
Sebagian ulama’ yang menyusun buku yang menolak faham ini mengatakan bahwa ucapan-ucapan seperti itu adalah “KUFUR” menurut ke empat madzhab, bahkan kufur menurut pandangan seluruh para ahli Islam.
Catatan :
Jika perlakuan Abdul Wahhab dan pengikutnya kepada Nabi s a w sedemikian rupa, maka apakah masuk akalkah orang-orang kayak ini setia kepada sahabat dan kaum Salafush-Sholihin ? Sungguh sangat berbeda antara Salfus Solihin dengan mereka saat ini, jadi pengakuannya sebagai akidah yang mengikuti Salaf-Sholeh / Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah penipuan untuk mengelabuhi orang-orang awam.
Jika Nabi s a w dikatakan “Thorisy karena sudah berlalu”, mengapa para pengikut Wahabi itu tidak juga mengatakan Muhammad bin Abdul Wahhab itu “sudah berlalu”, mengapa mereka masih diangung-agungkan dan diikuti dengan taklid. Inilah yang dinamakan “PELARANGAN PENGKULTUSAN YANG MELAHIRKAN PENGKULTUSAN BARU”.
- Wahabi membid’ahkan Mawlid Salawat Nabi, semntara dalam Al-Qur’an Allah berfirman, Innalloha wa malaikatuhu yu sholluna alan Nabi, Ya ayyuhal ladzina amanu shollu alaiihi wa salimu taslima. “Aku dan Malaikatku bersalawat untuk nabi, wahai orang yang beriman, bersalawatlah kalian dan menucapkan salam kepada nabi saw”. Allah swt menyuruh kita solat, puasa, zakat, haji, tetapi Allah tak perlu dan tak butuh solat kita, Allah menuruh kita bersalawat atas nabi, dan Allah sendiri bersalawat kepada Nabi saw.
- Orang-orang Wahabi yang membenci Mawlid Nabi ini nantinyapun minta syafa’at pada Nabi saw di Hari Mahsyar nanti, sementara didunia ini mereka membenci orang2 yang bersalawat.
- Mereka membid’ahkan ziarah ke makam Nabi saw, sementara mereka sendiri menziarahi makam Abdul Wahab. Mereka pun berziarah kemakam orang tuanya ketika puasa akan dimulai, atau ketika lebaran. Sementara mereka membid’ahkan ziarah. Ziarah dalam hadist Nabi saw bahkan dianjurkan untuk mengingat mati. Apakah kita tak boleh berziarah kemakam orang tua kita, memeliharanya, mendoakan guru-guru kita yang mengajarkan Islam kepada kita. Inilah Islam sejati yang penuh cinta, bukan seperti Islam Wahabai salafi yang penuh kemarahan dengan kata-kata Bid’ah. Ucapannya menyakiti hati sesama muslim lainnya.
- Wahabi melarang Mawlid Nabi saw yang artinya memperingati Kelahiran Nabi tercinta saw, tetapi mereka merayakan hari ulang tahun anaknya , orang tuanya. Bila mereka mengatakan tak tak merayakan, lihatlah bahkan betapa keringnya hati mereka, tak ada cinta samasekali. Bukan Islam yang kering seperti ini yang dianut Mayoritas Muslim dunia. Ahlul Sunah wal Jamaah hampir 90% masyarakat muslim dunia merayakan mawlid, di Yaman , Damascus, Yordania, Negara- afrika, Asia Tenggara, Timur Tengah dll.
Wahabi di Indonesia sangat sedikit dan minoritas, tetapi lihatlah teriakan mereka begitu menantang para Ahlul Sunah wal Jamaah, Islam tradisional (90%) mereka telah menabuh genderang peperangan kepada kaum muslim yang lain di Indonesia dan di negara2 lain. Mereka diusir di Eropa Amerika karena faham fundamentalis radikalnya.
Wa min Allah at Tawfiq
Sunnah Versus Bid’ah
Sunnah Versus Bid’ah
Meluruskan Kesalah-pahaman Pandangan Wahhabi Tentang Konsep Bid’ah
Tidak ada kata-kata yang akrab kita dengar dari teman-teman Wahhabi/Salafy melebihi kata bid’ah… dan tidak ada bencana bagi umat Islam lebih dari bencana akibat kesalahan dala memahami konsep bid’ah. Betapa pemahaman yang keliru tentang perbedaan antara Sunnah dan Bid’ah telah menimbulkan seribu satu musykilah dan bencana. Oleh karenanya meluruskan pemahaman tentang keduanya adalah sebuah keniscayaan demi menghindarkan dari berbagai kesalah pahaman terhada praktik-praktik tertentu yang ditekumi sebagin kaum Muslimin yang acak kali menjadi salah sasaran pembid’ahan bahkan vonis pemusyrikan oleh ektrimis Wahhabi/Salafy. Kaum Wahabi-Salafi Indonesia di dominasi oleh kaum muda kampus, bahkan di bumi Antasari kita, Kalimantan Selatan yang sejatinya merupakan Tanah para Ulama Ahlusunnah. Lihat saja di Universitas yang ada di banjarmasin dan banjarbaru, golongan Wahabi sudah menabuh genderang perang terhadap kita yang tidak sejalan pemikiran dengan mereka, dengan mengusung senjata pamungkas mereka, yaitu jargon “BID’AH”, mereka mendoktrin para mahasiswa dengan dalih mentoring atau pelajaran agama, biasanya setiap hari jum’at di masjid/musolla kampus masing-masing. Hal dikemas sedemikian rupa agar terkesan ilmiah, padahal ujung-ujungnya menuduh para Ulama panutan kita sebagi ahli Bid’ah. Parahnya lagi mereka merasa paling benar, dan menyalahkan para Ulama serta Santri Pondok Pesantren atau lebih familiar di sebut Pondokan,, Padahal, dilihat dari segi Ilmu saja, sudah jelas bahwa kebenaran berpihak Pada ULAMA KITA,
Sunnah dan Bid’ah!
Dalam sabda-sabda Nabi saw., Sunnah dan bid’ah adalah dua hal yang saling berhadap-hadapan, karenanya pemahaman tentang salah satunya tidak akan tepat tanpa memahami lawannya, sebab –seperti dalam peribahasa Arab: wa bidhiddihha tatayyanu al asy-yâ’u = dengan mengenal lawannya, segala sesuatu menjadi jelas-. Banyak dari para penulis buku-buku islami sekarang langsung terjun membatasi makna bid’ah tanpa terlebih dahulu memastikan apa makna sunnah, sementara ia adalah yang asal, kanenanya mereka terjebak dalam kesempitan tanpa dapat bisa keluar darinya dan berbenturan dengan bukti-bukti/dalil-dalil nash yang menentang pembatasan mereka akan makna bid’ah. Andai mereka terlebih dahulu menetapkan apa makna sunnah itu pastilah mereka terhindar dari masalah tersebut.
Rasulullah saw. dalam banyak hadisnya memerintahkan berpegang dengan Sunnah baru setelahnya memperingatkan akan bahaya lawannya, yaitu bid’ah, seperti Anda dapat saksikan dalam banyak hadis di antaranya:
1) Hadis dalam Shahih Muslim: Adalah Rasulullah saw. apabila berkhutbah memerah kedua mata beliau dan lantang suara beliau, beliau bersabda:
فَإِنَّ خيرَ الحديثِ كتابُ اللهِ , و خير الهدْيِ هديُ مُحَمَدٍ (ص), و شَرَّ الأُمورِ مُحْدَثاتُها, و كلُّ محْدَثَةٍ بِدْعَةٌ و كلُّ بِدْعِةٍ ضلالَة
“(Amma ba’du), Maka sesungguhnya sebaik-baik pembicaraan adalah Kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad saw. dan sejelek-jelek perkara adalah yang muhdatsat (baru dibuat-buat), dan setiap yang muhdats adalah bid’ah dan setiap yang bid’ah adalah dhalal (kesesatan).” Hadis yang sama juga diriwayatkan Bukhari mauqûf (sebagai ucapan) Ibnu Mas’ud.
2) Hadis di atas dipertegas dengan hadis panjang riwayat Turmudzi, Abu Daud dan para muhaddis lain dari: Al-Irbâdh ibn Saariyah, ia berkata, pada suatu hari, seusai salat subuh Rasulullah saw. memberi wejangan kepada kami dengan mau’idzah yang luar biasa, karenanya mata-mata mencucurkan air mata dengan deras dan hati-hati menjadi takut, lalu ada seorang lelaki berkata, sepertinya ini wejangan perpisahan, lalu apa yang Anda perintahkan untuk kami wahai Rasulullah saw? beliau saw. menjawab:
أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ و السَّمْعِ و الطاعَةِ وَإنْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ يَرَ اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا , وَ إِيَّاكُمْ وَ مُحْدَثاتِ الأُمُوْرِ , فَإِنَّهَا ضَلاَلَةٌ فَمَنْ أَدْرَكَ ذلِكَ مِنْكُمْ فَعَلَيْهِ بِسُنَّتِيْ وَ سُنَّةِ الخُلفاءِ الرَاشِدِيْنَ المَهْدِيِّينَ , عَضُّوا علَيْها بالنَّواجِذِ.
Aku berwasiat kepadamu dengan ketaqwaan kepada Allah, mendengar dan taat walaupun kepada budak sahaya berkebangsaan Etiopia. Karena sesungguhnya siapa dari kamu yang hidup ia akan menyaksikan perselisihan yang banyak. Hati-hatilah kamu dari perkara-perkara yang baru karena ia adalah kesesatan. Maka barang siapa dari kamu mengalami hal itu, hendaknya ia berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para khulafa’ yang Râsyidiin dan Mahdiyyiin (yang terbimbing dan mendapat petunjuk), gigitlah ia dengan gigi geraham kamu (berpegang teguhlah dengannya)!.(Al-Turmudzi. Sunan (dengan Syarah Al-Mubarakfuuri).Vol.7,438-442. bab al-Akhdzu bil Sunnah wa ijtinaab al-Bid’ah)
3) Hadis Jarir dalam riwayat Muslim di bawah ini akan memperjelas:
َمَنْ سَنَّ في الإسلامِ سُنَّةً حسَنَةً فَلَهُ أجْرُها وَ أَجْرُ مَنْ عَِملََ بها بَعْدَهُمَ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقَصَ مِنْ أجورِهِمْ شَيْئٌ. مَنْ سَنَّ في الإسلامِ سُنَّةً سَيِّءَةً فله وِزْرُها و وزرُ مَنْ عَِملََ بها بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقَصَ مِنْ أوزارِهِمْ شَيْئٌ.
Barang siapa mebuat sunnah baik dalam Islam maka baginya pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkannya setelahnya, tanpa berkurang sedikitpun pahala mereka. Dan barang siapa membuat sunnah jelek dalam Islam maka atas dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkannya setelahnya tanpa berkurang sedikitpun dosa-dosa mereka.
Dari ketiga contoh hadis di atas dapat kita saksikan bagaimana Rasulullah saw. menghadapkan antara Hadyu Muhammad dengan muhdatsat al umûr, Dalam hadis kedua, antara sunnah beliau dengan muhdatsat al umûr, sedangkan dalam hadis ketiga antara sunnah sayyiah dengan sunnah hasanah. Jadi jelas, sunnah duluan baru, apapun yang keluar dan menyimpang darinya masuk dalam bid’ah. Lalu apa sebenranya sunnah itu?
Dalam bahasa dan penggunaan syara’, sunnah bermaknakan tharîqah (jalan) yaitu petunjuk, hadyu Nabi saw. Jadi jalan/cara yang ditempuh Nabi saw. dalam petunjuknya, ketika menerima atau menolak adalah sunnah! Dan makna tersebutlah yang dipertegas dalam hadis Jarir di atas. Sunnah hasanah artinya jalan/cara yang baik, dan sunnah sayyiah adalah jalan/cara yang jelek. Demikian makna yang harus difahami darinya, bukan yang disalah-fahami oleh sebagian awam pelajar/santri apalagi kaum awam bahwa sunnah adalah hadis Nabi saw atau lawan dari faridhah (yang wajib), sebab makna pertma adalah istilah para ahli hadis sementara istilah kedua adalah istialh para ahli fikih. Kedua pemaknaan tersebut baru lahir jauh setelah penggunaan kata tersebut dalam sabda-sabda Nabi saw. jadi tidak benar apabila kita mengartikan sabda tersebut dengan pemankaan baru.
Sunnah Rasul saw. adalah jalan/cara beliau dalam bertindak, memerintah, menerima atau menolak. Oleh karenanya, segala apapun yang baru harus dihadapkan kepada Sunnah Rasul saw. dan jala/cara beliau dalam menerima dan atau menolak.
Cacatan:
Mungkin ada yang mengatakan bahwa amalan-amalan seperti dalam contoh kasus di atas dapat diterima sebab ia telah ditaqrirkan (disetuji) oleh Nabi saw., maka kami menjawabnya, benar demikian adanya, akan tetapi dari kasus-kasus di atas dapat dijadikan sebuah bukti nyata untuk mengenal sunnah Nabi saw. dalam menerima subuah “kreasi” dalam ibadah atau amal kebajikan tertentu. Sebab seperti diketahui bahwa banyak dari amalan-amalan tersebut tidak disebut sebagai sunnah dan tidak seorang ulamapun yang menganggapnya sebagai sunnah, sebab amalan dan praktik Nabi saw. lebih afdhal dan lebih tepat untuk diikuti. Akan tetapi ia memberikan gambaran jelas bagi kita bahwa Nabi saw. tidak menolak sesuatu amalan kebajikan yang tidak membentur nash atau tidak menimbulkan mafsadah(kerusakan) serta tidak menyalahi hadyu (petunjuk umum) yang beliau bawa! inilah maksud kata-kata para ulama bahwa apapun yang dianjurkan oleh syari’at baik secara khusus atau bersifat umum maka ia tidak tergolong bid’ah, walaupun praktik itu secara khusus tidak pernah dikerjakan atau diperintahkan Nabi saw. dengan perintah khusus.
Inilah tahrîqah, jalan Nabi saw. seperti akan Anda saksikan di bawa ini:
Bukti-bukti Tentang Sunnah Rasulullah saw. Terhadap Hal-hal Baru (Yang di klaim Wahabi/Salafy Bid’AH)
Ketahuilah wahai saudaraku bahwa sesungguhnya terdapat banyak hadis shahih yang menyebutkan bahwa ada beberapa sahabat Nabi saw. mengada-ngada amalan-amalan atau dzikir-dzikir atau doa-doa tertentu atau sebagianya yang belum pernah dilakukan atau diajarkan dan dituntunkan oleh Rasulullah saw., mereka melakukannya atas dasar istinbâth dan dengan keyakinan bahwa ia adalah bagian dari kebaikan yang dibawa oleh Islam dan Rasulul-islam saw. dan dianjurkannya secara umum di bawah naungan payung:
و افْعَلُوا لخيرَ لَعَلَكُمْ تُفْلِحُونَ
“…dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.”. (QS.22 [al hajj];77)
Dan sabda Nabi saw.:
مَنْ سَنَّ في الإسلامِ سُنَّةً حسَنَةً فَلَهُ أجْرُها وَ أَجْرُ مَنْ عَِملََ بها بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقَصَ مِنْ أجورِهِمْ شَيْئٌ.
Barang siapa mebuat sunnah baik dalam Islam maka baginya pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkannya setelahnya, tanpa berkurang sedikitpun pahala mereka.
Hadis di atas kendati disabdakan dalam kasus tertentu yaitu tentang shadaqah, akan tetepi pelajaran yang diambil didasarkan keumuman lafadznya bukan atas dasar kekhususan sebabnya, seperti ditegaskan para ulama dalam kajian Ushulul Fikih mereka. Namun demikian tidak berbarti bahwa setiap orang bebas menggagas syari’at dengan sendirinya, sebab Islam telah tuntas dengan batasan kaidah-kaidahnya yang baku, karenanya apa yang di-sunnahkan harus terbingkai dalam bingkai kaidah dan ketetapan dasar Islam.
Berangkat dari niatan tersebut, banyak dari sahabat Nabi saw. mengerjakan berdasar atas ijtihad mereka amalan-amalan tertentu yang belum pernah diajarkan dan dituntunkan oleh Nabi saw…. dalam kaitan itu, sunnah/jalan dan cara Nabi saw. dalam mensikapinya ialah menerima amalan ibadah dann kebajikan yang sesuai syari’at dan tidak menyalahinya serta menolak yang menyalahinya. Inilah sunnah dan jalan yang ditempuh Nabi saw. yang kemudian diikuti oleh para sahabat ra. dan darinya para ulama Islam –rahimahullah- menetapkan kaidah: Apapun yang baru harus disodorkan kepada kaidah-kaidah dasar dan nash-nash Syari’at, yang didukung Syari’at dan dinilainya baik maka ia baik dan diterima sementara yang terbutki menyahali Syari’at maka ia tertolah, ia adalah bid’ah yang tercela! Kondisi pertama mereka namai dengan bid’ah hasanah dari sisi kebahasaan semata, mengingat ia adalah hal baru, kendati pada hakikatnya bukan bid’ah dalam timbangan syari’at, sebab ia adalah sunnah yang disimpulkan dari bukti-bukti syari’at yang menyaksikan akan diterimnya amalan tertentu tersebut. Setelah keterangan singkat di atas mari kita terlusuri bukti-bukti tentang apa yang kami sebutkan di atas.
Kita awali dengan bukti-bukti diterimanya amalan-amalan tertentu oleh Nabi saw.
Hadis Pertama:
Hadis riwayat Bukhari, Muslim dan Ahmad dari Abu Hurairah bahwa Nabi saw. berkata kepada Bilal ketika shalat fajar (shubuh), “Hai Bilal, ceritakan kepadaku amalan apa yang paling engkau harap pahalanya yang pernah engkau amalkan dalam masa Islam, sebab aku mendengar suara terompamu di surga. Bilal berkata, “Aku tidak mengamalkan amalan yang paling aku harapkan lebih dari setiap kali aku berssuci, baik di malam maupun siang hari kecuali aku shalat untuk bersuciku itu”.
Dalam riwayat at Turmudzi yang ia shahihkan, Nabi saw. berkata kepada Bilal, ‘Dengan apa engkau mendahuluiku masuk surga? ” Bilal berkata, “Aku tidak mengumandangkan adzan melainkan aku shalat dua rakaat, dan aku tidak berhadats melaikan aku bersuci dan aku mewajibkan atas diriku untuk shalat (sunnah).” Maka Nabi saw. bersabda “dengan keduanya ini (engkau mendahuluiku masuk surga).
Hadis di atas juga diriwayatkan oleh Al Hakim dan ia berkata, “Hadis shahih berdasarkan syarat keduanya (Bukhari & Muslim).” Dan adz Dzahabi mengakuinya.
Al Hafidz Ibnu Hajar menerangkan demikian, “Dalam hadis itu disimpulkan dibolehkannya berijtihad dalam menentukan waktu ibadah, sebab Bilal mencapai apa yang ia sebutkan itu dengan dasar penyimpulan, lalu Nabi saw. membenarkannya.”[1]
Hal serupa juga ditemukan dalam hadis Khabab dalam riwayat Bukhari, beliau-lah orang pertama yang men-sunnah-kan shalat dua rakaat atas seorang muslim yang mati terbunuh dengan darah dingin (bukan dalam peperangan, misalnya).[2]
Dari hadis-hadis di atas jelas sekali bahwa kedua sahabat ini (Bilal dan Khabab) berijtihad dalam menentukan waktu pelaksanaan ibadah yang sebelumnya belum pernah dilakukan atau ada perintah khusus dari Nabi saw…. ia dilakukan atas dasar perintah umum bahwa “Shalat adalah sebaik-baik amalan, maka berbanyak-banyaklah atau bersedikit-sediktlah!” seperti diriwayatkan dalam sebuah hadis. Andai ada seorang melakukannya pada waktu terlarang pastilah praktik itu dianggap bid’ah bagi mereka yang meyakini keumuman larangan dan bukan bid’ah bagi yang berpendapat bahwa larangan itu dikhususkan dengan shalat sunnah yang mutlak sifatnya. Dan dalam masalah ini terdapat silang pendapat di antara ahli fikih.
Hadis Kedua:
Hadis riwayat Bukhari, Muslim dan para muhaddis lain pada kitab Shalat, bab Rabbanâ laka al Hamdu, dari riwayat Rifa’ah ibn Râfi’, ia berkata, “Kami shalat di belakang Nabi saw., maka ketika beliau mengangkat kepala beliau dari ruku’ beliau membaca, sami’allahu liman hamidah (Allah maha mendengar orang yang memnuji-Nya), lalu ada seorang di belakang beliau membaca, “Rabbanâ laka al hamdu hamdan katsiran thayyiban mubarakan fîhi (Tuhan kami, hanya untuk-Mu segala pujian dengan pujian yang banyak yang indah serta diberkahi). Maka setelah selesai shalat, Nabi saw. bersabda, “Siapakah orang yang membaca kalimat-kalimat tadi?” Ia berkata, “Aku.” Nabi bersabda, “Aku menyaksikan tiga puluh lebih malaikat berebut mencatat pahala bacaaan itu.”
Ibnu Hajar berkomentar, “Hadis itu dijadikan hujjah/dalil dibolehannya berkreasi dalam dzikir dalam shalat selain apa yang diajarkan (khusus oleh Nabi saw.) jika ia tidak bertentang dengan yang diajarkan. Kedua dibolehkannya mengeraskan suara dalam berdzikir selama tidak menggangu.”
Hadis Ketiga:
Imam Muslim dan Abdur Razzaq ash Shan’ani meriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata, “Ada seorang lali-laki datang sementara orang-orang sedang menunaikan shalat, lalu ketika sampai shaf, ia berkata:
اللهُ أكبرُ كبيرًا، و الحمدُ للهِ كثيرًا و سبحانَ اللهِ بكْرَةً و أصِيْلاً.
Setelah selesai shalat, Nabi saw. bersabda, “Siapakah yang mengucapkan kalimat-kalimat tadi?
Orang itu berkata, “Aku wahai Rasulullah saw., aku tidak mengucapkannya melainkan menginginkan kebaikan.”
Rasulullah saw. bersabda, “Aku benar-benar menyaksikan pintu-pintu langit terbuka untuk menyambutnya.”
Ibnu Umar berkata, “Semenjak aku mendengarnya, aku tidak pernah meninggalkannya.”
Dalam riwayat an Nasa’i dalam bab ucapan pembuka shalat, hanya saja redaksi yang ia riwayatkan: “Kalimat-kalimat itu direbut oleh dua belas malaikat.”
Dalam riwayat lain, Ibnu Umar berkata: “Aku tidak pernah meningglakannya semenjak aku mendengar Rasulullah saw. bersabda demikian.”
Wahai Saudaraku:
Saudaraku-semoga Allah memberikan taufiq dan hidayah-Nya kepada kita semua-, coba Anda perhatikan, bagaimana Rasulullah saw. membenarkan penambahan kalimat dzikir yang tidak beliau ajarkan dalam i’tidâl dan dalam pembukaan shalat., beliau membenarkan pelakunya dengan pembenaran dan kerelaan yang luar biasa, hal itu disebabkan karena kedua tempat/kesempatan itu adalah tempat pujian atas Allah SWT. dalam shalat. Lalu perhatikan sikap sebagian kaum yang “sok pintar” ketika mereka mangatakan bahwa membaca doa qunut dalam shalat shubuh adalah bid’ah padahal asal masalahnya telah datang dalam riwayat dari Nabi saw., kendati mereka berusaha mengacaukan hadis Anas ibn Malik tentangnya dan praktik sebagian sahabat Nabi saw.
Abdur Razzâq telah meriwayatkan dari Ibnu Juraij dari Athâ’, ia berkata, “Aku berkata kepadanya, (apa ada dalil) tentang qunut dalam dua rakaat shalat Jum’at? Maka ia menjawab, “Aku tidak mendengar tentang qunut dalam dua rakaat shalat Jum’at. Aku tidak mendengar tentang qunut dalam shalat wajib selain shubuh.
Dalam kesempatan bukan maksud kami mengupas tuntas masalah qunut akan tetapi kami hanya ingin mebuktikan bagaimana sikap keras melampaui batas sebagian mereka dalam mencap bid’ah, bahkan pada bacaan doa pada tempat doa dalam shalat! Sementara hadis-hadis yang telah kami sebutkan di atas mengatakan bahwa doa apapun yang di baca di tempat doa dalam shalat maka ia bagian dari sunnah, bukan bid’ah! Sebab Rasulullah saw. telah membenarkannya, walaupun redaksinya bukan yang beliau saw. ajarkan, lalu bagaimana mereka mencap bid’ah pada doa yang redaksinya telah datang dari Rasulullah saw. dan tempat pembacaannya juga pada tempat doa dalam shalat! Masalah yang sama ialah mengeraskan bacaan Basmallah dalam shalat ketika mengawali bacaan surah al Fatihah, kendati hadis-hadis shahih telah datang tentangnya, tetap saja sebagian kaum yang sok berpegang dengan sunnah itu menuduhnya bid’ah! Alangkan anehnya, bukankan surah al Fatihah adalah bagian dari surah-surah Alqur’an yang didahului dengan Basmallah dan telah tetap juga riwayat tentang mengeraskan bacaannya? Andai mereka mengamalkan pendapatnya sendiri (dengan tidak membacanya), pastilah masalahnya menjadi ringan, akan tetapi mereka menentang orang yang membacanya dengan suara terdengar (keras).
Al hasil, Rasulullah saw. telah men-taqrîr-kan (membenarkan) sikap sahabat yang menambah bacaan dzikir dalam shalat yang tidak pernah beliau ajarkan. Inilah inti pembuktian kami!
Hadis Keempat:
Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitab Shahihnya, pada bab menggabungkan antara dua surah dalam satu raka’at dari Anas, ia berkata, “Ada seorang dari suku Anshar memimpin shalat di masjid Quba’, setiap kali ia shalat mengawali bacaannya dengan membaca surah Qul Huwa Allahu Ahad sampai selesai kemudian membaca surah lain bersamanya. Demikian pada setiap raka’atnya ia berbuat. Temann-temannya menegurnya, mereka berkata, “Engkau selalu mengawali bacaan dengan surah itu lalu engkau tambah dengan surah lain, jadi sekarang engkau pilih, apakah membaca surah itu saja atau membaca surah lainnya saja.” Ia menjawab, “Aku tidak akan meninggalkan apa yang biasa aku kerjakan. Kalau kalian tidak keberatan aku mau mengimami kalian, kalau tidak carilah orang lain untuk menjadi imam.” Sementara mereka meyakini bahwa orang ini paling layak menjadi imam shalat, akan tetapi mereka keberatan dengan apa yang dilakukan. Ketika mereka mendatangi Nabi saw. mereka melaporkannya. Nabi menegur orang itu seraya bersabda, “hai fulan, apa yang mencegahmu melakukan apa yang diperintahkan teman-temanmu? Apa yang mendorongmu untuk selalu membaca surah itu (Al Ikhlash) pada setiap raka’at? Ia menjawab, “Aku mencintainya.” Maka Nabi saw. bersabda, “Kecintaanmu kepadanya memasukkanmu ke dalam surga.”.
Salam sejahtera atasmu wahai Rasulullah! Jauhlah sikap sempit sebagian kaum yang gemar menuduh bid’ah dari sunnah dan petunjukmu !!
Demikianlah sunnah dan jalan Nabi saw. dalam menyikapi kebaikan dan amal keta’atan walaupun tidak diajarkan secara khusus oleh beliau, akan tetapi selama amalan itu sejalan dengan ajaran kebaikan umum yang beliau bawa maka beliau selalu merestuinya! Jawaban orang tersebut membuktikan motifasi yang mendorongnya melakukan apa yang baik kendati tidak ada perintah khusus dalam masalah itu, akan tetapi ia menyimpulkannya dari dalil umum dianjurkannya berbanyak-banyak berbuat kebajikan selama tidak bertentangan dengan dasar tuntunan khusus dalam syari’at Islam. Kendati demikian, tidak seorangpun dari ulama Islam yang mengatakan bahwa mengawali bacaan dalam shalat dengan surah al Ikhlash kemudian membaca surah lain adalah sunnah yang tetap! Sebab apa yang kontinyu diklakukan Nabi saw. adalah yang seharusnya dipelihara, akan tetapi ia memberikan kaidah umum dan bukti nyata bahwa praktik-prakti seperti itu dalam ragamnya yang bermacam-macam walaupun seakan secara lahiriyah berbeda dengan yang dilakukan Nabi saw. tidak berarti ia bid’ah, seperti yang dituduhkan sebagian “Ahli Fikih setengah matang” selama ia masuk dalam koridor umum kabaikan yang dianjurkan dalam syari’at!
Hadis Kelima:
Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitab at Tauhid dari Ummul Mukminin Aisyah ra. bahwa Nabi sa. Mengutus seorang memimpin sebuah pasukan, selama perjalanan orang itu apabila memimpin shalat membaca surah tertentu kemudian ia menutupnya dengn surah al Ikhlash (Qulhu). Ketika pulang, mereka melaporkannya kepada nabi saw., maka beliau bersabda, “Tanyakan kepadanya, mengapa ia melakukannya?” Ketika mereka bertanya kepadanya, ia menjawab “Sebab surah itu (memuat) sifat ar Rahman (Allah), dan aku suka membacanya.” Lalu Nabi saw. bersabda, “Beritahukan kepadanya bahwa Allah mencintainya.” (Hadis Muttafaqun Alaihi).
Wahai Saudaraku:
Apa yang dilakukan si sahabat itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw., namun kendati demikian beliau membolehkannya dan mendukung pelakuknya dengan mengatakan bahwa Allah mencintainya! Kendati demikian tidak seorang ulama’pun yang menfatwakan disunnahkannya melakukan seperti itu dalam shalat sebab apa yang selalu dilakukan Nabi saw. lebih afhdal, akan tetapi pembenaran (taqrîr) Nabi saw. atas tindakan seperti itu dalam menerima praktik-praktik semisal itu dari berbagai keta’atan dan ibadah memberikan bukti bagi kita bagaimana sunnah dan jalan Nabi saw. dalam menyikapinya. Kita melihat dengan jelas bagaimana Nabi saw. tidak menuduhnya telah berbuat bid’ah dan menentang sunnah beliau dengan mengatakan misalnya, “Barang siapa mengada-ngada dalam urusan (agama) ini apa yang bukan darinya maka ia tertolak.” Atau mengatakan ,” dan sejelek-jelek perkara adalah yang muhdatsat (baru dibuat-buat), dan setiap yang muhdats adalah bid’ah dan setiap yang bid’ah adalah dhalal (kesesatan).
Lima contoh di atas, -seperti Anda saksikan- adalah terkait dengan masalah shalat –ibadah paling sakral dalam ajaran Islam- dan Nabi. saw-pun telah bersabda:
صَلُّوا كما رَاَيْتُمُونِيْ أُصَلِّي.
“Slalatlah sebagaimana kalian meliohatku shalat!”
Sengaja kami sebutkan di sini. Kendati demikian Anda sakiskan bagaimana Nabi saw. menerima adanya penambahan kreasi dari ijtihad para sahabat beliau selama tidak keluar dari bentuk shalat itu sendiri sebagaiaman ditetapkan syari’at. Setiap batasan syari’at dalam shalat harus dijalankan apa adanya, dan pada selainnya, manusia punya keluasan untuk “berkreasi” selama masih terkoridor dalam bingkai anjuran umum yang dibenarkan!
Inilah Sunnah Rasulullah saw. dan jalan yang beliau tempuh. Dan ini sangatlah gamblang, dan darinya para ulama menetapkan sebuah kaidah:
Setiap amalan yang memiliki bukti anjuran umum dalam Syari’at dan tidak berbenturan dengan nash serta tidak menimbulkan mafsadah maka ia tidak masuk dalam batasan ketegori bid’ah, ia adalah bagian dari sunnah walaupun bukan yang paling afdhal!
Dalam ibadah ada yang afdhal dan ada yang kalah afdhal. Dan selama ada dasar umum dalam ibadahnya, maka pelakunya tidak akan dituduh menyimpang dan menjalankan praktik bid’ah kecuali oleh Ahli Fikih setangah Alim setengah Hajil!
Ibnu Taymiah Ternyata Seorang “NU” Juga…! [Fatwa Ibnu Taymiah Tentang Tahlil dll]
Ciri yang khas dari warga Nahdhiyyin adalah tahlilan, membacakan Al Qur’an dan menghadiahkan pahalanya untuk keluarga atau teman atau kaum Muslimin. Hal demikian dikerenakan keyakinan mereka bahwa pahala bacaan dan dzikir yang diniatkan untuk dihadiahkan pahalanya itu sampai kepada si mayyit!
Praktik kaum Nahdhiyyin ini mendapat kecaman tajam dari kaum Salafiyyun alias Wahabi, para pengikut setia Ibnu Taimiah. Mereka menuduhnya sebagai praktik bid’ah yang sesat dan menyesatkan! Tidak pernah disyari’atakan dalam Islam! Dan Anda perlu tahu bahwa Islam sejati dalam pandangan kaum Wahabi adalah apa yang disampaikan Ibnu Taimiah! Apa yang diucapkan Ibnu Taimiah adalah Islam dan apa yang ditolak Ibnu Taimiah bukan dari Islam! Pendek kata, Ibnu Taimiah adalah barometer kebenara Islam!
Sekali lagi, jihad paling digemari kaum Salafiyyun adalah memberantas bid’ah sesat dan menyesatkan, dan tahlilan adalah praktik bid’ah yang sesat dan menyesatkan! Oleh kerena itu, kaum Salafiyyun alias Wahabi, berjuang mati-matian (ndak mati beneran) memberantas dan mengecam tahlilan ala NU. Kaum NU di mata kaum Salafi adalah ahli bid’ah, kuburiyyun (doyan ngalap berkah dari kuburan), maulidiyyun, istighatsiyyun, tawassuliyyun dll.
Pendek kata praktik tahlilan itu bid’ah! Yang melakukannya atau membolehkannya adalah ahli bid’ah…. titik!!!
Setelah ngotot berjuang meberantas tahlilan, eh lakok gletek ternyata Ibnu Taimiah “Syeikhul-Islam”-nya Wahabi doyan tahlilan juga. Kalau begitu Ibnu Taimiah itu NU juga dong?!
Pada suatu kali Ibnu Taimiah ditanya, apakah Pahala bacaan Al Qur’an itu sampai kepada mayyit? Beliau menjawab:
Adapun bacaan di atas kuburan itu dimakruhkan oleh Abu Hanifah, Malik dan dalam salah satu riwayat Ahmad, sementara dalam riwayat beliau lainnya tidak memakruhkannya, ia mengizinkannya kerena telah sampai kepadanya hadis Ibnu Umar bahwa ia berwasiat agar dibacakan pembukaan dan penutup surah al- Baqarah di atas kuburannya. Dan telah diriwayatkan dari sebagian sahabat agar dibacakan surah al Baqarah di atas kuburan mereka.
Adapun bacaan ketika dikuburkan, maka ia telah diriwayatkan, dan adapun setelahnya tidak ada riwayat tentangnya. (Majmû’ Fatâwa,24/298).
Ia juga ditanya, apakah bacaan dan sedekah yang dilakukan seseorang untuk dihadiahkan pahalanya kepada mayyit itu sampai atau tidak? Ia menjawab:
Bacaan dan sedekah dan amal-amal kebajikan lainnya tidak diperselisihkan di antara ulama Ahlusunnah wal Jama’ah bahwa akan sampai pahala amal-amal ibadah mâliah (harta) seperti sedekah dan memerdekakan budak, sebagaimana sampai juga pahala doa dan istighfar, shalat jenazah dan mendoakannay di atas kuburan. Para ulama itu berselisih dalam masalah sampainya pahala amal-amal badainiah seperti puasa, shalat dan bacaaan Al Qur’an. Pendapat yang benar adalah semua pahala amal-amal itu akan sampai. Telah tetap dalam Shahihain (Bukhari & Muslim) dari Nabi saw., “Barang siapa mati dan ia ada tanggungan puasa maka keluarganya berpuasa untuknya.” Dalam hadis lain, “Bahwa Nabi memerintah seorang perempuan yang ditinggal mati ibunya sementara ia mempunyai tanggungan puasa agar si anak itu berpuasa untuk ibunya.”… (Majmû’ Fatâwa,24/366)
Dalam kesempatan lain ia juga ditanya, apakah bacaan keluarga mayyit, tasbihan, tahmidan dan tahlilan serta takbiran (membaca Al Qur’an, subhanallah, Alhamdulillah, Lâ Ilâha Illallah, dan Allahu Akbar) jika dihadiahkan pahalanya untuk si mayyit akan sampai atau tidak? Maka ia menjawab:
“Akan sampai bacaan keluarga; tasbihan, takbiran mereka, dan seluruh jenis dzikir kepada Allah jika dihadiahkan kepada mayit akan sampai.”
Jadi kelihatan jelas bahwa Islamnya Ibnu Taimiah adalah Islamnya NU! Maka jika Nu dikecam sebagai ahli bid’ah yang sesat dan menyesatkan, maka yang pertama harus disesatkan adalah Syeikhul-Islamnya Salafiyyin alias Wahabi itu!
Wahai teman-teman Salafiyyun alias Wahabiyyun, mengapa kalian doyan membid’ahkan kami kalau imam kalian sendiri sama seperti kami… Imam kalian ternyata NU tulen! Kena batu-nya ya sekarang?!
Lagi pula kalian gemar menyanyikan lagu Salaf yang tidak ketahuan pengarangnya… eh ternyata Salafush Sholeh juga doyan tahlilan dan membaca Al Qur’an di atas kuburan! Laah ketahuan kan kalau kalian ini Salafy Gadungan! Jangan-jangan kalian ini Salah Fi (Salah tempat)! Bukan Salafy (pengikut Salaf), atau jangan-jangan Salaf yang dimaksud itu Petrok and Gareng! Bukan sahabat Nabi saw, Ibnu Umar dan kawan-kawan!
FATWA IMAM PANUTAN KAUM WAHABI YANG BERSELISIH DENGAN UMMUL MU’MININ
Syekh Masyhur Hasan salman al-Wahabi: Wanita=Anjing Hitam dan Keledaiy
Sumber: situs salafy-wahabi “al-Menhaj ” http://almenhaj.net/makal.php?linkid=327
Dalam fatwanya, Syekh Masyhur Hasan Salman yang kami kutip dari situs wahabi-salafy “AL-MENHAJ” ditanya apakah anak kecil, atau kambing membatalkan shalat seseorang jika ia lewat di depannya? Ia menjawab bahwa yang membatalkan shalat jika lewat di depat mushalli adalah wanita, anijng hitam dan keledai.
Syekh Masyhur menyamakan posisi wanita dengan anjing hitam dan keledai, sama-sama membatalkan shalat jika lewat di hadapan mushalli (orang yang sedang salat)! Kalau orang laki-laki tidak membatalkan!! Hebatkan? Ikuti fatwa ala ulama wahabi ini!
Soal No 382: Apakah dengan lewatnya seorang wanita, anak kecil atau kambing di hadapan seorang yang sedang shalat akan membatalkan shalatnya, atau shalatnya itu tidak sempurna?
Jawab: Telah tetap dalam hadis Muslim, “Shalat akan terputus dengan lewatnya wanita yang datang bulan, keledai dan anjing berwarna hitam.” Tiga kelompok ini jika lewat dihadapan seorang yang sedang shalat dan menghalanginya maka ia akan memutus shalatnya.. Menurut pendapat paling kuat bahwa ia membatalkan shalat. Ini adalah pendapat Ahmad –rh-. Dan yang dimaksud dengan wanita yang datang bulan adalah wanita yang baligh.
Adapun selain tiga golongan ini, seperti anak kecil, kambim dll, telah disebutkan dari Ibnu Mas’ud bahwa “Ia membatalkan separuh pahala shalat.” Seperti dalam Mushannaf karya Ibnu Abi Syaibah. Ucapan Ibnu Mas’ud ini adalah mauqûf yang dihukumi marfû’, sebab ia termasuk urusan ghaib. Dan Ucapannya ini menguatkan pendapat yang mengatakan batalnya shalat dengan lewatnya seorang wanita baligh, anjing warna hitam atau himar/keledai sebab Nabi telah menyebut mereka secara khusus. Wallahu-a’lam
Jadi berdasarkan fatwa Syekh Masyhur Hasan Salman, ulama dari Sekte Wahhabi tersebut - wanita disamakan dengan keledai dan ajing! sudah anjing tapi bukan sembarang anjing, harus anjing hitam dalam hal sama-sama membatalkan shalat jika ia lewat dihadapan seorang mushalli.
Fatwa luar biasa, semoga wanita-wanita Salafiyât tertarik dengan fatwa Syekh Salman ini yang menyamakan mereka dengan binatang terdungu dan terjelak???!!!
الشيخ مشهور حسن سلمانِ
هل مرور المرأة أو الطفل أو الشاة بين يدي المصلي هل يبطل الصلاة
السؤال 382: هل مرور المرأة أو الطفل أو الشاة بين يدي المصلي هل يبطل الصلاة أم أنها لا تكون على الوجه التام؟
الجواب: ثبت في صحيح مسلم: {يقطع الصلاة ثلاث، المرأة الحائض والحمار والكلب الأسود}، فهذه الأصناف الثلاثة إذا مرت بين المصلي وسترته تقطع صلاته، وعلى أرجح الأقوال أنها تبطلها، وهذا مذهب الإمام أحمد رحمه الله، والمراد بالحائض : البالغ
وأما ما عدا هذه الأصناف كالصبي والشاة وغيرها، فقد صح عن ابن مسعود قوله: ((إنها تنقص نصف أجر الصلاة)) كما في مصنف ابن أبي شيبة، وقول ابن مسعود هذا موقوف له حكم الرفع، لأنه من أمور الغيب، وقوله هذا يقوي القول ببطلان الصلاة بمرور الحائض والكلب الأسود والحمار، لأن النبي صلى الله عليه وسلم، قد خصها بالذكر بشيء خاص، والله أعلم
Ummul mu’minin, Aisyah Istri Nabi saw. Menentang Fatwa Wahhabi
Hadis-hadis Ummul-mukminin Aisyah ra Menentang hadis yang menyamakan wanita dengan anjing dan keledai !!.
Fatwa Syeikh Masyhur Hasan Salman sebenarnya bersandar kepada sebuah hadis yang diatas-namakan junjunag besar Nabi Muhammad saw., sementara itu, ucapan itu ditolak oleh Ummul Mukminin Aisyah ra., istri Nabi saw… Sebagai seorang mufti semestinya ia mengerti hadis itu, yang dari sisi kualitas sanadnya cukup kuat… Riwayat-riwayat yang menyamakan wanita dengan binatang apalagi yang jelek-jelek tampilan rupanya seperti anjing hitam atau terkenal bodoh dan tidak cerdas seperti keledai adalah riwayat-riwayat yahg sangat patut diragukan… Jadi dalam berfatwa jangan kita asal comot riwayat! Mesti dibandingkan dengan riwayat-riwayat lain.
Nah, sekarang kenyataannya bahwa Ummul Mukminin Aisyah ra. Telah menolak dengan keras bahwa Nabi telah bersabda demikian… dan Dalam sebuah riwayat kita diperintah mengambil separoh informasi/ajaran agama dari humairâ’ (panggilan manja Siti Aisyah)… dengan demikian permasalahnnya adalah apakah kita akan mengikuti Syeikh Masyhur Hasan Salman al Wahhabi/ as Salafy atau mengikuti Ummul Mukminin Aisyah ra.?! Apakah Syeikh Masyhur Hasan Salman al Wahhabi/ as Salafy lebih pandai dari Ummul Mukminin Aisyah ra.?!
Bukankah Salafy mengklaim sebagai pengikut sejati para Salafush Shaleh? Mengapa sekarang meninggalkan dan mencampakkan Salafush Shaleh?!
Di bawah ini kami akan sebutkan beberapa kutipan hadis Ummul Mukminin Aisyah ra. yang telah diriwayatkan para ahli hadis.
(Semua Hadis Shahih Muslim dibawah ini kami kutip dari situs wahabi/salafy “al-Menhaj” yang memuat fatwa Syekh Masyhur Hasan Salman tersebut:
http://almenhaj.net/Ketab-Alhadeeth.php?catid=131&page=250&limit=25 )
Hadis 1.
Sumber: Shahih Muslim http://almenhaj.net/Show-Hadeeth.php?linkid=9919
سند الحديث
(512) حدثنا إسحاق بن إبراهيم. أخبرنا جرير عن منصور، عن إبراهيم، عن الأسود، عن عائشة؛ قالت:
متن الحديث
عدلتمونا بالكلاب والحمر.
لقد رأيتني مضطجعة على السرير. فيجيء رسول الله صلى الله عليه وسلم فيتوسط السرير. فيصلي. فأكره أن أسنحه. فأنسل من قبل رجلي السرير. حتى أنسل من لحافي.
Dari …. Aswad dari Aisyah, ia berkata, “Apakah kalian menyamakan kami (para wanita) dengan anjing-anjing dan keladai-keledai?!
Aku berbaring di atas ranjang, lalu datanglah Rasulullah saw. dan menengai ranjang lalu shalat, maka aku tidak ingin melintanginya lalu aku menarik diri dari sisi kaki ranjang sehingga aku menarik selimutku.
____________
Hadis 2-
Sumber: Shahih Muslim http://almenhaj.net/Show-Hadeeth.php?linkid=9917
سند الحديث
(512) وحدثني عمرو بن علي. حدثنا محمد بن جعفر. حدثنا شعبة عن أبي بكر بن حفص، عن عروة بن الزبير؛ قال: قالت عائشة:
متن الحديث
ما يقطع الصلاة؟ قال فقلنا: المرأة والحمار. فقالت: إن المرأة لدابة سوء! لقد رأيتني بين يدي رسول الله صلى الله عليه وسلم معترضة، كاعتراض الجنازة، وهو يصلي.
Dari … Urwah ibn Zubair, ia berkata, “Aisyah berkata: ‘Apa yang membatalkan shalat seorang?, Ia (urwah) berkata, ‘Wanita dan keledai.’ Maka Aisyah berkata, ‘[kalau begitu] Sesungguhnya wanita adalah binatang jelek! Aku benar-benar berada di hadapan Rasulullah saw. melintang seperti seorang jenazah yang melintang, dan beliau tetap [melanjutkan] shalat.
___________
Hadis 3
Sumber: Shahih Muslim http://almenhaj.net/Show-Hadeeth.php?linkid=9918
(512) حدثنا عمرو الناقد وأبو سعيد الأشج. قالا: حدثنا حفص بن غياث. ح قال وحدثنا عمر بن حفص بن غياث (واللفظ له) حدثنا أبي. حدثنا الأعمش. حدثني إبراهيم عن الأسود، عن عائشة.
متن الحديث
قال الأعمش: وحدثني مسلم عن مسروق عن عائشة. وذكر عندها ما يقطع الصلاة. الكلب والحمار والمرأة. فقالت عائشة: قد شبهتمونا بالحمير والكلاب. والله! لقد رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي وإني على السرير. بينه وبين القبلة مضطجعة. فتبدو لي الحاجة. فأكره أن أجلس فأوذي رسول الله صلى الله عليه وسلم. فأنسل من عند رجليه.
Dari … Masrûq dari Aisyah:, “Disebut-sebut di hadapan Aisyah bahwa yang membatalkan shalat adalah anjing, keledai dan wanita, maka Asiyah berkata, “Kalian telah menyamakan kami (kaum wanita) dengan keledai-keledai dan anjing-anjing. Demi Allah aku menyaksikan Rasulullah saw. sedang shalat dan ketika itu aku berada di atas ranjangku tepat diantara beliau dan arah kiblat, aku sedang terlentang, lalu aku butuh sesuatu, aku tidak ingin bangun khawatir menggangu Rasulullah saw., lalu aku menarik dari sisi kedua kaki beliau.”
__________________
Hadis 4.
Sumber: Shahih Muslim http://almenhaj.net/Show-Hadeeth.php?linkid=9915
سند الحديث
(512) حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة وعمرو الناقد وزهير بن حرب.قالوا:حدثنا سفيان بن عيينة عن الزهري، عن عروة، عن عائشة؛
متن الحديث
أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يصلي من الليل. وأنا معترضة بينه وبين القبلة. كاعتراض الجنازة.
Sesungguhnya Nabi saw. shalat malam, dan aku melintangi antara beliau dan arah kiblat seperti seorang nejazah.
_____________
Hadis 5
Sumber: Shahih Muslim http://almenhaj.net/Show-Hadeeth.php?linkid=9920
سند الحديث
512) حدثنا يحيى بن يحيى. قال: قرأت على مالك عن أبي النضر، عن أبي سلمة بن عبدالرحمن، عن عائشة؛ قالت:
متن الحديث
كنت أنام بين يدي رسول الله صلى الله عليه وسلم. ورجلاي في قبلته. فإذا سجد غمزني فقبضت رجلي. وإذا قام بسطتهما. قالت، والبيوت يومئذ ليس فيها مصابيح.
Aisyah berkata, “aku tidur di hadapan Rasulullah saw. dan kedua kakiku menjulur ke arah kiblat, maka apabila beliaun sujud beliau menggoyangkan kakiku maka aku tarik kedua kakiku, dan apabila beliau berdiri aku julurkan.” Asiyah berkata, “dan ketika itu rumah tidak ada lampunya.
Jadi dimana kita temukan dalam praktik Nabi saw. tersebut yang menerangkan bahwa melintangnya seorang wanita dapat membatalkan shalat?
Konflik WAHABI vs WAHABI (1)
Teguran (Tahzir) Syaikh DR. Bakr Abdullah Abu Zaid Pada Syaikh Robi
Teguran (Tahzir) Syaikh DR. Bakr Abdullah Abu Zaid Pada Syaikh Robi
Setelah menulis buku yang penuh tuduhan dan caci maki terhadap Asy-Syahid Sayyid Quthub yang berjudul, “Adhwa` Islamiyyah ‘Ala ‘Aqidati Sayyid Quthb wa Fikrih,” Syaikh Robi’ bin Hadi bin Umair Al-Madkholi meminta Syaikh DR. Bakr bin Abdillah Abu Zaid (anggota Hay`ah Kibar Al-‘Ulama di Saudi dan anggota Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah wal Ifta`) untuk memberikan kata pengantar bagi buku beliau tersebut. Namun, di luar dugaan, sebagai seorang ulama besar yang bijak dan berpengetahuan luas, Syaikh Bakr Abu Zaid dengan halus menolak memberikan kata pengantarnya.
Lalu, Syaikh Bakr pun menulis surat atau risalah kecil yang beliau beri judul “Al-Khithab Adz-Dzahabi” (surat emas) yang beliau tujukan kepada Syaikh Robi’. Di bawah ini adalah sebagian di antara yang beliau katakan dalam surat emas tersebut :
- Syaikh Bakr Abu Zaid berkata, “Dan di antara daftar isi tertulis ‘Perkataan Sayyid Quthub tentang Khalqul Qur`an dan Bahwa Kalam Allah adalah Ibarat dari Suatu Kehendak’… Akan tetapi, ketika saya membaca halaman-halaman yang disebutkan, saya tidak mendapatkan satu huruf pun yang di dalamnya menunjukkan bahwa Sayyid Quthub rahimahullahu Ta’ala mengatakan Al-Qur`an itu makhluk. Kenapa begitu mudahnya Anda melemparkan tuduhan takfir ini?”
- Syaikh Bakr Abu Zaid berkata, “Sungguh bergidik bulu kuduk saya ketika saya membaca daftar isi buku Anda, dimana tertera “Sayyid Quthub Membolehkan Orang Lain Selain Allah Untuk Membuat Syari’at.” Maka, saya pun segera membaca semua perkataan Sayyid dalam bukunya “Al-‘Adalah Al-Ijtima’iyyah,” dimana engkau menukil perkataannya; namun ternyata apa yang dikatakannya tidak layak untuk diberi judul yang sensasional seperti yang engkau lakukan. Taruhlah apa yang dikatakannya terdapat ibarat yang masih samar maknanya, tapi bagaimana engkau bisa mengubahnya menjadi sesuatu yang mengafirkan? Engkau telah melenyapkan semua kebaikan yang telah dibangun oleh Sayyid Rahimahullah sepanjang hidupnya dan juga segala yang ditulis oleh pena-nya dalam rangka dakwah kepada Allah Ta’ala dalam masalah hukum dan syariat, dimana beliau menolak undang-undang buatan manusia serta berdiri tegak menentang kemungkaran ini.”
- Syaikh Bakr Abu Zaid berkata, “Di antara judul dalam daftar isi buku Anda juga tertulis, “Perkataan Sayyid tentang Kemakhlukan Al-Qur`an dan Bahwasanya Kalam Allah Adalah Ibarat dari Kehendak.” Akan tetapi, setelah saya baca halaman demi halaman yang disebutkan, ternyata saya tidak menemukan satu huruf pun yang menegaskan bahwa Sayyid Quthub Rahimahullah Ta’ala telah mengucapkan perkataan ini. Bagaimana engkau bisa semudah ini melemparkan tuduhan kafir kepada orang lain?!”
- Syaikh Bakr Abu Zaid juga berkata, “Dari segi bahasa yang digunakan, jika dibandingkan antara gaya bahasa buku Anda dan gaya bahasa (uslub) yang dipakai Sayyid Quthub Rahimahullah, maka ada ketimpangan di sana. Jika dilihat dari sisi Anda, maka gaya bahasa Anda seperti gaya bahasa anak i’dadi (persiapan bahasa pra sekolah) yang tidak sebanding dengan gaya bahasa seorang mahasiswa (maksudnya’ Sayyid Quthub) yang telah mendapatkan penghargaan tinggi tingkat internasional. Jadi, dalam hal ini, seharusnya ada kesepadanan kemampuan dalam ilmu sastra, kemampuan dalam balaghah, ilmu bayan, dan keindahan pemaparan dalam tulisan. Kalau tidak (maksudnya kalau tidak seimbang antara kemampuan bahasa Robi’ Al-Madkhali dan Sayyid Quthb), maka hancurkan saja pena Anda.
Di akhir surat, Syaikh DR. Bakr Abdullah Abu Zaid bepesan kepada Robi’ Al-Madkholi, “Dan pada penutup surat ini, sesungguhnya saya menasehatkan kepada Saudaraku yang terhormat fillah, agar mencabut percetakan buku “Adhwa` Islamiyyah.” Sesungguhnya, buku ini tidak boleh diterbitkan dan diedarkan, karena di dalamnya terdapat pelecehan yang amat berat dan pengaruh yang sangat besar terhadap para pemuda umat ini untuk terjerumus ke dalam perbuatan mencela ulama, mendiskreditkan ulama, meremehkan kemampuan mereka, dan melalaikan segala keutamaan mereka. Dan, maafkanlah saya –semoga Allah memberi berkah kepada Anda– jika saya agak keras dalam menggunakan istilah. Hal ini tak lain karena saya melihat pelecehan Anda yang sangat berat, dan karena rasa sayang saya kepada Anda, juga dikarenakan keinginan Anda yang begitu menggebu untuk mengetahui apa pendapat saya tentang buku Anda tersebut… Maka, pena saya pun menuliskannya sebagaimana yang telah lalu. Semoga Allah memberikan kebaikan kepada apa yang telah saya tulis dan kepada semuanya.” (Amin).
Konflik WAHABI vs WAHABi (2)
PELECEHAN SYAIKH ROBI TERHADAP SYAIKH DR. BAKR ABDULLAH ABU ZAID
Pengantar:
Dikarenakan konsep Salafy/wahaby yang tidak jelas atau kabur maka sekarang tidak cukup mereka meyalahkan kelompok ummat Islam yang tidak sepaham, fenomena saling hujat diantara sesama kelompok salafy/wahaby telah merambah bumi Indonesia tercinta ini juga. dalam “tag” salafy vs salafy. kita akan menyorot pertentangan diantara mereka. kita mulai dengan posting dibawah ini:
PELECEHAN SYAIKH ROBI TERHADAP SYAIKH DR. BAKR ABDULLAH ABU ZAID
Tidak terima dikritik dengan “surat emas” dari Syaikh DR. Bakr bin Abdillah Abu Zaid, maka syekh robi’ pun menulis sebuah buku khusus yang membantah Syaikh Bakr, yg notabene adalah anggota Hay`ah Kibar Ulama dan Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-’Ilmiyyah wal Ifta`. buku tersebut berjudul, “Al-Hadd Al-Fashil Bainal Haqqi wal Bathil… Hiwar Ma’a Asy-Syaikh Bakr Abi Zaid.”
Demikian di antara pelecehan syekh robi’ terhadap ulama besar sekelas Syaikh Bakr Abu Zaid hafizhahullah :
- Sesungguhnya masalah yang dihadapi oleh dia (Syaikh Bakr) adalah masalah setiap orang yang menolong kebatilan dan pembelanya. (hlm. 7)
- Sesungguhnya dia (Syaikh Bakr) membuat yang haq menjadi batil, yang batil menjadi haq, yang jelek jadi baik, dan yang baik jadi jelek. (hlm. 16)
- Sesungguhnya dia (Syaikh Bakr) itu berjuang dan membela kebatilan beserta para pendukungnya dengan sangat gigih dan keras. (hlm. 34)
Ini baru sebagian.
dan ini di antara daftar isi bukunya :
- Perlawanan Syaikh Bakr yang Tidak Pada Tempatnya dan Tuduhannya Adalah Batil (hlm. 16)
- Surat Emas Syaikh Bakr Itulah yang Kehilangan Prinsip Metodologi Ilmiah (hlm. 42)
- Tidak Konsistennya Syaikh Bakr dengan Manhaj Naqd (hlm. 55)
- Syaikh Bakr; Antara Sikap Berlebihan dan Terlalu Menyepelekan (hlm. 130)
- dll.
Yah… beginilah sekilas teladan dari syaikh robi’ bin hadi al-madkholi terhadap seorang ulama besar yang dimuliakan dan terhormat. jadi, jangan heran kalo para pengikutnya juga demikian…
(sumber: assunnah.jeeran.com)
dikutip dari: Blog “Da’wah Salafy Indonesia”
Konflik WAHABI vs WAHABI (3)
Risalah Membawa Masalah (Salafy vs Salafy)
Fenomena perseteruan antara sesama wahabi/salafi kayaknya semakin seru, entah mana yang lebih ekstrim atau moderat, mana yang kelompok takfiri mana yang bukan wallahu a’alm, kayaknya semua sama saja, hal ini karena sifat mereka semua terhadap kelompok diluar mereka sama-sama kaku, keras dan merasa paling benar sendiri, seakan-akan sudah mendapat wewenang langsung dari Allah SWT. atau Rasul saw untuk menilai dan menyetempel kelompok diluar mereka bid’ah dan sesat. Cuman yang menarik sekarang adalah klaim pensesatan, pengkafiran terjadi diantara sesama mereka sendiri.
Dalam posting dibawah ini marilah kita lihat pertikaian diantara mereka, satu sama lain merasa paling “salaf”, atau paling murni wahabi dan salafi-nya, berikut penuturan Majalah Gatra, nomor 30 Beredar Kamis, 7 Juni 2007 :
________________
Salafi
Risalah Membawa Masalah
Sedikitnya 70 jamaah dari Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Lajnah Perwakilan Daerah (LPD) Surakarta mendatangi Masjid Ibnu Taimiyyah. Kedatangan mereka ke masjid yang berada di kompleks Pondok Pesantren Daarus Salafi, kawasan Cemani, Grogol, Sukoharjo, Jawa Tengah, itu guna memprotes pengajian yang diselenggarakan pada pagi harinya. Pihak pengurus masjid dituding telah mendiskreditkan majalah Risalah Mujahidin, yang diterbitkan oleh MMI.
Sebelum pengajian digelar, sejumlah selebaran beredar di tengah-tengah masyarakat. Isinya, menurut juru bicara MMI LPD Surakarta, Adi Basuki, membuat panas-dingin komunitas MMI. Di antaranya, “Membongkar Kedustaan Risalah Mujahidin“. Adi dan jamaah MMI meminta diadakan debat terbuka saja, bukan menghakimi secara sepihak. “Tapi mereka tak mengindahkan permintaan kami,” tutur Adi.
Karena merasa tak mendapat tanggapan, Adi dan teman-temannya melaporkan kasus pencemaran nama baik itu ke polisi. Kemarahan jamaah MMI juga dipicu oleh pembicara dalam pengajian Senin pagi itu, Abu Karimah Asykary. Selain menyinggung Risalah Mujahidin, Abu Karimah juga menghujat Amir MMI, Ustad Abu Bakar Ba’asyir.
Ihwal kelompok salafi menghujat, karena di edisi 7 yang terbit bulan April itu, di halaman 42, Risalah Mujahidin menurunkan judul berita “Mengenal Agen Mossad dalam Gerakan Islam”. Isinya memuat wawancara dengan seorang agen Israel yang ditangkap Pemerintah Palestina. Dalam pengakuannya, sang agen mengatakan bahwa orang-orang salafi telah dapat mereka peralat. Antara lain dengan menerbitkan buku-buku yang menimbulkan fitnah dan perpecahan di kalangan umat Islam. Isi wawancara itu mengutip dari hidayatullah.com.
“Bagi kami, tuduhan itu bukan permasalahan yang simpel,” kata Ayip Syaifuddin, pengajar Pesantren Daarus Salafi. Bagi Ayip, secara keseluruhan, isi Risalah Mujahidin itu mengandung pemikiran-pemikiran berbahaya. “Membuat pemikiran umat terkacaukan, terutama dalam menyikapi hubungan dengan pemerintah dan sesama muslim,” ujar Ayip.
Tidak ditanggapinya permintaan untuk debat terbuka, menurut Ayip, karena tidak ada manfaatnya. “Kalau berdebat, standardisasi pemikiran mereka berbeda dengan pemikiran kami, tidak akan medapatkan titik temu, kecuali mereka mendapatkan hidayah,” katanya.
Tapi Irfan S. Awwas, Ketua Lajnah Tanfidziah MMI –yang juga Pemimpin Umum Risalah Mujahidin– punya penilaian lain tentang penolakan atas debat terbuka tersebut. “Itu berarti kelompok tersebut tidak ingin penyelesaian perkara secara damai,” kata Irfan. Dalam pandangan Irfan, semua umat Islam itu juga seorang salafi. “Jadi, kalau menganggap pihak lain bukan salafi, itu sebuah kejahatan. Berarti dia mengafirkan pihak lain yang tidak sependapat,” ia menjelaskan.
Majalah Risalah Mujahidin, menurut Irfan, diterbitkan sebagai bagian dari sarana untuk sosialisasi syariah Islam di kalangan MMI. “Juga untuk pencerahan pemikiran umat Islam dalam menumbuhkan semangat bersyariah,” ujar Irfan. Isinya pun beragam, dari berita politik yang juga bersinggungan dengan Islam sampai soal bagaimana mengatur kehidupan negara ataupun keluarga. “Kami juga membedah gerakan organisasi Islam yang sesuai syariah Islam maupun yang sebaliknya,” ia menguraikan.
Perseteruan antara pihak salafi eks Laskar Jihad dan MMI bukan kali pertama terjadi. Sebelumnya, terbit buku bertitel Mereka Adalah Teroris yang ditulis Al-Ustad Luqman bin Muhammad Ba’abduh, mantan Wakil Panglima Laskar Jihad. Buku yang terbit tahun 2005 itu ditujukan untuk menanggapi buku Imam Samudra berjudul Aku Melawan Terorisme. Rupanya, tidak hanya Imam yang diserang, sejumlah tokoh Islam, baik dari dalam maupun luar negeri, ikut-ikutan jadi sasaran.
Ustad Abu Bakar Ba’asyir, misalnya, dituding sebagai sindikat teroris. Sedangkan mantan Panglima Laskar Jihad, Ustad Ja’far Umar Thalib, disebut sebagai sosok yang bergaul dengan ahli bid’ah karena ikut mengisi acara zikir Ustad Muhammad Arifin Ilham. Karena amirnya dicemarkan, pihak MMI pernah mengajak debat Luqman. “Tapi yang bersangkutan tak pernah nongol,” tutur Fauzan al-Anshari, Ketua Departemen Data dan Informasi MMI.
Sebagai tanggapan, keluarlah buku Siapa Teroris? Siapa Khawarij?, yang ditulis Abduh Zulfidar Akaha, tahun 2006. Buku ini secara akademis cukup dipujikan karena mampu membantah setiap argumentasi yang dijadikan landasan oleh Luqman. Abduh Zulfidar menulis dengan bahasa yang cukup santun dan ditopang dengan rujukan kitab yang cukup memadai. Sebuah modal awal yang baik untuk dilakukan dialog antara komunitas eks Laskar Jihad dan MMI.
Herry Mohammad, dan Mukhlison S. Widodo (Solo)
[Agama, Gatra Nomor 30 Beredar Kamis, 7 Juni 2007]
Salafy dan Salafy (WAHABI) Saling Menohok dan Menghujat!
Salafy dan Salafy Saling Menohok dan Menghujat!
Sepertinya perseteruan dan perpecahan antar salafy semakin memanas saja, dan ini baru namanya adil masak hanya umat Islam diluar kelompoknya saja yang jadi sasaran pensesatan dan pengkafiran mereka, iya kan? kali ini mereka bagi-bagi jatah “pensesatan” dan “pengkafiran” atau tuduhan “khawarij” antar sesama mereka.
Mari kita lihat Perseteruan antara kelompok Jakfar Umar Thalib dan kelompok Fauzan Al-Anshari (MMI) yang nota bene sama-sama salafy dan wahabinya, mereka saling hujat dan saling klaim mana yang paling salaf dan yang benar.
Anehnya kelompok Jakfar yang menghujat atau meyalahkan kelompok Fauzan, Jakfar-pun difatwa sesat oleh kelompok salafy yang lain (Baca fatwa tentang Jakfar Umar Thalib yang dimuat “salafy.or.id” disini “Ja’far Umar Thalib telah meninggalkan kita…”).
Jadi mana yang paling Salafy nih? Walhasil kita ikuti saja hujat-menghujat diantara mereka! Dibawah ini akan kami muat bantahan Fauzan Al-Anshari terhadap Jakfar Umar Thalib. Sementara tulisan Jakfar Umar Thalib yang menohok Fauzan dan MMI kami muat juga dibawahnya.
________________________
Siapa Salafi?
Kolom bertitel “Salafi Mesti Berani” tulisan Ja’far Umar Thalib (JUT), yang dimuat majalah Gatra edisi 20 Juni lalu, menarik dicermati. Poinnya, JUT merasa jengah ketika laskar Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) melabrak tempat pengajian kelompok salafi di Grogol, Sukoharjo, Jawa Tengah. Pengajian yang mestinya membawa kesejukan itu berubah mencaci maki MMI dan mengkhawarijkan amirnya, Ustad Abu Bakar Ba’asyir.
Kelompok salafi di Grogol itu memprotes berita yang dimuat majalah Risalah Mujahidin (RM) edisi 7 (April 2007) halaman 42, berjudul “Mengenal Agen Mossad dalam Gerakan Islam”. Berita itu dianggap melecehkan kelompok salafi. Itulah klaim Ayip Syaifuddin, pengajar Pesantren Daarus Salafi dan Abu Karimah Asykary yang bertindak sebagai penceramah acara “Membongkar Kedustaan Risalah Mujahidin”.
Sebenarnya ada dua hal yang secara substansi perlu mendapat tanggapan. Pertama, dalam memahami makna salafi. Imam Tirmidzi meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, “Wajib atasmu mengikuti sunahku dan sunah khulafaur-rasyidin al-mahdiyin….” Imam Muslim dan Bukhari juga meriwayatkan hadis yang bersumber dari Abdullah bin Mas’ud, “Sebaik-baiknya zaman bagi kalian adalah zamanku ini, kemudian selanjutnya zaman yang mengikuti mereka, kemudian selanjutnya lagi zaman yang mengikuti mereka.” Salafiyah terkait dengan kualitas ahl salaf atau salafush-shalih (generasi terdahulu yang salih) melekat dengan kehidupan para sahabat, tabi’in, dan tabi’it-tabi’in.
Jadi, salafush-shalih adalah para sahabat RA dan siapa saja yang mengikuti cara dan jalan mereka di antara para tabi’in yang mengikuti mereka pada tiga abad masa Islam yang pertama, yang telah disaksikan kebaikan mereka. Namun tidak ada satu pun nash yang membolehkan kita memutlakkan diri sendiri sebagai yang paling salafi, karena sifat-sifat kita belum teruji. Misalnya dengan membuat Yayasan Ihya as-Sunnah, Ihya at-Turats, Ihya as-Salafi, dan Daarus-Salafi belum tentu salafi. Adalah Abdullah bin Mas’ud pernah berujar, “Jamaah adalah apa yang sesuai dengan kebenaran, walau engkau seorang diri.”
Kedua, definisi khawarij. Dalam sejarahnya, kaum khawarij adalah mereka yang tidak terima dengan keputusan Khalifah Ali RA berdamai (tahkim) dengan Muawiyah. Kemudian khawarij membunuh Ali RA. Sekarang istilah khawarij itu oleh JUT ditujukan kepada siapa pun yang dianggap tidak loyal kepada pemerintah yang sah. Dalam konteks Indonesia, siapa pun yang tidak patuh kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) masuk dalam kategori khawarij. Alasannya, karena SBY-JK adalah ulil amri, pemerintah Islam. Walau tidak menerapkan hukum Islam, mereka masih salat, maka harus ditaati.
Lalu, bagaimana dengan ulah JUT sendiri yang pada tahun 2000 meminta izin pada Presiden Abdurrahman Wahid untuk berjihad ke Ambon dan tidak diperbolehkan, tetapi JUT dan Laskar Jihad-nya nekat berangkat ke Ambon? Bukankah itu tindakan khawarij?
Kalau mengikuti logika tersebut, maka Ibnu Taimiyah adalah khawarij. Ini karena Ibnu Taimiyah menentang pemerintah penjajah Holako yang berhasil menguasai Irak pada masa khilafah Abbasiyah. Holako itu muslim, bahkan memberi kebebasan pada rakyat Irak untuk bersyariat Islam, tetapi justru diperangi oleh Imam Ibnu Taimiyah, sehingga beliau dipenjara di Damaskus sampai menjemput syahidnya.
Begitu juga dengan Muhammad bin Abdul Wahhab yang membangkang (bughat) dari kekhilafahan Turki Utsmani, lalu mendirikan Kerajaan Arab Saudi sekarang, bersama keluarga Ibnu Saud. Mengapa JUT dan kelompok salafinya tidak berani mengkhawarijkan kedua imam salafush-shalih tersebut? JUT hanya berani menempatkan Ustad Abu Bakar Ba’asyir sebagai khawarij, bahkan menyebutnya sebagai teroris bersama para tersangka teroris yang ditangkap Densus 88.
Jika logika JUT ini dilanjutkan, maka yang tergolong teroris daftarnya akan cukup panjang dan mengejutkan. Hal ini sudah dilakukan oleh Luqman Ba’abduh, mantan Wakil Panglima Laskar Jihad. Dalam pandangan Luqman, yang tergolong teroris adalah mereka yang dikenal umat Islam pada umumnya sebagai mujahid, seperti Syekh Ahmad Yasin, Rantisi, Hassan al-Banna, Sayyid Qutb, Khattab, Abdullah Azzam, Zarqawi, serta para syuhada lainnya.
Pertanyaan berikutnya, apakah Osama bin Laden, Ayman Zawahiri, Omar Abdurrahman, Al-Muhajeer, Kholid Misy’al adalah teroris? Apa pula argumen yang dibangun dalam memvonis mereka sebagai teroris?
Karena itu, apa yang ditulis JUT di Gatra dengan titel “Salafi Mesti Berani” itu betul. Jangan cuma berani bicara di majelisnya sendiri. Dialog terbuka untuk mengkaji definisi, metode, dan amaliah salafi perlu digelar. Mengklaim sebagai salafi, sementara metode dakwahnya jauh dari kesejukan, hanya akan membuat umat menjadi bingung.
Dengan adanya dialog itu, selain mengurangi fitnah antarkomunitas, umat akan mendapatkan pencerahan. Siapa salafi yang sebenarnya, umatlah yang akan menilainya.
Fauzan Al-Anshari
Mantan Pemred Risalah Mujahidin
[Kolom, Gatra Nomor 34 Beredar Kamis, 5 Juli 2007]
SUMBER: Gatra Nomor 34, 5 Juli 2007
_______________________________________________
Dibawah ini Tulisan Jakfar Umar Thalib yang menohok Fauzan (MMI), juga dimuat majalah Gatra Nomor 31 Beredar Kamis, 14 Juni 2007
Salafi Mesti Berani
Gatra pekan lalu memuat berita yang berkaitan dengan komunitas salafi. Sebagai penganjur kepada pemahaman salafiyah, saya tersengat dengan pemberitaan tersebut. Menurut berita tersebut, yang “diserang” adalah mereka yang mengibarkan bendera salafiyah. Sedangkan “penyerang”-nya adalah komunitas yang menamakan diri Majelis Mujahidin Indonesia (MMI).
Komunitas MMI tidak terima ketika anak-anak muda salafiyah menggelar kajian untuk menjawab pemberitaan di majalah Risalah Mujahidin terbitan MMI. Pemberitaan di majalah tersebut berisi gosip yang riwayatnya bersumber dari seorang Yahudi sebagai rawi majhul (narasumber tak dikenal). Rawi majhul dari kalangan Yahudi tersebut sangat dipercaya beritanya oleh MMI, sehingga diberitakan dalam majalah mereka.
Dalam Risalah Mujahidin disebutkan, “Orang-orang salafi telah dapat diperalat oleh Yahudi.” Sementara itu, anak-anak muda salafiyah itu terbakar kecemburuannya dan merasa berhak menjawab gosip yang menggiring pada opini bahwa orang-orang salafi diperalat oleh Yahudi.
Komunitas MMI dengan enteng memberitakan bahwa orang-orang salafi telah diperalat oleh Yahudi, yang notabene adalah vonis sepihak tanpa pengadilan in absentia sekalipun. Namun, ketika berita itu dibantah dalam majelis yang khusus diadakan untuk menolak vonis tersebut, serta-merta komunitas ini beraksi (di depan liputan media) dan menuduh majelis anak-anak muda salafiyah yang mendiskreditkan majalah Risalah Mujahidin.
Atas kejadian itu, tampaknya syariat MMI mengajarkan: menuduh dan memvonis orang lain itu boleh-boleh saja asal dalam rangka perjuangan menegakkan syariat. Tapi, kalau ada orang lain yang membantahnya, itu berarti mendiskreditkan perjuangan Mujahidin Indonesia.
Sikap demikianlah yang menyeret mereka terus berbenturan dengan umat Islam yang ada di kalangan pemerintahan, bahkan dengan umat Islam lainnya yang dinilai akan menghalangi perjuangan mereka. Dan benturan itu akan lebih mudah tersulut bila mereka dibakar api hizbiyah (fanatisme kelompok berdasar hawa nafsu) yang menitahkan: pejuang penegakan syariat Islamiyah itu hanyalah Abu Bakar Ba’asyir dan pengikutnya. Maka, yang menentang orang ini dan pengikutnya berarti menentang perjuangan menegakkan syariat Islamiyah. Siapa yang menentang perjuangan ini harus dianggap musuh Islam, minimal dianggap sebagai kaki tangan musuh, atau sebagai orang yang diperalat oleh musuh Islam.
Bila kita memahami firman hizbiyah yang sangat bombastis tersebut, dengan mudah dipahami mengapa majalah dan sikap mereka sangat agitatif terhadap siapa pun yang berada di luar komunitasnya. Pertanyaannya, mengapa mereka hanya berkutat di sirkuit politik praktis? Isu yang selalu disuarakan dalam retorika politik mereka, “berjuang menegakkan syariat”, ternyata hampir sepenuhnya dilagakan di sirkuit ini.
Padahal, bukankah bersikap adil terhadap lawan dan kawan adalah inti penegakan syariat Islamiyah (lihat: Q.S. Al-Maidah: 8)? Bukankah berkata benar adalah inti akhlak yang menjadi landasan bagi penegakan syariat Islamiyah (lihat: Q.S. An-Nisa’: 58)? Bukankah mengikhlaskan segala pengamalan agama itu semata-mata untuk Allah Ta’ala, tanpa pretensi politik apa pun atau kepentingan dunia yang mana pun (Q.S. Al-Bayyinah: 5)? Mengapa kepentingan mendidik umat Islam untuk bersikap ikhlas bagi Allah Ta’ala sulit dimengerti dalam kiprah mereka yang selalu tabrak lari dalam berbagai kasus berdarah?
Mengapa kepentingan mendidik umat Islam untuk jujur dan berkata benar sulit dipahami dalam aksi tebar gosip yang selalu mereka kiprahkan? Mengapa kepentingan mendidik umat untuk bersikap adil terhadap lawan dan kawan amat sulit dipahami dalam tampilan mereka sebagai lambang perlawanan terhadap penguasa?
Adapun anak-anak muda salafiyah mestinya berani di jalan Allah Ta’ala. Sebab Salafus Shaleh (yaitu Nabi Muhammad Salallahu Alaihi wa Aalihi Wassalam dan para sahabatnya), yang menjadi panutan kita, adalah imamnya para pemberani. Mereka adalah macan yang mengaum, bukan ayam yang mengaum. Jika ayam mencoba untuk mengaum, baru didatangi ayam-ayam yang lainnya sudah keder dan ganti berkotek. Ia tak bisa mengaum lagi. Nabi Muhammad Salallahu Alaihi wa Aalihi Wassalam dan para sahabatnya adalah contoh para pemberani di jalan Allah dan tidak takut cercaan si pencerca di mana pun dan kapan pun.
Semua orang selain Nabi Muhammad Salallahu Alaihi wa Aalihi Wassalam pantas untuk dikritik. Karena itu, janganlah takut mengkritik Ja’far Umar Thalib atau Abu Bakar Ba’asyir, ataupun diri-diri kalian sendiri, di mana dan kapan pun. Jangan takut mengkritik bila kritik itu diperlukan dalam mendidik umat agar bisa mengontrol semua perbuatannya dengan Al-Quran dan as-sunnah. Dan bila kritik itu dalam rangka mendidik keikhlasan ber-Islam untuk Allah semata. Karena itu, jadi salafi mesti berani.
Ja’far Umar Thalib
Pengasuh Pondok Pesantren Ihya’ as-Sunnah, Yogyakarta
[Kolom, Gatra Nomor 31 Beredar Kamis, 14 Juni 2007]
Kelompok Salafy (WAHABI), Paling Tidak, Ikutilah Jalan yang Telah Ditempuh Jakfar Umar Thalib !!!
Seorang muslim manapun sebenarnya sedikit-banyak memiliki kadar kesalafian dalam dirinya meskipun ia tidak pernah menggembar-gemborkan pengakuan bahwa ia seorang salafi. Sebagaimana juga pengakuan kesalafian seseorang juga tidak pernah dapat menjadi jaminan bahwa ia benar-benar mengikuti jejak para al-Salaf al-Shalih, dan –menurut penulis- ini sama persis dengan pengakuan kemusliman siapapun yang terkadang lebih sering berhenti pada taraf pengakuan belaka. Jakfar Umar Thalib (eks panglima Laskar Jihad) dalam pengakuan akan kesalahannya mengatakan: “Sayapun sempat menganggap bahwa mayoritas kaum muslimin adalah Ahlul Bid’ah dan harus disikapi sebagai Ahlul Bid’ah. Maka tampaklah Dakwah Salafiyyah yang saya perjuangkan menjadi terkucil, kaku dan keras. Saya telah salah paham dengan apa yang saya pelajari dari kitab-kitab para Ulama’ tersebut di atas tentang sikap Ahlul Bid’ah. Saya sangka Ahlul Bid’ah itu ialah semua orang yang menjalankan bid’ah secara mutlak…”
——————————————————————–
Kelompok Salafy, Paling Tidak, Ikutilah Jalan yang Ditempuh Jakfar Umar Thalib !!!
Kelompok yang menamakan diri sebagai Salafy yang berorientasi ke Wahabisme selayaknya mengikuti apa yang telah ditempuh oleh Jakfar Umar Thalib. Dengan tetap memegang akidah Wahabismenya, ia lebih lunak. Dalam arti, pengkafiran (menuduh selainnya sebagai kelompok sesat karena perbuatan bid’ah, syirik dan khurafat) yang selama ini dilakukannya kini telah ditanggalkannya. Namun sayang, justru sifat terpuji semacam itulah, akhirnya Jakfar Umar Thalib dinyatakan sebagai telah keluar dari manhaj Salafy. Lantas, apakah Salafy harus selalu identik dengan ‘pengkafiran’? Jika itu yang terjadi maka jangan salahkan jika mayoritas pengikut Islam di Tanah Air yang Ahlusunah wal Jamaah (pengikut empat mazhab resmi Ahlusunah) tidak akan memberi kesempatan sedikitpun terhadap kelompok Salafy untuk bergerak. Akhirnya, kelompok minoritas yang kaku ini, untuk menutupi keminoritasnya di depan public, mereka gunakan sarana internet (site, blog, milis dsb) sebagai sarana untuk berdakwah. Dengan kepemilikan setiap anggota Salafy media dakwah di internet tadi, sehingga seakan Salafy di Indonesia -secara kuantitas- bertumbuh secara pesat dan dapat merekrut banyak orang. Padahal kenyataan di lapangan tidaklah seacam itu. Belum lagi perpecahan di tubuh Salafy sendiri -yang satu dengan lainnya saling menyesatkan- semakin mempertajam kemerosotan kualitas dan kuantitas pengikut Salafy di Indonesia.
Kalaupun para pengikut sekte Salafy tidak mau menanggalkan baju kumuh Salafisme (baca: Wahabisme) yang tidak sesuai dengan nuansa zaman -terkhusus sekarang ini- dan secara lebih khusus lagi kondisi local Nusantara, maka paling tidak lakukanlah apa yang dilakukan oleh orang seperti Jakfar Umar Thalib yang cenderung lebih moderat. Tulisan di bawah ini akan sedikit-banyak menyingkapkan kepada kita tentang gerakan Salafy di Indonesia. Silahkan menyimak !?
UNIVERSITAS INDONESIA - PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI KAJIAN TIMUR TENGAH DAN ISLAM
KEKHUSUSAN KAJIAN ISLAM - JAKARTA 2006
Oleh: Muh. Ikhsan 7105090722
Dosen: DR. Muhammad Lutfi Zuhdi, MA
GERAKAN SALAFI MODERN DI INDONESIA
Sebuah Upaya Membedah Akar Pertumbuhan dan Ide-ide Substansialnya
Muhammad Ikhsan
Pengantar
Indonesia nampaknya memang akan selalu menjadi lahan subur lahir dan tumbuhnya berbagai gerakan Islam dengan berbagai ragamnya; baik yang “hanya sekedar” perpanjangan tangan dari gerakan yang sebelumnya telah ada, ataupun yang dapat dikategorikan sebagai gerakan yang benar-benar baru. Dan sejarah pergerakan Islam Indonesia benar-benar telah menjadi saksi mata terhadap kenyataan itu selama beberapa kurun waktu lamanya.
Dan kini, di era modern ini, mata sejarah semakin “dimanjakan” oleh kenyataan itu dengan tumbuhnya aneka gerakan Islam modern yang masing-masing menyimpan keunikannya tersendiri. Jagat pergerakan Islam Indonesia modern tidak hanya diramaikan oleh organisasi semacam Muhammadiyah dan NU, tapi disana ada pemain-pemain baru yang juga secara perlahan –namun pasti- mulai menanamkan pengaruhnya. Mulai dari yang mengandalkan perjuangan politis hingga yang lebih memilih jalur gerakan sosial-kemasyarakatan.
Salah satu gerakan Islam tersebut adalah yang menyebut diri mereka sebagai Salafi atau Salafiyah. Salah satu peristiwa fenomenal gerakan ini yang sempat “menghebohkan” adalah kelahiran Laskar Jihad yang dimotori oleh Ja’far Umar Thalib pada 6 April 2000 pasca meletusnya konflik bernuansa SARA di Ambon dan Poso.[1]
Tulisan singkat ini akan mencoba mengulas sejarah dan ide-ide penting gerakan ini, sekaligus memberikan beberapa catatan kritis yang diharapkan dapat bermanfaat tidak hanya bagi gerakan ini namun juga bagi semua gerakan Islam di Tanah Air.
Apa Itu Salafi?
Kata Salafi adalah sebuah bentuk penisbatan kepada al-Salaf. Kata al-Salaf sendiri secara bahasa bermakna orang-orang yang mendahului atau hidup sebelum zaman kita.[2] Adapun makna al-Salaf secara terminologis yang dimaksud di sini adalah generasi yang dibatasi oleh sebuah penjelasan Rasulullah saw dalam haditsnya:
“Sebaik-baik manusia adalah (yang hidup) di masaku, kemudian yang mengikuti mereka, kemudian yang mengikuti mereka…” (HR. Bukhari dan Muslim)
Berdasarkan hadits ini, maka yang dimaksud dengan al-Salaf adalah para sahabat Nabi saw, kemudian tabi’in, lalu atba’ al-tabi’in. Karena itu, ketiga kurun ini kemudian dikenal juga dengan sebutan al-Qurun al-Mufadhdhalah (kurun-kurun yang mendapatkan keutamaan).[3] Sebagian ulama kemudian menambahkan label al-Shalih (menjadi al-Salaf al-Shalih) untuk memberikan karakter pembeda dengan pendahulu kita yang lain.[4] Sehingga seorang salafi berarti seorang yang mengaku mengikuti jalan para sahabat Nabi saw, tabi’in dan atba’ al-tabi’in dalam seluruh sisi ajaran dan pemahaman mereka.[5]
Sampai di sini nampak jelas bahwa sebenarnya tidak masalah yang berarti dengan paham Salafiyah ini, karena pada dasarnya setiap muslim akan mengakui legalitas kedudukan para sahabat Nabi saw dan dua generasi terbaik umat Islam sesudahnya itu; tabi’in dan atba’ al-tabi’in. Atau dengan kata lain seorang muslim manapun sebenarnya sedikit-banyak memiliki kadar kesalafian dalam dirinya meskipun ia tidak pernah menggembar-gemborkan pengakuan bahwa ia seorang salafi. Sebagaimana juga pengakuan kesalafian seseorang juga tidak pernah dapat menjadi jaminan bahwa ia benar-benar mengikuti jejak para al-Salaf al-Shalih, dan –menurut penulis- ini sama persis dengan pengakuan kemusliman siapapun yang terkadang lebih sering berhenti pada taraf pengakuan belaka.
‘Ala kulli hal, penggunaan istilah Salafi ini secara khusus mengarah pada kelompok gerakan Islam tertentu setelah maraknya apa yang disebut “Kebangkitan Islam di Abad 15 Hijriyah”. Terutama yang berkembang di Tanah Air, mereka memiliki beberapa ide dan karakter yang khas yang kemudian membedakannya dengan gerakan pembaruan Islam lainnya.
Sejarah Kemunculan Salafi di Indonesia
Tidak dapat dipungkiri bahwa gerakan Salafi di Indonesia banyak dipengaruhi oleh ide dan gerakan pembaruan yang dilancarkan oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab di kawasan Jazirah Arabia. Menurut Abu Abdirrahman al-Thalibi[6], ide pembaruan Ibn ‘Abd al-Wahhab diduga pertama kali dibawa masuk ke kawasan Nusantara oleh beberapa ulama asal Sumatera Barat pada awal abad ke-19. Inilah gerakan Salafiyah pertama di tanah air yang kemudian lebih dikenal dengan gerakan kaum Padri, yang salah satu tokoh utamanya adalah Tuanku Imam Bonjol. Gerakan ini sendiri berlangsung dalam kurun waktu 1803 hingga sekitar 1832. Tapi, Ja’far Umar Thalib mengklaim –dalam salah satu tulisannya[7]- bahwa gerakan ini sebenarnya telah mulai muncul bibitnya pada masa Sultan Aceh Iskandar Muda (1603-1637).
Disamping itu, ide pembaruan ini secara relatif juga kemudian memberikan pengaruh pada gerakan-gerakan Islam modern yang lahir kemudian, seperti Muhammadiyah, PERSIS, dan Al-Irsyad. “Kembali kepada al-Quran dan al-Sunnah” serta pemberantasan takhayul, bid’ah dan khurafat kemudian menjadi semacam isu mendasar yang diusung oleh gerakan-gerakan ini. Meskipun satu hal yang patut dicatat bahwa nampaknya gerakan-gerakan ini tidak sepenuhnya mengambil apalagi menjalankan ide-ide yang dibawa oleh gerakan purifikasi Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab. Apalagi dengan munculnya ide pembaruan lain yang datang belakangan, seperti ide liberalisasi Islam yang nyaris dapat dikatakan telah menempati posisinya di setiap gerakan tersebut.
Di tahun 80-an, -seiring dengan maraknya gerakan kembali kepada Islam di berbagai kampus di Tanah air- mungkin dapat dikatakan sebagai tonggak awal kemunculan gerakan Salafiyah modern di Indonesia. Adalah Ja’far Umar Thalib salah satu tokoh utama yang berperan dalam hal ini. Dalam salah satu tulisannya yang berjudul “Saya Merindukan Ukhuwah Imaniyah Islamiyah”, ia menceritakan kisahnya mengenal paham ini dengan mengatakan:[8]
“Ketika saya belajar agama di Pakistan antara tahun 1986 s/d 1987, saya melihat betapa kaum muslimin di dunia ini tercerai berai dalam berbagai kelompok aliran pemahaman. Saya sedih dan sedih melihat kenyataan pahit ini. Ketika saya masuk ke medan jihad fi sabilillah di Afghanistan antara tahun tahun 1987 s/d 1989, saya melihat semangat perpecahan di kalangan kaum muslimin dengan mengunggulkan pimpinan masing-masing serta menjatuhkan tokoh-tokoh lain…
Di tahun-tahun jihad fi sabilillah itu saya mulai berkenalan dengan para pemuda dari Yaman dan Surian yang kemudian mereka memperkenalkan kepada saya pemahaman Salafus Shalih Ahlus Sunnah wal Jamaah. Saya mulai kenal dari mereka seorang tokoh dakwah Salafiyah bernama Al-‘Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i…
Kepiluan di Afghanistan saya dapati tanda-tandanya semakin menggejala di Indonesia. Saya kembali ke Indonesia pada akhir tahun 1989, dan padajanuari 1990 saya mulai berdakwah. Perjuangan dakwah yang saya serukan adalah dakwah Salafiyah…”
Ja’far Thalib sendiri kemudian mengakui bahwa ada banyak yang berubah dari pemikirannya, termasuk diantaranya sikap dan kekagumannya pada Sayyid Quthub, salah seorang tokoh Ikhwanul Muslimin yang dahulu banyak ia lahap buku-bukunya. Perkenalannya dengan ide gerakan ini membalik kekaguman itu 180 derajat menjadi sikap kritis yang luar biasa –untuk tidak mengatakan sangat benci-.[9]
Di samping Ja’far Thalib, terdapat beberapa tokoh lain yang dapat dikatakan sebagai penggerak awal Gerakan Salafi Modern di Indonesia, seperti: Yazid Abdul Qadir Jawwaz (Bogor), Abdul Hakim Abdat (Jakarta), Muhammad Umar As-Sewed (Solo), Ahmad Fais Asifuddin (Solo), dan Abu Nida’ (Yogyakarta). Nama-nama ini bahkan kemudian tergabung dalam dewan redaksi Majalah As-Sunnah –majalah Gerakan Salafi Modern pertama di Indonesia-, sebelum kemudian mereka berpecah beberapa tahun kemudian.
Adapun tokoh-tokoh luar Indonesia yang paling berpengaruh terhadap Gerakan Salafi Modern ini –di samping Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab tentu saja- antara lain adalah:
1. Ulama-ulama Saudi Arabia secara umum.
2. Syekh Muhammad Nashir al-Din al-Albany di Yordania (w. 2001)
3. Syekh Rabi al-Madkhaly di Madinah
4. Syekh Muqbil al-Wadi’iy di Yaman (w. 2002).
Tentu ada tokoh-tokoh lain selain ketiganya, namun ketiga tokoh ini dapat dikatakan sebagai sumber inspirasi utama gerakan ini. Dan jika dikerucutkan lebih jauh, maka tokoh kedua dan ketiga secara lebih khusus banyak berperan dalam pembentukan karakter gerakan ini di Indonesia. Ide-ide yang berkembang di kalangan Salafi modern tidak jauh berputar dari arahan, ajaran dan fatwa kedua tokoh tersebut; Syekh Rabi’ al-Madkhaly dan Syekh Muqbil al-Wadi’iy. Kedua tokoh inilah yang kemudian memberikan pengaruh besar terhadap munculnya gerakan Salafi ekstrem, atau –meminjam istilah Abu Abdirrahman al-Thalibi- gerakan Salafi Yamani.[10]
Perbedaan pandangan antara pelaku gerakan Salafi modern setidaknya mulai mengerucut sejak terjadinya Perang Teluk yang melibatkan Amerika dan Irak yang dianggap telah melakukan invasi ke Kuwait. Secara khusus lagi ketika Saudi Arabia “mengundang” pasukan Amerika Serikat untuk membuka pangkalan militernya di sana. Saat itu, para ulama dan du’at di Saudi –secara umum- kemudian berbeda pandangan: antara yang pro[11] dengan kebijakan itu dan yang kontra.[12] Sampai sejauh ini sebenarnya tidak ada masalah, karena mereka umumnya masih menganggap itu sebagai masalah ijtihadiyah yang memungkinkan terjadinya perbedaan tersebut. Namun berdasarkan informasi yang penulis dapatkan nampaknya ada pihak yang ingin mengail di air keruh dengan “membesar-besarkan” masalah ini. Secara khusus, beberapa sumber[13] menyebutkan bahwa pihak Menteri Dalam Negeri Saudi Arabia saat itu–yang selama ini dikenal sebagai pejabat yang tidak terlalu suka dengan gerakan dakwah yang ada- mempunyai andil dalam hal ini. Upaya inti yang dilakukan kemudian adalah mendiskreditkan mereka yang kontra sebagai khawarij, quthbiy (penganut paham Sayyid Quthb), sururi (penganut paham Muhammad Surur ibn Zain al-‘Abidin), dan yang semacamnya.
Momentum inilah yang kemudian mempertegas keberadaan dua pemahaman dalam gerakan Salafi modern –yang untuk mempermudah pembahasan oleh Abu ‘Abdirrahman al-Thalibi disebut sebagai-: Salafi Yamani dan Salafi Haraki.[14] Dan sebagaimana fenomena gerakan lainnya, kedua pemahaman inipun terimpor masuk ke Indonesia dan memiliki pendukung.
Ide-ide Penting Gerakan Salafi
Pertanyaan paling mendasar yang muncul kemudian adalah apa yang menjadi ide penting atau karakter khas gerakan ini dibanding gerakan lainnya yang disebutkan sedikit-banyak terpengaruh dengan ide purifikasi Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab di Jazirah Arabia?
Setidaknya ada beberapa ide penting dan khas gerakan Salafi Modern dengan gerakan-gerakan tersebut, yaitu:
1. Hajr Mubtadi’ (Pengisoliran terhadap pelaku bid’ah)
Sebagai sebuah gerakan purifikasi Islam, isu bid’ah tentu menjadi hal yang mendapatkan perhatian gerakan ini secara khusus. Upaya-upaya yang mereka kerahkan salah satunya terpusat pada usaha keras untuk mengkritisi dan membersihkan ragam bid’ah yang selama ini diyakini dan diamalkan oleh berbagai lapisan masyarakat Islam. Dan sebagai sebuah upaya meminimalisir kebid’ahan, para ulama Ahl al-Sunnah menyepakati sebuah mekanisme yang dikenal dengan hajr al-mubtadi’ atau pengisoliran terhadap mubtadi’. [15] Dan tentu saja, semua gerakan salafi sepakat akan hal ini.
Akan tetapi, pada prakteknya di Indonesia, masing-masing faksi –salafi Yamani dan haraki- sangat berbeda. Dalam hal ini, salafi Yamani terkesan membabi buta dalam menerapkan mekanisme ini. Fenomena yang nyata akan hal ini mereka terapkan dengan cara melemparkan tahdzir (warning) terhadap person yang bahkan mengaku mendakwahkan gerakan salafi. Puncaknya adalah ketika mereka menerbitkan “daftar nama-nama ustadz yang direkomendasikan” dalam situs mereka www.salafy.or.id.[16] Dalam daftar ini dicantumkan 86 nama ustadz dari Aceh sampai Papua yang mereka anggap dapat dipercaya untuk dijadikan rujukan, dan ‘uniknya’ nama-nama itu didominasi oleh murid-murid Syekh Muqbil al-Wadi’i di Yaman.
Sementara Salafi Haraki cenderung melihat mekanisme hajr al-mubtadi’ ini sebagai sesuatu yang tidak mutlak dilakukan, sebab semuanya tergantung pada maslahat dan mafsadatnya. Menurut mereka, hajr al-mubtadi’ dilakukan tidak lebih untuk memberikan efek jera kepada sang pelaku bid’ah. Namun jika itu tidak bermanfaat, maka boleh jadi metode ta’lif al-qulub-lah yang berguna.[17]
2. Sikap terhadap politik (parlemen dan pemilu).
Hal lain yang menjadi ide utama gerakan ini adalah bahwa gerakan Salafi bukanlah gerakan politik dalam arti yang bersifat praktis. Bahkan mereka memandang keterlibatan dalam semua proses politik praktis seperti pemilihan umum sebagai sebuah bid’ah dan penyimpangan. Ide ini terutama dipegangi dan disebarkan dengan gencar oleh pendukung Salafi Yamani. Muhammad As-Sewed misalnya –yang saat itu masih menjabat sebagai ketua FKAWJ mengulas kerusakan-kerusakan pemilu sebagai berikut:
a. Pemilu adalah sebuah upaya menyekutukan Allah (syirik) karena menetapkan aturan berdasarkan suara terbanyak (rakyat), padahal yang berhak untuk itu hanya Allah.
b. Apa yang disepakati suara terbanyak itulah yang dianggap sah, meskipun bertentangan dengan agama atau aturan Allah dan Rasul-Nya.
c. Pemilu adalah tuduhan tidak langsung kepada islam bahwa ia tidak mampu menciptakan masyarakat yang adil sehingga membutuhkan sistem lain.
d. Partai-partai Islam tidak punya pilihan selain mengikuti aturan yang ada, meskipun aturan itu bertentangan dengan Islam.
e. Dalam pemilu terdapat prinsip jahannamiyah, yaitu menghalalkan segala cara demi tercapainya tujuan-tujuan politis, dan sangat sedikit yang selamat dari itu.
f. Pemilu berpotensi besar menanamkan fanatisme jahiliah terhadap partai-partai yang ada.[18]
Berbeda dengan Salafi Haraki yang cenderung menganggap masalah ini sebagai persoalan ijtihadiyah belaka. Dalam sebuah tulisan bertajuk al-Musyarakah fi al-Intikhabat al-Barlamaniyah yang dimuat oleh situs islamtoday.com (salah satu situs yang dianggap sering menjadi rujukan mereka dikelola oleh DR. Salman ibn Fahd al-‘Audah) misalnya, dipaparkan bahwa sistem peralihan dan penyematan kekuasaan dalam Islam tidak memiliki sistem yang baku. Karena itu, tidak menutup mungkin untuk mengadopsi sistem pemilu yang ada di Barat setelah ‘memodifikasi’nya agar sesuai dengan prinsip-prinsip politik Islam. Alasan utamanya adalah karena hal itu tidak lebih dari sebuah bagian adminstratif belaka yang memungkinkan kita untuk mengadopsinya dari manapun selama mendatangkan mashlahat.[19] Maka tidak mengherankan jika salah satu ormas yang dianggap sebagai salah satu representasi faksi ini, Wahdah Islamiyah, mengeluarkan keputusan yang menginstruksikan anggotanya untuk ikut serta dalam menggunakan hak pilihnya dalam pemilu-pemilu yang lalu.[20]
3. Sikap terhadap gerakan Islam yang lain.
Pandangan pendukung gerakan Salafi modern di Indonesia terhadap berbagai gerakan lain yang ada sepenuhnya merupakan imbas aksiomatis dari penerapan prinsip hajr al-mubtadi’ yang telah dijelaskan terdahulu. Baik Salafi Yamani maupun Haraki, sikap keduanya terhadap gerakan Islam lain sangat dipengaruhi oleh pandangan mereka dalam penerapan hajr al-mubtadi’. Sehingga tidak mengherankan dalam poin inipun mereka berbeda pandangan.
Jika Salafi Haraki cenderung ‘moderat’ dalam menyikapi gerakan lain, maka Salafi Yamani dikenal sangat ekstrim bahkan seringkali tanpa kompromi sama sekali. Fenomena sikap keras Salafi Yamani terhadap gerakan Islam lainnya dapat dilihat dalam beberapa contoh berikut:
a. Sikap terhadap Ikhwanul Muslimin
Barangkali tidak berlebihan jika dikatakan Ikhwanul Muslimin nampaknya menjadi musuh utama di kalangan Salafi Yamani. Mereka bahkan seringkali memelesetkannya menjadi “Ikhwanul Muflisin”.[21] Tokoh-tokoh utama gerakan ini tidak pelak lagi menjadi sasaran utama kritik tajam yang bertubi-tubi dari kelompok ini. Di Saudi sendiri –yang menjadi asal gerakan ini-, fenomena ‘kebencian’ pada Ikhwanul Muslimin dapat dikatakan mencuat seiring bermulanya kisah Perang Teluk bagian pertama. Adalah DR. Rabi’ ibn Hadi al-Madkhali yang pertama kali menyusun berbagai buku yang secara spesifik menyerang Sayyid Quthb dan karya-karyanya. Salah satunya dalam buku yang diberi judul “Matha’in Sayyid Quthb fi Ashab al-Rasul” (Tikaman-tikaman Sayyid Quthub terhadap Para Sahabat Rasul).[22]
Sepengetahuan penulis, fenomena ini bisa dibilang baru mengingat pada masa-masa sebelumnya beberapa tokoh Ikhwan seperti Syekh Muhammad al-Ghazali dan DR. Yusuf al-Qaradhawi pernah menjadi anggota dewan pendiri Islamic University di Madinah, dan banyak tokoh Ikhwan lainnya yang diangkat menjadi dosen di berbagai universitas Saudi Arabia. Dalam berbagai penulisan ilmiah –termasuk itu tesis dan disertasi- pun karya-karya tokoh Ikhwan –termasuk Fi Zhilal al-Qur’an yang dikritik habis oleh DR. Rabi al-Madkhali- sering dijadikan rujukan. Bahkan Syekh Bin Baz –Mufti Saudi waktu itu- pernah mengirimkan surat kepada Presiden Mesir, Gamal Abdul Naser untuk mencabut keputusan hukuman mati terhadap Sayyid Quthb.[23]
Terkait dengan ini misalnya, Ja’far Umar Thalib misalnya menulis:
Di tempat Syekh Muqbil pula saya mendengar berita-berita penyimpangan tokoh-tokoh yang selama ini saya kenal sebagai da’i dan penulis yang menganu pemahaman salafus shalih. Tokoh-tokoh yang telah menyimpang itu ialah Muhammad Surur bin Zainal Abidin, Salman Al-Audah, Safar Al-Hawali, A’idl Al-Qarni, Nasir Al-Umar, Abdurrahman Abdul Khaliq. Penyimpangan mereka terletak pada semangat mereka untuk mengelu-elukan tokoh-tokoh yang telah mewariskan berbagai pemahaman sesat di kalangan ummat Islam, seperti Sayyid Qutub, Hasan Al-Banna, Muhammad Abduh, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Rasyid Ridha dan lain-lainnya. [24]
Dan jauh sebelum itu, Ja’far Umar Thalib juga melontarkan celaan yang sangat keras terhadap DR. Yusuf al-Qaradhawy –salah seorang tokoh penting Ikhwanul Muslimin masa kini- dengan menyebutnya sebagai ‘aduwullah (musuh Allah) dan Yusuf al-Qurazhi (penisbatan kepada salah satu kabilah Yahudi di Madinah, Bani Quraizhah). Meskipun kemudian ia dikritik oleh gurunya sendiri, Syekh Muqbil di Yaman, yang kemudian mengganti celaan itu dengan mengatakan: Yusuf al-Qaradha (Yusuf Sang penggunting syariat Islam).[25] Di Indonesia sendiri, sikap ini berimbas kepada Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang dianggap sebagai representasi Ikhwanul Muslimin di Indonesia.
Secara umum, ada beberapa hal yang dianggap sebagai penyimpangan oleh kalangan Salafi Yamani dalam tubuh Ikhwanul Muslimin, diantaranya:
- Bai’at yang dianggap seperti bai’at sufiyah dan kemiliteran.[26]
- Adanya marhalah (fase-fase) dalam dakwah yang menyerupai prinsip aliran Bathiniyah.[27]
- Organisasi kepartaian (tanzhim hizb).[28]
Berbeda dengan yang disebut Salafi Haraki, mereka cenderung kooperatif dalam melihat gerakan-gerakan Islam yang ada dalam bingkai “nata’awan fima ittafaqna ‘alaih, wa natanashahu fima ikhtalafna fihi.”[29] Karena itu, faksi ini cenderung lebih mudah memahami bahkan berinteraksi dengan kelompok lain, termasuk misalnya Ikhwanul Muslimin. Meskipun untuk itu kelompok inipun harus rela diberi cap “Sururi” oleh kelompok Salafi Yamani. Yayasan Al-Sofwa, misalnya, masih mengakomodir kaset-kaset ceramah beberapa tokoh PKS seperti DR.Ahzami Sami’un Jazuli.[30]
b. Sikap terhadap Sururiyah
Secara umum, Sururi atau Sururiyah adalah label yang disematkan kalangan Salafi Yamani terhadap Salafi Haraki yang dianggap ‘mencampur-adukkan’ berbagai manhaj gerakan Islam dengan manhaj salaf. Kata Sururiyah sendiri adalah penisbatan kepada Muhammad Surur bin Zainal Abidin. Tokoh ini dianggap sebagai pelopor paham yang mengadopsi dan menggabungkan ajaran Salafi dengan Ikhwanul Muslimin. Disamping Muhammad Surur, nama-nama lain yang sering dimasukkan dalam kelompok ini adalah DR. Safar ibn ‘Abdirrahman al-Hawali, DR. Salman ibn Fahd Al-‘Audah –keduanya di Saudi- dan Abdurrahman Abdul Khaliq dari Jam’iyyah Ihya’ al-Turats di Kuwait.
Dalam sebuah tulisan berjudul Membongkar Pikiran Hasan Al-Banna-Sururiyah (III) diuraikan secara rinci pengertian Sururiyah itu:[31]
“Ada sekelompok orang yang mengikuti kaidah salaf dalam perkara Asma dan Sifat Allah, iman dan taqdir. Tapi, ada salah satu prinsip mereka yang sangat fatal yaitu mengkafirkan kaum muslimin. Mereka terpengaruh oleh prinsip Ikhwanul Muslimin. Pelopor aliran ini bernama Muhammad bin Surur.
Muhammad bin Surur yang lahir di Suriah dahulunya adalah Ikhwanul Muslimin. Kemudian ia menyempal dari jamaah sesat ini dan membangun gerakannya sendiri berdasarkan pemikiran-pemikiran Sayyid Quthub (misalnya masalah demonstrasi, kudeta dan yang sejenisnya)…”[32]
Tulisan yang sama juga menyimpulkan beberapa sisi persamaan antara Sururiyah dengan Ikhwanul Muslimin, yaitu:
- Keduanya sama-sama mengkafirkan golongan lain dan pemerintah muslim.
- Keduanya satu ide dalam masalah demonstrasi, mobilisasi dan selebaran-selebaran.
- Keduanya sama dalam masalah pembinaan revolusi dalam rangka kudeta.
- Keduanya sama dalam hal tanzhim dan sistem kepemimpinan yang mengerucut (piramida).
- Keduanya sama-sama tenggelam dalam politik.[33]
Hanya saja banyak ‘tuduhan’ sebenarnya terlalu tergesa-gesa untuk tidak mengatakan membabi buta. Ada yang tidak mempunyai bukti akurat, atau termasuk persoalan yang sebenarnya termasuk kategori ijtihad dan tidak bisa disebut sebagai kesesatan (baca: bid’ah).
4. Sikap terhadap pemerintah
Secara umum, sebagaimana pemerintah yang umum diyakini Ahl al-Sunnah –yaitu ketidakbolehan khuruj atau melakukan gerakan separatisme dalam sebuah pemerintahan Islam yang sah-, Gerakan Salafi juga meyakini hal ini. Itulah sebabnya, setiap tindakan atau upaya yang dianggap ingin menggoyang pemerintahan yang sah dengan mudah diberi cap Khawarij, bughat atau yang semacamnya.[34]
Dalam tulisannya yang bertajuk “Membongkar Pemikiran Sang Begawan Teroris (I), Abu Hamzah Yusuf misalnya menulis:
“Tokoh-tokoh yang disebutkan Imam Samudra di atas (maksudnya: Salman al-Audah, Safar al-Hawali dan lain-lain –pen) tidaklah berjalan di atas manhaj Salaf. Bahkan perjalanan hidup mereka dipenuhi catatan hitam yang menunjukkan mereka jauh dari manhaj Salaf…
Tak ada hubungan antara tokoh-tokoh itu dengan para ulama Ahlus Sunnah. Bahkan semua orang tahu bahwa antara mereka berbeda dalam hal manhaj (metodologi). Tokoh-tokoh itu berideologikan Quthbiyyah, Sururiyah, dan Kharijiyah…”[35]
Dalam “Mereka Adalah Teroris” juga misalnya disebutkan:
“…Kemudian dilanjutkan tongkat estafet ini oleh para ruwaibidhah (sebutan lain untuk Khawarij -pen) masa kini semacam Dr. Safar Al-Hawali, Salman Al-Audah dan sang jagoan konyol Usamah bin Laden. Sementara Imam Samudra hanyalah salah satu bagian kecil saja dari sindikat terorisme yang ada di Indonesia. Kami katakan ini karena di atas Imam Samudra masih ada tokoh-tokoh khawarij Indonesia yang lebih senior seperti: Abdullah Sungkar alias Ustadz Abdul Halim, Abu Bakar Ba’asyir alias Ustadz Abdush Shamad.”[36]
Pernyataan ini disebabkan karena tokoh-tokoh yang dimaksud dikenal sebagai orang-orang yang gigih melontarkan kritik ‘pedas’ terhadap pemerintah Kerajaan Saudi Arabia terutama dalam kasus penempatan pangkalan militer AS di sana. Sementara dua nama terakhir dikenal sebagai orang-orang yang gigih memformalisasikan syariat Islam di Indonesia.
Sebagai konsekwensi dari prinsip ini, maka muncul kesan bahwa kaum Salafi cenderung ‘enggan’ melontarkan kritik terhadap pemerintah. Meskipun sesungguhnya manhaj al-Salaf sendiri memberikan peluang untuk itu meskipun dibatasi secara “empat mata” dengan sang penguasa.
Namun pada prakteknya kemudian, ternyata prinsip inipun sedikit banyak telah dilanggar oleh mereka sendiri. Abu ‘Abdirrahman al-Thalibi misalnya –yang menulis kritik tajam terhadap gerakan ini- menyebutkan salah satu penyimpangan Salafi Yamani: “Sikap Melawan Pemerintah”. Ia menulis:
“Dalam beberapa kasus, jelas-jelas Salafy Yamani telah melawan pemerintah yang diakui secara konsensus oleh Ummat Islam Indonesia, khususnya melalui tindakan-tindakan Laskar Jihad di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid.
Tanggal 6 April 2000, mereka mengadakan tabligh akbar di Senayan, tak lama kemudian mereka berdemo di sekitar Istana Negara dimana Abdurrahman Wahid sedang berada di dalamnya. Kenyataan yang sangat mengherankan, mereka bergerak secara massal dengan membawa senjata-senjata tajam. Belum pernah Istana Negara RI didemo oleh orang-orang bersenjata, kecuali dalam peristiwa di atas. Masih bisa dimaklumi, meskipun melanggar hukum, jika yang melakukannya adalah anggota partai komunis yang dikenal menghalalkan kekerasan, tetapi perbuatan itu justru dilakukan oleh para pemuda yang mewarisi manhaj Salafus Shalih. Masya Allah, Salafus Shalih mana yang mereka maksudkan?”[37]
Hal lain lagi adalah bahwa hingga kini mereka masih saja melancarkan kritik yang pedas terhadap Partai Keadilan Sejahtera –yang dianggap sebagai bagian dari Ikhwanul Muslimin di Indonesia-. Namun kenyataannya sekarang bahwa Partai ini telah menjadi bagian dari pemerintahan Indonesia yang sah. Beberapa anggota mereka duduk sebagai anggota parlemen, ada yang menjadi menteri dalam kabinet, bahkan mantan ketuanya, Hidayat Nur Wahid saat ini menjabat sebagai Ketua MPR-RI. Bukankah berdasarkan kaidah yang selama ini mereka gunakan, kritik pedas mereka terhadap PKS dapat dikategorikan sebagai tindakan khuruj atas pemerintah?
“Ja’far Umar Thalib Telah Meninggalkan Kita…”
Kalimat mungkin dapat dijadikan sebagai bukti fase baru perkembangan gerakan Salafi di Indonesia. Setelah sebelumnya dijelaskan bahwa dalam perjalanannya gerakan ini terbagi menjadi setidaknya 2 faksi: Yamani dan haraki, maka setidaknya sejak dewan eksekutif FKAWJ membubarkan FKAWJ dan Laskar Jihad pada pertengahan Oktober 2002, ada hembusan angin perubahan yang sangat signifikan di tubuh gerakan ini. Salafi Yamani ternyata kemudian berpecah menjadi 2 kelompok: yang pro Ja’far dan yang kontra terhadapnya.
Ja’far Umar Thalib sejak saat itu dapat dikatakan menjadi ‘bulan-bulanan’ kelompok eks Laskar Jihad yang kontra dengannya. Apalagi setelah DR.Rabi’ al-Madkhali –ulama yang dulu sering ia jadikan rujukan fatwa- justru mengeluarkan tahdzir terhadapnya. Pesantrennya di Yogyakarta pun mulai ditinggalkan oleh mereka yang dulu menjadi murid-muridnya.
Uniknya, kelompok yang kontra terhadapnya justru ‘dipimpin’ oleh Muhammad Umar As-Sewed, orang yang dulu menjadi tangan kanannya (wakil panglima) saat menjadi panglima Laskar Jihad. Ja’far Thalib-pun mulai dekat dengan orang-orang yang dulu dianggap tidak mungkin bersamanya. Arifin Ilham ‘Majlis Az-Zikra’ dan Hamzah Haz, contohnya.
Karena itu, Qomar ZA –redaktur majalah Asy-Syariah yang dulu adalah murid Ja’far Umar Thalib- menulis artikel pendek berjudul “Ja’far Umar Thalib Telah Meninggalkan Kita…”.[38] Di sana antara lain ia menulis:
“Adapun sekarang betapa jauh keadaannya dari yang dulu (Ja’far Umar Thalib, red). Jangankan majlis yang engkau tidak mau menghadirinya saat itu, bahkan sekarang majlis dzikirnya Arifin Ilham kamu hadiri, mejlis Refleksi Satu Hati dengan para pendeta dan biksu kamu hadiri (di UGM, red), majlis dalam peresmian pesantren Tawwabin yang diprakarsai oleh Habib Riziq Syihab, Abu Bakar Baa’syir Majelis Mujahidin Indonesia dan lain-lain. Kamu hadiri juga peringatan Isra’ Mi’raj sebagaimana dinukil dalam majalah Sabili dan banyak lagi…
Apakah gurumu yang sampai saat ini kamu suka menebeng di belakangnya yaitu Syekh Muqbil, semoga Allah merahmatinya, akan tetap memujimu dengan keadaanmu yang semacam ini??…
Asy-Syaikh Rabi’ berkata: “…Dan saya katakan: Dialah yang meninggalkan kalian dan meninggalkan manhaj ini (manhaj Ahlus Sunnah)…”
Ja’far sendiri belakangan nampak menyadari sikap kerasnya yang berlebihan di masa awal dakwahnya. Dan nampaknya, apa yang ia lakukan belakangan ini –meski menyebabkannya menjadi sasaran kritik bekas pendukungnya- adalah sebuah upayanya untuk memperbaiki kesalahan tersebut. Dalam artikelnya, “Saya Merindukan Ukhuwwah Imaniyah Islamiyah” , ia menulis pengakuan itu dengan mengatakan:
“…Saya lupa dengan keadaan yang sesungguhnya mayoritas ummat di Indonesia yang tingkat pemahamannya amat rendah tentang Islam. Saya saat itu menganggap tingkat pemahaman ummatku sama dengan tingkat pemahaman murid-muridku. Akibatnya ketika saya menyikapi penyelewengan ummat dari As-Sunnah, saya anggap sama dengan penyelewengan orang-orang yang ada di sekitarku yang selalu saya ajari ilmu. Tentu anggapan ini adalah anggapan yang dhalim. Dengan anggapan inilah akhirnya saya ajarkan sikap keras dan tegas terhadap ummat yang menyimpang dari As-Sunnah walaupun mereka belum mendapat penyampaian ilmu Sunnah. Sayapun sempat menganggap bahwa mayoritas kaum muslimin adalah Ahlul Bid’ah dan harus disikapi sebagai Ahlul Bid’ah. Maka tampaklah Dakwah Salafiyyah yang saya perjuangkan menjadi terkucil, kaku dan keras. Saya telah salah paham dengan apa yang saya pelajari dari kitab-kitab para Ulama’ tersebut di atas tentang sikap Ahlul Bid’ah. Saya sangka Ahlul Bid’ah itu ialah semua orang yang menjalankan bid’ah secara mutlak.”[39]
Penutup
Demikianlah paparan singkat tentang gerakan Salafi modern di Indonesia. Sudah tentu masih banyak sisi gerakan ini yang belum tertuang dalam tulisan ini. Dan di bagian akhir tulisan ini, ada beberapa catatan kritis yang perlu penulis kemukakan atas gerakan ini:
1. Diperlukan kajian yang komperhensif tentang sejarah masa lalu ummat Islam, dan termasuk didalamnya sejarah generasi As-Salaf Ash-Shalih yang menjadi panutan semua gerakan Islam –tentu saja dengan kadar yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain-. Dan khusus untuk pendukung gerakan Salafi ini, ada banyak sisi kehidupan As-Salaf yang mungkin terlupakan; seperti: kesantunan dan kearifan dalam menyikapi perbedaan yang masih mungkin untuk ditolerir, serta bersikap proporsional dan adil dalam menyikapi kesalahan atau kekeliruan pihak lain.
2. Salah satu kesalahan utama pendukung gerakan ini –khususnya Salafi Yamani- adalah ketidaktepatan dalam menyimpulkan apakah sesuatu itu dapat dikategorikan sebagai manhaj baku kalangan As-Salaf atau bukan. Dalam kasus di lapangan, seringkali karakter pribadi seorang ulama dianggap sebagai bagian dari manhaj Salafi. Padahal kita semua memahami bahwa setiap orang memiliki tabiat dasar yang nyaris berbeda. Jika Abu Bakr dikenal dengan kelembutannya, maka Umar dikenal dengan ketegasannya. Berbeda lagi dengan Abu Dzar yang keteguhan prinsipnya membuat dia lebih cocok hidup sendiri daripada terlalu banyak melakukan interaksi sosial.
Dalam kasus Salafi misalnya, sebagian pendukungnya banyak mengadopsi karakter Syekh Rabi atau Syekh Muqbil misalnya, yang memang dikenal dengan karakter pribadi yang keras. Padahal masih banyak ulama rujukan mereka yang cenderung lebih toleran dan elegan.
Akhirnya, memang tidak ada gading yang tak retak. Setiap anak Adam itu berpotensi melakukan kesalahan, namun sebaik-baik orang yang selalu terjatuh dalam kesalahan adalah yang selalu bertaubat dan menyadari kesalahannya, kata Nabi saw. Setiap gerakan sudah tentu memiliki sisi positif dan negatif. Yang terbaik pada akhirnya adalah yang mampu meminimalisir sisi negatifnya dan semakin hari memiliki perubahan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Wallahul muwaqqiq!
Cipinang Muara, pertengahan Mei 2006
——————————————————————————–
DAFTAR PUSTAKA :
1. Beberapa Kerusakan Pemilu. Muhammad Umar As-Sewed. Majalah SALAFY. Edisi XXX. Tahun 1999H.
2. Daftar Ustadz yang Terpercaya. www.freelists.org/archives/Salafi/12-2003/msg00017.html
3. Dakwah Salafiyah Dakwah Bijak, Meluruskan Sikap Keras Dai Salafi. Abu Abdirrahman Al-Thalibi. Hujjah Press. Jakarta. Cetakan kedua. Maret 2006.
4. Gerakan Salafi Radikal di Indonesia. Penyunting: Jamhari dan Jajang Jahroni. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta. Cetakan pertama. 2004.
5. Hajr al-Mubtadi’. Bakr ibn ‘Abdillah Abu Zaid. Dar Ibn al-Jauzi. Dammam. Cetakan kedua. 1417H.
6. Indonesia Bacgrounder: Why Salafism and Terrorism Mostly Don’t Mix. International Crisis Group. Asia Report no.83.13 September 2004.
7. Ja’far Umar Thalib: Sang Ustadz yang Penuh Warna. www.tempointeraktive.com.
8. Ja’far Umar Thalib Telah Meninggalkan Kita. Qomar ZA. Lc. www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=664.
9. Al-Khithab al-Dzahaby. Bakr ibn ‘Abdillah Abu Zaid. Maktabah al-Sunnah. Kairo. Cetakan pertama. 1418H.
10. Lisan al-‘Arab. Abu al-Fadhl Muhammad ibn Manzhur. Dar Shadir. Beirut. Cetakan pertama. 1410H.
11. Madarik al-Nazhar fi al-Siyasah baina al-Tathbiqat al-Syar’iyyah wa al-Infi’alat al-Hamasiyah. ‘Abd al-Malik ibn Ahmad Ramadhany al-Jaza’iry. Dar Sabil al-Mu’minin. Dammam. Cetakan kedua. 1418H.
12. Membongkar Pikiran Hasan al-Banna-Ikhwanul Muslimin (II). www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=336.
13. Membongkar Pikiran Hasan al-Banna-Sururiyah (III). www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=338.
14. Mereka Adalah Teroris. Luqman bin Muhammad Ba’abduh.
15. Al-Musyarakah fi al-Intikhabat al-Barlamaniyah. DR. ‘Abdullah ibn Ibrahim al-Thuraiqy. www.islamtoday.net/print.cfm?artid=2869 dan www.islamtoday.net/print.cfm?artid=2896.
16. Pasang Surut Menegakkan Syariah Islamiyah. Ja’far Umar Thalib. Majalah SALAFY. Edisi 40. Tahun 1422/2001.
17. Penjelasan Dewan Syari’ah Wahdah Islamiyah tentang Pemilihan Umum. www.wahdah.or.id.
18. Persaksian Tentang Yayasan Al-Sofwa. Muhammad Umar As-Sewed. www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=557.
19. Saya Merindukan Ukhuwah Imaniyah Islamiyah. Ja’far Umar Thalib. Majalah SALAFY. Edisi 5. Tahun 1426/2005.
[1] Lih. Majalah SALAFY, edisi 5 Tahun 2005, hal. 13.
[2] Lih. Lisan al-Arab, entri Sa-La-Fa.
[3] Lih. Madarik al-Nazhar, hal. 30, Dakwah Salafiyah Dakwah Bijak, hal. 8
[4] Ibid.
[5] Dari kata ini kita kemudian sering mendengarkan kata bentukan lainnya seperti Salafiyah (yang berarti ajaran atau paham kesalafan) atau Salafiyun/Salafiyin yang merupakan bentuk plural dari Salafi.
[6] Lih. Dakwah Salafiyah, hal. 10 dan hal.30-31.
[7] Pasang Surut Menegakkan Syari’ah Islamiyah, majalah SALAFY, hal. 2-12, edisi 40 tahun 1422/2001. Seputar masalah ini juga dapat dilihat dalam Laporan International Crisis Group bertajuk “Indonesia Backgrounder: Why Salafism and Terrorism Mostly Don’t Mix”, Asia Report no.83, 13 September 2004, hal. 5-6.
[8] Majalah SALAFY, hal. 3 (Edisi 5, Tahun 2005).
[9] Lih. Ja’far Umar Thalib: Sang Ustadz yang Penuh Warna, http://www.tempointeraktive.com
[10] Lih. Dakwah Salafiyah Dakwah Bijak, hal.13
[11] Yang pro dalam hal ini misalnya adalah Hai’ah Kibar al-‘Ulama (Dewan Ulama Besar) di sana yang saat itu diketuai oleh Syekh Abd al-Aziz ibn Baz.
[12] Yang kontra dalam hal ini misalnya adalah Syekh Hamud al-‘Uqla (seorang ulama senior yang selevel dengan ‘Abd al-Aziz ibn Baz), Safar ibn ‘Abd al-Rahman al-Hawali, Salman ibn Fahd al-‘Audah, dan ‘Aidh ibn ‘Abdillah al-Qarni. Tiga nama terakhir kemudian sempat di penjara, namun setelah lepasnya dari penjara ketiganya kemudian menjadi tokoh yang sering dijadikan rujukan pendapat oleh Pemerintah Saudi terutama dalam upaya meredam radikalisme alumni jihad Afghan.
[13] Informasi ini penulis dengarkan dari beberapa dosen Islamic University of Madinah, seperti DR. Shalih al-Fa’iz dan DR. Rusyud al-Rusyud.
[14] Lih. Dakwah Salafiyah, hal. 20
[15] Lih. Pembahasan lengkap tentang masalah ini dalam Hajr al-Mubtadi’, karya DR. Bakr ibn Abdillah Abu Zaid.
[16] Lih. Daftar Ustadz yang Terpercaya.
[17] Lih. Hajr al-Mubtadi’, hal.19.
[18] Lih. Beberapa Kerusakan Pemilu,Muhammad Umar As-Sewed, Majalah SALAFY, edisi XXX, hal. 8-15. Lihat juga wawancara dengan Eko Rahardjo, ketua divisi penerangan FKAWJ tanggal 10 Agustus 2004 dalam Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, hal. 121.
[19] Lih. Al-Musyarakah fi al-Intikhabat al-Barlamaniyah, DR. ‘Abdullah ibn Ibrahim al-Thuraiqy, www.islamtoday.net/print.cfm?artid=2869 dan www.islamtoday.net/print.cfm?artid=2896 . Dalam tulisan yang sama, ia menawarkan sebuah sistem pemilu Islam yang mengadopsi konsep Ahl al-Hill wa-‘Aqd yang hanya melibatkan ‘orang-orang pilihan’ dan bukan seluruh rakyat di sebuah tempat.
[20] Lih. Penjelasan Dewan Syariah Wahdah Islamiyah tentang Pemilihan Umum, www.wahdah.or.id.
[21] Lih. Kesaksian Tentang Yayasan Al-Sofwa, hal.2, www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=557.
[22] Buku ini diterbitkan oleh Maktabah al-Ghuraba’ di Madinah.
[23] Lih. Al-Khithab al-Dzahaby, karya DR.Bakr ibn Abdillah Abu Zaid. Buku kecil ini pada mulanya adalah surat balasan Syekh Bakr untuk DR.Rabi’ yang memintanya memberi pengantar atas bukunya yang mengkritik Sayyid Quthb secara tidak proporsional. Permintaan itu justru ditolak dan dijawab dengan surat ini. DR.Bakr Abu Zaid adalah anggota Dewan Ulama Besar Saudi yang saat ini menjabat sebagai Ketua Konfrensi Fikih Internasional Rabithah Alam Islami di Mekkah.
[24] Saya Merindukan Ukhuwwah Imaniyah Islamiyah, majalah SALAFY hal.6, edisi 5 tahun ke 5.
[25] Lih. Majalah SALAFY edisi 3 tahun 1416, juga Dakwah Salafiyah Dakwah Bijak hal. 34.
[26] Lih. Membongkar Pikiran Hasan al-Banna-Ikhwanul Muslimin (II), hal.3
[27] Ibid., hal.6
[28] Ibid., hal.8
[29] Uniknya prinsip ini justru diucapkan oleh Syekh Nashiruddin al-Albani dengan mengadopsi dan melakukan sedikit koreksi redaksional atas prinsip Ikhwanul Muslimin: “Nata’wanu fima ittafaqna alaih wa na’dzuru ba’dhuna ba’dhan fima ikhtalafna fihi.”
[30] Lih. Persaksian tentang Yayasan Al Sofwa, www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=557.
[31] Lih. www.freelists.or/archives/salafy/11-2003/msg00034.html.
[32] www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=338 .
[33] Ibid., hal. 2
[34] Lih. Mereka Adalah Teroris, hal.664-702. Buku setebal 720 halaman ini ditulis oleh Luqman Ba’abduh –salah seorang murid Syekh Muqbil ibn Hadi al-Wadi’i di Indonesia- untuk membantah buku yang ditulis Imam Samudra, Aku Melawan Teroris.
[35] Membongkar Pemikiran Sang Begawan Teroris (I), www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=878.
[36] Mereka Adalah Teroris, hal.59
[37] Dakwah Salafiyah Dakwah Bijak, hal.69
[38] Lih. www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=664.
[39] Majalah SALAFY, edisi 5 tahun ke 5, hal. 9-10
Ketika Salafi Berebut Tafsir
Ketika Salafi Berebut Tafsir
Haedar Nashir
Salafi merupakan genre keagamaan dalam tradisi Islam klasik yang kini banyak hadir kembali di sejumlah negara muslim dengan spirit militansi yang luar biasa. Tak kecuali di Indonesia yang berpenduduk mayoritas muslim di era keterbukaan pada saat ini.
Kehadiran kelompok Islam yang menisbahkan diri sebagai pengikut jejak generasi panutan pasca-Nabi yang saleh (salaf al-shalih) itu, selain militan, tak jarang menampilkan corak keagamaan yang keras. Lebih-lebih ketika kelompok Islam lainnya yang serumpun juga bermunculan ke permukaan dengan tampilan keagamaan yang tak kalah keras dan militan. Ibarat pepatah, air mengalir ke tepian, kerbau pun pulang kandang. Keras pandangan, siapa pun pemiliknya, akan melahirkan peluang gampang silang sengketa yang mengalir deras ke segala arah.
Salafi (salafy) adalah sebutan bagi orang yang mengikuti atau mengklaim diri sebagai pengikut ajaran salaf. Salaf adalah masa terdahulu, suatu era kehidupan tiga generasi sesudah Nabi, yaitu para sahabat, tabi’in (pengikut sahabat), dan tabi’in-tabi’in (pengikut para tabi’in) yang pola kehidupan keagamaannya dipandang ideal.
Salafi juga sering disamakan dengan “jamaah berpaham salaf”, mirip dengan salafiyah (salafiyyah) sebagai aliran atau mazhab. Orang yang mengikuti paham salafi disebut salafiyyun atau salafiyyin, yakni mereka yang menjadi pengikut ajaran salaf, baik karena klaim dirinya maupun predikat orang terhadapnya.
Pada awalnya, salafi atau salafiyah terbatas pada paham semata, yang muncul dari para pengikut mazhab Imam Hanbali pada abad ke-7 Hijriah. Paham ini makin populer pada abad ke-12 Hijriah di tangan Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah. Secara normatif, salafi merupakan idealisasi paling harfiah untuk menjalankan praktek agama sebagaimana generasi salaf as-shalih. Praktek hidup generasi terdahulu itu, menurut sementara pandangan, termasuk yang dirujuk hadis sebagai khairu-kum qarniy, suatu generasi terbaik pasca-Nabi.
Generasi yang juga dinisbahkan sebagai ash-shabiqun al-awwalun (Q.S. At-Taubah: 100), para perintis Islam generasi awal dari Muhajirin dan Anshar yang menjalani hidup keemasan masa Nabi dan sesudahnya. Hingga di sini, kategorisasi salafi menjadi absurd, sebab kualitas ideal generasi Nabi itu menjadi hak milik setiap orang Islam untuk meraihnya, bukan milik kelompok tertentu, lebih-lebih secara given.
Dalam perkembangan berikutnya, sejarah mencatat bahwa salafiyah tumbuh dan berkembang pula menjadi aliran (mazhab) atau paham golongan, sebagaimana Khawarrij, Mu’tazilah, Maturidiyah, dan kelompok-kelompok Islam klasik lainnya. Salafiyah bahkan sering dilekatkan dengan ahl-sunnah wa al-jama’ah, di luar kelompok Syiah.
Salafi atau salafiyah bukan hanya tumbuh beragam cabang, bahkan menampilkan perbedaan paham yang sangat keras satu sama lain. Perbedaan paham yang serba ekstrem sering mengantarkan kaum salafi pada sikap gampang saling menyesatkan. Karena soal paham dan pertentangan yang keras, tidak jarang mereka melakukan mubahalah, sumpah keagamaan untuk menentukan siapa benar dan siapa salah di antara mereka.
Rentang paham keagamaan kaum salafi memang tajam dan keras. Kelompok salafi aqidah atau “dakwah” membatasi diri hanya pada praktek keagamaan yang mereka klaim bersih dari syirik, bid’ah, dan kurafat. Kelompok ini pada tingkat yang paling rigid membid’ahkan apa saja yang di luar mereka pahami, termasuk membid’ahkan organisasi dan lebih-lebih politik. Kelompok salafi “haraki”, sebagaimana namanya, melibatkan diri dalam pergerakan keagamaan, tak kecuali dalam politik.
Yusuf Qaradhawi bahkan memperkenal kelompok salafi “politik”, yang menceburkan diri dalam kegiatan-kegiatan politik praktis. Penulis, melalui disertasi tentang Gerakan Islam Syariat, mengamati kecenderungan kelompok salafi lain yang tipikal, yakni salafi “ideologis”. Mereka adalah kelompok salafiyah yang mengusung isu-isu keagamaan serba harfiah dan doktrinal, sekaligus memiliki agenda politik untuk mewujudkan cita-cita keagamaannya dalam struktur negara dan memformat ulang negara Islam.
Kelompok Islam modernis seperti Muhammadiyah dan Persatuan Islam juga dikategorikan sebagai salafiyah, yang mempraktekkan Islam murni, terutama dalam akidah dan ibadah. Azyumardi Azra memasukkan Muhammadiyah ke dalam salafiyyah washathiyyah, salafi yang moderat. Dalam istilah penulis, Muhammadiyah termasuk salafiyah tajdidiyah atau salafiyah reformis karena melakukan pemurnian sekaligus pembaruan pemikiran Islam.
Bahkan Nahdlatul Ulama dikaitkan pula dengan salafiyah, ketika merujuk pada paham keagamaannya sebagai ahl al-sunnah wa al-jama’ah. Kedua gerakan Islam tersebut malah dikenal sebagai moderat. Dari titik ini tergambar betapa majemuk sekaligus absurd paham dan kelompok salafi yang muncul ke permukaan, sekaligus sebagai bayangan langsung pluralitas Islam dalam konstruksi dan latar sosio-historis para pemeluknya yang pusparagam.
Tampilan perilaku keagamaan kaum salafi pun laksana diaspora. Karena ada kategori salafi yang moderat, maka ada pula salafi “radikal”. Orang boleh tak setuju dengan kategori yang stigmatik seperti itu, tapi salafi yang disebut terakhir itu, selain serba harfiah dalam memahami Islam, juga menampilkan praktek keagamaan yang serba militan dan keras. Taliban di Afghanistan, yang pernah tampil sebagai rezim Islam, merupakan prototipe paling signifikan salafi yang super-rigid dan keras itu.
Bahkan Imam Samudra yang terlibat dalam tragedi bom Bali 12 Oktober 2002, sebagaimana dalam biografinya, Aku Melawan Teroris, mengklaim diri sebagai pengikut ajaran salaf al-shalih. Imam Samudra dengan klaim ajaran salafiyahnya bahkan menampilkan sosok penggiat Islam garis keras yang dengan terang-terangan menyatakan “aku memang demen yang ribut-ribut dan berbau kematian”, kendati dinyatakan pula bahwa dirinya bukanlah seorang anarkis dan paranoid.
Pada titik inilah kaum salafi “radikal” kemudian bersentuhan dengan format keagamaan fundamentalisme dan revivalisme Islam. Mereka seolah mendaur ulang salafiyah Wahabbiyah sekaligus bersinergi dengan neo-revivalisme Ikhwanul Muslimin, Jama’at-i-Islamy, bahkan Taliban dalam bermacam ragam tampilan. Dalam konteks ini pula wajah Islam yang serba harfiah dan doktriner itu bersenyawa dengan militansi dan gerak politik ideologis yang sama kakunya, sehingga melahirkan polarisasi dan konflik keagamaan yang seringkali keras.
Maka, ketika kaum salafi berbeda dan berebut tafsir, jangan salah bahwa mereka tidak terlalu sulit untuk saling berbenturan paham dengan keras. Baik karena salafiyah maupun tidak, manakala Islam dikonstruksi serba harfiah dan doktriner dengan klaim kebenaran dan tafsir mutlak, maka yang muncul adalah perselisihan keras dan tajam.
Absolutisasi pandangan tentang Islam memang selalu menjadi titik rawan lahirnya perseteruan. Islam salafiyah maupun penganut Islam “murni” lainnya, sepanjang selalu menganggap dirinya paling Islami sambil menganggap pihak lain tidak Islami, maka pada saat itulah ruang untuk kenisbian paham dan toleransi menjadi menyempit.
Selalu ada rujukan teologis untuk bertengkar keras memperebutkan tafsir Islam. Al-Shadek Al-Nahyoum menyebutnya sebagai fenomena Islam dhidhu’ Al-Islam, Islam dengan ikon nakirah (tak berpredikat, tak bernama) versus Al-Islam dengan idiom ma’rifah (berpredikat, bernama), yang melahirkan perbedaan paham dan pandangan yang serba diametral. Manakala perbedaan tafsir itu bersenyawa dengan urusan politik, maka wilayah perselisihan menjadi kian keras. Politik dan agama bahkan menjadi sarat ambisi untuk memenangkan wilayah kekuasaan, baik kekuasaan diniyah maupun dakwah sekaligus dunyaawiyah.
Dalam konteks gerakan salafiyah, fenomena konflik keagamaan tersebut juga menampilkan genre baru kaum salafi yang radar teologis dan ideologisnya begitu sensitif untuk saling menegasikan dan bertikai paham dengan keras. Ketika kaum salafi maupun sesama kelompok Islam lain saling berebut tafsir keagamaan dengan harga mati, maka seringkali wilayah perseteruan berbuntut rumit.
Paham agama yang serba doktrinal dan absolut, ditambah ambisi-ambisi kekuasaan duniawi dan fanatisme hizbiyah yang tinggi, kemudian bersenyawa dengan situasi krisis dan marjinal yang serba menekan, akan melahirkan konflik paham dan kepentingan agama yang keras. Sementara ruang dialog yang disediakan pun bukan wahana cair untuk berwacana, melainkan masuk ke wilayah pertempuran saling memenangkan tafsir, sambil melibatkan massa masing-masing.
Kalau boleh berharap, jangan sampai tesis Thariq Ali tentang benturan antar-fundamentalisme (the clash of fundamentalism) bersemi di tubuh umat Islam pada saat ini. Perbedaan paham tak perlu berbuntut permusuhan dan tindakan kekerasan. Wacana keislaman pun semestinya tak berujung ke pengadilan. Di titik inilah betapa cahaya kearifan dari setiap elite dan kelompok Islam untuk mengutamakan kemaslahatan bersama menjadi sangat penting laksana mutiara.
Islam itu sangatlah luas melampaui hamparan samudra, tak perlu diperkecil ke wilayah sempit. Boleh berbeda paham, tapi tak perlu bermusuhan. Jika tak mampu bersatu, setidaknya tak perlu saling mengganggu. Toleran dalam perbedaan perlu diutamakan, sambil saling memberi maaf. Itulah kearifan Islam yang autentik. Wa’tashimu bi habl Allah jami’a wa laa tafarraquu!
Haedar Nashir
Ketua PP Muhammadiyah, doktor sosiologi, menulis disertasi tentang salafi
[Kolom, Gatra Nomor 35 Beredar Kamis 12 Juli 2007]
_________________
Sumber: Gatra
Kitab Kasyfu asy Sybubuhât Doktrin Takfîr Wahhâbi Paling Ganas(1)
Sekilas Tantang Kitab Kasyfu asy Sybubuhât
Kitab Kasyfu asy Sybubuhât adalah karya Syeikh Muhammad ibn Abdi Wahhâb yang ia tulis untuk mendektekan “hujjah-hujjah dan bukti-bukti” dan menjelaskan inti pikiran ajakannya. Kitab ini menjadi rujukan utama sekte Wahhabiyah dalam menanamkan doktrin ajarannya, ia tersebar dengan luas di kalangan para santri, pelajar, mahasiswa dan kaum awam Wahhabi sekalipun. Kemasyhuran kitab tersebut tidak kalah dengan kemasyhuran kitab at Tauhid karyanya.
Kitab tersebut, baik terjemahan maupun aslinya telah menyebar di tanah air nusantara yang kita cintai.
Kitab Kasyfu asy Sybubuhât
Kitab Kasyfu asy Sybubuhât adalah sarat dengan doktrin pengafiran atas kaum Muslimin selain kelompok Wahhabi (yang tunduk menerima ajakan Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb). Ia telah mengetegorikan banyak hal yang bukan syirik ke dalam daftar kesyirikan! Dan atas dasar itu ia mengafirkann dan menvonis musryik selain kelompoknya.
Dalam buku kecil itu, Ibnu Abdil Wahhâb telah menyebut umat Islam, seluruh umat Islam, baik awam maupun ulamanya dari berbagai mazhab dan golongan selain kelompoknya dengan sebutan musyrikân tidak kurang dari dua puluh empat kali. Sementara itu, lebih dari dua puluh lima kali ia menyebut kaum Muslimin dengan sebutan:
kafir,
para penyembah berhala-berhala,
orang-orang munafikun,
orang-orang murtad,
para penentang Tauhid,
musuh-musuh Tauhid,
musuh-musuh Allah,
orang-orang yang mengaku-ngaku Islam secara palsu,
pengemban kebatilan,
orang-orang yang dalam hati mereka terdapat kecendurngan kepada kebatilan,
kaum jahil,
setan-setan,
dan sesungguhnya orang-orang bodoh dari kalangan kaum kafir dan para penyembah berhala-berhala lebih pandai dari mereka …
dan kata-kata keji lainnya.
Sebuah kenyataan yang membuat kitab tersebut sebagai kitab Pedoman Doktrin Takfîr paling berbahaya dan sekaligus sebagai saksi nyata bahwa ajaran Wahhâbiyah ditegakkan di atas pondasi pengafiran yang sulit dielak oleh para pengikutnya sekarang!
Dan untuk melihat dari dekat kitab tersebut, maka kami tertarik untuk menerjemahkannya dengan disertai catatan yang akan membantu pembaca mengenal dengan baik pikiran inti Pendiri Setke Wahhâbiyah dan sekaligus akan menggaris-bawai beberapa kekeliruannya.
Naskah yang kami terjemahkan adalah terbitan Dâr al Kotob al Ilmiah Bairut- dengan disertai syarah Syeikh Ibnu Utsaimin dan dicetak bersama kitab al Ushûl as Sittah juga karya Ibnu Ibdil Wahhâb. Tebal halaman berikut syarhnya adalah 83.
Di bawah ini Silahkan ikuti terjemahan dan catatan komentar dari kami mengomentari tentang isi kitab tersebut
Selamat membaca.
Berkata Ibnu Abdil Wahhab –pendiri sekte Wahhâbiyah- dalam kitabnya Kasyfu asy Syubuhât
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Ketahuilah wahai yang ingin dirahmati oleh Allah Swt, sesungguhnya tauhid adalah mengesakan Allah dengan ibadah. Di mana hal tersebut merupakan agama dan tuntunan duta-duta Allah untuk para hamba-Nya; dimulai oleh nabi Nuh a.s. yang diutus kepada kaumnya ketika mereka telah melampaui batas/gluluw orang-orang yang saleh; Wudda, Suwa’a, Yaghuts, Ya’uq dan Nasra.
_______________
Catatan: 1
Awal pembicaraan di atas adalah benar, akan tetapi bagian akhirnya tidak berdasar. Tidak semetinya berpanjang-panjang dalam menjelaskan masalah yang telah diketahui dan disepakati semua umat Islam, bahwa para nabi saw. diutus untuk mengajarkan konsep Tauhid yaitu mengesakan Allah SWT dalam penyembahan dan meninggalkan penyembahan selain-Nya. Nabi Nuh as. diutus kepada kaum yang menyembah arca-arca dan berhala-berhala dan bukan sekedar berghuluw/berlebihan terhadap para shalîhîn seperti yang dikatakan Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb. Secara bahasa kata ghuluw artinya sikap melampaui batas, kata ini dapat memiliki konotasi yang luas dan dapat diseret kepada makna yang disalah-gunakan. Benar, terkadang sikap ghuluw itu mencapai puncaknya yaitu kekafiran, walaupun itu jarang… mencium tangan seorang shaleh atau wali dan bertabarruk terhadap kaum shâlîhîn dalam pandangan Ibnu Abdil Wahhâb termasuk sikap guluw… akan tetapi semua itu tidak benar dikategorikan sebagai syirik!
Sepertinya Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb hendak mengesankan kepada kita bahwa ajakannya adalah kelanjutan dari ajakan para nabi as. Atau ia ingin membangun opini bahwa para nabi dan rasul as. itu tidak diutus oleh Allah SWT kecuali kepada kaum yang berghuluw kepada kaum shâlîhîn semata! Atau bahwa kesalahan terbesar yang menjerumuskan mereka ke dalam lembah kemusyrikan hanyalah berghuluw kepada kaum shâlîhîn! Seperti yang ia tegaskan dalam kitab at Tauhid-nya dengan menulis sebuah bab dengan judul, “Bab bukti-bukti yang datang bahwa sebab yang membawa bani Adam kepada kekufuran dan meninggalkan agama mereka adalah ghuluw terhadap.kaum shâlîhîn.” (Syarah Ibnu Utsaimin atas Kasyfu asy Syubuhât:15).
Ini semua tidak benar dan tidak berdasar, sebab pada kenyataannya mereka menyekutukan Allah dan menyembah berhala-berhala. Dan ini sudah cukup untuk menjadi alasan kemusyrikan mereka. Sementara itu, lawan-lawan ajakan Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb yang membantah alasan-alasannya dan yang ia kafirkn serta ia perangi adalah kaum Muslimin yang mengesakan Allah dan tidak menyembah selain-Nya, akan tetapi mereka berkeyakinan bahwa bertabarruk dengan para shâlîhîn, yang sementara ini divonis syirik olehnya. Karenanya, Syiekh banyak mengulang poin ini dalam banyak kesempatan.
Makna Ibadah
Seperti telah diketahui bersama bahwa tidaklah semua bentuk pengagungan dan ketundukan dapat diketegorikan sebagai ibadah/penyembahan/penghambaan. Jadi mengagungkan terhadap seorang nabi misalnya, atau seorang wali atau ulama atau mengagungkan kuburan mereka dengan bentuk pengagungan tertentu atau bertabarruk dengan mereka tidak serta-merta disebut sebagai menyembah mereka dan atau kuburan mereka, atau menyamakannya dengan menyembah berhala dan karenanya divonis musyrik/kafir.
Memuji Kebaikan Kaum Musyrikin!
Seperti telah disinggung bahwa lawan-lawan yang dikafirkan dan diperangi Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb adalah kaum Muslimin yang menegakkan shalat, menjalankan puasa dan haji, oleh sebab itu ia mesti perlu membubarkan tanda tanya yang terus-menerus membayangi pengikutnya bahwa mereka itu benar-benar telah musyrik agar para pengikutnya itu tetap bersemangat mengafirkan dan kemudian memerangi mereka. Dari sini dapat dimengerti rahasia mengapa ia berlebih-lebihan dalam menekankan hal itu, seperti tampak dari kata-katanya di atas. Dan dari sini pula dapat dimengerti mengapa Syeikh begitu bersemangat memaparkan mahâsin/sisi baik kaum kafir Quraisy, pengikut Musailamah al Kadzdzâb dan kaum munafikin di zaman Nabi saw. Dalam banyak kali Syeikh mengunggulkan mereka atas kaum Muslimin; baik ulama maupun awamnya! Semua itu ia lakukan dengan maksud mengajukan bukti bahwa orang-orang yang ia perangi adalah orang-orang yang secara kualitas di bawah kaum kafir Quraisy dan kaum munafikin serta pengikut Musailamah al Kadzdzâb!
Ini jelas salah besar, sebab ia hanya memaparkan sisi baik (jika kita terima anggapannya bahwa itu adalah kebaikan) kaum Musyrikun dan sengaja melupakan keburukan mereka. Sementara itu, ketika memaparkan kondisi kaum Muslimin yang sedang ia bandingkan dengan kaum kafir itu ia lupakan sisi-sisi positif yang ada dan hanya berfokus pada sisi negatif saja! Seperti akan disebutkan nanti.
Kitab Kasyfu asy Sybubuhât Doktrin Takfîr Wahhâbi Paling Ganas(2)
Dan diakhiri oleh penghulu mereka Nabi Muhammad Saw. Beliau (juga demikian) telah menghancurkan arca-arca berupa hamba-hamba saleh. Beliau diutus oleh Allah kepada umat manusia yang juga beribadah, berhaji, bersedekah dan selalu berdzikr mengingat Allah, namun mereka menjadikan sebagian makhluk sebagai sarana dan perantara di antara mereka dan Allah Swt; dengan sarana-sarana tersebut mereka berharap dapat mendekatkan diri kepada-Nya, mengharap syafa’at di sisi-Nya, seperti Malaikat, Isa, Maryam dan sosok-sosok saleh yang lain.
Kemudian Allah Swt mengutus Muhammad Saw dalam rangka memperbaharui agama ayahnya, Ibrahim a.s. seraya mengabarkan kepada mereka bahwa mendekatkan diri itu murni hak Allah dan tidak layak untuk selain-Nya, bukan untuk para malaikat dan seorang nabi yang diutus apalagi selain keduanya.
___________
Catatan:2
Demikianlah, Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb melukiskan potret indah tetapi tidak riil tentang orang-orang kafir Quraisy untuk dijadiknnya pijakan dalam mengafirkan umat Islam. Kata Syeikh kaum kafir Quraisy itu adalah orang-orang yang rajin menyembah Allah, melaksanakan haji, bersedekah dan banyak berzikir menyebut dan mengingat Allah SWT.!! Jelas ini adalah pembandingan yang tidak riil, seperti akan kami jelaskan sebentar lagi.
Setelahnya, Syeikh menjelaskan sifat/kondisi yang karenanya Rasulullah saw. memerangi kaum kafir Quraisy, ia mengatakan, “Akan tetapi??? “ itu artinya, mereka berhak diperangi, maka kami juga berhak memerangi mereka yang menyandang sifat dan berada dalam kondisi yng sama dengan alasan yang sama pula!!
Subhanallah! Demikianlah pendiri Sekte Wahhabiyah itu menyamakkan kaum Muslimin dengan kaum kafir Quraisy…. Dan semua keterangan yang ia obral dan atasnya ia membangung vonis sesatnya tentang kekafiran dan kemudian dihalalkannya memerangi kaum Muslimin adalah palsu dan hanya tipuan belaka, sebab:
Pertama: Pantaskan ia menyebut kaum kafir Quraisy itu sebagai kaum yang “menyembah Allah…. “ sementara ibadah dan penyembahan mereka itu telah digambarkan Allah dengan firmannya:
وَ ما كانَ صَلاتُهُمْ عِنْدَ الْبَيْتِ إِلاَّ مُكاءً وَ تَصْدِيَةً.
“Dan tidaklah shalat mereka di sekitar baitullah itu, melainkan hanya siualan dan tepuk tangan.” (QS. Al Anfâl [8];35)
Kata mukâ’ adalah bersiul dan tashdiyah artinya bertepuk tangan.
Dalam tasfir al Kkasysyâf-nya az Zamakhsyari menjelaskan bahwa: ”Mereka itu thawâf mengelili Ka’bah sambil telanjang bulat, baik wanita maupun pria, mereka menyilangkan jari jemari mereka sambil bersiul dan bertepuk.” Mereka menyembah dan sujud kepada arca dan berhala yang jelas-jelas dilarang keras Allah SWT. Mereka memberikan sesajen kepada arca-arca dan berhala-berhala itu. Mereka mengucapkan talbiah dengan menyebut nama-nama berhala-berhala mereka, kemudian mereka melumurkan darah sembelihan mereka ke badan mereka. Inilah ibadahnya kaum kaum kafir Quraisy yang dibanggakan dan dipuji-puji Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb.
Mereka berhaji tetapi dengan memasukkan bid’ah dan berbagai kekejian dan penyimpangan, di antaranya, mereka thawaf sambil telanjang bulat seperti telah disinggung, dengan aurat terbuka dan tak tertutupi oleh sehelai benang pun! Dengannya mereka beranggapan dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT. Kisah wanita yang datang ke kota Mekkah untuk ibadah haji yang dipaksa menanggalkan seluruh baju yang melekat di badannya adalah kisah masyhur di kalangan para sejarawan, dan kemudian ketika ia melakukan thawaf dengan telanjang, para penduduk kota Mekkah berkerumun menonton adegan thawaf bugil yang diperagakan wanita asing yang molek itu. Ia sambil malu berkeling mengitari Ka’bah seraya menggubah syair:
Hari ini tanpak sebagian atau seluruhnya…
Dan yang tanpak tak kuhalalkan untuk ditonton.
Inikah kaum, yang kata Ibnu Abdil Wahhâb kekafiran dan kemusyrikan mereka hanya terbatas pada tasyaffu’/meminta syafa’at kepada kaum shâliîhîn saja!
Kata Syeikh, “mereka bersedekah”, akan tetapi apakah ia lupa bahwa mereka itu mengingkari kerasulan para nabi dan rasul as. Dapatkah berguna sedakah mereka itu?!
Mereka kadang-kadang berdzikir menyebut Allah, namun dalam hampir seluruh kondisinya tidak mengingat Allah, bahkan berpaling dari menyebut Allah dan hanya menyebut-nyebut nama-nama berhala sesembahan mereka! Mereka menyebut-nyebut, “U’lu Hubal/berjayalah tuhan Hubal.” Disamping itu mereka menyebut nama-nama berhala-berhala ketika menyembelih hewan ternak mereka tanpa menyebut nama Allah SWT.
Wahai Saudaraku:
Sepertinya Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb lupa untuk melengkapi khayalannya dengan menambahkan kata-kata, ‘dan mereka/kaum kafir Quraisy itu rajin menegakan shalat, mengeluarkan zakat… mereka tidak berzina, tidak menikahi mantan istri ayah-ayah mereka… mereka tidak meminum arak, tidak berjudi bentuk maisir, anshâb, azlâm… mereka tidak bermu’amalah secara ribâ, tidak mengubur hidup-hidup anak perempuan mereka….
Ringkas kata, mereka telah dengan sempurna melaksanakan syarat-syarat Islam, termasuk shalat tarâwih… kesalahan yang muncul dari mereka hanya satu yaitu meminta syafa’at kepada hamba-hmba yang berkedudukan tinggi di sisi Allah seperti malaikat, Nabi Isa dll., dan menjadikan mereka sebagai perantara! Atas dasar itu Nabi saw. memerangi mereka dan menvonis mereka sebagai Musyrikûn! Apa bukan demikian wahai pembaca yang arif?!
Pembandingan yang tidak Jujur
Seperti telah disinggung di atas, bahwa Syeikh menyebut beberapa sifat dan kondisi yang karenanya Nabi saw. menvonis mereka sebagai Musyrikûn dan karenanya pula halal bagi Nabi saw. untuk memerangi mereka! Dan kemudian membandingkannya dengan kondisi keagamaan yang sedang dijalani uumat Islam di masa Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb, yang tentunya dengan alasan yang sama pula ia berhak memerangi mereka!
Akan tetapi pemabandingan yang ia sebutkan itu tidak jujur dan tidak adil serta tidak berdasar! Sebab:
Kaum kafir Quraisy ingkar Lâ ilâha Illallah, dan tidak rela menjadikan Allah sebagai Tuhan mereka! Tidak mengimani hari kebangkitan, surga dan neraka! Tidak mengimani kerasulan Nabi Muhammaad saw.! Mereka menyembah berhala-berhala, berbuat zalim, membunuh, meminum arak, berzina dll. Lalu apakah mereka berhak disamakan dengan kaum Muslimin yang rajin shalat, berpuasa, mengeluarkan zakat melaksanakan haji, bersedekah dan menjauhkan diri dari hal-hal yang diharamkan Allah SWT dan melazimkan diri berprilaku baik dan berbudi pekerti luhur?
أَ فَنَجْعَلُ الْمُسْلِمينَ كَالْمُجْرِمينَ
“Maka apakah patut Kami menjadikan orang- orang Islam itu sama dengan orang- orang yang berdosa ( orang kafir ).”(QS. Al Qalam [68];35)
Demi Allah yang Maha Adil tidaklah sama antara mereka. Umat Islam tidak mungkin sama dengan kaum kafir… Andai kita terima sekalipun apa yang dituduhkan Syeikh bahwa mereka telah melakukan kesyirikan dengan bertabarruk dan beratawassul misalnya, tetapi tidak berdasar jika kita menyamakan kaum Muslimin dengan kaum Kafir, sebab pintu ta’wîl dihadapan praktik para ulama dan awam kaumm Muslimin terbuka lebar. Dan berta’wil adalah satu asalan kuat yang menghalangi dibolehkannya menjaktuhkan vonis kafir atas pelaku praktik tertentu tersebut! Apapun alasannya adalah sebuah kekeliruan fatal ketika Syeikh menyamakan antara umat Islam dengan kaum Kafir Quraisy! Antara yang menjalankan rukun-rukun Islam dengan yang mengingkarinya!
Tidaklah sama kaum yang mengimani Nabi Muhammad saw. dengan yang mengingkari dan memeranginya!
Tidaklah sama antara kaum yang beratawassul kadapa Nabi saaw. dan bertabarruk kepada para shâlihîn, -andai mereka itu salah- dengan kaum yang melempari Nabi saw. dengan batu dan membunuh para shâlihîn!
Tidalkah sama antara kaum yang beriman kepada hari akhir, surga dan neraka dengan kaum yang mengatakan:
وَ قالُوا ما هِيَ إِلاَّ حَياتُنَا الدُّنْيا نَمُوتُ وَ نَحْيا وَ ما يُهْلِكُنا إِلاَّ الدَّهْرُ
“Dan mereka berkata:” Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa.” (QS. Al Jatsiyah [45];24)
Akan samakah antara kaum yang berikrar dengan Lâ ilâha Illallah dengan kaum yang berikrar, “apakah engkau akan jadikan tuhan-tuhan ini menjadi satu Tuhan saja?.”?
Samakah antara yang beriman dengan yang kafir?!
Akan samakah antara yang membenarkan kedatangan para rasul dengan yang mengingkari mereka?
Akan samakah antara yang beriman dengan hari akhir dengan yang kufur kapadanya?
Akan samakah antara yang meminta syafa’at dari para nabi dan para shâlihîn dengaan orang menyembah dan mengharap bantuan dari bebatuan?
Samakah antara kaum yang meminta syafa’at para nabi as. dengan kesadaran penuh bahwa mereka adalah hamba-hamba pilihan Allah dengan kaum yang meminta syafa’at dari berhala dan menjadikan mereka sekutu Allah dalam Ulûhiyah?
Pasti tidak hai Syeikh!!… Adalah perbedaan yang tak pernah ketemu titik kesamaannya!
Para Ulama Islam Membolehkan Bertabarruk
Bukan maksud kami menguraikan masalah ini, akan tetapi sekedar sebagai singgungan saja bahwa mayoritas ulama Islam sejak zaman sebelum Syeikh hingga zaman Syeikh membolehkan bertabarruk dan bertawassul dengan kaum shâlihîn, termasuk Imam Ahmad ibn Hanbal, dan para pembesar mazhab Hanbali. Apakah kaum Wahhhâbiyah sekarang mengafirkan mereka semua?! Atau sekedar menyalahkan mereka saja?!
Jika para pengikut Sekte Wahhâbiyah sekarang mengafirkan mereka, pastilah akan menuai protes keras dari ulama di luar keluaga Mazhab Wahhâbiyah, khususnya dari luar Kerajaan Dinasti Sa’ud dan akan langsung menuding mereka sebagai Islam Ekstirm! dan berlebihan dalam mengafirkan umat Islam!
Jika para pengikut Sekte Wahhâbiyah sekarang tidak mengafirkan mereka, itu artinya mereka (pengikut Wahhâbiyah) telah menolak mentah-mentah doktrin Syeikh Imam dan Pendiri Sekte mereka, yang dengan terang-terangan telah mengafirkaan kaum Muslimin, awam dan ulama mereka! Bukankah umat Islam yang divonis kafir dan musyrik oleh Syeikh di zamannya itu sama dengan kaum Muslimin zaman kita sekarang?!
Jika mereka mengada-ngada dengan mengatakan bahwa berbeda antara kaum Muslimin di zaman Syeikh yang ia kafirkan dengan kaum Muslimin zaman kita sekarang, maka semestinya, perbedaan antara kaum kafir Quraisy dengan ulama dan awam kaum Muslimin di zaman Syeikh lebih nyata!!!
Sebenarnya apa yang diprotes Syeikh dari praktik para ulama dan awam kaum Muslimin berupa: tawassul, tabarruk, memohon syafa’at kepada Nabi saw., ziarah kubur, dll itu semua masih juga ada dan dipraktikkan umat Islam, hingga sekarang, baik awam maupun ulama di berbagai belahan dunia Islam; Mesir, Meroko, Syam, Hijaz, Yaman, Irak, Iran dan tentunya tidak ketinggalan umat Islam di tanah air tercinta; Indonesia (tentunya selain yang berfaham Wahhâbi).
Jika sebagian pengikut sekte Wahhâbiyah mengafirkaan mereka semua, maka ia harus memprotes dan bersungguh-sungguh dalam menegakkan hujjah dan bukti kekfiran itu di hadapan para ulama dan penguasa di Arab Saudi, sebab mereka sekaarang sudah tidak lagi mengaifrkan kaum Muslimin yang bertabarruk …. Dan apabila hujjah mereka yang mengafirkan telah sampai dan didengar oleh mereka, akan tetapi mereka tetap saja tidak mau mengafirkan juga maka mereka semua (ulama Wahhabiyah dan penguasa kerajaan Arab Saudi) harus divonis kafir, sebab berdasarkan kaidah dasar Da’wah Salafiyah/Wahabi bahwa “Siapa yang tidak mau mengafirkan orang kafir atau ragu akan kekafirannya maka ia kafir juga!!!”
Setelah pajang lebar pembicaraan kita, mari kita kembali ke asal permasalahan kita.
Kedua:
Membatasi kamusyrikan dan kekafiran kaum yang Nabi Muhammad saw. diutus kepada mereka hanya pada menjadikan sebagian hamba sebagai perantara dan pemegang hak syafa’at di sisi Allah SWT adalah sebuah kebodohan atu justru penipuan! Sebab kenyataannya mereka tidak seperti yang digambarkan syeikh:
Adapun kaum Musyrikûn Quraisy, walaupun mereka itu meyakini bahwa Pemberi rizki, Pencitpa, yang mematikan dan menghidupkan, Pengatur dan Pemilik apa yang ada di langit dan di bumi adalah Allah SWT seperti dalam beberapa ayat yang telah disebutkaan Syeikh di atas, akan tetapi perlu dicermati, bahwa tidak ada pula bukti yang dapat diajukan untuk menolak bahwa mereka juga tidak meyakini bahwa berhala-berhala dan sesembahan-sesembahan mereka, baik berupa jin, manusia maupun malaikat juga memiliki pengaruh di jagat raya ini dan bahwa pengaruh sepenuhnya di bawah kendali Allah SWT! Sebab tidak tertutup kemungkinan bahwa mereka juga meyakini bahwa sesembahan mereka itu dapat menyembuhkan yang sakit, menolong dari musuh, mengusir mudharrat, dll, dan bahwa sesembahan mereka itu akan memberi syafa’at di sisi Allah dan syafa’at mereka pasti diterima dan tidak bisa ditolak oleh Allah dan sesungguhnya Allah telah menyerahkan sebagian urusan pengurusan alam kepada mereka.
Tidak sedikit ayat Al Qur’an yang menerangkan kenyataan itu, coba perhatikan ayat-ayat di bawah ini:
قُلِ ادْعُوا الَّذينَ زَعَمْتُمْ مِنْ دُونِهِ فَلا يَمْلِكُونَ كَشْفَ الضُّرِّ عَنْكُمْ وَ لا تَحْويلاً
“Katakanlah:” Panggillah mereka yang kamu anggap ( tuhan ) selain Allah, maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya dari padamu dan tidak pula memindahkannya.”.(QS. Al Isra’ [17];56)
وَ إِذا قيلَ لَهُمُ اسْجُدُوا لِلرَّحْمنِ قالُوا وَ مَا الرَّحْمنُ أَ نَسْجُدُ لِما تَأْمُرُنا وَ زادَهُمْ نُفُوراً
“Dan apabila dikatakan kepada mereka:” Sujudlah kamu sekalian kepada Yang Maha Penyayang”, mereka menjawab:” Siapakah yang Maha Penyayang itu Apakah kami akan sujud kepada Tuhan Yang kamu perintahkan kami ( bersujud kepada-Nya )”, dan ( perintah sujud itu ) menambah mereka jauh ( dari iman ).” (QS. Al Furqan [25];60
Bahkan dzahir dari ayat di atas ini jelas sekali bahwa mereka tidak mau sujud selain kepada arca dan berhala mereka, dan hanya berhala-berhala itu yang mereka yakini sebagai tuhan dan tiada tuhan selainnya!
قالُوا وَ هُمْ فيها يَخْتَصِمُونَ* تَاللَّهِ إِنْ كُنَّا لَفي ضَلالٍ مُبينٍ * إِذْ نُسَوِّيكُمْ بِرَبِّ الْعالَمينَ
“Mereka berkata sedang mereka bertengkar di dalam neraka* demi Allah: sungguh kita dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang nyata,* karena kita mempersamakan kamu dengan Tuhan semesta alam”.(QS. Asy Syu’ara’ [26];96-98)…..
Ayat di atas jelas menginformasikan kepada kita bahwa kaum kafir Quraisy itu berkeyakinan bahwa sesembahan mereka itu sama dengan Allah Rabbul ‘Alâmiîn, kendati tidak dari seluruh sisinya. Dan itu sudah cukup alasan dan bukti akan kemusyrikan dan kekafiran mereka!!
Dan semua ayat yang menyebut bahwa mereka menjadikan sesembahan-sesembahan mereka sebagai sekutu Allah juga menunjukkan keyakinan bahwa mereka meyamakan sekutu-sekutu itu dengan Allah SWT., seperti ayat:
إِنْ كادَ لَيُضِلُّنا عَنْ آلِهَتِنا لَوْ لا أَنْ صَبَرْنا عَلَيْها وَ سَوْفَ يَعْلَمُونَ حينَ يَرَوْنَ الْعَذابَ مَنْ أَضَلُّ سَبيلاً
“Sesungguhnya hampirlah ia menyesatkan kita dari sembahan- sembahan kita, seandainya kita tidak sabar ( menyembah ) nya” Dan mereka kelak akan mengetahui di saat mereka melihat azab, siapa yang paling sesat jalannya.” (QS. Al Furqaan [25];42(
وَ يَقُولُونَ أَ إِنَّا لَتارِكُوا آلِهَتِنا لِشاعِرٍ مَجْنُونٍ
“Dan mereka berkata: “Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan- sembahan kami karena seorang penyair gila.”(QS. Ash Shaffat [37];36 (
أَ جَعَلَ الْآلِهَةَ إِلهاً واحِداً إِنَّ هذا لَشَيْءٌ عُجابٌ
Mengapa ia menjadikan tuhan- tuhan itu Tuhan Yang satu saja Sesungguhnya ini benar- benar suatu hal yang sangat mengherankan.(QS. Ash Shâd [38];5 (
dan lain sebagiannya. Maka dengan demikian bagaimana Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb membatasi kemusyrikan dan kekafiran mereka itu hanya pada menjadikan hamba-hamba sebagai perantaan dan pemilik syafa’at di sisi Allah SWT?! Sementara mereka adalah mengingkari kenabian dan karasulan Rasulullah saw. dan menuduhnya sebagai sâhir, penyihir dan mengingkari semua yang beliau bawa dari Allah; hukum dan syari’at kendati telah tegak mu’jizat kebanian beliau! Dan mereka bersikukuh berpegang kapada ajaran jahiliiyah yang mereka warisi dari nenek moyang mereka!
Tidakkah semua ini sudah cukup untuk kemusyrikan dan kekafiran mereka?! Lalu apa manfa’at mengikrarkan keberadaan Allah dan menjalankan beberapa ritual ibadah, berdzikir, bersedekah, haji dll. (jika kita akui itu)?! Akankah berguna semua itu sementara mereka mengingkari kerasulan Nabi Muhammad saw.!
Bagaimana Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb membatasi kemusyrikan dan kekafiran mereka itu hanya pada menjadikan hamba-hamba sebagai perantaan dan pemilik syafa’at, sementara mereka telah merusak agama Allah yang dibawa Nabi Ibrahim as., mereka mengada tentang buhaira, sâibah, waashîlah, hâmi, nasî’u dll. Hal ini saja sudah cukup sebagai bukti kekafiran mereka! Apalagi ditambah mereka menyembah berhala dan aca serta para malaikat yang mereka jadikan sebagai sekutu Allah SWT. Penghambaan/ibadah mereka itu tidak terbatas hanya pada meminta syafa’at daan bertawssul kepada hamba-hamba yang diberi hak syafa’at, seperti ucapan menipu yang ditebar Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb.
Ibadah daan penyembahan kaum Musyrikîn terhadap arca dan berhala yang mereka buat dari batu, tembaga, kayu atau bahan-bahan lainnya dengan tangan-tangan mereka sendiri atau mereka menyembah pepohonan dengan bersujud, atau memberi sesajen dengan menyembelih binatang ternak dengan menyebut nama-nama arca sesembahan mereka… Mereka memohon darinya apa-apa yang semestinya mereka mohon dari Allah SWT. dan mereke berpaling dari menyembah Allah dengan anggapan bahwa mereka tidak mampu menyembah Allah, jadi sesembahan inilah yang mereka sembah untuk mendekatkan diri kepada Allah…
Ini semua bukti bahwa penyembahan kaum Musyrikûn itu bukan sekedar meminta syafa’at dari arca-arca atau sesembahan mereka! Mereka telah menentang perintah Allah WST. dan para rasul-Nya yang tegas-tegas melarang penyembahan selain Allah SWT. Dan juga menyimpang dari petunjuk akal sehat mereka jida mereka mau bertahkim kepadanya, bahwa semua yang mereka sembah itu tidak dapat memberi manfaa’at atau madharrat.
Semua yang mereka lakukan itu tidak sedikitpun dikerjakan oleh kaum Muslimin terhadap seorang nabi atau wali atau kuburan atau lainnya. Apaa yang dilakukan kaum Muslimin adaalah memohon syafa’at kepada pribadi mulia yang diberi hak syafa’at… mereka bertawassul kepada pribadi mulia yang dijadikan baginya wasîlah… dan memohon syafa’at, tasyaffu’ tiada lain adaalah doa yaang dipanjatkan kepada Allah agar permohonan sang nabi itu dikabulkan. Demikian juga dengan istighâtsah, semua itu hanya doa yang dipanjatkan agar Allah berkenan mengabulkan permohonan sang nabi atau wali!
Begitu juga dengan menghadiahkaan pahala kurban sembelihan untu nabi atau wali, itu artinya pahala perbuatan ittu dihadiahkan kepada sang nabi atau sang wali. Dalam prosesi penyembelihan itu hanya nama Allah–lah yang disebut, bukan nama sang nabi atau wali!
Jadi keyakinan-keyakinan menyimpang, amal-amal serta penentangan kepada Naabi saw. lah yang menyebabkan mereka diperangi oleh Nabi Muhammad saw. dan bukaan sekedar bertasyaffu’ atau bertawassul dengan seorang nabi atau wali.
Sedangkan penyembahan mereka kepaada para malaikat yaitu dengan menjadikan mereka sebaagai arbâb (tuhan-tuhan) selain Allah SWT. seperti disebutkan dalam firman Allah:
ما كانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُؤْتِيَهُ اللَّهُ الْكِتابَ وَ الْحُكْمَ وَ النُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِباداً لي مِنْ دُونِ اللَّهِ وَ لكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِما كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتابَ وَ بِما كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ *وَ لا يَأْمُرَكُمْ أَنْ تَتَّخِذُوا الْمَلائِكَةَ وَ النَّبِيِّينَ أَرْباباً أَ يَأْمُرُكُمْ بِالْكُفْرِ بَعْدَ إِذْ أَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
“Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia:” Hendaklah kamu menjadi penyembah- penyembahku bukan penyembah Allah.” Akan tetapi ( dia berkata ):” Hendaklah kamu menjadi orang- orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.* Dan ( tidak wajar pula baginya )menyuruhmu menjadikan malaikat dan para nabi sebagai tuhan. Apakah ( patut ) dia menyuruhmu berbuat kekafiran di waktu kamu sudah (menganut agama) cIslam.” (QS. Âlu Imrân [3]; 80)
Ayat di atas adalah bukti nyata bahwa kaum Musyrikûn telah memposisikan para malaikat sebagai Tuhan. Mereka melakukan terhadapnya apa yang menjadi kekhususan sifat Ketuhanan, Rubûbiyah yang tidk selayaknya dikalukan selain kepada Allah, seperti sujud dan bentuk-bentuk ibadah atu keyakinan lainnya. Tidak ada bukti yang dapat diajukan untuk menunjukkan bahwa apa yang mereka perbuat itu hanya sekedar memohon syafa’at kepada Allah melalui perantaraan para malaikat!
Bukti Lain
Selain itu banyak ayat yang tegas-tegas bahwa kaum Msuryikûn telah benar-benar menyembah, a’badû malaikat. Coba perhatina ayat-ayat di bawah ini:
وَ جَعَلُوا لَهُ مِنْ عِبادِهِ جُزْءاً إِنَّ الْإِنْسانَ لَكَفُورٌ مُبينٌ * أَمِ اتَّخَذَ مِمَّا يَخْلُقُ بَناتٍ وَ أَصْفاكُمْ بِالْبَنينَ * وَ إِذا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِما ضَرَبَ لِلرَّحْمنِ مَثَلاً ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَ هُوَ كَظيمٌ * أَ وَ مَنْ يُنَشَّؤُا فِي الْحِلْيَةِ وَ هُوَ فِي الْخِصامِ غَيْرُ مُبينٍ * وَ جَعَلُوا الْمَلائِكَةَ الَّذينَ هُمْ عِبادُ الرَّحْمنِ إِناثاً أَ شَهِدُوا خَلْقَهُمْ سَتُكْتَبُ شَهادَتُهُمْ وَ يُسْئَلُونَ * وَ قالُوا لَوْ شاءَ الرَّحْمنُ ما عَبَدْناهُمْ ما لَهُمْ بِذلِكَ مِنْ عِلْمٍ إِنْ هُمْ إِلاَّ يَخْرُصُونَ .
“Dan mereka menjadikan sebahagian dari hamba- hamba- Nya sebagai bahagian daripada- Nya. Sesungguhnya manusia itu benar- benar pengingkar yang nyata (terhadap rahmat Allah) * Patutkah Dia mengambil anak perempuan dari yang diciptakan- Nya dan Dia mengkhususkan buat kamu anak laki- laki. * Padahal apabila salah seorang di antara mereka diberi kabar gembira dengan apa yang dijadikan sebagai misal bagi Allah Yang Maha Pemurah; jadilah mukanya hitam pekat sedang dia amat menahan sedih. * Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran. * Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran. * Dan mereka menjadikan malaikat- malaikat yang mereka itu adalah hamba- hamba Allah Yang Maha Pemurah sebagai orang- orang perempuan. Apakah mereka menyaksikan penciptaan malaikat- malaikat itu Kelak akan dituliskan persaksian mereka dan mereka akan dimintai pertanggung jawab. * Dan mereka berkata: ”Jika Allah Yang Maha Pemurah menghendaki tentulah kami tidak menyembah mereka (malaikat).” Mereka tidak mempunyai pengetahuan sedikit pun tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga belaka.” (QS. Az Zukhruf [43];15-20)
Ayat-ayat di atas jelas sekali bahwa apa yang dilakukan kaum Quriasy adalah menyembah malaikat, khususnya ayat 20 “Dan mereka berkata: ”Jika Allah Yang Maha Pemurah menghendaki tentulah kami tidak menyembah mereka (malaikat)” dan tidak ada petunjuk bahwa apa yang mereka lakukan hanya sekedar bertasyaffu’ atau beristighatsah. Bahkan sebaaliknya, tegas ayat di atas bahwa yaang mereka lakukan adalah penyembahan, ibadah! Bahkan ayat 17: “Padahal apabila salah seorang di antara mereka diberi kabar gembira dengan apa yang dijadikan sebagai misal bagi Allah Yang Maha Pemurah” di atas tegas mengatakan bahwa mereka menjadikan malaikat itu serupa, matsalan dengan Allah, sebab anak adalah bagian yang serupa dan sejenis dengan ayahnya.
Dalam hal ini mereka telah mengada-ngada kepalsuan atas nama Allah dengan:
Menisbahkan anak untuk Allah SWT.
Mereka menisbahkan kepada Allah anak dari jenis terendah yang mereka sendiri enggan memilikinya.
Mereka mengklaim bahwa Allah meridhai apa yang mereka yakini.
Dari sini dapat disaksikan bahwa kekafiran dan kemusyrikaan mereka bukan disebabkan mereka meminta syafa’at melalui perantaraan para malaikat atau beristighatsah kepada mereka.
Adapun keyakinan mereka yang menyimpang bahwa para malaikat dapat mencipta, memberi rizki dan mengatur alam raya dengan Allah SWT. Tidak dengan sendirinya dapat menjadi bukti bahwa kekafiran dan kemusyrikan mereka itu disebabkan permohonan mereka kepada malaikat atau istighatsah dan bertawassul kepadaa mereka. Sebab syirik itu daapat terjadi dengaan selaain hal-hal tersebut di atas.
Kayakinan Kaum Nashrani
Adapun keyakinan kaum Nashrani tentang (nabi) Isa as. sudah sangat jelas bahwa mereka mempertuhankan Isa dan Siti Maryam; ibunda Isa as. Apa yaang mereka yaakini dan mereka lakukan tidak sekedar istighatsah atau tawassul atau meminta syafa’at. Mereka benar-benar menjadikaan Isa sebagai Tuhan yang menyandang seluruh sifat KeTuhanan.
Adapun kaum (nabi) Nuh as., mereka teelah melakukan seperti apa yang dilakuakn kaum kafir Quriasy daan bangsa Arab pada umumnya, yaitu menentang para rasul, mengingkaari apa yang mereka bawa dari sisi Allah SWT. Dan menyembaah selain-Nya, seperti yang dikisahkan dalam berbagai ayat dalam Al Qur’an. Dan semua itu sudah cukup alasan untuk kekafiran mereka! Dan tidaak ada dalil, baik yang lemah apalagi yang kuat menunjukkan bahwa apa yang merekla lakukan itu sekedar bertasyaffu’, atau bertawassul dengan kaum Shâlihîn, sementara mereka masih konsisiten menjalankan syari’at/ajaran agama… dan sebenarnya Nuh as. diutus Allah untuk mencegah mereka dari dari praktik-praktik tersebut (bertasyaffu’ dll).
Yang pasti bahwa mereka telah bersikap ghuluw (berlebihan) terhadap kaum Shâlihîn dengan menyembah mereka. Jadi apa yang mereka lakukan tidaklah sama dengan apa yang dilakukan berupa bertawassul, beristighatsah dan meminta syfa’at kepada kaum Shâlihîn seperti yaang dikaataakan Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb!
Demikian pula dengaan kaum-kaum para nabi as. Mereka meyakini bahwa arca dan sesembahan mereka memikili kemandirian dalam ta’tsîr/memberikan pengaruh baik atau buruk dengan tanpa bergantung kepada Allah SWT.
Khulashatul Kalam
Dari semu ketarangan di atas jelaslah bahwa ibadah/penyembahan kaum Msuyrikûn terhadap arca-arca dan berhala-berhala bukanlah sekedar sekedar bertasyaffu’, atau bertawassul dengan kaum Shâlihîn atau meminta syafa’at kepada mereka!!
Tujuan Inti Diutusnya Nabi Muhammad saw.
Adapun tujuan diutusnya Nabi Muhaammd saw. buaknlah apa yang dikatakan oleh Ibnu Abdil Wahhâb dengan kata-katanya, “Kemudian Allah Swt mengutus Muhammad Saw dalam rangka memperbaharui agama ayahnya, Ibrahim as. seraya mengabarkan kepada mereka bahwa mendekatkan diri itu murni hak Allah dan tidak layak untuk selain-Nya, bukan untuk para malaikat dan seorang nabi yang diutus apalagi selain keduanya.”
Diutusnya Nabi saw. adalah bukanlah untuk melarang manusia meminta syafa’at dari kaum Shâlihîn. Agama Ibrahim as. yang diperbahaarui oleh Nabi Muhammad saw. adalah pemalsuan dan kerusakan serta penyimpangan yang diperbuat oleh kaum Musyrikûn seperti telah lewat disebutkan sebagiannya pada lembaran sebelumnya, dan juga praktik menikahi istri-istri ayah-ayah mereka, mengkonsumsi khamer, berjudi, mempekerjakan paraa budak wanita dalam dunia prostituisi, mengubur hidup-hidup anak perempuan mereka, bersujud kepada arca dan berhala, menyebut namanya ketika menyembelih binatang ternak, meninggalkan shalat dan menggantinya dengan bersiul dan tepuk tangan, mukâan wa tashdiyah, dan lain sebagainya… inilah yang mereka rusak dari ajaran agama Ibrahim as. dan untuk memperbaiki perusakan inilah Nabi Muhammad saw. diutus Allah SWT.
Adapaun larangan meminta syafa’at dari para malaikat atau nabi atau wali atau bertawassul dengan mereka tidaklah masuk dalam meteri da’wah Nabi saw. apalagi ia katakan sebagai tujuan utama dan inti! Justru Nabi saw. membenarkan praktik meminta syafa’at dan bertawssul yang pada intinya adalah memohon doa dari kaum Mukminin, seperti telah disinggung.
Adapun apa yang ia katakan, bahwa “(Nabi) mengabarkan kepada mereka bahwa mendekatkan diri itu murni hak Allah dan tidak layak untuk selain-Nya, bukan untuk para malaikat dan seorang nabi yang diutus apalagi selain keduanya.” adalah kepalsuan belaka tas nama Allah dan atas nama Nabi Ibrahim as.!
Kapan Allah memerintah Nabi Muhammad saw. agar mengabarkan kepada umatnya bahwa tidak boleh meminta syafa’at dari pribadi yang diberi hak memberi syafa’at?! Dan memintanya adalah hak khusus Allah dan tidak dibolehkan meminta dari selain-Nya?!
Kapan Nabi Muhammad sw. Mengabarkan kepada umatnya bahwa agar mereka tidak meminta syafa’at drinya?!
Justur yang terjaadi adaalah keebalikannya. Nabi Muhammad saw. mengabarkaan kepada umatnya bahwa beliau adalah syafî’ musyaffa’ (pemilik hak syafa’at dan syafa’atnya aakan diperkenankan), pemilik wasîlah! Dan itu artinya agar kita memohon kepada beliau syfa’at; sebuah hak yang Allah anugerahkan untuknya.
Ketika Nabi Muhammad saw. mengabarkan pemberian anugerah itu, beliau tidak mengatakan kepada umatnya bahwa memohon syafa’at darinya adlah syirik dan kekafiran!
Seluruh ulama Islam kecuali Ibnu Taimiyah membolekan bertabarruk dan bertawaassul dengan para nabi dan para shâlihîn.
Kitab Kasyfu asy Sybubuhât Doktrin Takfîr Wahhâbi Paling Ganas(3)
Karena, orang-orang musyrik juga bersaksi bahwa Allah merupakan satu-satunya pencipta, tidak ada sekutu bagi-Nya, tiada yang memberi rizki selain-Nya, tiada yang menghidupkan dan mematikan selain-Nya, tidak ada sesuatu yang dapat mengatur kecuali Dia, dan sesungguhnya langit, bumi dan seisinya, semuanya hamba dan di bawah kekuasaan dan pengaturan-Nya.
Jika Anda mengharapkan bukti dan argumentasi bahwa yang diperangi oleh Rasulullah Saw adalah mereka yang bersaksi akan hal tersebut. Maka bacalah firman Allah ini:
قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّماءِ وَ الْأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَ الْأَبْصارَ وَ مَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَ يُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَ مَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَ فَلا تَتَّقُونَ.
Katakanlah:” Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab:” Allah”. Maka katakanlah:” Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya ).” (Yunus, 31)
Dan firman-Nya:
قُلْ لِمَنِ الْأَرْضُ وَ مَنْ فيها إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ .سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَ فَلا تَذَكَّرُونَ. قُلْ مَنْ رَبُّ السَّماواتِ السَّبْعِ وَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظيمِ. سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَ فَلا تَتَّقُونَ. قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ وَ هُوَ يُجيرُ وَ لا يُجارُ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ. سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ فَأَنَّى تُسْحَرُونَ.
Katakanlah:” Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?”. Mereka akan menjawab:” Kepunyaan Allah.” Katakanlah:” Maka apakah kamu tidak ingat?”. Katakanlah:” Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya Arasy yang besar”. Mereka akan menjawab:” Kepunyaan Allah.” Katakanlah:” Maka apakah kamu tidak bertakwa”. Katakanlah:” Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari ( azab )-Nya, jika kamu mengetahui”. Mereka akan menjawab:” Kepunyaan Allah.” Katakanlah:” (Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu”. (Al-Mukminun, 84-89)
Dan beberapa ayat yang lain.
Jika memang demikian, bahwa mereka itu telah berikrar dengan hal-hal tersebut namun tetap saja itu semua tidak memasukkan mereka kep dalam tauhid yang diseru oleh Rasulullah Saw, dan saat Anda mengetahui bahwa tauhid yang mereka ingkari adalah tauhid dalam ibadah yang disebut-sebut oleh orang-orang musyrik di masa kami dengan I’tiqad.
_______________________
Catatan 3:
Sekali lagi di sini Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb memberikan gambaran menarik tentang kaum Musyrikûn. Ia tidak menyebutkan berbagai keburukan kaum Musyrikûn. Di sini ia hanya menyebut ayat-ayat yang menunjukkan kepercayaan global kaum Musyrikûn bahwa Allah Pencipta dan Pemberi rizki. Sementara itu pernyataan mereka itu bisa saja mereka sampaikan dalam rangka membela diri di hadapan hujatan tajam Al Qur’an, bukan muncul dari i’tiqâd dan keimanan. Sebab jika benar keyakinan mereka itu, pastilah meniscayakan mereka menerima keesaan Allah dan karasulan Nabi Muhammad saw. serta konsistensi dalam menjalankan berbagai ibadah yang diajarkannya. Karenanya, Allah SWT memerintah Nabi-Nya agar mengingatkan mereka akan konsekuansi dari apa yang mereka nyatakan itu; Maka katakanlah: ”Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya).” dan. Katakanlah: ”(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu.”?!
Seakan Allah SWT mengecam mereka bahwa mereka bebohong dalam apa yang mereka nyatakan dengan lisan mereka! Dan sesungghunya mereka tidak beriman kepada Allah sebagai Dzat Maha Pencipta, Khâliq, Maha Pemberi rizki, Râziq. Sementara pada waktu yang sama mereka juga tidak dapat memngatakan bahwa berhala-berhala sesembahan mereka itulah yang menciptakan langit dan bumi.
Demikian sebagian ulama Islam memahami ayat-ayat di atas. Dan andai pemahaman di atas ini tidak disetujui dan dianggap lemah, dan apa yang dinyatakan kaum Musyrikûn itu adalah sesuai apa yng mereka yakini, maka perlu diketahui bahwa sekadar mengimani Allah sebagai Dzat Maha Pencipta, Khâliq, Maha Pemberi rizki, Râziq tidaklah cukup alasan dikelompokkan sebagai kaum beriman jika mereka menyembah selain Allah SWT. seperti yang dilakukan kaum Musyrikûn.
Dan tidaklah adil apabila Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb hanya berfokus menyebut berbagi ayat yang mengesankan adanya sisi positif pada kaum kafir, sementara itu ia melupakan ayat-ayat yang menyebut terang-terangan sisi-sisi buruk kaum kafir; kekafiran, penentangan kepada Rasul dan hari akhir, kazaliman dll. Kemudian ketika menyoroti kaum Muslimin, yang menjadi fokus bidikan adalah sisi kelam dan buruknya, sementara sisi-sisi positif dan terpujinya dilupakan.
Tidak benar! Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb melakukan hal itu sebagai pijakan awal untuk melegetimasi memerangi kaum Muslimin yang rajin bersembah sujud di hadapan Allah SWT dengan alasan bahwa mereka sama seperti kaum kafir/musyrik Arab di zaman Nabi saw. yang ia gambarkaan dengaan kata-kata menipunya: “Beliau diutus oleh Allah kepada umat manusia yang juga beribadah, berhaji, bersedekah dan selalu berdzikr mengingat Allah.” Jadi, dalam logika Ibnu Abdil Wahhâb, salahkah bila ia juga melakukan persis seperti apa yang dilakukan Nabi Muhammad saw.?! menghalalkan darah-darah dan memerangi mereka!
Catatan:
Coba Anda perhatikan akhir pernyataan Syeikh di atas. Ia tegas-tegas menyebut kaum Msulimin yang berbeda Faham/pemikiran dengannya dengan sebutan kaum Musyrikûn (KAFIR); “Anda mengetahui bahwa tauhid yang mereka ingkari adalah tauhid dalam ibadah yang disebut-sebut oleh orang-orang musyrik di masa kami dengan I’tiqad.”
Dan ini adalah bukti nyata doktrin pengafiran yang ditekankan Syeikh untuk para pengikutnya.
Doktrin Pengafiran Ala Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb
Seperti telah kami sebutkan sebelumnya bahwa dalam tidak kurang dari dua puluh kesempatan, Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb -pendiri Sekte Wahhâbiyah- ini menyebut umat Islam selain dirinya dan pengikutnya sebagai kaum Musyrikûn. Pernyataan di atas adalah teks tegas dalam pengafiran kaum Muslimin; para ulama di zamannya atau paaling tidak kebanyakan ulama di zamannya!
Sebab, jika mereka yang ia maksud dengan pernyataan di atas adalah semua ulama’ yang menggunakan kata dan istilah i’tiqâd untuk menunjuk pada arti keyakinan yang telah dirangkum dalam kitab-kitab akidah, maka itu artinya jelas bahwa Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb benar-benar telah menvonis musyrik para ulama di zamannya. Jika yang ia maksud adalah i’tiqâd di sini adalah i’tiqâd khusus yaitu i’tiqâd kaum Sufi misalnya, maka itu artinya ia telah mengafirkan satu kelompok besar dari ulama Islam tanpa terlebih dahulu memperhatikan dalil daan alasan mereka dan tanpa mempelajari ta’wîl mereka. Bukankah ta’wîl itu dapat menjadi alasan dielakkannya vonis kafir atas sesorang?!
Al hasil, pernyataan di atas adalah bukti kuat bahwa Syeikh sedang mengafirkan kaum Muslimin di luar kelompoknya sendiri! TERUTAMA KAUM SUFI
Di sini perlu diperhatikan, bahwa hujjah dan argumentsi kaum Sufi itu telah diterima kebenarannya oleh banyak ulama Islam. Seperti keyakinan bahwa waktu dan tempat tertentu itu memiliki kekhususan dalam memberikan pengaruh diijabahkannya doa seorang hamba lebih dari waktu dan tempat lain. Di antara waktu-waktu itu adalah sepertiga malam akhir, Lailatul Qadar, Hari Arafah, Lailah Nishfu Sya’ban dll. -baik hadis tentangnya kita shahihkan atau tidak-. Dan di antara tempat-tempat tersebut adalah masjid-masjid, tempat-tempat pelaksanaan manasik haji, Arafah, Mina, Muzdalifah, kota suci Madinah al Munawarrah, makam-makam para nabi as. dan orang-orang Shâlihin, -baik kita terima atau kita tolak argumentasi mereka-, yang pasti mereka adalah orang-orang Muslim yang beriman kepada Allah, kenabian dan hari akhir. Dan pada masalah terakhir ini telah terjadi perbedaan pendapat sejak masa silam, ada yag melarangnya… dan ada pula yang membolehkannya dengan keyakinan bahwa seorang yang dikebumikan di dalam makam itu adalah orng shâleh, dan ruhnya akan mendengar -sebab dalam keyakinan mereka bahwa mayyit dapat mendengar, dan masalah ini menjadi behan perselisihan di antara para ulama-. Dan karena ia hidup di alam kuburnya dan ruhnya dapat mendengar doa yang kita panjatkan kepada Allah, maka dengan demikian harapan diijabahkannya doa itu lebih kuat, jika dibacakan di dekat makamnya. Para peziarah itu memohon syafa’at/bantuan darinya agar mengaminkan doa yaang mereka panjatkan! Dan praktik seperti ini dibenarkan oleh banyak ulama. Bahkan Ibnu Hazm telah melaporkaan adanya ijmâ’ atasnya, sebagaimana tidak sedikit ulama yang diakui kesalafiyahannya oleh kaum Wahhabi seperti adz Dzahabi dan asy Syawkani yang juga membolehkannya. Jadi rasanya sangat tidak tepat apabila kemudian kaum Wahhabi menvonis kafir dan musyrik para pelaku praktik seperti tersebut di atas.
Dan apabila kita cermati dengan seksama, berbagai alasan yang dijadikan pijakan untuk vonis ‘galak’ pengafiran kaum Muslimin oleh Ibnu Abdil Wahhâb, kita dapati adalah perkara-perkata yang bukan tergolong mukaffirah (yang menyebabkan kafirnya seseorang), bahkan ia adalah praktik-praktik yang dibolehkan banyak ulama tidak terkecuali tokoh-tokoh andalan Wahhâbi dan imam mereka, seperti Imam Ahmad dan murid-murid terdekatnya seperti Ibrahim al Harbi al Hanbali.
Benarkan Kaum Muslimin Menyembah Kaum Shâlihîn?
Dalam pernyataan Ibnu Abdil Wahhâb di atas tersirat tuduhan bahwa umat Islam adalah menuyembah kaum Shâlihîn. Dan ini jelas tidak berdasar. Umat Islam, baik dari kelompok Shufi, Ulama Ahli Fikih daan kaum awam sekalipun tidak menyembah selain Alllah Dzat Yang Maha Esa. Berbeda dengan kaum Musyrikin, baik kaum Quraisy maupun lainnya yang telah sujud kepada arca dan berhala!! Jika hal ini belum juga jelas bagi kita, pastilah untuk membedakan hal yang lebih rumit dan samar. Di antara hal yang samar adalah tuduhan yang dilontarkan para ulama Islam bahwa Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb dan jama’ahnya adalah gerombolan kaum Khawarij Modern. Sebab dalam hemat para ulama itu hampir seluruh ciri negatif kaum Khawarij Klasik telah terkumpul pada penganut Sekte ini, seperti: 1) Mengafirkan kaum Muslimin selain kelompok mereka. 2) Menghalalkan darah-darah kaum Muslimin. 3) Mereka membaca Al Qur’an tetepi hanya sampai di kerongkongan saja, tidak meresap dalam jiwa, karenya mereka tidak mengindahkan ayat-ayat Al Qur’an yang mengafirkan kaum Muslimin dan mengalirkan darah-darah mereka. 4) Mereka mengetrapkan ayat-ayat yang turun berkaitan dengan kaum kafir kepada kaum Muslimin. 5) Mereka getol mengerjakan ritual-ritual formal. dll.
Dan apabila menyamakan pengikut Wahhâbiyah dengan kaum Khawârij mereka tolak dan mereka anggap sebagai perlakuakn zalim,- sementara kesamaan dan kemiripannya sangat kental-, maka menyamakan kaum Msulimin dengan kaum Musyrikin yang dilakukan oleh kaum Wahhâbi jauh lebih zalim dan jauh dari kebenaran. Dan jika Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb dapat ditoleransi dalam vonis penyamaan itu maka para ulama Islam yang menyamakan Ibnu Abdil Wahhâb dan jama’ahnya dengan kaum Khawârij lebih berhak menerima toleransi itu! Sebab kaum Khawârij masih digolongkan sebagai kaum Muslimin oleh banyak ulama Islam, sedangkan kaum Musyrik Quraisy tidak ada satupun yang meragukan kekafiran mereka!
Kitab Kasyfu asy-Syubuhat, Doktrin Takfir Wahhabi Paling Ganas (4)
Kitab Kasyfu asy-Syubuhat, Doktrin Takfir Wahhabi Paling Ganas (4)
Sebagaimana mereka menyeru Allah Swt siang dan malam. Kemudian di antara mereka ada yang menyeru para malaikat karena kedekatan mereka di sisi Allah agar memintakan maghfiraah/ampunan untuknya. Atau menyeru seorang hamba shaleh, seperti Lata, atau seorang nabi seperti Isa as., dan Anda mengetahui bahwa Rasulullah Saw memerangi mereka atas dasar kesyirikan ini dan mengajak mereka untuk memurnikan ibadah hanya untuk Allah Swt semata. Sebagaimana Allah Swt berfirman:
فَلا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَداً
” Maka janganlah kalian seru seseorang selaian Allah.” (Al-Jin: 18)
Dan firman-Nya yang lain,
لَهُ دَعْوَةُ الْحَقِّ وَ الَّذينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ لا يَسْتَجيبُونَ لَهُمْ بِشَيْءٍ
“Dia memiliki seruan yang benar, dan mereka yang menyeru selain Allah maka mereka tidak akan pernah dikabulkan permohonannya sedikitpun.” (Ar-Ra’d: 14)
Dan jika telah terbukti bahwa Rasulullah Saw memerangi mereka agar supaya semua seruan dan doa hanya untuk Allah semata, pengorbanan, nazar, permohonan bantuan dan semua jenis dan macam ibadah hanya untuk-Nya.
Dan Anda telah mengetahui bahwa pengakuan mereka terhadap tauhid Rububiyah (keesaan sang pencipta) tidak memasukkan mereka kepada Islam, dan tujuan mereka dari para malaikat, para Nabi dan para wali untuk mendapatkan syafa’at mereka dan untuk mendekatkan diri kepada Allah dengannya, itulah yang membuat halal darah dan harta mereka. Dengan demikian Anda mengetahui bahwa tauhid merupakan hal yang diseru oleh para nabi dan yang enggan diikrarkan oleh kaum musyrikin.
__________
Catatan 4: KESALAHAN PEMIKIRAN SYEIKH DLM KASYFU SYUBHAT
Ini adalah upaya lain Syeikh dalam menggabarkan keindahan daan kebaikan prilaku kaum Musyrik.
Saya tidak habis pikir, bagaimana Syeikh mengatakan bahwa kaum Musyrikun itu “menyeru Allah SWT siang dan malam” ! Dalam ayat Al-Qur’an yang mana Allah menyebutkan bahwa kaum Musyrikun itu selalu, siang dan malam memanjatkan doa dan menyeru Allah SWT. Bukankaah yang mereka seru adalah arca dan berhala Hubal, Lâta, Uzza dan Manât. Andai mereka itu seperti yang digambarkan Syeikh Pendiri sekte Wahhâbi itu mengapakah Allah melarang Nabi-Nya untuk menyeru apa yang mereka seru?!
Allah SWT berfirman:
قُلْ إِنِّي نُهيتُ أَنْ أَعْبُدَ الَّذينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ قُلْ لا أَتَّبِعُ أَهْواءَكُمْ قَدْ ضَلَلْتُ إِذاً وَ ما أَنَا مِنَ الْمُهْتَدينَ
“Katakanlah: ”Sesungguhnya aku dilarang menyembah tuhan- tuhan yang kamu sembah selain Allah”. Katakanlah: “Aku tidak akan mengikuti hawa nafsumu, sungguh tersesatlah aku jika berbuat demikian dan tidaklah( pula )aku termasuk orang- orang yang mendapat petunjuk.”(QS. Al An’am;56)
Dan Allah berfirman menjelaskan kondisi kaum Musyrikun di saat menjelang maut:
فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرى عَلَى اللَّهِ كَذِباً أَوْ كَذَّبَ بِآياتِهِ أُولئِكَ يَنالُهُمْ نَصيبُهُمْ مِنَ الْكِتابِ حَتَّى إِذا جاءَتْهُمْ رُسُلُنا يَتَوَفَّوْنَهُمْ قالُوا أَيْنَ ما كُنْتُمْ تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ قالُوا ضَلُّوا عَنَّا وَ شَهِدُوا عَلى أَنْفُسِهِمْ أَنَّهُمْ كانُوا كافِرينَ
“Maka siapakah yang lebih lalim daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah atau mendustakan ayat- ayat- Nya Orang- orang itu akan memperoleh bahagian yang telah ditentukan untuknya dalam Kitab (Lauh Mahfûz); hingga bila datang kepada mereka utusan- utusan Kami (malaikat) untuk mengambil nyawanya, (di waktu itu) utusan Kami bertanya:” Di mana (berhala- berhala) yang biasa kamu sembah selain Allah” Orang- orang musyrik itu menjawab:” Berhala- berhala itu semuanya telah lenyap dari kami,” dan mereka mengakui terhadap diri mereka bahwa mereka adalah orang- orang yang kafir.” (QS. Al A’râf;37)
إِنَّ الَّذينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ عِبادٌ أَمْثالُكُمْ فَادْعُوهُمْ فَلْيَسْتَجيبُوا لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صادِقينَ
“Sesungguhnya berhala- berhala yang kamu seru selain Allah itu adalah makhluk ( yang lemah) yang serupa juga dengan kamu. Maka serulah berhala- berhala itu lalu biarkanlah mereka memperkenankan permintaanmu, jika kamu memang orang- orang yang benar.” (QS. Al A’râf;194)
Dan juga tentang kaum kafir:
وَ إِذا رَأَى الَّذينَ أَشْرَكُوا شُرَكاءَهُمْ قالُوا رَبَّنا هؤُلاءِ شُرَكاؤُنَا الَّذينَ كُنَّا نَدْعُوا مِنْ دُونِكَ فَأَلْقَوْا إِلَيْهِمُ الْقَوْلَ إِنَّكُمْ لَكاذِبُونَ
“Dan apabila orang- orang yang mempersekutukan (Allah ) melihat sekutu- sekutu mereka, mereka berkata: “Ya Tuhan kami mereka inilah sekutu- sekutu kami yang dahulu kami sembah selain dari Engkau.” Lalu sekutu-sekutu mereka mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya kamu benar- benar orang- orang yang dusta.”(QS. An Nahl;86)
Dan banyak lainnya, sengaja tidak kami sebutkan di sini. Bukankah ayat-ayat tersebut mengabarkan kepada kita gambaran yang bertolak belakang dengan gambaran yaang disajikan Ibnu Abdil Wahhâb. Sebab difirmankan Allah bahwa seruan kaum Musyrikun itu dialamatkan untuk arca dan berhala-berhala mereka persekutukan dengan Allah. Jadi di manakah kita dapat menemukan bukti bahwa kaum Musyrikun itu menyeru Allah siang dan malam?.
Semua gambaran itu diperindah oleh Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb dengan tujuan membangun opini adanya kesamaan antara kaum Musyrikun dan umat Islam di masanya bahkan hendak meyakinkan bahwa kaum Musyrikun lebih unggul di banding umat Islam, kemudian atas dasar ini ia membangun vonis pengafiran atas umat Islam tersebut!
Di sini, perlu ditegaskan kembali bahwa Nabi Muhammad saw. memerangi kaum Kuffâr Quraisy dan selainya dikarenakan banyak sebab, yang paling mendasar adalah: Kemusyrikan, syirk akbar, mendeportasi umat Islam daari rumah-rumah dan kampung halaman mereka, mengingkari kenabian dan kerasulan Nabi Muhammad saw. dan berbagai kezaliman yang mereka lakukan terhadap kaum Musslimin.
Apa yang disebutkan Syeikh sebagai sebab diperanginya kaum Kuffâr adalah tidak lengkap dan cenderung menyebutkan sebab sepeleh yang kurang akurat dengan tujuan memberikan peluang baginya untuk mengambil kesimpulan sepihak.
Lagi pula, dalam ayat Al Qur’an yang mana kita dapat menemukan keterangan bahwa Nabi saw. Memerangi kaum Kuffâr “agar supaya semua seruan dan doa hanya untuk Allah semata, pengorbanan, nazar, permohonan bantuan hanya untuk-Nya.”!!
Di sini Syeikh hanya menyebutkan sebab yang samar, atau justru ia sengaja mengelabui pengikutnya. Apa yang ia sebutkan tidak akan pernah ditemukan dalam nash-nash keislaman dan tidak pasti apakah ia sebab yang karenanya Nabi saw. memerangi mereka?! Sementara itu ia menutup mata dari menyebut sebab yang pasti yang disepakati seluruh umat Islam dan telah ditegaskan Al Qur’an dalam berbagai ayatnya.
Dari sikap mengedepankan “yang belum pasti dan meninggalkan yang pasti” seperti inilah para “Ekstrimisme Islam” mendasarkan kegilaan sikapnya dalam menghalalkan darah-darah sesama kaum Muslimin dari golongan lain!!
Jadi anggapannya bahwa “tujuan mereka dari para malaikat, para nabi dan para wali untuk mendapatkan syafa’at mereka dan untuk mendekatkan diri kepada Allah dengannya, itulah yang membuat halal darah dan harta mereka.” Adalah kepalsuan belaka daan kebohongan atas nama Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya yang menhalalkan darah-darah mereka adalah karena mereka telah merusak agama Ibrahim as., mengingkarii kenabian Nabi Muhammd saw. setelah tegas dan nyata bukti dan mu’jizat di hadapan mereka, serta penyembahan terhadap arca-arca dan berhala-berhala. Bukan sekedar memohon syafa’at dari para malaikat atau tawassul mereka dengan kaum Shâlihin.
Dari sini dapat dipastikan bahwa bangunan pemikiran yang ditegakkan Syeikh telah runtuh daari pondasinya dan dengannya dapat dipastikan pula bahwa penafsiran Kalimatut Tauhid yang ditandaskan Nabi Muhammad saw. dengan apa yang ia pahami adalah rapuh dan fâsid. Karena pengertian Kalimatut Tauhid tidak semata bahwa kata Ilâh maknanya ialah Allah sebagai Dzat Maha Pencipta, Maha Pemberi Rizki dan Maha Pengatur dan darinya ia menyimpulkan bahwa beristighatsah dan memohon syafa’at kepada Allah dengan bantuan hamba-hamba pilihan-Nya adalah sama dengan menjadikan mereka sebagai âlihah (jamak ilâh) dan itu artinya menyembah mereka. Anggapan seperti itu akan Anda ketahui di bawah ini adalah jelas-jelas keliru dan menyimpang! Dan menyamakan kaum Muslimin yang bertawassul dan beristighatsah dengan para penyembah bintang-bintang, penyembah Isa dan Maryam as., penyembah malaikat adalah kejahilan belaka atau penentangan terhadap bukti nyata!
Kitab Kasyfu asy Sybubuhât Doktrin Takfîr Wahhâbi Paling Ganas (5)
Kitab Kasyfu asy Sybubuhât Doktrin Takfîr Wahhâbi Paling Ganas (5)
Tauhid yang diseru Nabi ini adalah arti perkataan Anda: Lailaha Illallah, karena Ilâh (tuhan) menurut mereka adalah apa yang mereka tuju baik dari para malaikat, nabi, wali, pohon, kuburan, atau jin. Mereka tidak bermaksud bahwa Ilâh itu adalah pencipta, pemberi rizki dan pengatur alam semesta, karena mereka mengetahui bahwa ketiga-tiganya milik Allah saja sebagaimana telah saya sebutkan tadi. Akan tetapi Ilâh/tuhan yang dimaksudkan oleh mereka adalah sosok yang oleh kaum Musyrikin di masa kami disebut dengan kata Sayyid.
_____________________
Catatan 5:
Dalam paragraf ini terdapat pengkafiran yang terang-terangan terhadap kaum Muslimin yang hidup di masa Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb. Sebab istilah Sayyid yang secara harfiyah beratikan tuan telah digunakan kaum Muslimin di sepanjang sejarah Islam sebagai sebutan/gelar bagi seorang dari keturunan/Dzuriat Ahlulbait Nabi saw. Di Indonesia pun biasanya gelar sayyid identik dengan Habaib/habib dan tidak sedikit kaum Muslimin memakainya untuk seorang shaleh yang diyakini akan keberkahanya, ia memberikan doa untuk keberkahan, kesembuhan atau keselamatan dll. Dan menggunakan kata Sayyid untuk arti di atas tidak sediktipun mengandung kemusyrikan atau kekafiran, bahkan tidak makruh apalagi haram hukumnya!
Hadis yang menyebut adanya larangan menggunakan kata tersebut untuk selain Allah SWT. masih diperdebatkan kesahihannya. Bahkan terbutki bahwa Khalifah Umar bin al Khaththab berkata:
أبوبكر سيِّدُنَا أعتَقَ بِلاَلا سيِّدَنَا
“Abu Bakar Sayyid kami telah memerdekakan sayyid kami Bilal.”
Lebih dari itu Al Qur’an juga telah menggunakan kata tersebut untuk seorang Rasul utusan-Nya. Allah SWT berfriman:
فَنادَتْهُ الْمَلائِكَةُ وَ هُوَ قائِمٌ يُصَلِّي فِي الْمِحْرابِ أَنَّ اللَّهَ يُبَشِّرُكَ بِيَحْيى مُصَدِّقاً بِكَلِمَةٍ مِنَ اللَّهِ وَ سَيِّداً وَ حَصُوراً وَ نَبِيًّا مِنَ الصَّالِحينَ
“Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakaria, sedang ia tengah berdiri melakukan salat di mihrab (katanya): ”Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang putramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah, dan menjadi sayyidan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang Nabi termasuk keturunan orang- orang saleh.” (QS. Âlu ‘Imrân [3]; 39)
Ketika menafsirkan kata سَيِّداً dalam ayat di atas, Ibnu Katsir mengutip berbagai komentar para mufassir Salaf yang semuanya mengarah kepada makna adanya kemulian dan keistimewaan di sisi Allah SWT.
Mujahid dan lainnya berkata, “Sayyidan maknanya karîm, mulia di sisi Allah –Azza wa Jalla-” [1]
Dan dalam sepenjang penggunaannya oleh kaum Muslimin, kata Sayyid tidak pernah dipergunakan untuk makna yang menyalai kemurnian Tauhid dan penghambaan. Kata itu dipergunakan kaum Muslimin untuk seseorang yang diyakini memiliki kedudukan dan keistimewaan di sisi Allah SWT. dengannya ia diisitimewakan dari orang lain dan karena kedudukan dan keistimewaannya itu maka permohonannya untuk seorang yang menjadikannya perantara dalam pengabulan doa dan permohonan diperkenankan Allah SWT. Jadi apa yang diyakin kaum Muslimin adalah apa yang telah ditetapka Allah SWT.
Adapun kaum Wahhâbiyah, mereka menafikan kedudukan yang ditetapkan Allah SWT untuk hamba-hamba pilihan-Nya dan menisbahkan kepada kaum Muslimin sesuatu yang tidak mereka yakini, dan kemudian menyebut kaum Muslimin dengan sebutan kaum Musyrikin. Apa yang mereka lakukan mirip dengan apa yang dilakukan kaum kafir yang menentang Allah dan Rasul-Nya kemudian menisbahkan kepada para Rasul dan pengikut setia mereka apa-apa yang tidak mereka yakini dan mereka perbuat!
Dan tidak ada larangan dalam penggunaan kata sayyid seperti juga kata rab untuk selain Allah SWT selama ia dipergunakan dalam arti yang tidak menyalai kemurnian penghambaan dan Tauhid. Dan tentunya perlu diyakini bahwa tidak seorang pun dari kaum Muslimin yang mengunakannya untuk makna yang menyalai kemurnian penghambaan.
Tidak Semua Kaum Musyrik Mengakui Allah Sebagai Khaliq.
Kemudian adalah tidak berdasar ucapan Syeikh bahwa kaum Musyrikun di zaman Nabi saw. seluruhnya telah mengatahui bahwa “Allah-lah Dzat Maha Pencipta, Maha Pemberi rizki dan Maha pengatur alam semesta” sebab yang mengetahuinya hanya sebagian dari mereka saja, sementara sebagian lainnya adalah kaum dahriyyûn, yang tidak percaya akan ketiga prinsip itu dan tidak mempercayai adanya hari kebangkitan.
Allah SWT berfirman menceritakan mereka:
وَ قالُوا ما هِيَ إِلاَّ حَياتُنَا الدُّنْيا نَمُوتُ وَ نَحْيا وَ ما يُهْلِكُنا إِلاَّ الدَّهْرُ وَ ما لَهُمْ بِذلِكَ مِنْ عِلْمٍ إِنْ هُمْ إِلاَّ يَظُنُّونَ.
“Dan mereka berkata:” Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa”, dan mereka sekali- kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga- duga saja.”(QS.al Jâtsiyah [45] :24
Kitab Kasyfu asy Sybubuhât Doktrin Takfîr Wahhâbi Paling Ganas (6)
Kitab Kasyfu asy Sybubuhât Doktrin Takfîr Wahhâbi Paling Ganas (6)
Maka Nabi saw. datang menyeru mereka kepada Kalimat Tauhid, La ilaha Illallah. Dan yang dimaksudkan oleh kalimat ini adalah maknanya, bukan sekedar melafazkannya. Orang-orang kafir yang dungu mengetahui bahwa maksud Nabi dari kalimat ini adalah meng-esakan Allah dengan hanya bergantung kepada-Nya dan mengingkari sesembahan selain Allah serta berlepas diri darinya, hal itu terungkap saat mereka diminta untuk mengucapkannya kalimat Lailaha Illallah, mereka menjawab:
أَ جَعَلَ الْآلِهَةَ إِلهاً واحِداً إِنَّ هذا لَشَيْءٌ عُجابٌ
”Apakah tuhan-tuhan dapat dijadikan menjadi tuhan yang satu? Sesungguhnya ini benar- benar suatu hal yang sangat mengherankan. (QS.Shad: 5)
_______________________
Catatan 6:
Pertama-tama, perlu kami tegaskan di sini bahwa Nabi Muhammad saw. menerima dan memberlakukan hukum dzahir Islam atas sesiapa yang melafadzkan Kalimah Tauhid sekalipun ia berpura-pura dan tidak tulus dalam mengucapkannya. Dengannya, seseorang dapat dibentengi dari dikafirkan dan dicucurkan darahnya. Sementara, Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb mengabaikan ketetapan itu, ia tidak segan-segan menghukum kafir dan halal darah-darah kaum Muslimin yang hidup sezaman dengannya, padahal mereka mengucapkannya dengan penuh ketulusan.
Kaum Munafiqin yang hidup di zaman Nabi saw. mengucapkan dua kalimah Syahâdatain dengan lisan mereka, tanpa meyakininya, dan Nabi saw. pun mengetahui hal itu, namun demikian beliau tidak menghukumi mereka secara dzahir dengan hukum kaum kafir dan menghalalkan darah-darah mereka. Adapun kaum Muslimin yaang hidup se zaman dengan “Syeikh” (Ibnu Abdul Wahab), darah-darah dan harta mereka tidak dihormati…. kalimah Syahâdatain yang mereka ucapkan tidak digubris oleh Syeikh… rukun-rukun Islam yang mereka tegakkan belum dianggap cukup untuk mencegah jiwa dan harta untuk dihalalkan!
Kedua, Sepertinya Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb sedang berboros-boros kata-kata untuk sesuatu yang tidak perlu diperpanjang. Sebab tidak ada relefansinya apa yang ia katakan dengan klaim awalnya yang mengatakan bahwa kau Muslimin telah menyekutukan Allah dengaan sesembahan lainnya!
Kaum Muslimin memahami dengan baik bahwa inti seruan Rasulullah saw. adalah mengesakan Allah dalam penghambaan dan penyembahan. Tidak ada seorang pun dari umat Islam yang tidak memahami inti dasar seruan beliau itu! Hanya saja Syeikh ingin memperlebar cakupan makna penghambaan sehingga mencakup banyak hal yang tidak ada sangkut pautnya dengan penghambaan, namun Syeikh beranggapan bahwa hal-hal tersebut adalah bagian inti dari penghambaan, kemudian atas dasar anggapan dan pahamannya yang menyimpang dan tidak berdasar itu ia menuduh umat Islam telah menyembah selain Allah SWT.
Ketiga, Semua mengetahui bahwa inti seruan Rasulullah saw. adalah menerima dengan sepenuh jiwa Kalimah Tauhid, tidak hanya sekedar mengucapkannya. Lalu apa maksudnya Syeikh mengatakan: “Dan yang dimaksudkan oleh kalimat ini adalah maknanya, bukan sekedar melafazkannya” kalau bukan hendak menuduh bahwa kaum Muslimin di zaman beliau telah menyekutukan Allah SWT dalam penyembahan, dan mereka tidak mengerti dari konsekuensi Kalimah Tauhid itu selain mengucapkannya belaka! Mereka tidak mengerti bahwa makna Kalimah Tauhid yang diminta untuk diimani dan dijalankan adalah: “Tiada sesembahan, ma’bûd yang berhak disembah melainkan Allah.” Sementara itu, kaum Musyrikun yang jahiliyah itu justru telah memahaminya! Seperti ia tegaskan dalam paragrap di bawah ini.
Jika Anda mengetahui bahwa orang-orang yang jahil dari kalangan kaum Kuffâr itu memahami hal tersebut, maka yang sangat menherankan adalah ketidaktahuan orang-orang yang mengaku sebagai seorang muslim terhadap tafsir dari kalimat ini yang dapat dipahami oleh orang-orang yang jahil dari kalangan kaum Kuffâr. Bahkan ia (yang mengaku Muslim itu) beranggapan bahwa makna Kalimah itu hanya sekedar pengucapannya tanpa dibarengi oleh keyakinan hati nurani terhadap maknanya.
______________________
Catatan 7:
Apa yang dikatakan Syeikh di sini adalah murni kebohongan. Tidak ada seorang pun dari kaum Muslimin, serendah apapun pendidikannya berpendapat bahwa makna Kalimah Tauhid sekedar mengucapkannya saja tanpa harus diyakini dalam jiwa dan diwujudkan konsekuensinya dalam tindakan! Analoginya adalah mana ada orang yang kenyang tanpa harus makan,bila makan hanya di ucapkan, tp tidak dilaksanakan, adalah sangat tidak mungkin orang itu akan kenyang
Umat Islam tanpa terkecuali, baik awam apalagi para ulama meyakini bahwa Kalimah Syahâdatain itu tidak cukup sekedar diucapkan dengan lisan tanpa dibarengi dengan keyakinan dalam jiwa. Dan mereka tidak ragu barang sedikitpun bahwa sekedar mengucapkannya tanpa dibarengi dengan keyakinan dalam jiwa adalah kemunafikan yaang mereka kecam! Umat Islam sepakat mengecam sesiapa yang ucapannya bertentangan dengan keyakinan hatinya. Bahkan kaum kafir sakali pun mengecam hal itu!
Lalu bagaimana Syeikh beranggapan bahwa kaum Muslimin yang hidup di zamannya berpendapat bahwa dengan sekedar mengucapkan Kalimat Tauhid saja tanpa dibarengi dengan meyakininya itu sudah cukup menjamin kebahagian dunia dan akhirat!
Bagaimana Syeikh beranggapan bahwa kaum Muslimin yang hidup di zamannya membolehkan untuk kita, misalnya untuk mengatakan: Lâ Ilâha Illa Allah, sementara pada waktu yang sama kita menyembah selain Allah… kita mengatakan: “Muhammad Rasulullah” dan pada waktu yang sama kita mengingkari kenabian dan kerasulannya?!
Apakah Syeikh mengangap mereka senaif dan sedungu itu?! Atau jangan-jangan itu hanya khayalan Syeikh belaka, atau bisikan dari qarîn-nya!
Jika praktik tabarruk, tawassul, tasyaffu’ dan istightsah yang dilakukan umat Islam sejak zaman Salaf Shaleh; para sahabat dan tabi’în yang dimaksud oleh Syeikh sebagai penyembahan dan penghambaan kepada selain Allah SWT dan itu dalam hemat Syeikh artinya umat Islam membolehkan menyembah selain Allah, maka anggapan itu sangat keliru. Sebab, paling tidak, dia harus menyadari bahwa umat Islam; para ulama dan awamnya yang melakukan praktik-praktik tersebut di atas memiliki banyak bukti yang membenarkan dan melegalkannya! Atau paling tidak, dalam hemat mereka praktik-praktik itu tidak menyalai prinsip Tauhid. Buku-buku yang mereka tulis untuk membuktikan di-syari’at-kannya apa yang mereka praktikan dipenuhi dengan dalil-dalil akurat dan kuat… Dan sekalipun Syeikh tidak menyetujuinya dan tidak menganggapnya dalil yang berarti, maka paling tidak hal itu dapat diangap sebagai syubhat dan ta’wil dalam melegalkan praktik mereka yang tentunya, jika diuji kualitas, ia tidak kalah kuat dengan syubhat dan alasan-alasan Syeikh dan kaum Wahhabiyah dalam mengafirkan kaum Muslimin! dan menggolongkan mereka lebih kafir dari kaum kafir Quraisy!
Tetapi, sulit rasanya beribicara dengan orang yang berani mengada-ngada kebohongan atas nama kaum Muslimin!
Kitab Kasyfu asy Sybubuhât Doktrin Takfîr Wahhâbi Paling Ganas (7)
Kitab Kasyfu asy Sybubuhât Doktrin Takfîr Wahhâbi Paling Ganas (7)
Yang cerdas dari mereka (yang mengaku Muslim dari kalangan ulama Islam) menyangka bahwa maknanya adalah: “Tidak ada yang mencipta, memberi rizki, mengatur segala urusan selain Allah SWT.” Maka dari itu tidak ada kebaikan pada seorang, yang orang jahil dari kalangan Kuffâr saja lebih pandai darinya tentang makna Kalimah Lailaha Illallah.
______________
Catatan 8:
Telah lewat kami jawab, bahwa tidak seorang pun dari ulama Islam, baik di zaman Syeikh maupun sebelumnya yang menafsirkan Kalimah Syahâdatain dengan apa yang disebutkan oleh Syeikh!
Entah dari mana Syeikh mengambil penafsiran itu?! Yang pasti di sepanjang sejarah umat Islam tidak pernah ada seorang ulama yang mengatakan bahwa tafsir Kalimah: Lailaha Illallah adalah “Tidak ada yang mencipta, memberi rizki, mengatur segala urusan selain Allah SWT.” Apalagi disertai dengan anggapan bahwa boleh saja seorang hamba mengalamatkan penghambaan dan penyembahannya kepada selain Allah SWT! Kami yakin tidak ada orang waras mengatakan seperti itu! Jika Syeikh menuduhnya demikian maka, ia wajib membuktikannya! Jika tidak, berarrti ia mengada-ngada kebohongan kemudian ia nisbahkan kepada ulama Islam!
Dan yang mengherankan dari Syeikh ialah tidak cukup mengada-ngada kepalsuan, ia menambahkan arogansinya dengan mengatakan, “Maka dari itu tidak ada kebaikan pada seorang, yang orang jahil dari kalangan Kuffâr saja lebih pandai darinya tentang makna Kalimah Lailaha Illallah.”!!!
Ini adalah bukti baru bahwa Syeikh lebih mengutamakan kaum Musyrikun atas kaum Muslimin! Dan menganggap kaum jahil dari kalangan kaum Kuffâr telah memahami dengan baik makna Kalimah Lailaha Illallah sementara itu ulama Islam gagal dalamm memaknainya!!
Kitab Kasyfu asy Sybubuhât Doktrin Takfîr Wahhâbi Paling Ganas (8)
Kitab Kasyfu asy-Syubuhat Doktrin Takfir Wahhabi Paling Ganas (8)
Jika Anda memahami apa yang saya sampaikan dengan sebenar-benarnya dan Anda memahami bahwa menyekutukan Allah yang disebut sebagai dosa yang tak dapat terampuni.
إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَ يَغْفِرُ ما دُونَ ذلِكَ لِمَنْ يَشاءُ
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. (An-Nisa’: 48)
Dan memahami bahwa agama Allah yang dibawa oleh para Rasul dari yang pertama hingga yang terakhir, agama yang tidak diterima oleh-Nya selain agama itu, dan Anda mengetahui bahwa betapa banyak orang-orang yang bodoh terhadap hal ini. Maka ada dua poin yang dapat diberikan,
pertama, bahagia terhadap anugerah dan rahmat Allah, sebagaimana firman-Nya:
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَ بِرَحْمَتِهِ فَبِذلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
Katakanlah:” Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”. (QS.Yunus: 58)
Dan poin selanjutnya (kedua) adalah ketakutan yang hebat.
Karena jika Anda memahami bahwa seseorang menjadi kafir karena ucapan yang dikeluarkan dari mulutnya dan dia tidak tahu, maka kebodohan/ketidaktahuannya tidak dapat dijadikan alasan. Dan terkadang dia mengatakan sesuatu yang dianggapnya dapat mendekatkan diri kepada Allah sebagaimana yang dikhayalkan oleh kaum musyrikin, terlebih jika Anda menyimak saat Allah mengisahkan cerita kaum Musa a.s. yang dengan ilmu dan keutamaan yang mereka miliki, mereka mendatangi Musa seraya berkata:
اجْعَلْ لَنا إِلهاً كَما لَهُمْ آلِهَةٌ
“Buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala).” (Al-A’raf: 138)
Dengan demikian makin besarlah ketakutan Anda dan makin besar pula keinginan untuk memurnikan diri dari hal tersebut dan semisalnya.
________________
Cacatan 9:
Dalam pernyataannya di atas, Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb menvonis kafir seseorang karena perkataan yang ia katakan padahal ia mengatakannya dalam keadaan tidak mengetahui bahwa yang ia ucapkan itu berkonsekuensi kekafiran! Kajahilan itu tidak menjadi uzur untuk dielakkannya status kafir atasnya!
Jika Anda mengetahui bahwa memanggil Nabi Muhammad saw. dengan ucapan, “Ya Rasulullah, isyfa’ lî ‘indallahi/Wahai Rasulullah mohonkan untukku syafa’at dari Allah” itu digolongkan syirik, maka dapat dipastikan bahwa orang yang mengucapkan kata-kata tersebut di atas, dihukumi kafir, walaupun ia tidak mengerti di mana letak kemusyrikan dari kata-kata yang ia ucapkan itu, andai benar anggapan Ibnu Abdil Wahhâb tentangnya!!
Ketegasan kata-kata Ibnu Abdil Wahhâb dalam vonis kafirnya atas pengucap kata-kata kekufuran walaupun tidak mengetahui apa yang ia ucapkan itu telah membuat para juru dakwah Sekte Wahhâbiyah belakangan ini agak kerepotan. Pasalnya pandangan demikian itu terbilang dangkal, menyimpang dan memilih sisi ekstrim dalam memamahi agama! Karenanya Syeikh al-Utsaimin –Khalifah Abdul Aziz ibn Bâz, Mufti Tertinggi sekte Wahhâbiyah di masanya- terpaksa berpanjang-panjang dalam memberikan arahan.
Dan sikap keras Syeikh dalam masalah ini seperti sikap kerasnya dalam masalah-masalah lain. Takfîr adalah senjata andalannya.
Al Jahl, Ketidak-tahuan Adalah Uzur Dihindarkannya Status Kafir Dari Seseorang!
Para ulama menyebutkan bahwa bisa jadi perbuatan tertentu atau meninggalkan sebuah perbuatan tertentu itu adalah merupakaan kekafiran, dan pelakunya adalah dijatuhi hukuman sebagai kafir. Akan tetapi ketika akan dijatuhkan atas pekalu tertentu (mu’ayyan), maka harus dilakukan prosedur panjang. Di antaranya:
A) Adakah bukti kuat yaang membenarkan ditetapkannya hukum itu atas orang tersebut? Dalam istilah ulama hal ini disebut dengan muqtadhi.
B) Tidak adanya penghalang untuk diterapkannya hukuman itu. Dalam istilah ulama hal ini disebut dengan tidak adanya mâni’.
Apabila terbukti bahwa muqtadhi belum lengkap atau tidak cukup… atau terdapat mâni’ tertentu maka ketetapan status hukuman itu tidak dapat ditetapkan.
Di antara mawâni’ (bentuk jamak kata mâni’) yang akan menghalangi ditetapkannya status kafir tersebut atas seseorang adalah kejahilan/ketidak-tahuan. Bahkan al jahl adalah mâni’ terpenting yang harus selalu diperhatikan sebelum menjatuhkan vonis kafir tersebut.
Hendaknya orang yang akan divonis itu mengetahui dengan pasti pelanggarannya. Allah berfirman:
وَ مَنْ يُشاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ ما تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدى وَ يَتَّبِعْ غَيْرَ سَبيلِ الْمُؤْمِنينَ نُوَلِّهِ ما تَوَلَّى وَ نُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَ ساءَتْ مَصيراً.
“Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang- orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk- buruk tempat kembali.” ( QS. An Nisâ’ [4];115)
Dalam ayat di atas ditegaskan, ditetapkannya siksa neraka bagi yaang menentang Allah dan Rasul-Nya itu setelah jelas baginya petunjuk. Itu artinya kejahilan telah terangkat darinya.
Ibnu Katsir menerangkan ayat di atas sebagai berikut, “Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya” barang siapa menempuh selain jalan Syari’at yang dibawa Rasulullah saw. dan menjadi berada din sisi sementara Syari’at di sisi lain dengan kesengajaan setelah tampak dan jelas serta gamblang baginya al haq, kebenaran…. ” [1]
Dalam hal ini, al-Utsaimin berseberangaan dengan pendiri Sekte Wahhâbiyah. Setelah panjang lebar memberikan arahan agar imamnya tidak terlihat menyimpang, ia berkata menyimpulkan, “Al hasil, seorang yang jahil punya uzur tentang apa yang ia katakan atau lakukan yang merupakan kekafiran, sebagaimana ia diberi uzur atas apa yang ia katakan atau lakukan yang merupakan kefasikan. Hal itu berdasarkan dalil Al Qur’an dan Sunnah serta i’tibâr dan pendapat para ulama.” [2] Semoga fatwa ini adalah bentuk perlunakan doktrin ekstrim Wahhâbiyah!
Selain kejahilan, ta’wîl atau syubhat dalam memahami nash agama juga menjadi mâni’. Sebagai contoh, para ulama menyebutkan kasus kaum Khawârij, di mana seperti kita ketahui bersama bahwa mereka telah mengafirkan banyak sahabat besar seperti Sayyidina Ali ra., menghalalkan darah-darah kelompok Muslimin selain mereka, menghalalkan harta mereka… namun demikin mereka tidak divonis kafir oleh para ulama, sebab dalam hemat mereka, kaum Khawârij itu berpendapat dan bersikap demikian karena syubhat ta’wil dalam memahami nash-nash agama, walaupun jelas-jelas salah fatal!
Bahaya Mengafirkan Tanpa Dasar dan Bukti
Mengapa begitu serius masalah pengafiran person, mu’ayyan atau bahkan yang bersifat umum? Karena hukum awal bagi kaum Muslimin adalah dihormatinya status keislaman mereka, dan kita harus senantiasa menetapkan bagi mereka status tersebut sehingga ada bukti nyata dan pasti bahwa statsu itu telah gugur. Di sini, dalam hal ini, kita tidak boleh semberono dan gegabah dalam menvonis kafir seseorang. Sebab dalam pengafiran itu terdapat dua bahaya yang bisa menghadang.
Pertama, Mengada-ngada atas nama Allah SWT dalam menetapkan hukum/status.
Hal ini jelas, karena kita telah menetapkan status atas seseorang yang tidak ditetapkan oleh Allah SWT. Kita mengafirkan seseoraang yang tidak dihukum kafir oleh Allah SWT. Tindakan itu sama dengan mengharamkan apa-apa yang dihalalkan Allah SWT., atau sebaliknya… .
Kedua, Mengada-ngada dalam penetapan status atas orang yang divonis.
Hal itu juga berbahaya, mengingat menetapkan status kafir atas seorang Muslim itu artinya kita menetapkan status yang berlawanan dengan status yang sebenarnya sedang ia sandang. Seorang Muslim kita sebut ia sebagai Kafir! Jika ada orang yang mengafirkan orang lain yang tidak berhak ia kafirkan maka vonis itu akan kembali kepadanya, seperti ditegaskan dalam banyak hadis shahih.
Imam Muslim meriwayatkaan dari Abdullah ibn Amr, ia berkata, “Nabi saw. bersabda, ‘Jika seorang mengafirkan orang lain, maka ia (status kafir itu) telah tetap bagi salah satunya.” [3]
Dalam redaksi lain disebutkan, “ Jika memang seperti yang ia katakan (ya tidak masalah), tetapi jika tidak, maka ia akan kembali kepadanya.” [4]
Karenanya perlu berhati-hati dalam menetapkan vonis kafir atas mu’ayyan, atau bahkan atas keyakinan tertentu atau pekerjaan tertentu yang dipraktikan kaum Muslimin, generasi demi generasi dan didasarkan atas dalil-dalil yang diyakini kesahihannya. Sebab boleh jadi menvonis secara gegabah praktik tertentu sebagai kemusyrikan atau kekafiran termasuk mengada-ngada atas nama Allah dan Rasul-Nya.
*****
______________
[1] Tafsir Ibnu Katsir,1/554-555.
[2] Syarah Kasyfu asy Syubuhât:38.
[3] Muslim, Kitab al Imân:60.
[4] Ibid.
Kitab Kasyfu asy-Syubuhat Doktrin Takfir Wahhabi Paling Ganas (9)
Kitab Kasyfu asy-Syubuhat Doktrin Takfir Wahhabi Paling Ganas (9)
Dan ketahuilah sesungguhnya termasuk dari hikmah Allah Swt adalah Dia tidak mengutus seorang nabi dengan tauhid ini kecuali dia telah menjadikan musuh-musuh baginya, sebagaimana firmannya:
وَ كَذلِكَ جَعَلْنا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَياطينَ الْإِنْسِ وَ الْجِنِّ يُوحي بَعْضُهُمْ إِلى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُوراً
Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap- tiap nabi itu musuh, yaitu setan- setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan- perkataan yang indah- indah untuk menipu (manusia). (Al-An’am: 112)
Dan terkadang para musuh-musuh tauhid memiliki ilmu yang begitu banyak, buku-buku dan berbagai argumentasi, sebagaimana firman Allah Swt:
فَلَمَّا جاءَتْهُمْ رُسُلُهُمْ بِالْبَيِّناتِ فَرِحُوا بِما عِنْدَهُمْ مِنَ الْعِلْمِ
Maka tatkala datang kepada mereka rasul- rasul (yang diutus kepada) mereka dengan membawa keterangan- keterangan, mereka merasa senang dengan pengetahuan yang ada pada mereka… (Al-Ghafir: 83)
Jika Anda mengetahui hal tersebut dan mengetahui bahwa jalan menuju Allah Swt senantiasa dipenuhi oleh musuh-musuh yang merintangi; mereka Ahli-Ahli bahasa (fasih), pemilik ilmu dan argumentasi, maka wajib bagi Anda untuk mempelajari agama yang dapat anda gunakan sebagai senjata untuk memerangi mereka; para setan yang pemimpin dan senior mereka telah berkata kepada Allah Swt:
لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِراطَكَ الْمُسْتَقيمَ. ثُمَّ لَآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْديهِمْ وَ مِنْ خَلْفِهِمْ وَ عَنْ أَيْمانِهِمْ وَ عَنْ شَمائِلِهِمْ وَ لا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شاكِرينَ
Saya benar-benar akan (menghalang- halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus. kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur ( taat ). (Al-A’raf: 16-17)
Akan tetapi jika Anda menghadap kepada Allah dan mendengarkan hujjah-hujjah dan penjelasan-Nya maka janganlah merasa takut dan bersedih
إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطانِ كانَ ضَعيفاً
“sesungguhnya tipu daya setan itu adalah lemah. (An-Nisa’: 76)
________________
Catatan 10:
Dari keterangan Syeikh di atas terlihat jelas bahwa sebenarnya pertentangannya adalah dengan para ulama, -bukan dengan kaum awam-, yang memiliki kefasihan dalam berbahasa, banyak ilmu pengetahuan dan hujjahnya. Pernyataan ini adalah sebuah pengakuan bahwa ia sedang mengalamatkan pembicaraan dan dakwahnya kepada para ulama di wilayah Najd, Hijaz, dan Syam…. namun anehnya, beberapa lembar sebelum ini ia mengatakan bahwa mereka itu tidak memiliki pengetahuan tentang makna Kalimah Tauhid; Lâ ilâha Illa Allah!!
Jika dalam banyak kesempatan ia menyebut kaum Muslimin sebagai Musyrikûn yang menyekutukan Allah SWT, maka kali ini Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb menyebut para ulama Islam yang bertentangan dengannya sebagai musuh-musuh para Rasul… mereka adalah setan-setan dan pengikut setia Iblis… kerja mereka hanya menghalang-halangi umat manusia dari mengenal dan tunduk kepada Allah SWT.
Dalam banyak kesempatannya, Syeikh juga selalu menyebut bahwa sesiapa yang menentang dakwahnya berarti menentang ajaran Tauhid murni yang dibawa para Rasul….
Mungkin Anda beranggapan bahwa yang dimaksud olehnya adalah kaum Kuffâr; Yahudi, Nashrani, Ateis dll. Merekalah musuh-musuh para Rasul…. merekalah setan-setan itu! Akan tetepi anggapan itu segera terbukti naif, setelah Anda mengetahui bahwa di sepanjang aktifitas dakwahnya, Syeikh tidak pernah berdakwah selain kepada kaum Muslimin sendiri… hanya mereka yang menjadi fokus garapannya… semua kegiatannya hanya dialamatkan kepada kaum Muslimin (yang tentunya ia vonis musyrik)…. sebagaimana peperangan dan jihadnya juga hanya melawan sesama kaum Muslimin !!
Jadi jelaslah bahwa yang ia maksud adalah ulama Islam! Merekalah dalam pandangan Syeikh Ibnu Abdil Wahhâb sebagai musuh-muusuh para Rasul dan setan, bala tentara Iblis!! Seperti akan ia pertegas dalam lembar-lembar berikutnya bahwa “setan-setan, musuh-musuh Tauhid, dan ulama Musyirikûn” itu berhujjah dengan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw. dalam menetapkan keyakinan mereka akan kebenaran konsep Syafa’at, Istighâtsah dll. Adakah yang berhujjah dalam masalah tersebut di atas dengan Al Qur’an selain ulama Islam?! Jadi jelaslah bagi kita bahwa yang di maksud dengan Musyrikûn dan setan-setan bala tentara Iiblis adalah ulama Islam!!
Setelah ia menasihati para pengikutnya agar mempersenjatai diri dengan ilmu dan memperhatikan hujjah-hujjah Allah, ia berusaha mayakinkan mereka (dan juga kita semua) bahwa seorang awam dari pengikutnya pasti mampu mengalahkan seribu ulama Islam yaang ia sebut sebagai ulama kaum Musyrikin!
Kitab Kasyfu asy-Syubuhat Doktrin Takfir Wahhabi Paling Ganas (10)
Kitab Kasyfu asy-Syubuhat Doktrin Takfir Wahhabi Paling Ganas (10)
Dan seorang awam dari Ahli tauhid akan mengalahkan seribu (1000) dari orang musyrik. Sebagaimana firman Allah Swt:
وَ إِنَّ جُنْدَنا لَهُمُ الْغالِبُونَ
Dan sesungguhnya tentara Kami itulah yang pasti menang. (As-Shaffat: 176)
Maka tentara-tentara Allah itu menang dengan hujjah dan argumentasi sebagaimana (lawan-lawan) mereka menang dengan pedang. Akan tetapi ketakutan itu hanya dirasakan oleh seorang Ahli tauhid yang menapaki jalan tanpa senjata.
Allah Swt telah menganugerahkan kepada kami sebuah kitab yang dijadikannya sebagai
تِبْياناً لِكُلِّ شَيْءٍ وَ هُدىً وَ رَحْمَةً وَ بُشْرى لِلْمُسْلِمينَ
Untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang- orang yang berserah diri. (An-Nahl: 89)
Maka tidak ada Ahli batil yang mendatangkan hujjahnya kecuali al-Qur’an telah membantah dan merusaknya.
وَ لا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلاَّ جِئْناكَ بِالْحَقِّ وَ أَحْسَنَ تَفْسيراً
Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya. (Al-Furqan: 33)
Sebagian Ahli tafsir berkata bahwa ayat ini umum mencakup setiap hujjah yang diajukan oleh Ahli batil pada hari kiamat.
_________________
Catatan 11:
Pernyataan di atas tegas-tegas memuat pengafiran jumlah yang tidak sedikti dari ulama Islam. Adalah mustahil dalam kebiasaan terdapat 1000 ilmuan kafir seperti yang ia sebut dalam satu kota, misalnya. Ini adalah bukti kuat bahwa Syeikh sedang mengalamatkan vonisnya kepada ulama Islam yang tidak sependapat dengnnya.
Sementara itu yang selalu kita dengar dari Syeikh sendiri maupun para pengikutnya mereka membela diri dengan mengtakan, “Ma’âdzallah, kami berlindung kepada Allah dari mengafirkan kaum Muslimin!”. Ini adalah ucapan bersifat umum. Akan tetapi permasalahannya terletak pada, siapa sejatinya “Muslim” dalam pandangan kaum Wahhâbiyah?. “Muslim” dalam pandangan mereka berbeda dengan “Muslim” dalam pandangan para ulama Islam lainnya.
Dalam pandangan Syeikh dan para pengikutnya, “Muslim” itu harus memenuhi banyak syarat yang tidak pernah disyaratkan oleh para ulama Islam di sepanjang masa…. mengucapkan Syahâdatain/dua kalimah Syahadat belum cukup untuk mengeluarkan seseorang dari kekafiran…
Mengetahui sebagian syarat saja sementara syarat-syarat lain tidak diketahuinya juga tidak menyelamatkannya dari vonis kafir! Kemudian dalam pemahaman terhadap makna sebagian syarat diharuskan menuruti pemahaman Syeikh… maka dengan demikain hampir tidak ada yang terjaring ke dalam kelompok “Ahli Tauhid” (yang mengesakan Allah SWT) selain Syeikh dan pengikutnya.
Al hasil, di sini Syeikh menjamin bahwa seorang awam dari pengikutnya pasti akan mampu mengalahkan seribu ulama kaum Musyrikîn (baca Muslimin)! Dan seorang awam dari Ahli tauhid akan mengalahkan seribu dari orang musyrik. Sebab para pengikutnya adalah “Tentara Allah” yang dijamin kemenangannya baik dalam hujjah dan argumentasi maupun dalam peperangan… demikian, Syeikh menanamkan kepercayaan diri dalam jiwa-jiwa pengikutnya… dan sekaligus mempersiapkan mental mereka agar bersemangat dalam memerangi kaum Muslimin yang telah diperkenalkan kepada para pengikutnya (yang dewasa itu kebanyakan dari kalangan awam dan arab-arab Baduwi yang jauh dari pemahaman agama yang cukup).
Setelah itu, Syeikh mulai mengurai argumentasi yang dianggapnya mampu mempersenjati para pengikutnya.
No comments:
Post a Comment