Awy' Ameer Qolawun February 23 at 7:18am Reply
Dalam sebuah kesempatan saat bersama para sahabatnya, Rosululloh S.a.w bertutur :"ajari anak-anak kalian 3 hal : @ baca alqur'an @ cinta Nabi kalian @ dan cinta keluarganya" (H.R. Atthobaroni). Nah, praktek, penerapan dan cara menumbuhkan cinta Nabi di hati kita, teramat banyak. Salah satunya adalah dengan memperingati hari kelahiran beliau, atau kita mengenalnya dengan istilah MAULID. Jadi, maulid adalah salah satu bentuk dan aplikasi, juga media untuk menumbuhkan rasa cinta pada Nabi.
Memang terjadi perdebatan keras soal maulid itu sendiri, ada sekelompok orang yang dengan begitu gigih mengingkarinya, dan menyatakan bahwa hal itu bid'ah, tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan para salah shaleh setelahnya. Yang lebih ekstrem menyatakan, bahwa pelaku maulid adalah orang-orang yang tersesat. Sebuah stempel yang sangat mengerikan.
Terlepas dari semua itu, sebenarnya ada banyak kejanggalan. Maulid bid'ah? Oke, secara istilah bahasa memang bid'ah, karena hal baru, tapi apakah bid'ah syar'iyyah? Jika menyatakan bahwa maulid adalah bid'ah syar'iyyah maka tentu hal yang lucu, kenapa? Sebab bid'ah jenis ini (yang memang sesat) adalah hanya untuk masalah ibadah. Pertanyaannya, apakah maulid itu ibadah? Tak satupun orang yang masih waras bilang bahwa maulid adalah ibadah. Karena maulid bukan ibadah. Maka tentu maulid tidaklah bid'ah yang sesat itu.
Oke, tapi kan tidak ada di zaman Nabi, beliau ga ngelakuin? Sebuah pertanyaan timbul, apakah hal yang tak dilakukan Nabi lantas artinya hal itu terlarang? Apakah ketiadaan Nabi tidak melakukan sesuatu itu adalah sebuah dalil? padahal dalam kaidah dinyatakan, ketiadaan dalil tidak menunjukkan bahwa itu dalil. Jika memang maulid dilarang, oke, adakah 1 dalil saja yang menyatakan secara terang-terangan bahwa maulid dilarang? Sampai tangan kamu gempor cari hadits yang melarang maulid pun ga akan ada. Nah, hal yang tidak ada dalilnya gini, dalam kaidah fiqih menunjukkan bolehnya dikerjakannya hal tersebut. Ini jika memang mereka yang kontra maulid memaksakan diri bahwa maulid harus berdalil (dan memang ada 21 dalil berhubungan dengan maulid di sana)
Terlepas dari ada atau tidak adanya dalil, maulid sendiri adalah sebuah ekspresi atas cinta Nabi, salahkah kita mengungkapkan cinta pada Nabi kita? Padahal cinta Nabi adalah perintah agama. Oke, ga apa tidak suka maulid, tapi setidaknya jangan menyalahkan orang yang mencintai Nabi dengan cara maulid. Lagi pula acara maulid sendiri kontainnya juga baca alqur'an, mendendangkan pujian pada Nabi, membaca sejarah beliau, bergembira atas kelahirannya, dan bersedekah dengan memberi makan pada orang yang hadir di acara itu. Apakah semua ini salah? Baca qur'an salah? Baca sejarah Nabi, salah? memuji beliau, apa juga salah? Memberi makan, bersedekah, apakah tidak boleh dan salah? Bukankah hal-hal ini semua berdalil dan di anjurkan agama? Oke, andai dalam acara maulid terjadi hal yang diharamkan, semisal bercampurnya laki-laki dan perempuan, maka kita pun mengingkarinya, tetapi bukan pada maulidnya, namun campur baurnya itu yang memang dilarang agama.
Problem tersendiri adalah saat kita memahami dalil hanya setengah-setengah dan tidak menyeluruh, atau mengartikannya sepotong tanpa melihat potongan yang lain. Atau hanya melihat satu dalil dan mengabaikan yang lain. Dan maulid ini adalah salah satu korban pemahaman nash yang tidak sempurna tadi. Alangkah meruginya orang yang menghalangi orang lain yang ingin mengekspresikan cintanya pada Rosulnya. Lebih memalukan lagi, ga mau maulid, tapi waktu diberi makanan oleh-oleh maulid, diembat juga.
Dalam sebuah cerita yang diriwayatkan Imam Al-bukhori di shahihnya, dikisahkan, bahwa Abu Lahab, musuh bebuyutan Nabi, di neraka mendapat keringanan tiap senin dengan minum air dari pangkal ibu jarinya, hanya sebab waktu Nabi dilahirkan, dia melonjak gembira dan membebaskan budaknya, tsuwaibah. Lantas bagaimana sekarang dengan orang yang dia setiap saat selalu gembira dengan Nabinya, bahagia dengan kelahirannya dan dia beriman padanya? Hal yang lucu tentu kalau ada orang mencintai Nabi malah dituduh sesat, kira-kira pergi ke mana akal orang yang seperti itu? Tidak malu apa kalah sama abu lahab, yang masih sempet mencintai Nabi?
Akhir catatan, cinta kita pada Nabi teramat kurang, malah mingkin kita tidak bisa total mencintainya, lalu jika tidak dengan acara-acara semacam ini, dengan apa lagi kita berusaha menumbuhkan cinta di hati kita? So, hayuk maulidan, ga usah ragu lagi, udah dapat cinta nabi, juga pulang dapat nasi, kenyang lahir batin, iya ga? Rizki jasmani juga rizki ruhani... Dan ga baik lho menolak rizki tu, hehehe...
Allahumma sholli wa sallim wa baarik alaih, wa ala alih :)
Mari kita bangun negeri kita, jayalah indonesia, jayalah Insinyur Insinyur Indonesia. Mari kita turut serta dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Wednesday, February 24, 2010
Dari al-Arif Billah al-Imam As-Sayyid Abdullah Ibn Alawi al-Haddad (w 1132 H), Supaya Anda Paham Siapa Ahlussunnah
Dari al-Arif Billah al-Imam As-Sayyid Abdullah Ibn Alawi al-Haddad (w 1132 H), Supaya Anda Paham Siapa Ahlussunnah
Share
Tuesday, November 10, 2009 at 3:44pm
al-‘Arif Billah al-Imam as-Sayyid Abdullah ibn ‘Alawi al-Haddad (w 1132 H), Shahib ar-Ratib, dalam karyanya berjudul Risalah al-Mu’awanah, h. 14, menuliskan:
“Hendaklah engkau memperbaiki akidahmu dengan keyakinan yang benar dan meluruskannya di atas jalan kelompok yang selamat (al-Firqah an-Najiyah). Kelompok yang selamat ini di antara kelompok-kelompok dalam Islam adalah dikenal dengan sebutan Ahlussunnah Wal Jama’ah. Mereka adalah kelompok yang memegang teguh ajaran Rasulullah dan para sahabatnya. Dan engkau apa bila berfikir dengan pemahaman yang lurus dan dengan hati yang bersih dalam melihat teks-teks al-Qur’an dan Sunnah-Sunnah yang menjelaskan dasar-dasar keimanan, serta melihat kepada keyakinan dan perjalanan hidup para ulama Salaf saleh dari para sahabat Rasulullah dan para Tabi’in, maka engkau akan mengetahui dan meyakini bahwa kebenaran akidah adalah bersama kelompok yang dinamakan dengan al-Asy’ariyyah. Sebuah golongan yang namanya dinisbatkan kepada asy-Syaikh Abu al-Hasan al-Asy’ari -Semoga rahmat Allah selalu tercurah baginya-. Beliau adalah orang yang telah menyusun dasar-dasar akidah Ahl al-Haq dan telah memformulasikan dalil-dalil akidah tersebut. Itulah akidah yang disepakati kebenarannya oleh para sahabat Rasulullah dan orang-orang sesudah mereka dari kaum tabi’in terkemuka. Itulah akidah Ahl al-Haq setiap genarasi di setiap zaman dan di setiap tempat. Itulah pula akidah yang telah diyakini kebenarannya oleh para ahli tasawwuf, sebagaimana telah dinyatakan oleh Abu al-Qasim al-Qusyairi dalam pembukaan Risalah-nya (ar-Risalah al-Qusyairiyyah). Itulah pula akidah yang telah kami yakini kebenarannya, serta merupakan akidah seluruh keluarga Rasulullah yang dikenal dengan as-Sadah al-Husainiyyin, yang dikenal pula dengan keluarga Abi ‘Alawi (Al Abi ‘Alawi). Itulah pula akidah yang telah diyakini oleh kakek-kakek kami terdahulu dari semenjak zaman Rasulullah hingga hari ini. Adalah al-Imam al-Muhajir yang merupakan pucuk keturunan dari as-Sadah al-Husainiyyin, yaitu as-Sayyid asy-Syaikh Ahmad ibn ‘Isa ibn Muhammad ibn ‘Ali Ibn al-Imam Ja’far ash-Shadiq -semoga ridla Allah selalu tercurah atas mereka semua-, ketika beliau melihat bermunculan berbagai faham bid’ah dan telah menyebarnya berbagai faham sesat di Irak maka beliau segera hijrah dari wilayah tersebut. Beliau berpindah-pindah dari satu tempat ke tampat lainnya, dan Allah menjadikannya seorang yang memberikan manfa’at di tempat manapun yang beliau pijak. Hingga pada akhirnya beliau sampai di tanah Hadramaut Yaman dan menetap di sana hingga beliau meninggal. Allah telah menjadikan orang-orang dari keturunannya sebagai orang-orang banyak memiliki berkah, hingga sangat banyak orang yang berasal dari keturunannya dan dikenal sebagai orang-orang ahli ilmu, ahli ibadah, para wali Allah dan orang-orang ahli ma’rifat. Sedikitpun tidak menimpa atas semua keturunan Al-Imam agung ini sesuatu yang telah menimpa sebagian keturunan Rasulullah dari faham-faham bid’ah dan mengikuti hawa nafsu yang menyesatkan. Ini semua tidak lain adalah merupakah berkah dari keikhlasan al-Imam al-Muhajir Ahmad ibn ‘Isa dalam menyebarkan ilmu-ilmunya, yang karena untuk tujuan itu beliau rela berpindah dari satu tempat ke tampat yang lain untuk menghindari berbagai fitnah. Semoga Allah membalas baginya dari kita semua dengan segala balasan termulia, seperti paling mulianya sebuah balasan dari seorang anak bagi orang tuanya. Semoga Allah mengangkat derajat dan kemulian beliau bersama orang terdahulu dari kakek-kakeknya, hingga Allah menempatkan mereka semua ditempat yang tinggi. Juga semoga kita semua dipertemukan oleh Allah dengan mereka dalam segala kebaikan dengan tanpa sedikitpun dari kita terkena fitnah. Sesungguhnya Allah maha pengasih. Dan ketahuilah bahwa akidah al-Maturidiyyah adalah akidah yang sama dengan akidah al-Asy’ariyyah dalam segala hal yang telah kita sebutkan”.
Al-Imam al-Hafizh Muhammad Murtadla az-Zabidi (w 1205 H), dalam pasal ke dua pada Kitab Qawa’id al-‘Aqa’id dalam kitab syarah Ihya’ berjudul Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ ‘Ulumiddin, j. 2, h. 6, menuliskan: “Jika disebut nama Ahlussunnah Wal Jama’ah maka yang dimaksud adalah kaum Asy’ariyyah dan kaum Maturidiyyah”.
Share
Tuesday, November 10, 2009 at 3:44pm
al-‘Arif Billah al-Imam as-Sayyid Abdullah ibn ‘Alawi al-Haddad (w 1132 H), Shahib ar-Ratib, dalam karyanya berjudul Risalah al-Mu’awanah, h. 14, menuliskan:
“Hendaklah engkau memperbaiki akidahmu dengan keyakinan yang benar dan meluruskannya di atas jalan kelompok yang selamat (al-Firqah an-Najiyah). Kelompok yang selamat ini di antara kelompok-kelompok dalam Islam adalah dikenal dengan sebutan Ahlussunnah Wal Jama’ah. Mereka adalah kelompok yang memegang teguh ajaran Rasulullah dan para sahabatnya. Dan engkau apa bila berfikir dengan pemahaman yang lurus dan dengan hati yang bersih dalam melihat teks-teks al-Qur’an dan Sunnah-Sunnah yang menjelaskan dasar-dasar keimanan, serta melihat kepada keyakinan dan perjalanan hidup para ulama Salaf saleh dari para sahabat Rasulullah dan para Tabi’in, maka engkau akan mengetahui dan meyakini bahwa kebenaran akidah adalah bersama kelompok yang dinamakan dengan al-Asy’ariyyah. Sebuah golongan yang namanya dinisbatkan kepada asy-Syaikh Abu al-Hasan al-Asy’ari -Semoga rahmat Allah selalu tercurah baginya-. Beliau adalah orang yang telah menyusun dasar-dasar akidah Ahl al-Haq dan telah memformulasikan dalil-dalil akidah tersebut. Itulah akidah yang disepakati kebenarannya oleh para sahabat Rasulullah dan orang-orang sesudah mereka dari kaum tabi’in terkemuka. Itulah akidah Ahl al-Haq setiap genarasi di setiap zaman dan di setiap tempat. Itulah pula akidah yang telah diyakini kebenarannya oleh para ahli tasawwuf, sebagaimana telah dinyatakan oleh Abu al-Qasim al-Qusyairi dalam pembukaan Risalah-nya (ar-Risalah al-Qusyairiyyah). Itulah pula akidah yang telah kami yakini kebenarannya, serta merupakan akidah seluruh keluarga Rasulullah yang dikenal dengan as-Sadah al-Husainiyyin, yang dikenal pula dengan keluarga Abi ‘Alawi (Al Abi ‘Alawi). Itulah pula akidah yang telah diyakini oleh kakek-kakek kami terdahulu dari semenjak zaman Rasulullah hingga hari ini. Adalah al-Imam al-Muhajir yang merupakan pucuk keturunan dari as-Sadah al-Husainiyyin, yaitu as-Sayyid asy-Syaikh Ahmad ibn ‘Isa ibn Muhammad ibn ‘Ali Ibn al-Imam Ja’far ash-Shadiq -semoga ridla Allah selalu tercurah atas mereka semua-, ketika beliau melihat bermunculan berbagai faham bid’ah dan telah menyebarnya berbagai faham sesat di Irak maka beliau segera hijrah dari wilayah tersebut. Beliau berpindah-pindah dari satu tempat ke tampat lainnya, dan Allah menjadikannya seorang yang memberikan manfa’at di tempat manapun yang beliau pijak. Hingga pada akhirnya beliau sampai di tanah Hadramaut Yaman dan menetap di sana hingga beliau meninggal. Allah telah menjadikan orang-orang dari keturunannya sebagai orang-orang banyak memiliki berkah, hingga sangat banyak orang yang berasal dari keturunannya dan dikenal sebagai orang-orang ahli ilmu, ahli ibadah, para wali Allah dan orang-orang ahli ma’rifat. Sedikitpun tidak menimpa atas semua keturunan Al-Imam agung ini sesuatu yang telah menimpa sebagian keturunan Rasulullah dari faham-faham bid’ah dan mengikuti hawa nafsu yang menyesatkan. Ini semua tidak lain adalah merupakah berkah dari keikhlasan al-Imam al-Muhajir Ahmad ibn ‘Isa dalam menyebarkan ilmu-ilmunya, yang karena untuk tujuan itu beliau rela berpindah dari satu tempat ke tampat yang lain untuk menghindari berbagai fitnah. Semoga Allah membalas baginya dari kita semua dengan segala balasan termulia, seperti paling mulianya sebuah balasan dari seorang anak bagi orang tuanya. Semoga Allah mengangkat derajat dan kemulian beliau bersama orang terdahulu dari kakek-kakeknya, hingga Allah menempatkan mereka semua ditempat yang tinggi. Juga semoga kita semua dipertemukan oleh Allah dengan mereka dalam segala kebaikan dengan tanpa sedikitpun dari kita terkena fitnah. Sesungguhnya Allah maha pengasih. Dan ketahuilah bahwa akidah al-Maturidiyyah adalah akidah yang sama dengan akidah al-Asy’ariyyah dalam segala hal yang telah kita sebutkan”.
Al-Imam al-Hafizh Muhammad Murtadla az-Zabidi (w 1205 H), dalam pasal ke dua pada Kitab Qawa’id al-‘Aqa’id dalam kitab syarah Ihya’ berjudul Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ ‘Ulumiddin, j. 2, h. 6, menuliskan: “Jika disebut nama Ahlussunnah Wal Jama’ah maka yang dimaksud adalah kaum Asy’ariyyah dan kaum Maturidiyyah”.
Dari Pernyataan Ulama Ahlussunnah Dalam Menjelaskan Bahwa Allah Ada Tanpa Tempat Dan Tanpa Arah (Mewaspadai Ajaran Wahhabi)
Dari Pernyataan Ulama Ahlussunnah Dalam Menjelaskan Bahwa Allah Ada Tanpa Tempat Dan Tanpa Arah (Mewaspadai Ajaran Wahhabi)
Share
Saturday, November 14, 2009 at 10:05pm
Dalam tulisan ringkas ini kita kutip pernyataan beberapa ulama dalam penjelasan dalil-dalil akal bahwa Allah tidak membutuhkan tempat dan arah, sekaligus untuk menetapkan bahwa keyakinan Allah bersemayam di ata arsy, atau bahwa Allah berada di arah atas, serta keyakinan-keyakinan tasybih lainnya adalah keyakinan batil, berseberangan dengan akidah Rasulullah dan para sahabatnya serta keyakinan yang sama sekali tidak dapat diterima oleh akal sehat. Berikut ini kita kutip pernyataan mereka satu persatu.
• al-Imam Abu Sa’id al-Mutawalli asy-Syafi’i (w 478 H) dalam kitab al-Ghunyah Fi Ushuliddin menuliskan sebagai berikut:
“Tujuan penulisan dari pasal ini adalah untuk menetapkan bahwa Allah tidak membutuhkan tempat dan arah. Berbeda dengan kaum Karramiyyah, Hasyawiyyah dan Musyabbihah yang mengatakan bahwa Allah berada di arah atas. Bahkan sebagian dari kelompok-kelompok tersebut mengatakan bahwa Allah bertempat atau bersemayam di atas arsy. Jelas mereka kaum yang sesat. Allah Maha Suci dari keyakinan kelompok-kelompok tersebut.
Dalil akal bahwa Allah Maha Suci dari tempat adalah karena apabila ia membutuhkan kepada tempat maka berarti tempat tersebut adalah qadim sebagaimana Allah Qadim. Atau sebaliknya, bila Allah membutkan tempat maka berarti Allah baharu sebagaimana tempat itu sendiri baharu. Dan kedua pendapat semacam ini adalah keyakinan kufur.
Kemudian bila Allah bertempat atau bersemayam di atas arsy, seperti yang diyakini mereka, maka berarti tidak lepas dari tiga keadaan. Bisa sama besar dengan arsy, atau lebih kecil, dan atau lebih besar dari arsy. Dan semua pendapat semacam ini adalah kufur, karena telah menetapkan adanya ukuran, batasan dan bentuk bagi Allah.
Dalil akal lain bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah ialah jika kita umpamakan sewaktu-waktu seseorang telah diberi kekuatan besar oleh Allah untuk dapat naik terus menerus ke arah atas maka -sesuai keyakinan golongan sesat di atas- ia memiliki dua kemungkinan; bisa jadi ia sampai kepada-Nya atau bisa jadi ia tidak sampai. Jika mereka mengatakan tidak sampai maka berarti mereka telah menafikan adanya Allah. Karena setiap dua sesuatu yang ada antara keduanya pasti memiliki arah dan jarak. Dan seandainya salah satunya memotng jarak tersebut dengan terus menerus mendekatinya namun ternyata tidak juga sampai maka berati sesuatu tersebut adalah nihil; tidak ada. Kemudian jika mereka mengatakan bahwa orang yang naik tersebut bisa sampai kepada-Nya maka berarti dalam keyakinan mereka Allah dapat menempel dan dapat disentuh, dan ini jelas keyakinan kufur. Kemudian dari pada itu, keyakinan semacam ini juga menetapkan adanya dua kekufuran lain. Pertama; berkeyakinan bahwa alam ini qadim, tidak memiliki permulaan. Karena -dalam keyaikinan kita- salah satu bukti yang menunjukan bahwa alam ini baharu ialah adanya sifat berpisah dan bersatu padanya. Kedua; keyakinan tersebut sama juga dengan menetapkan kebolehan adanya anak dan isteri bagi Allah” .
• al-Imam Abu Hamid al-Ghazali asy-Syafi’i (w 505 H) dalam kitab Ihya ‘Ulumiddin menuliskan sebagai berikut:
“Dasar ke empat; ialah berkeyakinan bahwa Allah bukan benda yang memiliki tempat dan arah. Dia Maha Suci dari mamiliki arah. Dalil akal atas ini adalah bahwa segala benda pasti memiliki arah khusus baginya, dan bedan tersebut tidak lepas dari dua keadaan; dalam keadaan diam pada tempatnya atau dalam keadaan bergerak dari tempatnya tersebut. Artinya setiap benda tidak lepas dari sifat gerak dan diam, dan keduanya jelas baharu. Dan segala sesuatu yang tidak lepas dari sifat baharu maka hal tersebut menjukan bahwa sesuatu tersebut adalah baharu” .
• al-Imam Abu al-Mu’ain an-Nasafi al-Hanafi (w 508 H) dalam kitab Tabshirah al-Adillah telah menuliskan penjelasan yang logis dan dalil-dalil yang sangat kuat dalam bantahan beliau atas kaum Musyabbihah. Di antaranya beliau menuliskan sebagai berikut:
“Kaum Mujassimah memiliki tiga kerancuan: Pertama; Pernyataan mereka bahwa setiap dua sesuatu yang ada pasti keduanya memiliki jarak dan arah satu dari lainnya. Kita jawab kesesatan mereka ini; Kalian menetapkan bahwa dua sesuatu pasti memiliki jarak dan arah satu dari lainnya bagi orang yang melihatnya, apakah kalian membolehkan sifat arah semacam ini atas Allah? Jika mereka menjawab iya maka mereka telah membatalkan keyakinan mereka sendiri. Karena dalam keyakinan mereka Allah tidak boleh disifati berada di bawah alam. Dan jika mereka menjawab tidak maka mereka juga telah membatalkan argumen mereka sendiri bahwa dua sesuatu pasti memiliki arah satu dari lainnya. Jika mereka berkata; Kita tidak membolehkan arah bawah bagi Allah karena arah ini sifat kurang dan merupakan cacian, dan Allah tidak disifati dengan sifat kurang semacam itu. Jawab; Jika demikian berarti kalian telah menetapkan adanya argumen perbedaan (at-tafriqah) antara Allah dengan makhluk-Nya.
• Seorang ahli tafsir terkemuka; al-Imam al-Fakhr ar-Razi ( w 606 H) dalam kitab tafsirnya menuliskan sebagai berikut:
“Jika keagungan Allah disebabkan dengan tempat atau arah atas maka tentunya tempat dan arah atas tersebut menjadi sifat bagi Dzat-Nya. Kemudian itu berarti bahwa keagungan Allah terhasilkan dari sesuatu yang lain; yaitu tempat. Dan jika demikian berarti arah atas lebih sempurna dan lebih agung dari pada Allah sendiri, karena Allah mengambil kemuliaan dari arah tersebut. Dan ini berarti Allah tidak memiliki kesempurnaan sementara selain Allah memiliki kesempurnaan. Tentu saja ini adalah suatu yang mustahil” .
Di bagian lain dari tafsirnya dalam penafsiran firman Allah QS. Thaha: 5 menuliskan sebagai berikut:
“Masalah kedua; Kaum Musyabbihah menjadikan ayat ini sebagai rujukan dalam menetapkan keyakinan mereka bahwa tuhan mereka duduk, bertempat atau bersemayam di atas arsy. Pendapat mereka ini jelas batil, terbantahkan dengan dalil akal dan dalil naql dari berbagai segi;
Pertama: Bahwa Allah ada tanpa permulaan. Dia ada sebelum menciptakan arsy dan tempat. Dan setelah Dia menciptakan segala makhluk Dia tidak membutuhkan kepada makhluk-Nya, tidak butuh kepada tempat, Dia Maha Kaya dari segala makhluk-Nya. Artinya bahwa Allah Azali -tanpa permulaan- dengan segala sifat-sifat-Nya, Dia tidak berubah. Kecuali bila ada orang berkeyakinan bahwa arsy sama azali seperti Allah. -Dan jelas ini kekufuran karena menetapkan sesuatu yang azali kepada selain Allah-”.
Kedua: Bahwa sesuatu yang duduk di atas arsy dipastikan terjadinya bagian-bagian pada dzatnya. Bagian dzatnya yang berada di sebelah kanan arsy jelas bukan bagian dzatnya yang berada di sebelah kiri arsy. Dengan demikian maka jelas bahwa sesuatu itu adalah merupakan benda yang memiliki bagian-bagian yang tersusun. Dan segala sesuatu yang memiliki bagian-bagian dan tersusun maka ia pasti membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam susunannya tersebut. Dan hal itu jelas mustahil atas Allah.
Ketiga: Bahwa sesuatu yang duduk di atas arsy dipastikan ia berada di antara dua keadaan; dalam keadaan bergerak dan berpindah-pindah atau dalam keadaan diam sama sekali tidak bergerak. Jika dalam keadaan pertama maka berarti arsy menjadi tempat bergerak dan diam, dan dengan demikian maka arsy berarti jelas baharu. Jika dalam keadaan kedua maka berarti ia seperti sesuatu yang terikat, bahkan seperti seorang yang lumpuh, atau bahkan lebih buruk lagi dari pada orang yang lumpuh. Karena seorang yang lumpuh jika ia berkehendak terhadap sesuatu ia masih dapat menggerakan kepada atau kelopak matanya. Sementara tuhan dalam keyakinan mereka yang berada di atas arsya tersebut diam saja.
Keempat: Jika demikian berarti tuhan dalam keyakinan mereka ada kalanya berada pada semua tempat atau hanya pada satu tempat saja tidak pada tempat lain. Jika mereka berkeyakinan pertama maka berarti menurut mereka tuhan berada di tempat-tempat najis dan menjijikan. Pendapat semacam ini jelas tidak akan diungkapkan oleh seorang yang memiliki akal sehat. Kemudian jika mereka berkeyakinan kedua maka berarti menurut mereka tuhan membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam kekhususan tempat dan arah tersebut. Dan semacam ini semua mustahil atas Allah” .
• al-Imam Saifuddin al-Amidi (w 631 H) dalam kitab Ghayah al-Maram menuliskan sebagai berikut:
“Telah tetap bahwa apapun yang kita saksikan dari segala yang ada ini tidak lain kecuali benda dan sifat-sifat benda. Menetapkan adanya sesuatu yang ke tiga adalah pendapat yang tidak diterima akal. Dengan demikian setelah tetap bahwa segala sesuatu yang ada -dari segala makhluk Allah- ini tidak lepas dari benda dan sifat-sifat benda, maka berarti Allah -yang menciptakan itu semua- mustahil sebagai sifat benda. Karena sifat benda itu selalu membutuhkan kepada benda itu sendiri, padahal Allah mustahil membutuhkan kepada sesuatu. Karena bila Allah membutuhkan kepada sesuatu maka berarti sesuatu yang Ia butuhkannya tersebut lebih agung dan lebih mulia dari dari-Nya sendiri, dan ini jelas mustahil. Dengan demikian terbantahkan pendapat yang mengatakan bahwa Allah adalah sifat benda. Sekarang tersisa bantahan atas mereka yang mengatakan bahwa Allah adalah benda.
Kita katakan kepada mereka: Sumber kerancuan kalian dalam masalah ini adalah bahwa kalian membangun keyakinan kalian di atas prasangka. Dasar keyakinan kalian berangkat dari prasangka kesamaan antara Allah dengan sesuatu yang tampak dengan mata (benda). Kalian menghukumi kesamaan antara sesuatu yang tidak dapat disentuh dengan sesuatu yang dapat disentuh. Padahal keyakinan dengan dasar prasangka semacam ini jelas hanya khayalan, kedustaan, dan sama sekali tidak benar. Prasangka berkesimpulan bahwa segala sesuatu itu pasti memiliki tampat karena prasangka ini berangkat dari pemahaman bahwa segala sesuatu itu benda. Ini berbeda dengan kesaksian akal. Dalam kesaksian akal, alam (segala sesuatu selain Allah) tidak berada pada tempat. Karena alam itu sendiri mencakup segala apapun, selain Allah, termasuk tempat dan arah itu sendiri. Bahkan ada sebagian orang yang menjadikan prasangkanya lebih menguasai dirinya dari pada akal sehatnya. Perumpamaannya adalah seperti orang yang menolak untuk bermalam dalam satu rumah bersama sesosok mayat. Rasa takutnya sebenarnya timbul dari prasangkanya bahwa mungkin sewaktu-waktu mayat tersebut akan bergerak atau berdiri. Walaupun pada sebenarnya pada akal sehatnya mengatakan bahwa hal semacam itu tidak akan terjadi. Dengan demikian dapat dipaham bahwa seorang yang berakal sehat itu adalah yang meninggalkan prasangkanya dan hanya mengambil pendapat akal sehat untuk tuntunannya.
Dari sini kita simpulkan bahwa mereka yang berkeyakinan Allah bertempat tidak lain hanya didasarkan kepada prasangka belaka. Maka jalan satu-satunya untuk menetapkan keyakinan adalah dengan membuang jauh-jauh prasangka, dan membangunnya di atas dasar akal yang sehat. Sementara itu akal sehat kita telah menetapkan bahwa segala sesuatu ini pasti ada yang menciptakan. Juga akal sehat kita telah menetapkan bahwa Sang Pencipta tersebut pasti tidak serupa dengan yang diciptakannya, baik ciptaan-Nya yang dapat disaksikan oleh mata kita atau tidak. Dengan menetapkan dua dasar kaedah ini menjadi jelas bahwa apa yang dinyatakan oleh prasangka tidak lain hanyalah khayalan belaka yang tidak memiliki kebenaran. Jika Allah itu disimpulkan sebagai benda -seperti dalam kesimpulan prasangka- maka berarti mestilah Dia juga memiliki ketentuan-ketantuan yang berlaku pada benda itu sendiri -yaitu sifat-sifat benda-, dan ini jelas tertolak. Di atasa sudah kita jelaskan bahwa Allah bukan sifat benda. Karena bila Dia sifat benda maka ia butuh kepada benda untuk menetap padanya. Karena sifat benda itu tidak dapat berdiri sendiri. ia hanya ada dan menetap pada benda. Dan ini jelas mustahil atas Allah” .
Masih dalam kitab Ghayah al-Maram, al-Imam al-Amidi menuliskan sebagai berikut:
“Jika adalah Allah berada pada arah maka tidak lepas dari keadaan pada seluruh arah atau pada atu arah saja. Jika Ia ada pada seluruh arah maka berarti tidak ada satu arahpun bagi kita kecuali Allah berada pada arah tersebut. Dan ini jelas mustahil. Kemudian jika ia berada pada satu arah maka tidak lepas dari dua keadaan; ada yang menjadikannya pada arah tersebut atau arah tersebut ada azali; tanpa permulaan bersama-Nya. Tentunya mustahil jika arah tersebut ada azali bersama-Nya. Karena pada dasarnya seluruh arah bagi Allah itu sama, tidak khusus dengan satu arah saja -semuanya mekhluk Allah-. Maka demiian berarti ada yang mengkhususkan-Nya pada arah tertentu tersebut. Inipun sesuatu yang mustahil, dengan melihat kepada dua segi:
Pertama: Bahwa yang mengkhususkan-Nya pada arah tersebut tidak lepas dari dua keadaan; antara qadim atau baharu (hadits). Jika qadim maka berarti ada dua yang qadim; -Allah dan yang mengkhususkan-Nya pada arah tersebut-, ini jelas mustahil. Dan jika baharu maka berarti ia membutuhkan kepada lainnya. Dan lainnya ini butuh pula kepada yang yang lainnya pula. Dan terus menerus berantai demikian tanpa penghabisan (tasalsul). Ini tentunya mustahil.
Kedua: Bahwa menurut pendapat yang mengatakan Allah memiliki arah berarti kekhususan arah tersebut bagi merupakan sifat-Nya. Itu berarati adanya kekhususan sifat tersebut membutuhkan kepada yang mengkhususkannya dan yang mengadakannya, dan secara hukum akal berarti tidak ubahnya seperti makhluk. Karena sesuatu yang ada yang membutuhkan kepada yang mengadakannya berarti sesuatu tersebut adalah makhluk. Kemudian jika ada pada Allah satu sifat saja yang baharu seperti makhluk maka dimungkinkan adanya kebaharuan pada sifat-sifat yang lainnya juga. Padahal Allah wajib pada seluruh sifat-sifat-Nya maha Qadim” .
• al-Imam al-Bayyadli al-Hanafi (w 1098 H) dalam kitab Isyarat al-Maram membahas dengan sangat detail argumen rasional bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Dalam kitab ini beliau menjelaskan ungkapan al-Imam Abu Hanifah dalam kitab al-Fiqh al-Akbar bahwa adanya Allah Azali; tanpa permulaan. Dia ada sebelum ada makhluk-Nya. Ada sebelum Dia menciptakan tempat dan arah. Dialah Pencipta segala sesuatu. Maka setelah menciptakan segala sesuatu Dia tetap tidak membutuhkan kepada segala sesuatu. Dia maha Qadim, sementara tempat dan arah itu baharu.
Dari ungkapan al-Imam Abu Hanifah dalam kitab al-Fiqh al-Akbar tersebut al-Imam al-Bayyadli menyimpulkan beberapa poin penjelasan penting berikut ini.
Pertama: Dari pernyataan al-Imam Abu Hanifah di atas terdapat argumen yang sangat kuat. Ialah bahwa jika Allah ada pada tempat dan arah maka berarti arah dan tempat tersebut mesti qadim, dan berarti pula bahwa Allah adalah benda. Karena definisi tempat adalah ruang kosong yang dipenuhi oleh suatu benda. Dan definisi arah adalah nama bagi objek penghabisan bagi suatu isyarat. Keduanya; tempat dan arah hanya berlaku bagi suatu benda dan apapun yang memiliki bentuk. Semua ini mustahil atas Allah sebagaimana telah kita jelaskan. Inilah yang dimaksud oleh al-Imam Abu Hanifah dalam perkataannya: “Dia ada sebelum ada makhluk-Nya. Ada sebelum Dia menciptakan tempat dan arah. Dan Dialah Pencipta segala sesuatu”. Dengan demikian adalah batil apa yang diungkapkan oleh Ibn Taimiyah bahwa arsy tidak memiliki permulaan, sebagaimana penjelasan bantahan atasnya telah panjang lebar dalam kitab Syarah al-‘Aqidah al-Adludiyyah.
Kedua: Perkataan al-Imam Abu Hanifah adalah merupakan jawaban bahwa Allah tidak boleh dikatakan di dalam alam; karena tidak bisa diterima akal Sang pencipta berada di dalam yang diciptakannya. Juga tidak boleh dikatakan bahwa Allah berada di luar alam dengan mengatakan bahwa Dia di arah tertentu dari alam ini. Hal ini karena Allah ada sebelum menciptakan segala makhluk-Nya, ada sebelum segala arah dan tempat. dan Dialah Pencipta segala sesuatu. Allah berfirman: “Dia -Allah- Pencipta segala sesuatu” (QS. al-An’am: 102). Keyakinan ini dibangun di atas akal sehat bukan di atas prasangka”.
• Seorang teolog terkemuka, ahi fiqih dan pakar sejarah, al-Imam Ibn al-Mu’allim al-Qurasyi ad-Damasyqi (w 725 H) mengutip perkataan seorang ulama terkenal; al-Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Umar al-Anshari al-Qurthubi dalam menafikan arah dan tempat dari Allah. Argumentasi logis dari al-Qurthubi ini sekaligus disepakati oleh ibn al-Mu’allim sendiri, sebagai berikut:
“Al-Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Umar al-Anshari al-Qurthubi berkata: Di antara yang dapat membatalkan pendapat adanya tempat dan arah pada Allah adalah apa yang telah kami sebutkan dari perkataan guru kita dan ulama lainnya. Ialah dengan melihat kepada dua hal:
Pertama: Bahwa arah jika benar ada pada Allah maka hal itu akan menafikan kesempurnaan-Nya. Sesungguhnya Pencipta segala makhluk itu maha sempurna dan maha kaya. Ia tidak membutuhkan kepada sesuatu apapun untuk menjadikan-Nya sempurna.
Kedua: Jika Allah ada pada tempat dan arah maka tidak lepas dari dua hal; tempat dan arah tersebut qadim atau keduanya baharu. Jika arah dan tempat tersebut qadim maka hal itu menghasilkan dua perkara mustahil. Salah satunya ialah berarti bahwa tampat dan arah tersebut azali; tanpa permulaan, ada bersama Allah. Dan jika ada dua sesuatu yang qadim bagaimana mungkin salah satunya bertempat pada yang lainnya. Kalau demikian berarti Ia membutuhkan kepada yang mengkhususkan-Nya pada arah dan tempat tersebut. Ini adalah perkara mustahil” .
• Al-Hafizh al-Muhaddits al-Imam as-Sayyid Muhammad Murtadla az-Zabidi al-Hanafi (w 1205 H) dalam kitab Ithaf as-Sadah al-Muttaqin menjelaskan panjang lebar perkataan al-Imam al-Ghazali bahwa Allah mustahil bertempat atau bersemayam di atas arsy. Dalam kitab Ihya’ ‘Ulum ad-Din, al-Imam al-Ghazali menuliskan sebagai berikut: “al-Istiwa’ jika diartikan dengan makna bertempat atau bersemayam maka hal ini mengharuskan bahwa yang berada di atas arsy tersebut adalah benda yang menempel. Benda tersebut bisa jadi lebih besar atau bisa jadi lebih kecil dari arsy itu sendiri. Dan ini adalah sesuatu yang mustahil atas Allah” .
Dalam penjelasannya al-Imam az-Zabidi menuliskan sebagai berikut:
“Penjabarannya ialah bahwa jika Allah berada pada suatu tempat atau menempel pada suatu tempat maka berarti Allah sama besar dengan tempat tersebut, atau lebih besar darinya atau bisa jadi lebih kecil. Jika Allah sama besar dengan tempat tersebut maka berarti Dia membentuk sesuai bentuk tempat itu sendiri. Jika tempat itu segi empat maka Dia juga segi empat. Jika tempat itu segi tiga maka Dia juga segi tiga. Ini jelas sesuatu yang mustahil. Kemudian jika Allah lebih besar dari arsy maka berarti sebagian-Nya di atas arsy dan sebagian yang lainnya tidak berada di atas arsy. Ini berarti memberikan paham bahwa Allah memiliki bagian-bagian yang satu sama lainnya saling tersusun. Kemudian kalau arsy lebih besar dari Allah berarti sama saja mengatakan bahwa besar-Nya hanya seperempat arsy, atau seperlima arsy dan seterusnya. Kemudian jika Allah lebih kecil dari arsy, -seberapapun ukuran lebih kecilnya-, itu berarti mengharuskan akan adanya ukuran dan batasan bagi Allah. Tentu ini adalah kekufuran dan kesesatan. Seandainya Allah -Yang Azali- ada pada tempat yang juga azali maka berarti tidak akan dapat dibedakan antara keduanya, kecuali jika dikatakan bahwa Allah ada terkemudian setelah tempat itu. Dan ini jelas sesat karena berarti bahwa Allah itu baharu, karena ada setelah tempat. Kemudian jika dikatakan bahwa Allah bertempat dan menempel di atas arsy maka berarti boleh pula dikatakan bahwa Allah dapat terpisah dan menjauh atau meningalkan arsy itu sendiri. Padahal sesuatu yang menempel dan terpisah pastilah sesuatu yang baharu. Bukankah kita mengetahui bahwa setiap komponen dari alam ini sebagai sesuatu yang baharu karena semua itu memiliki sifat menempel dan terpisah?! Hanya orang-orang bodoh dan berpemahaman pendek saja yang berkata: Bagaimana mungkin sesuatu yang ada tidak memiliki tempat dan arah? Karena pernyataan semacam itu benar-benar tidak timbul kecuali dari seorang ahli bid’ah -yang menyerupakan Allah denganmakhluk-Nya-. Sesungguhnya yang menciptakan sifat-sifat benda (kayf) mustahil Dia disifati dengan sifat-sifat benda itu sendiri. -Artinya Dia tidak boleh dikatakan “bagaimana (kayf)” karena “bagaimana (kayf)” adalah sifat benda-
Di antara bantahan yang dapat membungkam mereka, katakan kepada mereka: Sebelum Allah menciptakan alam ini dan menciptakan tempat apakah Dia ada atau tidak ada? Tentu mereka akan menjawab: Ada. Kemudian katakan kepada mereka: Jika demikian atas dasar keyakinan kalian -bahwa segala sesuatu itu pasti memiliki tempat- terdapat dua kemungkinan kesimpulan. Pertama; Bisa jadi kalian berpendapat bahwa tempat, arsy dan seluruh alam ini qadim; ada tanpa permulaan -seperti Allah-. Atau kesimpulan kedua; Bisa jadi kalian berpendapat bahwa Allah itu baharu -seperti makhluk-. Dan jelas keduanya adalah kesesatan, ini tidak lain hanya merupakan pendapat orang-orang bodoh dari kaum Hasyawiyyah. Sesungguhnya Yang Maha Qadim (Allah) itu jelas bukan makhluk. Dan sesuatu yang baharu (makhluk) jelas bukan yang Maha Qadim (Allah). Kita berlindung kepada Allah dari keyakinan yang rusak” .
Masih dalam kitab Ithaf as-Sadah al-Muttaqin, al-Imam Murtadla az-Zabidi juga menuliskan sebagai berikut:
“Peringatan: Keyakinan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah adalah akidah yang telah disepakati di kalangan Ahlussunnah. Tidak ada perselisihan antara seorang ahli hadits dengan ahli fiqih atau dengan lainnya. Dan di dalam syari’at sama sekali tidak ada seorang nabi sekalipun yang menyebutkan secara jelas adanya arah bagi Allah. Arah dalam pengertian yang sudah kita jelaskan, secara lafazh maupun secara makna, benar-benar dinafikan dari Allah. Bagaimana tidak, padahal Allah telah berfirman: “Dia Allah tidak menyerupai sesuatu apapun” (QS. as-Syura: 11). Karena jika Dia berada pada suatu tempat maka akan ada banyak yang serupa dengan-Nya” .
Penutup
Jangan pernah anda berkeyakinan Allah memiliki tempat, karena tampat adalah makhluk Allah, dan Allah tidak diliputi oleh makhluk-Nya sendiri....
Waspadai ajaran Wahhabi yang mengatakan bahwa Allah bertempat di atas arsy..
Bagaimana dikatakan di atas arsy, padahal arsy adalah makhluk Allah sendiri. sebelum menciptakan arsy; Allah ada tanpa arsy. apa kemudian setelah Dia menciptakan arsy menjadi berubah membutuhkan kepada arsy.. A'udzu Billah!!!!
Share
Saturday, November 14, 2009 at 10:05pm
Dalam tulisan ringkas ini kita kutip pernyataan beberapa ulama dalam penjelasan dalil-dalil akal bahwa Allah tidak membutuhkan tempat dan arah, sekaligus untuk menetapkan bahwa keyakinan Allah bersemayam di ata arsy, atau bahwa Allah berada di arah atas, serta keyakinan-keyakinan tasybih lainnya adalah keyakinan batil, berseberangan dengan akidah Rasulullah dan para sahabatnya serta keyakinan yang sama sekali tidak dapat diterima oleh akal sehat. Berikut ini kita kutip pernyataan mereka satu persatu.
• al-Imam Abu Sa’id al-Mutawalli asy-Syafi’i (w 478 H) dalam kitab al-Ghunyah Fi Ushuliddin menuliskan sebagai berikut:
“Tujuan penulisan dari pasal ini adalah untuk menetapkan bahwa Allah tidak membutuhkan tempat dan arah. Berbeda dengan kaum Karramiyyah, Hasyawiyyah dan Musyabbihah yang mengatakan bahwa Allah berada di arah atas. Bahkan sebagian dari kelompok-kelompok tersebut mengatakan bahwa Allah bertempat atau bersemayam di atas arsy. Jelas mereka kaum yang sesat. Allah Maha Suci dari keyakinan kelompok-kelompok tersebut.
Dalil akal bahwa Allah Maha Suci dari tempat adalah karena apabila ia membutuhkan kepada tempat maka berarti tempat tersebut adalah qadim sebagaimana Allah Qadim. Atau sebaliknya, bila Allah membutkan tempat maka berarti Allah baharu sebagaimana tempat itu sendiri baharu. Dan kedua pendapat semacam ini adalah keyakinan kufur.
Kemudian bila Allah bertempat atau bersemayam di atas arsy, seperti yang diyakini mereka, maka berarti tidak lepas dari tiga keadaan. Bisa sama besar dengan arsy, atau lebih kecil, dan atau lebih besar dari arsy. Dan semua pendapat semacam ini adalah kufur, karena telah menetapkan adanya ukuran, batasan dan bentuk bagi Allah.
Dalil akal lain bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah ialah jika kita umpamakan sewaktu-waktu seseorang telah diberi kekuatan besar oleh Allah untuk dapat naik terus menerus ke arah atas maka -sesuai keyakinan golongan sesat di atas- ia memiliki dua kemungkinan; bisa jadi ia sampai kepada-Nya atau bisa jadi ia tidak sampai. Jika mereka mengatakan tidak sampai maka berarti mereka telah menafikan adanya Allah. Karena setiap dua sesuatu yang ada antara keduanya pasti memiliki arah dan jarak. Dan seandainya salah satunya memotng jarak tersebut dengan terus menerus mendekatinya namun ternyata tidak juga sampai maka berati sesuatu tersebut adalah nihil; tidak ada. Kemudian jika mereka mengatakan bahwa orang yang naik tersebut bisa sampai kepada-Nya maka berarti dalam keyakinan mereka Allah dapat menempel dan dapat disentuh, dan ini jelas keyakinan kufur. Kemudian dari pada itu, keyakinan semacam ini juga menetapkan adanya dua kekufuran lain. Pertama; berkeyakinan bahwa alam ini qadim, tidak memiliki permulaan. Karena -dalam keyaikinan kita- salah satu bukti yang menunjukan bahwa alam ini baharu ialah adanya sifat berpisah dan bersatu padanya. Kedua; keyakinan tersebut sama juga dengan menetapkan kebolehan adanya anak dan isteri bagi Allah” .
• al-Imam Abu Hamid al-Ghazali asy-Syafi’i (w 505 H) dalam kitab Ihya ‘Ulumiddin menuliskan sebagai berikut:
“Dasar ke empat; ialah berkeyakinan bahwa Allah bukan benda yang memiliki tempat dan arah. Dia Maha Suci dari mamiliki arah. Dalil akal atas ini adalah bahwa segala benda pasti memiliki arah khusus baginya, dan bedan tersebut tidak lepas dari dua keadaan; dalam keadaan diam pada tempatnya atau dalam keadaan bergerak dari tempatnya tersebut. Artinya setiap benda tidak lepas dari sifat gerak dan diam, dan keduanya jelas baharu. Dan segala sesuatu yang tidak lepas dari sifat baharu maka hal tersebut menjukan bahwa sesuatu tersebut adalah baharu” .
• al-Imam Abu al-Mu’ain an-Nasafi al-Hanafi (w 508 H) dalam kitab Tabshirah al-Adillah telah menuliskan penjelasan yang logis dan dalil-dalil yang sangat kuat dalam bantahan beliau atas kaum Musyabbihah. Di antaranya beliau menuliskan sebagai berikut:
“Kaum Mujassimah memiliki tiga kerancuan: Pertama; Pernyataan mereka bahwa setiap dua sesuatu yang ada pasti keduanya memiliki jarak dan arah satu dari lainnya. Kita jawab kesesatan mereka ini; Kalian menetapkan bahwa dua sesuatu pasti memiliki jarak dan arah satu dari lainnya bagi orang yang melihatnya, apakah kalian membolehkan sifat arah semacam ini atas Allah? Jika mereka menjawab iya maka mereka telah membatalkan keyakinan mereka sendiri. Karena dalam keyakinan mereka Allah tidak boleh disifati berada di bawah alam. Dan jika mereka menjawab tidak maka mereka juga telah membatalkan argumen mereka sendiri bahwa dua sesuatu pasti memiliki arah satu dari lainnya. Jika mereka berkata; Kita tidak membolehkan arah bawah bagi Allah karena arah ini sifat kurang dan merupakan cacian, dan Allah tidak disifati dengan sifat kurang semacam itu. Jawab; Jika demikian berarti kalian telah menetapkan adanya argumen perbedaan (at-tafriqah) antara Allah dengan makhluk-Nya.
• Seorang ahli tafsir terkemuka; al-Imam al-Fakhr ar-Razi ( w 606 H) dalam kitab tafsirnya menuliskan sebagai berikut:
“Jika keagungan Allah disebabkan dengan tempat atau arah atas maka tentunya tempat dan arah atas tersebut menjadi sifat bagi Dzat-Nya. Kemudian itu berarti bahwa keagungan Allah terhasilkan dari sesuatu yang lain; yaitu tempat. Dan jika demikian berarti arah atas lebih sempurna dan lebih agung dari pada Allah sendiri, karena Allah mengambil kemuliaan dari arah tersebut. Dan ini berarti Allah tidak memiliki kesempurnaan sementara selain Allah memiliki kesempurnaan. Tentu saja ini adalah suatu yang mustahil” .
Di bagian lain dari tafsirnya dalam penafsiran firman Allah QS. Thaha: 5 menuliskan sebagai berikut:
“Masalah kedua; Kaum Musyabbihah menjadikan ayat ini sebagai rujukan dalam menetapkan keyakinan mereka bahwa tuhan mereka duduk, bertempat atau bersemayam di atas arsy. Pendapat mereka ini jelas batil, terbantahkan dengan dalil akal dan dalil naql dari berbagai segi;
Pertama: Bahwa Allah ada tanpa permulaan. Dia ada sebelum menciptakan arsy dan tempat. Dan setelah Dia menciptakan segala makhluk Dia tidak membutuhkan kepada makhluk-Nya, tidak butuh kepada tempat, Dia Maha Kaya dari segala makhluk-Nya. Artinya bahwa Allah Azali -tanpa permulaan- dengan segala sifat-sifat-Nya, Dia tidak berubah. Kecuali bila ada orang berkeyakinan bahwa arsy sama azali seperti Allah. -Dan jelas ini kekufuran karena menetapkan sesuatu yang azali kepada selain Allah-”.
Kedua: Bahwa sesuatu yang duduk di atas arsy dipastikan terjadinya bagian-bagian pada dzatnya. Bagian dzatnya yang berada di sebelah kanan arsy jelas bukan bagian dzatnya yang berada di sebelah kiri arsy. Dengan demikian maka jelas bahwa sesuatu itu adalah merupakan benda yang memiliki bagian-bagian yang tersusun. Dan segala sesuatu yang memiliki bagian-bagian dan tersusun maka ia pasti membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam susunannya tersebut. Dan hal itu jelas mustahil atas Allah.
Ketiga: Bahwa sesuatu yang duduk di atas arsy dipastikan ia berada di antara dua keadaan; dalam keadaan bergerak dan berpindah-pindah atau dalam keadaan diam sama sekali tidak bergerak. Jika dalam keadaan pertama maka berarti arsy menjadi tempat bergerak dan diam, dan dengan demikian maka arsy berarti jelas baharu. Jika dalam keadaan kedua maka berarti ia seperti sesuatu yang terikat, bahkan seperti seorang yang lumpuh, atau bahkan lebih buruk lagi dari pada orang yang lumpuh. Karena seorang yang lumpuh jika ia berkehendak terhadap sesuatu ia masih dapat menggerakan kepada atau kelopak matanya. Sementara tuhan dalam keyakinan mereka yang berada di atas arsya tersebut diam saja.
Keempat: Jika demikian berarti tuhan dalam keyakinan mereka ada kalanya berada pada semua tempat atau hanya pada satu tempat saja tidak pada tempat lain. Jika mereka berkeyakinan pertama maka berarti menurut mereka tuhan berada di tempat-tempat najis dan menjijikan. Pendapat semacam ini jelas tidak akan diungkapkan oleh seorang yang memiliki akal sehat. Kemudian jika mereka berkeyakinan kedua maka berarti menurut mereka tuhan membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam kekhususan tempat dan arah tersebut. Dan semacam ini semua mustahil atas Allah” .
• al-Imam Saifuddin al-Amidi (w 631 H) dalam kitab Ghayah al-Maram menuliskan sebagai berikut:
“Telah tetap bahwa apapun yang kita saksikan dari segala yang ada ini tidak lain kecuali benda dan sifat-sifat benda. Menetapkan adanya sesuatu yang ke tiga adalah pendapat yang tidak diterima akal. Dengan demikian setelah tetap bahwa segala sesuatu yang ada -dari segala makhluk Allah- ini tidak lepas dari benda dan sifat-sifat benda, maka berarti Allah -yang menciptakan itu semua- mustahil sebagai sifat benda. Karena sifat benda itu selalu membutuhkan kepada benda itu sendiri, padahal Allah mustahil membutuhkan kepada sesuatu. Karena bila Allah membutuhkan kepada sesuatu maka berarti sesuatu yang Ia butuhkannya tersebut lebih agung dan lebih mulia dari dari-Nya sendiri, dan ini jelas mustahil. Dengan demikian terbantahkan pendapat yang mengatakan bahwa Allah adalah sifat benda. Sekarang tersisa bantahan atas mereka yang mengatakan bahwa Allah adalah benda.
Kita katakan kepada mereka: Sumber kerancuan kalian dalam masalah ini adalah bahwa kalian membangun keyakinan kalian di atas prasangka. Dasar keyakinan kalian berangkat dari prasangka kesamaan antara Allah dengan sesuatu yang tampak dengan mata (benda). Kalian menghukumi kesamaan antara sesuatu yang tidak dapat disentuh dengan sesuatu yang dapat disentuh. Padahal keyakinan dengan dasar prasangka semacam ini jelas hanya khayalan, kedustaan, dan sama sekali tidak benar. Prasangka berkesimpulan bahwa segala sesuatu itu pasti memiliki tampat karena prasangka ini berangkat dari pemahaman bahwa segala sesuatu itu benda. Ini berbeda dengan kesaksian akal. Dalam kesaksian akal, alam (segala sesuatu selain Allah) tidak berada pada tempat. Karena alam itu sendiri mencakup segala apapun, selain Allah, termasuk tempat dan arah itu sendiri. Bahkan ada sebagian orang yang menjadikan prasangkanya lebih menguasai dirinya dari pada akal sehatnya. Perumpamaannya adalah seperti orang yang menolak untuk bermalam dalam satu rumah bersama sesosok mayat. Rasa takutnya sebenarnya timbul dari prasangkanya bahwa mungkin sewaktu-waktu mayat tersebut akan bergerak atau berdiri. Walaupun pada sebenarnya pada akal sehatnya mengatakan bahwa hal semacam itu tidak akan terjadi. Dengan demikian dapat dipaham bahwa seorang yang berakal sehat itu adalah yang meninggalkan prasangkanya dan hanya mengambil pendapat akal sehat untuk tuntunannya.
Dari sini kita simpulkan bahwa mereka yang berkeyakinan Allah bertempat tidak lain hanya didasarkan kepada prasangka belaka. Maka jalan satu-satunya untuk menetapkan keyakinan adalah dengan membuang jauh-jauh prasangka, dan membangunnya di atas dasar akal yang sehat. Sementara itu akal sehat kita telah menetapkan bahwa segala sesuatu ini pasti ada yang menciptakan. Juga akal sehat kita telah menetapkan bahwa Sang Pencipta tersebut pasti tidak serupa dengan yang diciptakannya, baik ciptaan-Nya yang dapat disaksikan oleh mata kita atau tidak. Dengan menetapkan dua dasar kaedah ini menjadi jelas bahwa apa yang dinyatakan oleh prasangka tidak lain hanyalah khayalan belaka yang tidak memiliki kebenaran. Jika Allah itu disimpulkan sebagai benda -seperti dalam kesimpulan prasangka- maka berarti mestilah Dia juga memiliki ketentuan-ketantuan yang berlaku pada benda itu sendiri -yaitu sifat-sifat benda-, dan ini jelas tertolak. Di atasa sudah kita jelaskan bahwa Allah bukan sifat benda. Karena bila Dia sifat benda maka ia butuh kepada benda untuk menetap padanya. Karena sifat benda itu tidak dapat berdiri sendiri. ia hanya ada dan menetap pada benda. Dan ini jelas mustahil atas Allah” .
Masih dalam kitab Ghayah al-Maram, al-Imam al-Amidi menuliskan sebagai berikut:
“Jika adalah Allah berada pada arah maka tidak lepas dari keadaan pada seluruh arah atau pada atu arah saja. Jika Ia ada pada seluruh arah maka berarti tidak ada satu arahpun bagi kita kecuali Allah berada pada arah tersebut. Dan ini jelas mustahil. Kemudian jika ia berada pada satu arah maka tidak lepas dari dua keadaan; ada yang menjadikannya pada arah tersebut atau arah tersebut ada azali; tanpa permulaan bersama-Nya. Tentunya mustahil jika arah tersebut ada azali bersama-Nya. Karena pada dasarnya seluruh arah bagi Allah itu sama, tidak khusus dengan satu arah saja -semuanya mekhluk Allah-. Maka demiian berarti ada yang mengkhususkan-Nya pada arah tertentu tersebut. Inipun sesuatu yang mustahil, dengan melihat kepada dua segi:
Pertama: Bahwa yang mengkhususkan-Nya pada arah tersebut tidak lepas dari dua keadaan; antara qadim atau baharu (hadits). Jika qadim maka berarti ada dua yang qadim; -Allah dan yang mengkhususkan-Nya pada arah tersebut-, ini jelas mustahil. Dan jika baharu maka berarti ia membutuhkan kepada lainnya. Dan lainnya ini butuh pula kepada yang yang lainnya pula. Dan terus menerus berantai demikian tanpa penghabisan (tasalsul). Ini tentunya mustahil.
Kedua: Bahwa menurut pendapat yang mengatakan Allah memiliki arah berarti kekhususan arah tersebut bagi merupakan sifat-Nya. Itu berarati adanya kekhususan sifat tersebut membutuhkan kepada yang mengkhususkannya dan yang mengadakannya, dan secara hukum akal berarti tidak ubahnya seperti makhluk. Karena sesuatu yang ada yang membutuhkan kepada yang mengadakannya berarti sesuatu tersebut adalah makhluk. Kemudian jika ada pada Allah satu sifat saja yang baharu seperti makhluk maka dimungkinkan adanya kebaharuan pada sifat-sifat yang lainnya juga. Padahal Allah wajib pada seluruh sifat-sifat-Nya maha Qadim” .
• al-Imam al-Bayyadli al-Hanafi (w 1098 H) dalam kitab Isyarat al-Maram membahas dengan sangat detail argumen rasional bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Dalam kitab ini beliau menjelaskan ungkapan al-Imam Abu Hanifah dalam kitab al-Fiqh al-Akbar bahwa adanya Allah Azali; tanpa permulaan. Dia ada sebelum ada makhluk-Nya. Ada sebelum Dia menciptakan tempat dan arah. Dialah Pencipta segala sesuatu. Maka setelah menciptakan segala sesuatu Dia tetap tidak membutuhkan kepada segala sesuatu. Dia maha Qadim, sementara tempat dan arah itu baharu.
Dari ungkapan al-Imam Abu Hanifah dalam kitab al-Fiqh al-Akbar tersebut al-Imam al-Bayyadli menyimpulkan beberapa poin penjelasan penting berikut ini.
Pertama: Dari pernyataan al-Imam Abu Hanifah di atas terdapat argumen yang sangat kuat. Ialah bahwa jika Allah ada pada tempat dan arah maka berarti arah dan tempat tersebut mesti qadim, dan berarti pula bahwa Allah adalah benda. Karena definisi tempat adalah ruang kosong yang dipenuhi oleh suatu benda. Dan definisi arah adalah nama bagi objek penghabisan bagi suatu isyarat. Keduanya; tempat dan arah hanya berlaku bagi suatu benda dan apapun yang memiliki bentuk. Semua ini mustahil atas Allah sebagaimana telah kita jelaskan. Inilah yang dimaksud oleh al-Imam Abu Hanifah dalam perkataannya: “Dia ada sebelum ada makhluk-Nya. Ada sebelum Dia menciptakan tempat dan arah. Dan Dialah Pencipta segala sesuatu”. Dengan demikian adalah batil apa yang diungkapkan oleh Ibn Taimiyah bahwa arsy tidak memiliki permulaan, sebagaimana penjelasan bantahan atasnya telah panjang lebar dalam kitab Syarah al-‘Aqidah al-Adludiyyah.
Kedua: Perkataan al-Imam Abu Hanifah adalah merupakan jawaban bahwa Allah tidak boleh dikatakan di dalam alam; karena tidak bisa diterima akal Sang pencipta berada di dalam yang diciptakannya. Juga tidak boleh dikatakan bahwa Allah berada di luar alam dengan mengatakan bahwa Dia di arah tertentu dari alam ini. Hal ini karena Allah ada sebelum menciptakan segala makhluk-Nya, ada sebelum segala arah dan tempat. dan Dialah Pencipta segala sesuatu. Allah berfirman: “Dia -Allah- Pencipta segala sesuatu” (QS. al-An’am: 102). Keyakinan ini dibangun di atas akal sehat bukan di atas prasangka”.
• Seorang teolog terkemuka, ahi fiqih dan pakar sejarah, al-Imam Ibn al-Mu’allim al-Qurasyi ad-Damasyqi (w 725 H) mengutip perkataan seorang ulama terkenal; al-Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Umar al-Anshari al-Qurthubi dalam menafikan arah dan tempat dari Allah. Argumentasi logis dari al-Qurthubi ini sekaligus disepakati oleh ibn al-Mu’allim sendiri, sebagai berikut:
“Al-Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Umar al-Anshari al-Qurthubi berkata: Di antara yang dapat membatalkan pendapat adanya tempat dan arah pada Allah adalah apa yang telah kami sebutkan dari perkataan guru kita dan ulama lainnya. Ialah dengan melihat kepada dua hal:
Pertama: Bahwa arah jika benar ada pada Allah maka hal itu akan menafikan kesempurnaan-Nya. Sesungguhnya Pencipta segala makhluk itu maha sempurna dan maha kaya. Ia tidak membutuhkan kepada sesuatu apapun untuk menjadikan-Nya sempurna.
Kedua: Jika Allah ada pada tempat dan arah maka tidak lepas dari dua hal; tempat dan arah tersebut qadim atau keduanya baharu. Jika arah dan tempat tersebut qadim maka hal itu menghasilkan dua perkara mustahil. Salah satunya ialah berarti bahwa tampat dan arah tersebut azali; tanpa permulaan, ada bersama Allah. Dan jika ada dua sesuatu yang qadim bagaimana mungkin salah satunya bertempat pada yang lainnya. Kalau demikian berarti Ia membutuhkan kepada yang mengkhususkan-Nya pada arah dan tempat tersebut. Ini adalah perkara mustahil” .
• Al-Hafizh al-Muhaddits al-Imam as-Sayyid Muhammad Murtadla az-Zabidi al-Hanafi (w 1205 H) dalam kitab Ithaf as-Sadah al-Muttaqin menjelaskan panjang lebar perkataan al-Imam al-Ghazali bahwa Allah mustahil bertempat atau bersemayam di atas arsy. Dalam kitab Ihya’ ‘Ulum ad-Din, al-Imam al-Ghazali menuliskan sebagai berikut: “al-Istiwa’ jika diartikan dengan makna bertempat atau bersemayam maka hal ini mengharuskan bahwa yang berada di atas arsy tersebut adalah benda yang menempel. Benda tersebut bisa jadi lebih besar atau bisa jadi lebih kecil dari arsy itu sendiri. Dan ini adalah sesuatu yang mustahil atas Allah” .
Dalam penjelasannya al-Imam az-Zabidi menuliskan sebagai berikut:
“Penjabarannya ialah bahwa jika Allah berada pada suatu tempat atau menempel pada suatu tempat maka berarti Allah sama besar dengan tempat tersebut, atau lebih besar darinya atau bisa jadi lebih kecil. Jika Allah sama besar dengan tempat tersebut maka berarti Dia membentuk sesuai bentuk tempat itu sendiri. Jika tempat itu segi empat maka Dia juga segi empat. Jika tempat itu segi tiga maka Dia juga segi tiga. Ini jelas sesuatu yang mustahil. Kemudian jika Allah lebih besar dari arsy maka berarti sebagian-Nya di atas arsy dan sebagian yang lainnya tidak berada di atas arsy. Ini berarti memberikan paham bahwa Allah memiliki bagian-bagian yang satu sama lainnya saling tersusun. Kemudian kalau arsy lebih besar dari Allah berarti sama saja mengatakan bahwa besar-Nya hanya seperempat arsy, atau seperlima arsy dan seterusnya. Kemudian jika Allah lebih kecil dari arsy, -seberapapun ukuran lebih kecilnya-, itu berarti mengharuskan akan adanya ukuran dan batasan bagi Allah. Tentu ini adalah kekufuran dan kesesatan. Seandainya Allah -Yang Azali- ada pada tempat yang juga azali maka berarti tidak akan dapat dibedakan antara keduanya, kecuali jika dikatakan bahwa Allah ada terkemudian setelah tempat itu. Dan ini jelas sesat karena berarti bahwa Allah itu baharu, karena ada setelah tempat. Kemudian jika dikatakan bahwa Allah bertempat dan menempel di atas arsy maka berarti boleh pula dikatakan bahwa Allah dapat terpisah dan menjauh atau meningalkan arsy itu sendiri. Padahal sesuatu yang menempel dan terpisah pastilah sesuatu yang baharu. Bukankah kita mengetahui bahwa setiap komponen dari alam ini sebagai sesuatu yang baharu karena semua itu memiliki sifat menempel dan terpisah?! Hanya orang-orang bodoh dan berpemahaman pendek saja yang berkata: Bagaimana mungkin sesuatu yang ada tidak memiliki tempat dan arah? Karena pernyataan semacam itu benar-benar tidak timbul kecuali dari seorang ahli bid’ah -yang menyerupakan Allah denganmakhluk-Nya-. Sesungguhnya yang menciptakan sifat-sifat benda (kayf) mustahil Dia disifati dengan sifat-sifat benda itu sendiri. -Artinya Dia tidak boleh dikatakan “bagaimana (kayf)” karena “bagaimana (kayf)” adalah sifat benda-
Di antara bantahan yang dapat membungkam mereka, katakan kepada mereka: Sebelum Allah menciptakan alam ini dan menciptakan tempat apakah Dia ada atau tidak ada? Tentu mereka akan menjawab: Ada. Kemudian katakan kepada mereka: Jika demikian atas dasar keyakinan kalian -bahwa segala sesuatu itu pasti memiliki tempat- terdapat dua kemungkinan kesimpulan. Pertama; Bisa jadi kalian berpendapat bahwa tempat, arsy dan seluruh alam ini qadim; ada tanpa permulaan -seperti Allah-. Atau kesimpulan kedua; Bisa jadi kalian berpendapat bahwa Allah itu baharu -seperti makhluk-. Dan jelas keduanya adalah kesesatan, ini tidak lain hanya merupakan pendapat orang-orang bodoh dari kaum Hasyawiyyah. Sesungguhnya Yang Maha Qadim (Allah) itu jelas bukan makhluk. Dan sesuatu yang baharu (makhluk) jelas bukan yang Maha Qadim (Allah). Kita berlindung kepada Allah dari keyakinan yang rusak” .
Masih dalam kitab Ithaf as-Sadah al-Muttaqin, al-Imam Murtadla az-Zabidi juga menuliskan sebagai berikut:
“Peringatan: Keyakinan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah adalah akidah yang telah disepakati di kalangan Ahlussunnah. Tidak ada perselisihan antara seorang ahli hadits dengan ahli fiqih atau dengan lainnya. Dan di dalam syari’at sama sekali tidak ada seorang nabi sekalipun yang menyebutkan secara jelas adanya arah bagi Allah. Arah dalam pengertian yang sudah kita jelaskan, secara lafazh maupun secara makna, benar-benar dinafikan dari Allah. Bagaimana tidak, padahal Allah telah berfirman: “Dia Allah tidak menyerupai sesuatu apapun” (QS. as-Syura: 11). Karena jika Dia berada pada suatu tempat maka akan ada banyak yang serupa dengan-Nya” .
Penutup
Jangan pernah anda berkeyakinan Allah memiliki tempat, karena tampat adalah makhluk Allah, dan Allah tidak diliputi oleh makhluk-Nya sendiri....
Waspadai ajaran Wahhabi yang mengatakan bahwa Allah bertempat di atas arsy..
Bagaimana dikatakan di atas arsy, padahal arsy adalah makhluk Allah sendiri. sebelum menciptakan arsy; Allah ada tanpa arsy. apa kemudian setelah Dia menciptakan arsy menjadi berubah membutuhkan kepada arsy.. A'udzu Billah!!!!
indikator kebahagiaan
mar Sahid February 24 at 7:19am Reply
Bismillaahirrohmanirrohim
Assalamu'alaikum warohmatullohiwabarakatuh......
Saudaraku yg dirahmati Alloh,
Ibnu Qoyyim Rahimakumulloh berkata " Diantara tanda kebahagiaan dan keberuntungan adalah: Setiap kali ilmu seseorang bertambah, maka bertambah pula ketawadhu'an dan belas kasihnya, dan setiap kali ilmunya bertambah maka akan bertambah pula perasaan takut dan kehati-hatiannya.
Setiap kali umurnya bertambah, akan berkuranglah kerakusannya. Setiap kali hartanya bertambah akan bertambah pula kedermawanan dan kebaikannya. Setiap kali kedudukan dan pangkatnya bertambah, akan bertambah pula kedekatannya dengan orang lain dan bantuan yang ia berikan untuk meringankan keperluan mereka serta ketawadhuannya atas mereka.
Adapun tanda kesengsaraan seseorang adalah, " Setiap kali bertambah ilmunya, akan bertambah pula kesombongan dan kecongkakannya. Setiap kali bertambah ilmunya, ia akan semakin bangga terhadap dirinya dan semakin meremehkan orang lain, serta semakin berbaik sangka kepada dirinya sendiri.
Setiap kali umurnya bertambah maka akan semakin bertambah pula kerakusannya terhadap dunia, setiap kali hartanya bertambah, akan bertambah pula sifat kikir dan bakhilnya. setiap kali bertambah tinggi kedudukannya , ia akan semakin congkak dan sombong. semua ini ujian dari Alloh yang dengannya Alloh menguji hamba-2Nya, maka akan ada kaum yg berbahagia dengannya dan adapula yang sengsara karenanya.
Semoga menjadi bahan renungan untuk kita bersama saudaraku....
MAafkan saya atas segala salah....
umar sahid
Wassalamu'alaikumwarohmatullohiwabarakatuh...
Bismillaahirrohmanirrohim
Assalamu'alaikum warohmatullohiwabarakatuh......
Saudaraku yg dirahmati Alloh,
Ibnu Qoyyim Rahimakumulloh berkata " Diantara tanda kebahagiaan dan keberuntungan adalah: Setiap kali ilmu seseorang bertambah, maka bertambah pula ketawadhu'an dan belas kasihnya, dan setiap kali ilmunya bertambah maka akan bertambah pula perasaan takut dan kehati-hatiannya.
Setiap kali umurnya bertambah, akan berkuranglah kerakusannya. Setiap kali hartanya bertambah akan bertambah pula kedermawanan dan kebaikannya. Setiap kali kedudukan dan pangkatnya bertambah, akan bertambah pula kedekatannya dengan orang lain dan bantuan yang ia berikan untuk meringankan keperluan mereka serta ketawadhuannya atas mereka.
Adapun tanda kesengsaraan seseorang adalah, " Setiap kali bertambah ilmunya, akan bertambah pula kesombongan dan kecongkakannya. Setiap kali bertambah ilmunya, ia akan semakin bangga terhadap dirinya dan semakin meremehkan orang lain, serta semakin berbaik sangka kepada dirinya sendiri.
Setiap kali umurnya bertambah maka akan semakin bertambah pula kerakusannya terhadap dunia, setiap kali hartanya bertambah, akan bertambah pula sifat kikir dan bakhilnya. setiap kali bertambah tinggi kedudukannya , ia akan semakin congkak dan sombong. semua ini ujian dari Alloh yang dengannya Alloh menguji hamba-2Nya, maka akan ada kaum yg berbahagia dengannya dan adapula yang sengsara karenanya.
Semoga menjadi bahan renungan untuk kita bersama saudaraku....
MAafkan saya atas segala salah....
umar sahid
Wassalamu'alaikumwarohmatullohiwabarakatuh...
Tulisan Ini Dari Depan Sampe Belakang Berisi Bantahan Terhadap Kaum Musyabbihah (Wahhabiyyah Sekarang), Waspadai Mereka!!
Tulisan Ini Dari Depan Sampe Belakang Berisi Bantahan Terhadap Kaum Musyabbihah (Wahhabiyyah Sekarang), Waspadai Mereka!!
Share
Wednesday, January 27, 2010 at 12:16pm
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وبعد
Allah berfirman:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ ( سورة الشورى : 11 )
“Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi maupun semua segi), dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya”. (QS. as-Syura: 11)
Penjelasan:
Ayat ini adalah ayat yang paling jelas dalam al Qur'an yang berbicara tentang tanzih (mensucikan Allah dari menyerupai makhluk), at-Tanzih al Kulliy; pensucian yang total dari menyerupai makhluk. Jadi maknanya sangat luas, dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa Allah maha suci dari berupa benda, dari berada pada satu arah atau banyak arah atau semua arah. Allah maha suci dari berada di atas arsy, di bawah arsy, sebelah kanan atau sebelah kiri arsy. Allah juga maha suci dari sifat-sifat benda seperti bergerak, diam, berubah, berpindah dari satu keadaan ke keadaan yang lain dan sifat-sifat benda yang lain.
Al-Imam Abu Hanifah berkata:
أنـّى يُشْبِهُ الْخَالِقُ مَخْلُوْقَـهُ
"Mustahil Allah menyerupai makhluk-Nya".
Dengan demikian Allah tidak menyerupai makhluk-Nya, dari satu segi maupun semua segi. Al-Imam Malik berkata:
وَكَيْفَ عَنْهُ مَرْفُوْعٌ
"Kayfa ( bagaimana; sifat-sifat benda) itu mustahil bagi Allah".
Perkataan al-Imam Malik ini diriwayatkan oleh al-Hafizh al-Bayhaqi dengan sanad yang kuat. Maksud perkataan al-Imam Malik ini adalah bahwa Allah maha suci dari al Kayf (sifat makhluk) sama sekali. Definisi al Kayf adalah segala sesuatu yang merupakan sifat makhluk seperti duduk, bersemayam, berada di atas sesuatu dengan jarak dan lain–lain.
الْمَحْدُوْدُ عِنْدَ عُلَمَاءِ التّوْحِيْدِ مَا لَهُ حَجْمٌ صَغِيْرًا كَانَ أوْ كَبِيْرًا، وَالْحَدُّ عِنْدَهُمْ هُوَ الْحَجْمُ إنْ كَانَ صَغِيْرًا وَإنْ كَانَ كَبِيْرًا، الذَّرَّةُ مَحْدُوْدَةٌ وَاْلعَرْشُ مَحْدُوْدٌ وَالنُّوْرُ وَالظَّلاَمُ وَالرِّيْحُ كُلٌّ مَحْدُوْدٌ.
"Menurut ulama tauhid yang dimaksud dengan al-mahdud (sesuatu yang berukuran) adalah segala sesuatu yang memiliki bentuk baik kecil maupun besar. Sedangkan pengertian al-hadd (batasan) menurut mereka adalah bentuk baik kecil maupun besar. Adz-Dzarrah (sesuatu yang terlihat dalam cahaya matahari yang masuk melalui jendela) mempunyai ukuran dan disebut Mahdud demikian juga arsy, cahaya, kegelapan dan angin masing-masing mempunyai ukuran dan disebut Mahdud ".
Penjelasan:
Allah berfirman:
الْحَمْدُ للهِ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنُّورَ (سورة الأنعام : 1)
"Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menjadikan kegelapan dan cahaya" (QS. al An'am : 1).
Dalam ayat ini Allah ta'ala menyebutkan langit dan bumi, keduanya termasuk benda yang dapat dipegang oleh tangan (Katsif). Allah juga menyebutkan kegelapan dan cahaya, keduanya termasuk benda yang tidak dapat dipegang oleh tangan (Lathif). Ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa pada Azal (keberadaan tanpa permulaan) tidak ada sesuatupun selain Allah, baik itu benda katsif maupun benda lathif. Dan ini berarti bahwa Allah tidak menyerupai benda lathif maupun benda katsif.
Allah ta'ala menciptakan alam ini terbagi menjadi dua bagian: benda dan sifat benda. Benda terbagi menjadi dua: Pertama: benda katsif yaitu benda yang dapat dipegang oleh tangan seperti pohon, manusia, air dan api. Kedua: Benda Lathif, yaitu benda yang tidak dapat dipegang oleh tangan seperti cahaya, kegelapan, ruh, udara.
Masing-masing benda memiliki batas, ukuran, dan bentuk, Allah berfirman:
وَكُلُّ شَىْءٍ عِندَهُ بِمِقْدَارٍ ( سورة الرعد : 8 )
"Segala sesuatu bagi Allah memiliki ukuran (yang telah ditentukan)" (QS. ar-Ra'd: 8)
Bahwa benda katsif memiliki ukuran adalah hal yang sudah jelas. Sedangkan mengenai bahwa benda lathif memiliki ukuran adalah sesuatu yang memerlukan pengamatan dan penelitian yang seksama. Cahaya misalnya memiliki tempat dan ruang kosong yang diisi olehnya, cahaya matahari menyebar ke areal/jarak yang sangat luas yang diketahui oleh Allah, ukurannya sangat luas. Sementara cahaya lilin ukurannya sangat kecil. Cahaya kunang–kunang yang berjalan di rerumputan di malam hari, Allah jadikan cahayanya sekecil itu. Cahaya yang paling luas adalah cahaya surga. Jadi masing-masing cahaya tersebut memiliki batas dan ukuran yang membatasinya. Kegelapan juga memiliki ukuran dan ruang kosong yang diisi olehnya. Kadang tempat kegelapan tersebut sempit dan kadang luas. Demikian juga angin memiliki tempat yang diisi olehnya. Para Malaikat diperintahkan oleh Allah untuk menimbangnya dan mengirimkannya sesuai dengan perintah dan ketentuan Allah. Ada angin yang dingin, angin yang panas. Ada angin yang Allah kirimkan untuk menghancurkan suatu kaum, begitu juga ada angin yang dikirimkan sebagai rahmat. Jadi masing-masing angin tersebut memiliki timbangan yang telah ditentukan oleh Allah. Demikian juga, ruh memiliki ukuran. Ketika ruh berada pada tubuh manusia, ruh berukuran sama dengan badan orang tersebut dan ketika ruh berpisah, meninggalkan badan seseorang ia bertempat di udara tanpa menyatu dengan jasadnya. Kesimpulannya; setiap makhluk pasti memiliki tempat, baik tempat yang besar maupun yang kecil.
Benda paling kecil yang diciptakan oleh Allah dan bisa dilihat oleh mata adalah haba'. Haba' adalah sesuatu yang kecil yang terlihat apabila sinar matahari masuk ke dalam rumah dari jendela, nampak seperti debu yang kelihatan oleh mata, benda ini disebut haba'. Memang masih ada lagi benda yang lebih kecil dari haba', yang bahkan tidak dapat dilihat oleh mata karena sangat kecilnya, walaupun demikian tetap saja benda tersebut memiliki bentuk yaitu bentuk yang paling kecil yang diciptakan oleh Allah yang disebut dalam istilah tauhid al-Jawhar al-Fard; bagian yang tidak bisa dibagi-bagi lagi. Al-Jawhar al-Fard adalah benda yang paling kecil yang diciptakan oleh Allah, al-Jawhar al-Fard adalah asal bagi semua benda.
Semua benda ini memilki batas dan ukuran dan karenanya membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam ukuran tersebut, dan dengan begitu benda tidak sah menjadi tuhan. Ketuhanan hanya sah berlaku bagi yang tidak memiliki ukuran sama sekali, yaitu Allah yang maha suci dari status Mahdud (Allah tidak memiliki batas dan ukuran). Makna Mahdud di sini tidak hanya berlaku bagi sesuatu yang memiliki bentuk kecil saja akan tetapi sesuatu yang memiliki bentuk yang besar juga disebut Mahdud.
Sedangkan al-A'radl adalah sifat benda seperti bergerak, diam, warna, rasa dan lain–lain. Jadi di antara sifat benda adalah bergerak dan diam, sebagian benda terus-menerus bergerak, yaitu bintang, bahkan an-Najm al-Quthbi (bintang yang bisa menunjukkan arah kiblat) sekalipun bergerak, hanya saja gerakannya pelan dan bergerak di tempatnya. Sebagian benda lagi ada yang terus–menerus diam seperti tujuh langit yang ada. Sebagian benda lagi kadang diam dan kadang bergerak seperti manusia, malaikat, jin dan binatang.
Termasuk di antara sifat benda juga adalah berwarna kadang sesuatu berwarna putih, ada yang berwarna merah, kuning atau hijau. Matahari juga memiliki sifat, di antara sifatnya adalah panas. Angin juga memiliki sifat di antara sifatnya adalah dingin, panas, berhembus dengan kuat atau pelan.
Jadi Allah ta'ala yang menciptakan alam ini dengan berbagai macam jenis dan bentuknya, maka Dia tidak menyerupainya, dari satu segi maupun semua segi. Allah ta'ala tidak menyerupai benda katsif maupun benda lathif dan juga tidak bersifat dengan sifat–sifat benda, Allah tidak menyerupai satupun dari segala sesuatu yang diciptakan-Nya, oleh karena itu Ahlussunnah mengatakan:
اللهُ مَوْجُوْدٌ بِلاَ مَكَانٍ وَلاَ جِهَةٍ
"Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah".
Allah menjadikan arah atas sebagai tempat bagi arsy dan para Malaikat yang mengelilinginya dan juga sebagai tempat bagi al-Lauh al-Mahfuzh dan lain-lain. Allah menjadikan manusia, binatang, serangga dan lain-lain bertempat di arah bawah. Jadi Dzat yang menciptakan sebagian makhluk bertempat di arah arsy dan sebagian yang lain di arah bawah mustahil bagi-Nya memiliki arah. Karena seandainya dikatakan dia berada di salah satu arah atau bertempat di semua arah niscaya akan ada banyak serupa bagi-Nya, padahal Allah telah berfirman:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ ( سورة الشورى : 11 )
"Tidak ada satupun yang menyerupai-Nya". Inilah aqidah yang diyakini oleh semua kaum muslimin di negara-negara muslim; Indonesia, Mesir, Irak, Turki, Maroko, AlJazair, Tunisia, Yaman, Somalia dan daratan Syam, mereka semua dan yang lain di negara-negara lain semua mengajarkan keyakinan ini.
Sedangkan orang yang meyakini bahwa Allah adalah benda yang sama besarnya dengan arsy, memenuhi arsy atau separuh dari arsy atau meyakini bahwa Allah lebih besar dari arsy dari segala arah kecuali arah bawah atau bahwa Allah adalah cahaya yang bersinar gemerlapan atau bahwa Allah adalah benda yang besar dan tidak berpenghabisan atau berbentuk seorang yang muda atau remaja atau orang tua yang beruban, maka semua orang ini tidak mengenal Allah. Mereka tidak menyembah Allah, meskipun mereka mengira diri mereka muslim. Mereka bukanlah orang yang menyembah (beribadah) Allah, yang mereka sembah adalah sesuatu yang mereka bayangkan dan gambarkan dalam diri mereka, sesuatu yang sesungguhnya tidak ada. Musibah mereka yang paling besar adalah bahwa mereka tidak memahami adanya sesuatu yang bukan benda. Oleh karena itu mereka –dengan segenap upaya- berusaha menjadikan Allah benda yang bersifat dengan sifat-sifat benda pula, lalu bagaimana bisa mereka mengaku mengenal dan memahami firman Allah: Laysa Ka Mitsli Syai’ (QS. Asy-Syura: 11) dan beriman kepadanya?!! Seandainya mereka benar-benar mengetahui ayat tersebut dan beriman dengannya niscaya mereka tidak akan menjadikan Allah sebagai benda, karena alam ini seluruhnya adalah benda dan sifat-sifat yang ada padanya.
Seandainya terjadi perdebatan antara orang-orang Musyabbihah (orang-orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya) seperti orang Wahhabi -yang meyakini bahwa Allah adalah benda, yang memiliki ukuran- dengan orang yang menyembah matahari. Orang Wahhabi akan mengatakan kepada penyembah matahari: Anda, wahai penyembah matahari, matahari yang engkau sembah ini tidak berhak untuk menjadi tuhan. Penyembah matahari akan menjawab dan berkata kepada orang Wahhabi: bagaimana mungkin matahari tidak berhak untuk disembah, padahal bentuknya indah, manfaatnya sangat besar, anda bisa melihatnya dan saya juga melihatnya dan semua orang melihatnya, semua orang mengetahui dengan baik manfaatnya. Bagaimana mungkin agama saya batil dan agamamu benar, sementara anda menyembah sesuatu yang anda bayangkan dalam diri anda, anda tidak melihatnya dan kami juga tidak melihatnya, anda mengatakan tuhan anda adalah bentuk yang besar yang duduk di atas arsy ?!!.
Orang Wahhabi tidak akan memiliki dalil 'aqli (argumen rasional), seandainya orang Wahhabi mengatakan : al Qur'an telah menegaskan bahwa Allah adalah pencipta alam, Dia-lah yang berhak untuk disembah, tidak ada sesuatu selain-Nya yang berhak untuk disembah. Maka orang yang menyembah matahari tersebut akan mengatakan kepadanya: Saya tidak beriman dengan kitab suci anda, berikan kepada saya dalil 'aqli bahwa matahari tidak berhak untuk dijadikan tuhan yang disembah dan bahwa apa yang anda sembah yang anda bayangkan (dalam benak anda) itu berhak untuk disembah! Maka orang Wahabi akan terdiam dan membisu.
Sedangkan kita, Ahlussunnah memiliki jawaban yang rasional. Kita akan mengatakan kepada penyembah matahari : matahari yang anda sembah, yang mempunyai ukuran tertentu dan bentuk tertentu, pasti membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam ukuran dan bentuk tersebut. Sedangkan tuhan kami, Ia adalah sesuatu yang ada tetapi tidak menyerupai segala sesuatu yang ada, tidak menyerupai sesuatupun dari makhlukNya, Dia tidak memiliki ukuran, tidak memiliki bentuk, tidak memiliki arah, tidak memilki tempat dan tidak memiliki permulaan. Inilah Dzat yang ada, yang kami sembah yang dinamakan Allah. Dialah yang berhak untuk disembah. Dia yang menciptakan matahari yang anda sembah, manusia dan segala sesuatu yang lain.
Seorang Sunni; penganut akidah Ahlussunnah ketika mengeluarkan hujjah 'aqli ini tanpa mengatakan: Allah ta'ala berfirman demikian, telah mampu mengalahkan orang kafir yang menyembah matahari tersebut. Maka segala puji bagi Allah yang telah memberikan kita petunjuk kepada keyakinan yang benar ini, kita tidak akan menemukan kebenaran dan petunjuk semacam ini seandainya tidak karena mendapat petunjuk Allah.
Al-Imam Ali ibn Abi Thalib -semoga Allah meridlainya- berkata:
مَنْ زَعَمَ أنَّ إِلهَـَنَا مَحْدُوْدٌ فَقَدْ جَهِلَ الْخَالِقَ الْمَعْبُوْدَ (رَوَاه أبُو نُعَيم)
"Barang siapa beranggapan (berkeyakinan) bahwa Tuhan kita berukuran maka ia tidak mengetahui Tuhan yang wajib disembah (belum beriman kepada-Nya)" (Diriwayatkan oleh Abu Nu'aym (W 430 H) dalam Hilyah al-Auliya, juz 1, h. 72).
Penjelasan :
Maksud dari perkataan sayyidina Ali ini adalah bahwa orang yang berkeyakinan atau beranggapan bahwa Allah adalah benda yang besar atau kecil maka dia adalah kafir, tidak mengenal Allah, seperti orang yang meyakini bahwa Allah menempati salah satu arah seperti arah atas. Karena dengan keyakinan seperti ini orang tersebut telah menjadikan Allah mahdud (memiliki ukuran), padahal setiap yang mahdud (berukuran besar atau kecil) pasti membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam ukuran tersebut, sementara yang membutuhkan itu lemah dan yang lemah mustahil menjadi tuhan.
Dengan demikian dalam perkataan sayyidina Ali ini terdapat dalil yang jelas bahwa Allah maha suci dari hadd (ukuran) sama sekali. Maka barangsiapa yang menyandarkan kepada Allah sifat duduk, bersemayam, berada di atas sesuatu dengan jarak maka sesungguhnya dia tidak mengenal Allah, dan barangsiapa berkeyakinan demikian terhadap Allah maka sesungguhnya ia seorang kafir yang rusak akidahnya.
Haba' memiliki ukuran, semut memiliki ukuran, manusia memiliki ukuran, matahari memiliki ukuran, langit memiliki ukuran, arsy memiliki ukuran. Jadi masing-masing yang disebutkan memiliki ukuran dan membutuhkan kepada yang menjadikannya dengan ukuran tersebut.
Jadi, setiap sesuatu yang memiliki ukuran pasti dia adalah makhluk, yang membutuhkan (kepada selainnya) dan lemah maka tidaklah sah baginya sifat ketuhanan. Ketuhanan hanya sah bagi yang tidak memiliki bentuk dan ukuran; yaitu Dialah Allah yang tidak membutuhkan kepada seluruh alam, Dialah yang tidak mempunyai bentuk dan ukuran.
Al-Imam al-Ghazali (semoga Allah merahmatinya) berkata:
لاَ تَصِحُّ الْعِبَادَةُ إلاّ بَعْدَ مَعْرِفَةِ الْمَعْبُوْدِ
“Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah mengetahui (Allah) yang wajib disembah”.
Artinya barangsiapa yang tidak mengenal Allah dengan menjadikan-Nya memiliki ukuran yang tidak berpenghabisan misalnya maka dia adalah kafir. Dan tidak sah bentuk-bentuk ibadahnya seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lainnya.
Al-Imam Abu Ja'far ath-Thahawi ( 227-321 H) berkata:
تَعَالَـى (يَعْنِي اللهَ) عَنِ الْحُدُوْدِ وَالغَايَاتِ وَالأرْكَانِ وَالأعْضَاءِ وَالأدَوَاتِ لاَ تَحْوِيْهِ الْجِهَاتُ السِّتُّ كَسَائِرِ الْمُبْتَدَعَاتِ
"Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya). Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang) tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut".
Penjelasan :
Al-Imam ath-Thahawi adalah Ahmad bin Muhammad bin Sallamah, lahir tahun 227 H. Jadi beliau masuk dalam makna hadits yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam:
خَيْرُ الْقُرُوْنِ قَرْنِي ثُمَّ الّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ )رَوَاهُ التّرمِذِي(
"Sebaik–baik abad adalah abad-ku, kemudian satu abad setelahnya, kemudian satu abad setelahnya" (HR. at-Tirmidzi)
Al-Imam ath-Thahawi menyebutkan perkataannya tersebut dalam kitab penjelasan aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah, yang kitab ini telah dianggap baik dan diterima oleh seluruh ummat Islam dari generasi ke generasi.
Makna dari “Ta'ala” adalah bahwa Allah maha suci.
Maksud perkataan ath-Thahawi bahwa Allah maha suci dari ”Hudud” adalah bahwa Allah maha suci dari Hadd sama sekali. Hadd adalah benda dan ukuran, besar maupun kecil. Suatu benda pasti berada pada suatu tempat dan arah. Sedangkan Allah maha suci dari berupa benda, berarti Allah ada tanpa tempat. Seandainya Allah adalah benda niscaya akan ada banyak serupa bagi-Nya, padahal Allah ta'ala telah berfirman:
فَلاَ تَضْرِبُوْا لِلّهِ الأمْثَالَ (سورة النحل : 74)
"Janganlah kalian membuat serupa-serupa bagi Allah"(QS. an-Nahl: 74)
Dengan demikian barangsiapa mengatakan bahwa Allah memiliki hadd yang hadd tersebut tidak ketahui oleh kita, hanya Allah saja yang mengetahuinya maka sungguh orang ini adalah seorang yang kafir, karena dengan demikian dia telah menetapkan Allah sebagai benda yang memiliki bentuk dan ukuran.
Maksud perkataan ath-Thahawi ”La Tahwihi al-Jihat as-Sittu...” bahwa Allah mustahil berada di salah satu arah atau di semua arah karena Allah ada tanpa tempat dan arah. Enam arah yang dimaksud adalah adalah atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang.
Maksud perkataan ath-Thahawi ”Ka Sa-ir al-Mubtada’at” adalah bahwa semua makhluk diliputi oleh arah, sedangkan Allah tidak menyerupai makhluk-Nya dari satu segi maupun semua segi dan Allah tidak bisa digambaarkan dalam hati dan benak manusia. al-Imam Ahmad ibn Hanbal mengatakan:
مَهْمَا تَصَوَّرْتَ بِبَالِكَ فاللهُ بِخِلاَفِ ذَلِكَ (روَاه أبُو الفَضْلِ التَّمِيْمِيُّ)
"Apapun yang terlintas dalam benak kamu (tentang Allah), maka Allah tidak seperti itu". (Diriwayatkan oleh Abu al Fadll at-Tamimi).
Jika ada pertanyaan: Bagaimana hal demikian itu bisa terjadi (bahwa ada sesuatu yang ada tetapi tidak bisa dibayangkan dan digambarkan dengan benak)? Jawab: Bahwa di antara makhluk ada yang tidak bisa kita bayangkan akan tetapi kita harus beriman dan meyakini adanya. Yaitu bahwa cahaya dan kegelapan keduanya dulu tidak ada. Tidak ada satupun di antara kita yang bisa membayangkan pada dirinya bagaimana ada suatu waktu atau masa yang berlalu tanpa ada cahaya dan kegelapan di dalamnya?! Meski demikian kita wajib beriman dan meyakini bahwa telah ada suatu masa yang berlalu tanpa dibarengi dengan cahaya dan kegelapan, karena Allah berfirman:
وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنّوْرَ (سورةالأنعام : 1)
"...dan Dia yang telah menjadikan kegelapan dan cahaya" (QS. Al-An'am: 1). Artinya bahwa Allah yang telah menciptakan kegelapan dan cahaya dari yang sebelumnya tidak ada. Jika demikian halnya yang terjadi pada makhluk, maka lebih utama kita beriman dan percaya tentang Allah Yang mengatakan tentang Dzat-Nya: Laysa Kamitslihi Syai’ (QS. Asy-Syura: 11), maka Allah tidak tergambar dalam benak dan tidak diliputi oleh akal, Allah ada, maha suci dari bentuk dan ukura, ada tanpa tempat dan arah.
Al-Imam ath-Thahawi juga berkata:
وَمَنْ وَصَفَ اللهَ بِمَعْنًى مِنْ مَعَانِـي الْبَشَرْ فَقَدْ كَفَرَ
“Barangsiapa menyifati Allah dengan salah satu sifat manusia maka ia telah kafir”.
Penjelasan :
Barangsiapa menyifati Allah dengan salah satu sifat manusia maka ia telah kafir. Sifat–sifat manusia banyak sekali. Sifat yang paling nyata adalah baharu, yakni ”ada setelah sebelumnya tidak ada”. Di antara sifat manusia juga adalah mati, berubah, berpindah dari satu keadaan ke keadaan yang lain, bergerak, diam, infi'al (merespon peristiwa dengan kegembiraan atau kesedihan atau semacamnya yang nampak dalam raut muka dan gerakan anggota tubuh), turun dari atas ke bawah, naik dari bawah ke atas, berpindah, memiliki warna, bentuk, panjang, pendek, bertempat pada suatu arah dan tempat, membutuhkan, memperoleh pengetahuan yang baru, terkena lupa, bodoh, duduk, bersemayam, berada di atas sesuatu dengan jarak, berjarak, menempel, berpisah dan lain–lain. Jadi barangsiapa mensifati Allah dengan salah satu sifat manusia tersebut maka dia telah kafir.
Al-Imam Ahmad ar-Rifa'i (W 578 H) dalam al-Burhan al-Mu-ayyad berkata:
صُوْنُوْا عَقَائِدَكُمْ مِنَ التَّمَسُّكِ بِظَاهِرِ مَا تَشَابَهَ مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ فَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ أُصُوْلِ الْكُفْرِ
“Hindarkan aqidah kamu sekalian dari berpegang kepada zhahir ayat al Qur'an dan hadits yang mutasyabihat, sebab hal demikian merupakan salah satu pangkal kekufuran”.
Penjelasan :
Al-Imam ar-Rifa'i hidup pada abad ke enam hijriyyah, beliau adalah seorang ahli hadits, ahli tafsir, pengikut al-Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari dalam rumusan aqidah dan pengikut madzhab Syafi'i dalam fiqih. Beliau adalah orang paling mulia dan paling alim di masanya. Beliau sangat menekankan tanzih (mensucikan Allah ta'ala dari menyerupai makhluk). Di antara perkataan beliau dalam masalah tanzih adalah perkataan yang beliau sebutkan dalam kitab al-Burhan al-Muayyad tersebut. Maksud perkataan beliau adalah bahwa orang yang mengambil zhahir sebagian ayat al Qur'an dan hadits Nabi, yang memberikan persangkaan bahwa Allah adalah benda yang bersemayam di atas arsy atau bahwa Allah berada di arah bumi atau bahwa Allah mempunyai anggota badan, bergerak dan yang semacamnya maka orang tersebut telah kafir.
Seperti orang yang menafsirkan ayat:
الرّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى (طه: 5)
dengan duduk maka orang tersebut telah kafir. Karena mengatakan duduk bagi Allah adalah cacian terhadap-Nya sebab duduk adalah sifat malaikat, Jin, manusia, anjing, babi dan monyet. Makna ayat tersebut yang benar adalah bahwa Allah maha menguasai arsy. Makna ini layak bagi Allah karena Allah telah menamakan Dzat-Nya:
اللهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّار (يوسف: 39)
”Allah maha esa lagi maha berkuasa”. Oleh karena itu orang-orang Islam biasa menamakan anak mereka dengan Abdul Qahir atau Abdul Qahhar, tidak ada seorangpun yang menamakan anaknya Abdul Jalis atau Abdul Qa'id.
Demikian pula orang yang mengatakan bahwa Allah berada di atas arsy dengan ada jarak antara Allah dengan arsy, artinya tanpa menyentuhnya maka tetap saja dia seorang yang kafir. Karena setiap sesuatu yang berada di atas sesuatu yang lain pasti berkemungkinan berukuran sama dengan sesuatu tersebut atau lebih besar atau lebih kecil. Dan segala sesuatu yang menerima ukuran maka dia adalah makhluk, yang membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam ukuran tersebut.
Adapun pernyataan sebagian kaum Musyabbihah seperti kaum Wahhabiyah sekarang bahwa Allah berada di atas arsy yang di atas arsy tersebut tidak ada tempat pernyataan ini terbantahkan dengan hadits riwayat al-Bukhari, al-Bayhaqi dan lainnya bahwa Rasulullah bersabda:
إنّ اللهَ لَمَا قَضَى الْخَلْقَ كَتَبَ فِي كِتَابٍ فَهُوَ مَوْضُوْعٌ عِنْدَهُ فَوْقَ العَرْشِ إنَّ رَحْمَتِيْ غَلَبَتْ غَضَبِيْ
"Sesungguhnya Allah ketika menciptakan makhluk menciptakan kitab (tulisan) yang terletak di atas arsy dan dimuliakan oleh Allah yang berbunyi sesungguhnya (tanda-tanda) rahmat-Ku lebih banyak dari (tanda-tanda) murka-Ku" (HR. al-Bukhari, al-Bayhaqi dan lainnya)
Dan dalam riwayat Ibnu Hibban dengan redaksi:
وَهُوَ مَرْفُوْعٌ فَوْقَ الْعَرْشِ
"Dan dia arsy terangkat (diletakan) di atas arsy".
Dengan demikian hadits ini adalah dalil bahwa di atas arsy terdapat tempat. Karena bila di atas arsy tidak ada tempat maka tentu Rasulullah tidak akan mengatakan bahwas kitab tersebut diletakkan di atasnya.
Adapun kata “’Indahu” dalam hadits tersebut adalah dalam makna “dimuliakan”, karena penggunaan kata “’Inda” mengandung makna untuk memuliakan, sebagaimana firman Allah tentang orang-orang yang saleh:
وَإنّهُمْ عِنْدَنَا لَمِنَ الْمُصْطَفَيْنَ الأخْيَارِ (ص: 47)
Kata “’Indana…” dalam ayat ini artinya untuk memuliakan bukan untuk menyatakan bahwa Allah berada pada tempat yang bertetanggaan atau bersampingan dengan tempat orang-orang saleh tersebut.
Dengan demikian dalam keyakinan kaum Musyabbihah yang menetapkan Allah bertempat di atas arsy telah menjadikan kitab tersebut di atas sebagai keserupaan bagi-Nya. Ini artinya sama saja mereka telah mendustakan firman Allah: “Laysa Kamitslihi Syai’ (Qs. Asy-Syura: 11).
Demikian juga orang yang memahami firman Allah:
إِنَّ رَبَّكُمُ اللهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ (الآعراف: 54)
dengan menafsirkan bahwa Allah berada pada arah bawah atau arah bumi kemudian naik ke arah atas lalu menciptakan langit, kemudian Dia naik ke arsy lalu bersemayam (bertempat) maka orang ini telah menjadi kafir. Makna ayat yang benar adalah bahwa Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan bahwa Allah sebelum menciptakannya telah menguasai arsy. Kata “tsumma” artinya dalam makna ”wa”; maknanya “dan”. Al-Imam Abu Manshur al-Maturidi berkata: Firman Allah:
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
artinya adalah " sungguh Allah telah menguasai arsy " .
Begitu pula orang yang menafsirkan firman Allah:
فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ (البقرة: 115)
diartikan dengan anggota tubuh atau bahwa Dia berada pada arah bumi maka dia seorang yang kafir. Makna yang benar; Wajhullah adalah Kiblat Allah, sebagaimana dinyatakan oleh al-Imam Mujahid; murid dari sahabat Abdullah ibn Abbas.
Demikian pula orang yang memahami firman Allah:
كُلُّ شَيءٍ هَالِكٌ إلاّ وَجْهَهْ (القصص: 88)
dengan mengartikan bahwa alam ini adalah sesuatu maka ia akan punah, begitu pula Allah adalah sesuatu maka Dia akan punah, dan tidak ada sesuatu yang kekal dari Allah kecuali bagian wajah saja maka orang ini dihukumi kafir. Pemahaman buruk seperti ini sebagaimana penafsiran seorang Musyabbih yang bernama Bayan ibn Sam'an at-Tamimi. Adapun makna yang benar dari kata ”Wajhahu..” di atas adalah dalam makna ”kerajaan”, atau dalam makna ”sesuatu yang bisa mendekatkan diri kepada Allah” sebagaimana takwil ini telah dinyatakan oleh al-Imam al-Bukhari dan al-Imam Sufyan ats-Tsauri.
Demikian juga orang menafsirkan firman Allah tentang perahu Nabi Nuh:
تَجْرِيْ بأعْيُنِنَا (القمر: 14)
dengan anggota tubuh (mata) maka orang tersebut telah kafir. Adapun makna yang benar adalah ”memelihara”, artinya bahwa perahu Nabi Nuh tersebut berjalan dengan ”pemeliharan” dan ”penjagaan” dari Allah sebagaimana hal ini telah dinyatakan oleh para ahli tafsir.
Demikian pula orang yang memahami firman Allah:
يَدُ اللهِ فَوْقَ أيْدِيْهِمْ (الفتح: 10)
dalam pengertian anggota tubuh maka orang tersebut telah kafir. Makna yang benar kata ”yad” di sini adalah ”al-’ahd”; artinya ”janji” sebagaimana telah ditafsirkan oleh para ulama.
Demikian pula orang yang menafsirkan firman Allah:
وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا (الفجر: 22)
dalam makna bahwa Allah bergerak dan berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain maka orang tersebut telah kafir. Makna yang benar adalah ”datang kekuasaan Allah”, artinya tanda atau pengaruh dari sifat kuasa-Nya, sebagaimana demikian telah ditafsirkan oleh al-Imam Ahmad ibn Hanbal (sebagaimana telah diriwayatkan oleh al-Hafidz al-Baihaqi dengan sanad yang kuat dari al-Imam Ahmad).
Demikian juga dengan orang yang menafsirkan firman Allah:
أأمِنْتُمْ مَنْ فِي السّمَاءِ أنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الأرْضَ (الملك: 16)
dengan mengatakan bahwa Allah mengambil tempat dilangit maka orang tersebut telah kafir. Makna yang benar dari maksud ”man fi as-sama’” adalah ”Malaikat”, sebagaimana pemahaman ini telah dinyatakan oleh Syaikh al-Huffadz al-Imam Zainuddin Abdrrahim al-Iraqi dalam kitab al-Amaliy al-Mishriyah. Dalam menafsirkan hadits:
ارْحَمُوْا مَنْ فِي الأرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ
”Sayangilah oleh kalian orang yang berada di bumi niscaya kalian akan disayangi oleh yang berada di langit”, al-Imam al-’Iraqi menafsirkannya dengan hadits riwayat lain dengan redaksi:
ارْحَمُوْا أهْلَ الأرْضِ يَرْحَمْكُمْ أهْلُ السّمَاءِ
"Sayangilah oleh kalian penduduk bumi niscaya kalian akan disayangi oleh penduduk langit", karena hadits yang kedua ini sangat jelas memberikan pemahaman bahwa yang dimaksud adalah para Malaikat.
Demikian juga orang yang menafsirkan hadits al-Jariyah as-Sauda yang terdapat dalam riwayat al-Imam Muslim dengan berkesimpulan bahwa Allah mengambil tempat di arah atas (berada di langit) maka orang ini telah kafir. Hadits ini oleh sebagian ulama tidak diambil dengan alasan bahwa hadits tersebut adalah mutharib (hadits yang memiliki banyak redaksi yang satu sama lainnya berbeda-beda), karenanya mereka manganggapnya cacat, disamping karena telah menyalahi dasar keyakinan. Sesungguhnya Rasulullah tidak pernah menghukumi ke-islam-an seseorang hanya karena mengatakan ”Allah di langit”, karena kata-kata ini adalah keyakinan orang-orang Yahudi dan Nasrani. Bagaimana mungkin kata-kata ”Allah di langit” sebagai tanda bagi keimanan seseorang?!
Sebagian ulama lainnya menerima hadits ini; namun tidak dipahami dalam makna zhahirnya, tetapi mereka mentakwilkannya. Bahwa pertanyaan Rasulullah kepada budak perempuan tersebut adalah dalam makna ”Bagaimana engkau mengagungkan Allah?”. Dan makna jawaban budak tersebut ”Fi as-Sama’” adalah dalam pengertian ”sangat tinggi derajat-Nya”. Maka berdasarkan pemahaman dua pendapat ulama tersebut di atas tidak ada jalan bagi orang-orang Wahhabi untuk membatah kita.
Begitu juga dengan orang yang menafsirkan hadits Nabi:
يَنْـزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السّمَاءِ الدُّنْيَا حِِيْنَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرِ يَقُوْلُ مَنْ يَدْعُوْنِي فأسْتَجِيْبَ لَهُ منْ يَسْألُنِيْ فأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ
dengan menafsirkan bahwa Allah bergerak dan turun dari atas ke langit dunia dan berdiam di sana sampai terbit fajar kemudian setelah itu Dia naik ke arah arsy maka orang tersebut telah menjadi kafir. Yang sangat mengherankan dari kaum Musyabbihah, seperti kaum Wahhabiyyah sekarang, mereka meyakini bahwa Allah sama besar dengan arsy, lalu mereka mengatakan bahwa Allah turun ke langit dunia, padahal mereka tahu bahwa besarnya langit dunia dibanding besarnya arsy seperti setetes air dibanding lautan luas, ini artinya dalam keyakinan mereka bahwa Allah ketika turun ke langit dunia menjadi sangat kecil, na’udzu Billah. Ini merupakan bukti nyata akan kebodohan akal mereka. Lalu dengan pemahaman tersebut mereka juga berarti menetapkan bahwa perbuatan Allah hanya turun dan naik saja agar bersesesuaian dengan masing-masing sepertiga akhir malam di setiap bagian bumi ini oleh karena sepertiga akhir malam itu berbeda–beda satu wilayah dengan lainnya. Ini juga merupakan bukti nyata akan kebodohan akal mereka.
Makna yangbenar dari hadits tersebut adalah bahwa Malaikat turun dengan perintah Allah ke langit dunia, hingga ketika datang sepertiga akhir malam maka mereka menyeru bagi penduduk bumi sesuai apa yang diperintahkan oleh Allah sehingga terbit fajar: “Sesungguhnya Tuhan kalian berkata: Barangsiapa yang meminta kepada-Ku maka akan Aku beri ia, barangsiapa yang berdo’a kepada-Ku maka akan Aku kabulkan baginya, barangsiapa yang memohon ampun kepada-Ku maka akan Aku ampuni ia”. Pemahaman ini sebagaimana terdapat dalam riwayat al-Imam an-Nasa-i dengan riwayat shahih bahwa Rasulullah bersabda:
إنَّ اللهَ يُمْهِلُ حَتَّى يَمْضِيَ شَطْرُ اللّيْلِ الأوَّلُ فَيأْمُرُ مُنَادِيًا فَيُنَادِيْ ....
“Sesungguhnya Allah membiarkan malam berlalu hingga lewat separuh malam pertama, setelah itu lalu Allah memerintahkan kepada malaikat untuk menyeru (bagi penduduk bumi), maka ia berseru:…..”.
Kemudian dari pada itu sebagian para perawi al-Imam Bukhari telah memberi harakat “Dlammah” pada kata “Yanzilu..” menjadi “Yunzilu…”, dengan demikian maknanya semakin jelas bahwa yang turun ke langit dunia tersebut adalah adalah malaikat; dengan perintah Allah. Kesimpulannya, siapapun yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, walaupun hanya dengan satu sifat saja, maka dia digolongkan sebagai Musyabbih Mujassim, dan sesuangguhnya seorang Mujassim itu seorang yang kafir sebagaimana dikatakan oleh al-Imam asy-Syafi’i.
Adapun makna perkataan al-Imam ar-Rifa’i tersebut di atas adalah bahwa berpegangteguh dengan makna-makna zhahir dari teks-teks mutasyabihat, baik yang terdapat dalam al-Qur’an maupun hadits, maka hal itu telah menjatuhkan banyak orang dalam kekufuran, karena hal itu telah menjatuhkan mereka dalam keyakinan tasybih.
Al-Imam Ahmad ar-Rifa’i juga berkata:
غَايَةُ الْمَعْرِفَةِ بِاللهِ الإيْقَانُ بِوُجُوْدِهِ تَعَالَى بِلاَ كَيْفٍ وَلاَ مَكَانٍ
“Puncak pengetahuan seseorang itu kepada Allah adalah dengan berkeyakinan bahwa Allah ada tanpa sifat benda dan tanpa tempat“.
Maksudnya adalah bahwa puncak yang dapat diraih oleh seorang hamba untuk mengenal Allah adalah meyakini keberadaan-Nya tanpa mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda, dan meyakini bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Sesungguhnya ini inilah puncak pengetahuan (ma’rifah) kepada Allah dari para Nabi dan para Malaikat, serta para wali Allah. Karena mengenal (ma’rifah Allah) Allah bukan dengan cara membayangkan, bukan dengan cara memprakirakan, dan juga bukan dengan cara menyerupakan-Nya. Allah bukan benda dan Allah juga tidak dapat diperumpamakan oleh gambaran dan pikiran manusia. Sesuatu yang memiliki bentuk dan ukuran maka pasti bisa digambarkan oleh akal pikiran, sementara Allah bukan benda yang memiliki bentuk dan ukuran maka Dia tidak dapat digambarkan oleh akal pikiran manusia. Mengenal Allah cukup dengan meyakini-Nya bahwa Dia Maha ada, tidak dengan membayangkan-Nya berada pada arah tertentu; seperti arah atas.
Jika orang Wahabiy mengatakan: “Sesuatu yang ada itu harus memiliki arah dan tempat, bagaimana kalian mengatakan bahwa Allah ada tanpa arah dan tempat?!”, kita katakan kepadanya bahwa jika Allah memiliki arah dan tempat niscaya Dia akan mempunyai banyak keserupaan, juga jika Dia memiliki arah maka berarti ada yang menjadikan-Nya pada arah tersebut, padahal setiap yang ”dijadikan” itu pastilah dia itu makhluk, bukan Tuhan. Demikian inilah makna yang dimaksud dari perkataan al-Imam Ahmad ar-Rifa’i di atas, dan beliau adalah seorang yang sangat mendalam dalam ilmu akidah, beliau telah mengungkapkan perkataannya tersebut dalam kitab “Halatu Ahl al-Haqiqah Ma’a Allah “ .
Sebagian ulama berkata:
عَلَيْكَ بِطُوْلِ الصَّمْتِ يَا صَاحِبَ الْحِجَا
لِتَسْلَمَ فِي الدُّنْيَا وَيَوْم القِبَامَة
“Hendaklah anda memperpanjang diam wahai orang yang punya akal, agar selamat di dunia dan akhirat / kiamat.”
Perkataan ini diambil dari sabda Rasulullah kepada Abu Dzar:
عَلَيْكَ بِطُوْلِ الصَّمْتِ إلاّ مِنْ خَيْرٍ فَإنّهُ مَطْرَدَةٌ لِلشّيْطَانِ عَنْكَ وَعَوْنٌ لَكَ عَلَى أمْرِ دِيْنِكَ (رواه ابن حبان)
“Hendaklah kamu memperpanjang diam kecuali kepada hal yang baik, karena demikian itu dapat megalahkan syaitan dan menolong kamu dalam urusan agamamu “ (HR. Ibnu Hibban).
Seorang yang memiliki akal cerdas adalah orang yang selalu menghadirkan makna firman Allah:
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إلاّ لَدَيْهِ رَقِيْبٌ عَتِيْدٌ (ق: 18)
“Tidaklah seseorang itu berucap dari sebuah perkataan kecuali dicatat oleh Malaikat Raqib dan Atid“ (QS. Qaf: 18). Dia tidak akan berkata-kata kecuali bila ada manfaatnya.
Wa Allah A’lam Bi Ash-Shawab
Wa Ilaih at-Tuklan Wa al-Ma’ab.
Share
Wednesday, January 27, 2010 at 12:16pm
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وبعد
Allah berfirman:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ ( سورة الشورى : 11 )
“Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi maupun semua segi), dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya”. (QS. as-Syura: 11)
Penjelasan:
Ayat ini adalah ayat yang paling jelas dalam al Qur'an yang berbicara tentang tanzih (mensucikan Allah dari menyerupai makhluk), at-Tanzih al Kulliy; pensucian yang total dari menyerupai makhluk. Jadi maknanya sangat luas, dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa Allah maha suci dari berupa benda, dari berada pada satu arah atau banyak arah atau semua arah. Allah maha suci dari berada di atas arsy, di bawah arsy, sebelah kanan atau sebelah kiri arsy. Allah juga maha suci dari sifat-sifat benda seperti bergerak, diam, berubah, berpindah dari satu keadaan ke keadaan yang lain dan sifat-sifat benda yang lain.
Al-Imam Abu Hanifah berkata:
أنـّى يُشْبِهُ الْخَالِقُ مَخْلُوْقَـهُ
"Mustahil Allah menyerupai makhluk-Nya".
Dengan demikian Allah tidak menyerupai makhluk-Nya, dari satu segi maupun semua segi. Al-Imam Malik berkata:
وَكَيْفَ عَنْهُ مَرْفُوْعٌ
"Kayfa ( bagaimana; sifat-sifat benda) itu mustahil bagi Allah".
Perkataan al-Imam Malik ini diriwayatkan oleh al-Hafizh al-Bayhaqi dengan sanad yang kuat. Maksud perkataan al-Imam Malik ini adalah bahwa Allah maha suci dari al Kayf (sifat makhluk) sama sekali. Definisi al Kayf adalah segala sesuatu yang merupakan sifat makhluk seperti duduk, bersemayam, berada di atas sesuatu dengan jarak dan lain–lain.
الْمَحْدُوْدُ عِنْدَ عُلَمَاءِ التّوْحِيْدِ مَا لَهُ حَجْمٌ صَغِيْرًا كَانَ أوْ كَبِيْرًا، وَالْحَدُّ عِنْدَهُمْ هُوَ الْحَجْمُ إنْ كَانَ صَغِيْرًا وَإنْ كَانَ كَبِيْرًا، الذَّرَّةُ مَحْدُوْدَةٌ وَاْلعَرْشُ مَحْدُوْدٌ وَالنُّوْرُ وَالظَّلاَمُ وَالرِّيْحُ كُلٌّ مَحْدُوْدٌ.
"Menurut ulama tauhid yang dimaksud dengan al-mahdud (sesuatu yang berukuran) adalah segala sesuatu yang memiliki bentuk baik kecil maupun besar. Sedangkan pengertian al-hadd (batasan) menurut mereka adalah bentuk baik kecil maupun besar. Adz-Dzarrah (sesuatu yang terlihat dalam cahaya matahari yang masuk melalui jendela) mempunyai ukuran dan disebut Mahdud demikian juga arsy, cahaya, kegelapan dan angin masing-masing mempunyai ukuran dan disebut Mahdud ".
Penjelasan:
Allah berfirman:
الْحَمْدُ للهِ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنُّورَ (سورة الأنعام : 1)
"Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menjadikan kegelapan dan cahaya" (QS. al An'am : 1).
Dalam ayat ini Allah ta'ala menyebutkan langit dan bumi, keduanya termasuk benda yang dapat dipegang oleh tangan (Katsif). Allah juga menyebutkan kegelapan dan cahaya, keduanya termasuk benda yang tidak dapat dipegang oleh tangan (Lathif). Ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa pada Azal (keberadaan tanpa permulaan) tidak ada sesuatupun selain Allah, baik itu benda katsif maupun benda lathif. Dan ini berarti bahwa Allah tidak menyerupai benda lathif maupun benda katsif.
Allah ta'ala menciptakan alam ini terbagi menjadi dua bagian: benda dan sifat benda. Benda terbagi menjadi dua: Pertama: benda katsif yaitu benda yang dapat dipegang oleh tangan seperti pohon, manusia, air dan api. Kedua: Benda Lathif, yaitu benda yang tidak dapat dipegang oleh tangan seperti cahaya, kegelapan, ruh, udara.
Masing-masing benda memiliki batas, ukuran, dan bentuk, Allah berfirman:
وَكُلُّ شَىْءٍ عِندَهُ بِمِقْدَارٍ ( سورة الرعد : 8 )
"Segala sesuatu bagi Allah memiliki ukuran (yang telah ditentukan)" (QS. ar-Ra'd: 8)
Bahwa benda katsif memiliki ukuran adalah hal yang sudah jelas. Sedangkan mengenai bahwa benda lathif memiliki ukuran adalah sesuatu yang memerlukan pengamatan dan penelitian yang seksama. Cahaya misalnya memiliki tempat dan ruang kosong yang diisi olehnya, cahaya matahari menyebar ke areal/jarak yang sangat luas yang diketahui oleh Allah, ukurannya sangat luas. Sementara cahaya lilin ukurannya sangat kecil. Cahaya kunang–kunang yang berjalan di rerumputan di malam hari, Allah jadikan cahayanya sekecil itu. Cahaya yang paling luas adalah cahaya surga. Jadi masing-masing cahaya tersebut memiliki batas dan ukuran yang membatasinya. Kegelapan juga memiliki ukuran dan ruang kosong yang diisi olehnya. Kadang tempat kegelapan tersebut sempit dan kadang luas. Demikian juga angin memiliki tempat yang diisi olehnya. Para Malaikat diperintahkan oleh Allah untuk menimbangnya dan mengirimkannya sesuai dengan perintah dan ketentuan Allah. Ada angin yang dingin, angin yang panas. Ada angin yang Allah kirimkan untuk menghancurkan suatu kaum, begitu juga ada angin yang dikirimkan sebagai rahmat. Jadi masing-masing angin tersebut memiliki timbangan yang telah ditentukan oleh Allah. Demikian juga, ruh memiliki ukuran. Ketika ruh berada pada tubuh manusia, ruh berukuran sama dengan badan orang tersebut dan ketika ruh berpisah, meninggalkan badan seseorang ia bertempat di udara tanpa menyatu dengan jasadnya. Kesimpulannya; setiap makhluk pasti memiliki tempat, baik tempat yang besar maupun yang kecil.
Benda paling kecil yang diciptakan oleh Allah dan bisa dilihat oleh mata adalah haba'. Haba' adalah sesuatu yang kecil yang terlihat apabila sinar matahari masuk ke dalam rumah dari jendela, nampak seperti debu yang kelihatan oleh mata, benda ini disebut haba'. Memang masih ada lagi benda yang lebih kecil dari haba', yang bahkan tidak dapat dilihat oleh mata karena sangat kecilnya, walaupun demikian tetap saja benda tersebut memiliki bentuk yaitu bentuk yang paling kecil yang diciptakan oleh Allah yang disebut dalam istilah tauhid al-Jawhar al-Fard; bagian yang tidak bisa dibagi-bagi lagi. Al-Jawhar al-Fard adalah benda yang paling kecil yang diciptakan oleh Allah, al-Jawhar al-Fard adalah asal bagi semua benda.
Semua benda ini memilki batas dan ukuran dan karenanya membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam ukuran tersebut, dan dengan begitu benda tidak sah menjadi tuhan. Ketuhanan hanya sah berlaku bagi yang tidak memiliki ukuran sama sekali, yaitu Allah yang maha suci dari status Mahdud (Allah tidak memiliki batas dan ukuran). Makna Mahdud di sini tidak hanya berlaku bagi sesuatu yang memiliki bentuk kecil saja akan tetapi sesuatu yang memiliki bentuk yang besar juga disebut Mahdud.
Sedangkan al-A'radl adalah sifat benda seperti bergerak, diam, warna, rasa dan lain–lain. Jadi di antara sifat benda adalah bergerak dan diam, sebagian benda terus-menerus bergerak, yaitu bintang, bahkan an-Najm al-Quthbi (bintang yang bisa menunjukkan arah kiblat) sekalipun bergerak, hanya saja gerakannya pelan dan bergerak di tempatnya. Sebagian benda lagi ada yang terus–menerus diam seperti tujuh langit yang ada. Sebagian benda lagi kadang diam dan kadang bergerak seperti manusia, malaikat, jin dan binatang.
Termasuk di antara sifat benda juga adalah berwarna kadang sesuatu berwarna putih, ada yang berwarna merah, kuning atau hijau. Matahari juga memiliki sifat, di antara sifatnya adalah panas. Angin juga memiliki sifat di antara sifatnya adalah dingin, panas, berhembus dengan kuat atau pelan.
Jadi Allah ta'ala yang menciptakan alam ini dengan berbagai macam jenis dan bentuknya, maka Dia tidak menyerupainya, dari satu segi maupun semua segi. Allah ta'ala tidak menyerupai benda katsif maupun benda lathif dan juga tidak bersifat dengan sifat–sifat benda, Allah tidak menyerupai satupun dari segala sesuatu yang diciptakan-Nya, oleh karena itu Ahlussunnah mengatakan:
اللهُ مَوْجُوْدٌ بِلاَ مَكَانٍ وَلاَ جِهَةٍ
"Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah".
Allah menjadikan arah atas sebagai tempat bagi arsy dan para Malaikat yang mengelilinginya dan juga sebagai tempat bagi al-Lauh al-Mahfuzh dan lain-lain. Allah menjadikan manusia, binatang, serangga dan lain-lain bertempat di arah bawah. Jadi Dzat yang menciptakan sebagian makhluk bertempat di arah arsy dan sebagian yang lain di arah bawah mustahil bagi-Nya memiliki arah. Karena seandainya dikatakan dia berada di salah satu arah atau bertempat di semua arah niscaya akan ada banyak serupa bagi-Nya, padahal Allah telah berfirman:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ ( سورة الشورى : 11 )
"Tidak ada satupun yang menyerupai-Nya". Inilah aqidah yang diyakini oleh semua kaum muslimin di negara-negara muslim; Indonesia, Mesir, Irak, Turki, Maroko, AlJazair, Tunisia, Yaman, Somalia dan daratan Syam, mereka semua dan yang lain di negara-negara lain semua mengajarkan keyakinan ini.
Sedangkan orang yang meyakini bahwa Allah adalah benda yang sama besarnya dengan arsy, memenuhi arsy atau separuh dari arsy atau meyakini bahwa Allah lebih besar dari arsy dari segala arah kecuali arah bawah atau bahwa Allah adalah cahaya yang bersinar gemerlapan atau bahwa Allah adalah benda yang besar dan tidak berpenghabisan atau berbentuk seorang yang muda atau remaja atau orang tua yang beruban, maka semua orang ini tidak mengenal Allah. Mereka tidak menyembah Allah, meskipun mereka mengira diri mereka muslim. Mereka bukanlah orang yang menyembah (beribadah) Allah, yang mereka sembah adalah sesuatu yang mereka bayangkan dan gambarkan dalam diri mereka, sesuatu yang sesungguhnya tidak ada. Musibah mereka yang paling besar adalah bahwa mereka tidak memahami adanya sesuatu yang bukan benda. Oleh karena itu mereka –dengan segenap upaya- berusaha menjadikan Allah benda yang bersifat dengan sifat-sifat benda pula, lalu bagaimana bisa mereka mengaku mengenal dan memahami firman Allah: Laysa Ka Mitsli Syai’ (QS. Asy-Syura: 11) dan beriman kepadanya?!! Seandainya mereka benar-benar mengetahui ayat tersebut dan beriman dengannya niscaya mereka tidak akan menjadikan Allah sebagai benda, karena alam ini seluruhnya adalah benda dan sifat-sifat yang ada padanya.
Seandainya terjadi perdebatan antara orang-orang Musyabbihah (orang-orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya) seperti orang Wahhabi -yang meyakini bahwa Allah adalah benda, yang memiliki ukuran- dengan orang yang menyembah matahari. Orang Wahhabi akan mengatakan kepada penyembah matahari: Anda, wahai penyembah matahari, matahari yang engkau sembah ini tidak berhak untuk menjadi tuhan. Penyembah matahari akan menjawab dan berkata kepada orang Wahhabi: bagaimana mungkin matahari tidak berhak untuk disembah, padahal bentuknya indah, manfaatnya sangat besar, anda bisa melihatnya dan saya juga melihatnya dan semua orang melihatnya, semua orang mengetahui dengan baik manfaatnya. Bagaimana mungkin agama saya batil dan agamamu benar, sementara anda menyembah sesuatu yang anda bayangkan dalam diri anda, anda tidak melihatnya dan kami juga tidak melihatnya, anda mengatakan tuhan anda adalah bentuk yang besar yang duduk di atas arsy ?!!.
Orang Wahhabi tidak akan memiliki dalil 'aqli (argumen rasional), seandainya orang Wahhabi mengatakan : al Qur'an telah menegaskan bahwa Allah adalah pencipta alam, Dia-lah yang berhak untuk disembah, tidak ada sesuatu selain-Nya yang berhak untuk disembah. Maka orang yang menyembah matahari tersebut akan mengatakan kepadanya: Saya tidak beriman dengan kitab suci anda, berikan kepada saya dalil 'aqli bahwa matahari tidak berhak untuk dijadikan tuhan yang disembah dan bahwa apa yang anda sembah yang anda bayangkan (dalam benak anda) itu berhak untuk disembah! Maka orang Wahabi akan terdiam dan membisu.
Sedangkan kita, Ahlussunnah memiliki jawaban yang rasional. Kita akan mengatakan kepada penyembah matahari : matahari yang anda sembah, yang mempunyai ukuran tertentu dan bentuk tertentu, pasti membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam ukuran dan bentuk tersebut. Sedangkan tuhan kami, Ia adalah sesuatu yang ada tetapi tidak menyerupai segala sesuatu yang ada, tidak menyerupai sesuatupun dari makhlukNya, Dia tidak memiliki ukuran, tidak memiliki bentuk, tidak memiliki arah, tidak memilki tempat dan tidak memiliki permulaan. Inilah Dzat yang ada, yang kami sembah yang dinamakan Allah. Dialah yang berhak untuk disembah. Dia yang menciptakan matahari yang anda sembah, manusia dan segala sesuatu yang lain.
Seorang Sunni; penganut akidah Ahlussunnah ketika mengeluarkan hujjah 'aqli ini tanpa mengatakan: Allah ta'ala berfirman demikian, telah mampu mengalahkan orang kafir yang menyembah matahari tersebut. Maka segala puji bagi Allah yang telah memberikan kita petunjuk kepada keyakinan yang benar ini, kita tidak akan menemukan kebenaran dan petunjuk semacam ini seandainya tidak karena mendapat petunjuk Allah.
Al-Imam Ali ibn Abi Thalib -semoga Allah meridlainya- berkata:
مَنْ زَعَمَ أنَّ إِلهَـَنَا مَحْدُوْدٌ فَقَدْ جَهِلَ الْخَالِقَ الْمَعْبُوْدَ (رَوَاه أبُو نُعَيم)
"Barang siapa beranggapan (berkeyakinan) bahwa Tuhan kita berukuran maka ia tidak mengetahui Tuhan yang wajib disembah (belum beriman kepada-Nya)" (Diriwayatkan oleh Abu Nu'aym (W 430 H) dalam Hilyah al-Auliya, juz 1, h. 72).
Penjelasan :
Maksud dari perkataan sayyidina Ali ini adalah bahwa orang yang berkeyakinan atau beranggapan bahwa Allah adalah benda yang besar atau kecil maka dia adalah kafir, tidak mengenal Allah, seperti orang yang meyakini bahwa Allah menempati salah satu arah seperti arah atas. Karena dengan keyakinan seperti ini orang tersebut telah menjadikan Allah mahdud (memiliki ukuran), padahal setiap yang mahdud (berukuran besar atau kecil) pasti membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam ukuran tersebut, sementara yang membutuhkan itu lemah dan yang lemah mustahil menjadi tuhan.
Dengan demikian dalam perkataan sayyidina Ali ini terdapat dalil yang jelas bahwa Allah maha suci dari hadd (ukuran) sama sekali. Maka barangsiapa yang menyandarkan kepada Allah sifat duduk, bersemayam, berada di atas sesuatu dengan jarak maka sesungguhnya dia tidak mengenal Allah, dan barangsiapa berkeyakinan demikian terhadap Allah maka sesungguhnya ia seorang kafir yang rusak akidahnya.
Haba' memiliki ukuran, semut memiliki ukuran, manusia memiliki ukuran, matahari memiliki ukuran, langit memiliki ukuran, arsy memiliki ukuran. Jadi masing-masing yang disebutkan memiliki ukuran dan membutuhkan kepada yang menjadikannya dengan ukuran tersebut.
Jadi, setiap sesuatu yang memiliki ukuran pasti dia adalah makhluk, yang membutuhkan (kepada selainnya) dan lemah maka tidaklah sah baginya sifat ketuhanan. Ketuhanan hanya sah bagi yang tidak memiliki bentuk dan ukuran; yaitu Dialah Allah yang tidak membutuhkan kepada seluruh alam, Dialah yang tidak mempunyai bentuk dan ukuran.
Al-Imam al-Ghazali (semoga Allah merahmatinya) berkata:
لاَ تَصِحُّ الْعِبَادَةُ إلاّ بَعْدَ مَعْرِفَةِ الْمَعْبُوْدِ
“Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah mengetahui (Allah) yang wajib disembah”.
Artinya barangsiapa yang tidak mengenal Allah dengan menjadikan-Nya memiliki ukuran yang tidak berpenghabisan misalnya maka dia adalah kafir. Dan tidak sah bentuk-bentuk ibadahnya seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lainnya.
Al-Imam Abu Ja'far ath-Thahawi ( 227-321 H) berkata:
تَعَالَـى (يَعْنِي اللهَ) عَنِ الْحُدُوْدِ وَالغَايَاتِ وَالأرْكَانِ وَالأعْضَاءِ وَالأدَوَاتِ لاَ تَحْوِيْهِ الْجِهَاتُ السِّتُّ كَسَائِرِ الْمُبْتَدَعَاتِ
"Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya). Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang) tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut".
Penjelasan :
Al-Imam ath-Thahawi adalah Ahmad bin Muhammad bin Sallamah, lahir tahun 227 H. Jadi beliau masuk dalam makna hadits yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam:
خَيْرُ الْقُرُوْنِ قَرْنِي ثُمَّ الّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ )رَوَاهُ التّرمِذِي(
"Sebaik–baik abad adalah abad-ku, kemudian satu abad setelahnya, kemudian satu abad setelahnya" (HR. at-Tirmidzi)
Al-Imam ath-Thahawi menyebutkan perkataannya tersebut dalam kitab penjelasan aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah, yang kitab ini telah dianggap baik dan diterima oleh seluruh ummat Islam dari generasi ke generasi.
Makna dari “Ta'ala” adalah bahwa Allah maha suci.
Maksud perkataan ath-Thahawi bahwa Allah maha suci dari ”Hudud” adalah bahwa Allah maha suci dari Hadd sama sekali. Hadd adalah benda dan ukuran, besar maupun kecil. Suatu benda pasti berada pada suatu tempat dan arah. Sedangkan Allah maha suci dari berupa benda, berarti Allah ada tanpa tempat. Seandainya Allah adalah benda niscaya akan ada banyak serupa bagi-Nya, padahal Allah ta'ala telah berfirman:
فَلاَ تَضْرِبُوْا لِلّهِ الأمْثَالَ (سورة النحل : 74)
"Janganlah kalian membuat serupa-serupa bagi Allah"(QS. an-Nahl: 74)
Dengan demikian barangsiapa mengatakan bahwa Allah memiliki hadd yang hadd tersebut tidak ketahui oleh kita, hanya Allah saja yang mengetahuinya maka sungguh orang ini adalah seorang yang kafir, karena dengan demikian dia telah menetapkan Allah sebagai benda yang memiliki bentuk dan ukuran.
Maksud perkataan ath-Thahawi ”La Tahwihi al-Jihat as-Sittu...” bahwa Allah mustahil berada di salah satu arah atau di semua arah karena Allah ada tanpa tempat dan arah. Enam arah yang dimaksud adalah adalah atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang.
Maksud perkataan ath-Thahawi ”Ka Sa-ir al-Mubtada’at” adalah bahwa semua makhluk diliputi oleh arah, sedangkan Allah tidak menyerupai makhluk-Nya dari satu segi maupun semua segi dan Allah tidak bisa digambaarkan dalam hati dan benak manusia. al-Imam Ahmad ibn Hanbal mengatakan:
مَهْمَا تَصَوَّرْتَ بِبَالِكَ فاللهُ بِخِلاَفِ ذَلِكَ (روَاه أبُو الفَضْلِ التَّمِيْمِيُّ)
"Apapun yang terlintas dalam benak kamu (tentang Allah), maka Allah tidak seperti itu". (Diriwayatkan oleh Abu al Fadll at-Tamimi).
Jika ada pertanyaan: Bagaimana hal demikian itu bisa terjadi (bahwa ada sesuatu yang ada tetapi tidak bisa dibayangkan dan digambarkan dengan benak)? Jawab: Bahwa di antara makhluk ada yang tidak bisa kita bayangkan akan tetapi kita harus beriman dan meyakini adanya. Yaitu bahwa cahaya dan kegelapan keduanya dulu tidak ada. Tidak ada satupun di antara kita yang bisa membayangkan pada dirinya bagaimana ada suatu waktu atau masa yang berlalu tanpa ada cahaya dan kegelapan di dalamnya?! Meski demikian kita wajib beriman dan meyakini bahwa telah ada suatu masa yang berlalu tanpa dibarengi dengan cahaya dan kegelapan, karena Allah berfirman:
وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنّوْرَ (سورةالأنعام : 1)
"...dan Dia yang telah menjadikan kegelapan dan cahaya" (QS. Al-An'am: 1). Artinya bahwa Allah yang telah menciptakan kegelapan dan cahaya dari yang sebelumnya tidak ada. Jika demikian halnya yang terjadi pada makhluk, maka lebih utama kita beriman dan percaya tentang Allah Yang mengatakan tentang Dzat-Nya: Laysa Kamitslihi Syai’ (QS. Asy-Syura: 11), maka Allah tidak tergambar dalam benak dan tidak diliputi oleh akal, Allah ada, maha suci dari bentuk dan ukura, ada tanpa tempat dan arah.
Al-Imam ath-Thahawi juga berkata:
وَمَنْ وَصَفَ اللهَ بِمَعْنًى مِنْ مَعَانِـي الْبَشَرْ فَقَدْ كَفَرَ
“Barangsiapa menyifati Allah dengan salah satu sifat manusia maka ia telah kafir”.
Penjelasan :
Barangsiapa menyifati Allah dengan salah satu sifat manusia maka ia telah kafir. Sifat–sifat manusia banyak sekali. Sifat yang paling nyata adalah baharu, yakni ”ada setelah sebelumnya tidak ada”. Di antara sifat manusia juga adalah mati, berubah, berpindah dari satu keadaan ke keadaan yang lain, bergerak, diam, infi'al (merespon peristiwa dengan kegembiraan atau kesedihan atau semacamnya yang nampak dalam raut muka dan gerakan anggota tubuh), turun dari atas ke bawah, naik dari bawah ke atas, berpindah, memiliki warna, bentuk, panjang, pendek, bertempat pada suatu arah dan tempat, membutuhkan, memperoleh pengetahuan yang baru, terkena lupa, bodoh, duduk, bersemayam, berada di atas sesuatu dengan jarak, berjarak, menempel, berpisah dan lain–lain. Jadi barangsiapa mensifati Allah dengan salah satu sifat manusia tersebut maka dia telah kafir.
Al-Imam Ahmad ar-Rifa'i (W 578 H) dalam al-Burhan al-Mu-ayyad berkata:
صُوْنُوْا عَقَائِدَكُمْ مِنَ التَّمَسُّكِ بِظَاهِرِ مَا تَشَابَهَ مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ فَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ أُصُوْلِ الْكُفْرِ
“Hindarkan aqidah kamu sekalian dari berpegang kepada zhahir ayat al Qur'an dan hadits yang mutasyabihat, sebab hal demikian merupakan salah satu pangkal kekufuran”.
Penjelasan :
Al-Imam ar-Rifa'i hidup pada abad ke enam hijriyyah, beliau adalah seorang ahli hadits, ahli tafsir, pengikut al-Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari dalam rumusan aqidah dan pengikut madzhab Syafi'i dalam fiqih. Beliau adalah orang paling mulia dan paling alim di masanya. Beliau sangat menekankan tanzih (mensucikan Allah ta'ala dari menyerupai makhluk). Di antara perkataan beliau dalam masalah tanzih adalah perkataan yang beliau sebutkan dalam kitab al-Burhan al-Muayyad tersebut. Maksud perkataan beliau adalah bahwa orang yang mengambil zhahir sebagian ayat al Qur'an dan hadits Nabi, yang memberikan persangkaan bahwa Allah adalah benda yang bersemayam di atas arsy atau bahwa Allah berada di arah bumi atau bahwa Allah mempunyai anggota badan, bergerak dan yang semacamnya maka orang tersebut telah kafir.
Seperti orang yang menafsirkan ayat:
الرّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى (طه: 5)
dengan duduk maka orang tersebut telah kafir. Karena mengatakan duduk bagi Allah adalah cacian terhadap-Nya sebab duduk adalah sifat malaikat, Jin, manusia, anjing, babi dan monyet. Makna ayat tersebut yang benar adalah bahwa Allah maha menguasai arsy. Makna ini layak bagi Allah karena Allah telah menamakan Dzat-Nya:
اللهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّار (يوسف: 39)
”Allah maha esa lagi maha berkuasa”. Oleh karena itu orang-orang Islam biasa menamakan anak mereka dengan Abdul Qahir atau Abdul Qahhar, tidak ada seorangpun yang menamakan anaknya Abdul Jalis atau Abdul Qa'id.
Demikian pula orang yang mengatakan bahwa Allah berada di atas arsy dengan ada jarak antara Allah dengan arsy, artinya tanpa menyentuhnya maka tetap saja dia seorang yang kafir. Karena setiap sesuatu yang berada di atas sesuatu yang lain pasti berkemungkinan berukuran sama dengan sesuatu tersebut atau lebih besar atau lebih kecil. Dan segala sesuatu yang menerima ukuran maka dia adalah makhluk, yang membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam ukuran tersebut.
Adapun pernyataan sebagian kaum Musyabbihah seperti kaum Wahhabiyah sekarang bahwa Allah berada di atas arsy yang di atas arsy tersebut tidak ada tempat pernyataan ini terbantahkan dengan hadits riwayat al-Bukhari, al-Bayhaqi dan lainnya bahwa Rasulullah bersabda:
إنّ اللهَ لَمَا قَضَى الْخَلْقَ كَتَبَ فِي كِتَابٍ فَهُوَ مَوْضُوْعٌ عِنْدَهُ فَوْقَ العَرْشِ إنَّ رَحْمَتِيْ غَلَبَتْ غَضَبِيْ
"Sesungguhnya Allah ketika menciptakan makhluk menciptakan kitab (tulisan) yang terletak di atas arsy dan dimuliakan oleh Allah yang berbunyi sesungguhnya (tanda-tanda) rahmat-Ku lebih banyak dari (tanda-tanda) murka-Ku" (HR. al-Bukhari, al-Bayhaqi dan lainnya)
Dan dalam riwayat Ibnu Hibban dengan redaksi:
وَهُوَ مَرْفُوْعٌ فَوْقَ الْعَرْشِ
"Dan dia arsy terangkat (diletakan) di atas arsy".
Dengan demikian hadits ini adalah dalil bahwa di atas arsy terdapat tempat. Karena bila di atas arsy tidak ada tempat maka tentu Rasulullah tidak akan mengatakan bahwas kitab tersebut diletakkan di atasnya.
Adapun kata “’Indahu” dalam hadits tersebut adalah dalam makna “dimuliakan”, karena penggunaan kata “’Inda” mengandung makna untuk memuliakan, sebagaimana firman Allah tentang orang-orang yang saleh:
وَإنّهُمْ عِنْدَنَا لَمِنَ الْمُصْطَفَيْنَ الأخْيَارِ (ص: 47)
Kata “’Indana…” dalam ayat ini artinya untuk memuliakan bukan untuk menyatakan bahwa Allah berada pada tempat yang bertetanggaan atau bersampingan dengan tempat orang-orang saleh tersebut.
Dengan demikian dalam keyakinan kaum Musyabbihah yang menetapkan Allah bertempat di atas arsy telah menjadikan kitab tersebut di atas sebagai keserupaan bagi-Nya. Ini artinya sama saja mereka telah mendustakan firman Allah: “Laysa Kamitslihi Syai’ (Qs. Asy-Syura: 11).
Demikian juga orang yang memahami firman Allah:
إِنَّ رَبَّكُمُ اللهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ (الآعراف: 54)
dengan menafsirkan bahwa Allah berada pada arah bawah atau arah bumi kemudian naik ke arah atas lalu menciptakan langit, kemudian Dia naik ke arsy lalu bersemayam (bertempat) maka orang ini telah menjadi kafir. Makna ayat yang benar adalah bahwa Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan bahwa Allah sebelum menciptakannya telah menguasai arsy. Kata “tsumma” artinya dalam makna ”wa”; maknanya “dan”. Al-Imam Abu Manshur al-Maturidi berkata: Firman Allah:
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
artinya adalah " sungguh Allah telah menguasai arsy " .
Begitu pula orang yang menafsirkan firman Allah:
فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ (البقرة: 115)
diartikan dengan anggota tubuh atau bahwa Dia berada pada arah bumi maka dia seorang yang kafir. Makna yang benar; Wajhullah adalah Kiblat Allah, sebagaimana dinyatakan oleh al-Imam Mujahid; murid dari sahabat Abdullah ibn Abbas.
Demikian pula orang yang memahami firman Allah:
كُلُّ شَيءٍ هَالِكٌ إلاّ وَجْهَهْ (القصص: 88)
dengan mengartikan bahwa alam ini adalah sesuatu maka ia akan punah, begitu pula Allah adalah sesuatu maka Dia akan punah, dan tidak ada sesuatu yang kekal dari Allah kecuali bagian wajah saja maka orang ini dihukumi kafir. Pemahaman buruk seperti ini sebagaimana penafsiran seorang Musyabbih yang bernama Bayan ibn Sam'an at-Tamimi. Adapun makna yang benar dari kata ”Wajhahu..” di atas adalah dalam makna ”kerajaan”, atau dalam makna ”sesuatu yang bisa mendekatkan diri kepada Allah” sebagaimana takwil ini telah dinyatakan oleh al-Imam al-Bukhari dan al-Imam Sufyan ats-Tsauri.
Demikian juga orang menafsirkan firman Allah tentang perahu Nabi Nuh:
تَجْرِيْ بأعْيُنِنَا (القمر: 14)
dengan anggota tubuh (mata) maka orang tersebut telah kafir. Adapun makna yang benar adalah ”memelihara”, artinya bahwa perahu Nabi Nuh tersebut berjalan dengan ”pemeliharan” dan ”penjagaan” dari Allah sebagaimana hal ini telah dinyatakan oleh para ahli tafsir.
Demikian pula orang yang memahami firman Allah:
يَدُ اللهِ فَوْقَ أيْدِيْهِمْ (الفتح: 10)
dalam pengertian anggota tubuh maka orang tersebut telah kafir. Makna yang benar kata ”yad” di sini adalah ”al-’ahd”; artinya ”janji” sebagaimana telah ditafsirkan oleh para ulama.
Demikian pula orang yang menafsirkan firman Allah:
وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا (الفجر: 22)
dalam makna bahwa Allah bergerak dan berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain maka orang tersebut telah kafir. Makna yang benar adalah ”datang kekuasaan Allah”, artinya tanda atau pengaruh dari sifat kuasa-Nya, sebagaimana demikian telah ditafsirkan oleh al-Imam Ahmad ibn Hanbal (sebagaimana telah diriwayatkan oleh al-Hafidz al-Baihaqi dengan sanad yang kuat dari al-Imam Ahmad).
Demikian juga dengan orang yang menafsirkan firman Allah:
أأمِنْتُمْ مَنْ فِي السّمَاءِ أنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الأرْضَ (الملك: 16)
dengan mengatakan bahwa Allah mengambil tempat dilangit maka orang tersebut telah kafir. Makna yang benar dari maksud ”man fi as-sama’” adalah ”Malaikat”, sebagaimana pemahaman ini telah dinyatakan oleh Syaikh al-Huffadz al-Imam Zainuddin Abdrrahim al-Iraqi dalam kitab al-Amaliy al-Mishriyah. Dalam menafsirkan hadits:
ارْحَمُوْا مَنْ فِي الأرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ
”Sayangilah oleh kalian orang yang berada di bumi niscaya kalian akan disayangi oleh yang berada di langit”, al-Imam al-’Iraqi menafsirkannya dengan hadits riwayat lain dengan redaksi:
ارْحَمُوْا أهْلَ الأرْضِ يَرْحَمْكُمْ أهْلُ السّمَاءِ
"Sayangilah oleh kalian penduduk bumi niscaya kalian akan disayangi oleh penduduk langit", karena hadits yang kedua ini sangat jelas memberikan pemahaman bahwa yang dimaksud adalah para Malaikat.
Demikian juga orang yang menafsirkan hadits al-Jariyah as-Sauda yang terdapat dalam riwayat al-Imam Muslim dengan berkesimpulan bahwa Allah mengambil tempat di arah atas (berada di langit) maka orang ini telah kafir. Hadits ini oleh sebagian ulama tidak diambil dengan alasan bahwa hadits tersebut adalah mutharib (hadits yang memiliki banyak redaksi yang satu sama lainnya berbeda-beda), karenanya mereka manganggapnya cacat, disamping karena telah menyalahi dasar keyakinan. Sesungguhnya Rasulullah tidak pernah menghukumi ke-islam-an seseorang hanya karena mengatakan ”Allah di langit”, karena kata-kata ini adalah keyakinan orang-orang Yahudi dan Nasrani. Bagaimana mungkin kata-kata ”Allah di langit” sebagai tanda bagi keimanan seseorang?!
Sebagian ulama lainnya menerima hadits ini; namun tidak dipahami dalam makna zhahirnya, tetapi mereka mentakwilkannya. Bahwa pertanyaan Rasulullah kepada budak perempuan tersebut adalah dalam makna ”Bagaimana engkau mengagungkan Allah?”. Dan makna jawaban budak tersebut ”Fi as-Sama’” adalah dalam pengertian ”sangat tinggi derajat-Nya”. Maka berdasarkan pemahaman dua pendapat ulama tersebut di atas tidak ada jalan bagi orang-orang Wahhabi untuk membatah kita.
Begitu juga dengan orang yang menafsirkan hadits Nabi:
يَنْـزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السّمَاءِ الدُّنْيَا حِِيْنَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرِ يَقُوْلُ مَنْ يَدْعُوْنِي فأسْتَجِيْبَ لَهُ منْ يَسْألُنِيْ فأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ
dengan menafsirkan bahwa Allah bergerak dan turun dari atas ke langit dunia dan berdiam di sana sampai terbit fajar kemudian setelah itu Dia naik ke arah arsy maka orang tersebut telah menjadi kafir. Yang sangat mengherankan dari kaum Musyabbihah, seperti kaum Wahhabiyyah sekarang, mereka meyakini bahwa Allah sama besar dengan arsy, lalu mereka mengatakan bahwa Allah turun ke langit dunia, padahal mereka tahu bahwa besarnya langit dunia dibanding besarnya arsy seperti setetes air dibanding lautan luas, ini artinya dalam keyakinan mereka bahwa Allah ketika turun ke langit dunia menjadi sangat kecil, na’udzu Billah. Ini merupakan bukti nyata akan kebodohan akal mereka. Lalu dengan pemahaman tersebut mereka juga berarti menetapkan bahwa perbuatan Allah hanya turun dan naik saja agar bersesesuaian dengan masing-masing sepertiga akhir malam di setiap bagian bumi ini oleh karena sepertiga akhir malam itu berbeda–beda satu wilayah dengan lainnya. Ini juga merupakan bukti nyata akan kebodohan akal mereka.
Makna yangbenar dari hadits tersebut adalah bahwa Malaikat turun dengan perintah Allah ke langit dunia, hingga ketika datang sepertiga akhir malam maka mereka menyeru bagi penduduk bumi sesuai apa yang diperintahkan oleh Allah sehingga terbit fajar: “Sesungguhnya Tuhan kalian berkata: Barangsiapa yang meminta kepada-Ku maka akan Aku beri ia, barangsiapa yang berdo’a kepada-Ku maka akan Aku kabulkan baginya, barangsiapa yang memohon ampun kepada-Ku maka akan Aku ampuni ia”. Pemahaman ini sebagaimana terdapat dalam riwayat al-Imam an-Nasa-i dengan riwayat shahih bahwa Rasulullah bersabda:
إنَّ اللهَ يُمْهِلُ حَتَّى يَمْضِيَ شَطْرُ اللّيْلِ الأوَّلُ فَيأْمُرُ مُنَادِيًا فَيُنَادِيْ ....
“Sesungguhnya Allah membiarkan malam berlalu hingga lewat separuh malam pertama, setelah itu lalu Allah memerintahkan kepada malaikat untuk menyeru (bagi penduduk bumi), maka ia berseru:…..”.
Kemudian dari pada itu sebagian para perawi al-Imam Bukhari telah memberi harakat “Dlammah” pada kata “Yanzilu..” menjadi “Yunzilu…”, dengan demikian maknanya semakin jelas bahwa yang turun ke langit dunia tersebut adalah adalah malaikat; dengan perintah Allah. Kesimpulannya, siapapun yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, walaupun hanya dengan satu sifat saja, maka dia digolongkan sebagai Musyabbih Mujassim, dan sesuangguhnya seorang Mujassim itu seorang yang kafir sebagaimana dikatakan oleh al-Imam asy-Syafi’i.
Adapun makna perkataan al-Imam ar-Rifa’i tersebut di atas adalah bahwa berpegangteguh dengan makna-makna zhahir dari teks-teks mutasyabihat, baik yang terdapat dalam al-Qur’an maupun hadits, maka hal itu telah menjatuhkan banyak orang dalam kekufuran, karena hal itu telah menjatuhkan mereka dalam keyakinan tasybih.
Al-Imam Ahmad ar-Rifa’i juga berkata:
غَايَةُ الْمَعْرِفَةِ بِاللهِ الإيْقَانُ بِوُجُوْدِهِ تَعَالَى بِلاَ كَيْفٍ وَلاَ مَكَانٍ
“Puncak pengetahuan seseorang itu kepada Allah adalah dengan berkeyakinan bahwa Allah ada tanpa sifat benda dan tanpa tempat“.
Maksudnya adalah bahwa puncak yang dapat diraih oleh seorang hamba untuk mengenal Allah adalah meyakini keberadaan-Nya tanpa mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda, dan meyakini bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Sesungguhnya ini inilah puncak pengetahuan (ma’rifah) kepada Allah dari para Nabi dan para Malaikat, serta para wali Allah. Karena mengenal (ma’rifah Allah) Allah bukan dengan cara membayangkan, bukan dengan cara memprakirakan, dan juga bukan dengan cara menyerupakan-Nya. Allah bukan benda dan Allah juga tidak dapat diperumpamakan oleh gambaran dan pikiran manusia. Sesuatu yang memiliki bentuk dan ukuran maka pasti bisa digambarkan oleh akal pikiran, sementara Allah bukan benda yang memiliki bentuk dan ukuran maka Dia tidak dapat digambarkan oleh akal pikiran manusia. Mengenal Allah cukup dengan meyakini-Nya bahwa Dia Maha ada, tidak dengan membayangkan-Nya berada pada arah tertentu; seperti arah atas.
Jika orang Wahabiy mengatakan: “Sesuatu yang ada itu harus memiliki arah dan tempat, bagaimana kalian mengatakan bahwa Allah ada tanpa arah dan tempat?!”, kita katakan kepadanya bahwa jika Allah memiliki arah dan tempat niscaya Dia akan mempunyai banyak keserupaan, juga jika Dia memiliki arah maka berarti ada yang menjadikan-Nya pada arah tersebut, padahal setiap yang ”dijadikan” itu pastilah dia itu makhluk, bukan Tuhan. Demikian inilah makna yang dimaksud dari perkataan al-Imam Ahmad ar-Rifa’i di atas, dan beliau adalah seorang yang sangat mendalam dalam ilmu akidah, beliau telah mengungkapkan perkataannya tersebut dalam kitab “Halatu Ahl al-Haqiqah Ma’a Allah “ .
Sebagian ulama berkata:
عَلَيْكَ بِطُوْلِ الصَّمْتِ يَا صَاحِبَ الْحِجَا
لِتَسْلَمَ فِي الدُّنْيَا وَيَوْم القِبَامَة
“Hendaklah anda memperpanjang diam wahai orang yang punya akal, agar selamat di dunia dan akhirat / kiamat.”
Perkataan ini diambil dari sabda Rasulullah kepada Abu Dzar:
عَلَيْكَ بِطُوْلِ الصَّمْتِ إلاّ مِنْ خَيْرٍ فَإنّهُ مَطْرَدَةٌ لِلشّيْطَانِ عَنْكَ وَعَوْنٌ لَكَ عَلَى أمْرِ دِيْنِكَ (رواه ابن حبان)
“Hendaklah kamu memperpanjang diam kecuali kepada hal yang baik, karena demikian itu dapat megalahkan syaitan dan menolong kamu dalam urusan agamamu “ (HR. Ibnu Hibban).
Seorang yang memiliki akal cerdas adalah orang yang selalu menghadirkan makna firman Allah:
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إلاّ لَدَيْهِ رَقِيْبٌ عَتِيْدٌ (ق: 18)
“Tidaklah seseorang itu berucap dari sebuah perkataan kecuali dicatat oleh Malaikat Raqib dan Atid“ (QS. Qaf: 18). Dia tidak akan berkata-kata kecuali bila ada manfaatnya.
Wa Allah A’lam Bi Ash-Shawab
Wa Ilaih at-Tuklan Wa al-Ma’ab.
Maulidan Yukk
Awy' Ameer Qolawun February 23 at 7:10am Reply
Dalam sebuah kesempatan saat bersama para sahabatnya, Rosululloh S.a.w bertutur :"ajari anak-anak kalian 3 hal : @ baca alqur'an @ cinta Nabi kalian @ dan cinta keluarganya" (H.R. Atthobaroni). Nah, praktek, penerapan dan cara menumbuhkan cinta Nabi di hati kita, teramat banyak. Salah satunya adalah dengan memperingati hari kelahiran beliau, atau kita mengenalnya dengan istilah MAULID. Jadi, maulid adalah salah satu bentuk dan aplikasi, juga media untuk menumbuhkan rasa cinta pada Nabi.
Memang terjadi perdebatan keras soal maulid itu sendiri, ada sekelompok orang yang dengan begitu gigih mengingkarinya, dan menyatakan bahwa hal itu bid'ah, tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan para salah shaleh setelahnya. Yang lebih ekstrem menyatakan, bahwa pelaku maulid adalah orang-orang yang tersesat. Sebuah stempel yang sangat mengerikan.
Terlepas dari semua itu, sebenarnya ada banyak kejanggalan. Maulid bid'ah? Oke, secara istilah bahasa memang bid'ah, karena hal baru, tapi apakah bid'ah syar'iyyah? Jika menyatakan bahwa maulid adalah bid'ah syar'iyyah maka tentu hal yang lucu, kenapa? Sebab bid'ah jenis ini (yang memang sesat) adalah hanya untuk masalah ibadah. Pertanyaannya, apakah maulid itu ibadah? Tak satupun orang yang masih waras bilang bahwa maulid adalah ibadah. Karena maulid bukan ibadah. Maka tentu maulid tidaklah bid'ah yang sesat itu.
Oke, tapi kan tidak ada di zaman Nabi, beliau ga ngelakuin? Sebuah pertanyaan timbul, apakah hal yang tak dilakukan Nabi lantas artinya hal itu terlarang? Apakah ketiadaan Nabi tidak melakukan sesuatu itu adalah sebuah dalil? padahal dalam kaidah dinyatakan, ketiadaan dalil tidak menunjukkan bahwa itu dalil. Jika memang maulid dilarang, oke, adakah 1 dalil saja yang menyatakan secara terang-terangan bahwa maulid dilarang? Sampai tangan kamu gempor cari hadits yang melarang maulid pun ga akan ada. Nah, hal yang tidak ada dalilnya gini, dalam kaidah fiqih menunjukkan bolehnya dikerjakannya hal tersebut. Ini jika memang mereka yang kontra maulid memaksakan diri bahwa maulid harus berdalil (dan memang ada 21 dalil berhubungan dengan maulid di sana)
Terlepas dari ada atau tidak adanya dalil, maulid sendiri adalah sebuah ekspresi atas cinta Nabi, salahkah kita mengungkapkan cinta pada Nabi kita? Padahal cinta Nabi adalah perintah agama. Oke, ga apa tidak suka maulid, tapi setidaknya jangan menyalahkan orang yang mencintai Nabi dengan cara maulid. Lagi pula acara maulid sendiri kontainnya juga baca alqur'an, mendendangkan pujian pada Nabi, membaca sejarah beliau, bergembira atas kelahirannya, dan bersedekah dengan memberi makan pada orang yang hadir di acara itu. Apakah semua ini salah? Baca qur'an salah? Baca sejarah Nabi, salah? memuji beliau, apa juga salah? Memberi makan, bersedekah, apakah tidak boleh dan salah? Bukankah hal-hal ini semua berdalil dan di anjurkan agama? Oke, andai dalam acara maulid terjadi hal yang diharamkan, semisal bercampurnya laki-laki dan perempuan, maka kita pun mengingkarinya, tetapi bukan pada maulidnya, namun campur baurnya itu yang memang dilarang agama.
Problem tersendiri adalah saat kita memahami dalil hanya setengah-setengah dan tidak menyeluruh, atau mengartikannya sepotong tanpa melihat potongan yang lain. Atau hanya melihat satu dalil dan mengabaikan yang lain. Dan maulid ini adalah salah satu korban pemahaman nash yang tidak sempurna tadi. Alangkah meruginya orang yang menghalangi orang lain yang ingin mengekspresikan cintanya pada Rosulnya. Lebih memalukan lagi, ga mau maulid, tapi waktu diberi makanan oleh-oleh maulid, diembat juga.
Dalam sebuah cerita yang diriwayatkan Imam Al-bukhori di shahihnya, dikisahkan, bahwa Abu Lahab, musuh bebuyutan Nabi, di neraka mendapat keringanan tiap senin dengan minum air dari pangkal ibu jarinya, hanya sebab waktu Nabi dilahirkan, dia melonjak gembira dan membebaskan budaknya, tsuwaibah. Lantas bagaimana sekarang dengan orang yang dia setiap saat selalu gembira dengan Nabinya, bahagia dengan kelahirannya dan dia beriman padanya? Hal yang lucu tentu kalau ada orang mencintai Nabi malah dituduh sesat, kira-kira pergi ke mana akal orang yang seperti itu? Tidak malu apa kalah sama abu lahab, yang masih sempet mencintai Nabi?
Akhir catatan, cinta kita pada Nabi teramat kurang, malah mingkin kita tidak bisa total mencintainya, lalu jika tidak dengan acara-acara semacam ini, dengan apa lagi kita berusaha menumbuhkan cinta di hati kita? So, hayuk maulidan, ga usah ragu lagi, udah dapat cinta nabi, juga pulang dapat nasi, kenyang lahir batin, iya ga? Rizki jasmani juga rizki ruhani... Dan ga baik lho menolak rizki tu, hehehe...
Allahumma sholli wa sallim wa baarik alaih, wa ala alih :)
(thanks buat Gus Mamak yang udah ingatkan aku buat postingan ni ^^)
Dalam sebuah kesempatan saat bersama para sahabatnya, Rosululloh S.a.w bertutur :"ajari anak-anak kalian 3 hal : @ baca alqur'an @ cinta Nabi kalian @ dan cinta keluarganya" (H.R. Atthobaroni). Nah, praktek, penerapan dan cara menumbuhkan cinta Nabi di hati kita, teramat banyak. Salah satunya adalah dengan memperingati hari kelahiran beliau, atau kita mengenalnya dengan istilah MAULID. Jadi, maulid adalah salah satu bentuk dan aplikasi, juga media untuk menumbuhkan rasa cinta pada Nabi.
Memang terjadi perdebatan keras soal maulid itu sendiri, ada sekelompok orang yang dengan begitu gigih mengingkarinya, dan menyatakan bahwa hal itu bid'ah, tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan para salah shaleh setelahnya. Yang lebih ekstrem menyatakan, bahwa pelaku maulid adalah orang-orang yang tersesat. Sebuah stempel yang sangat mengerikan.
Terlepas dari semua itu, sebenarnya ada banyak kejanggalan. Maulid bid'ah? Oke, secara istilah bahasa memang bid'ah, karena hal baru, tapi apakah bid'ah syar'iyyah? Jika menyatakan bahwa maulid adalah bid'ah syar'iyyah maka tentu hal yang lucu, kenapa? Sebab bid'ah jenis ini (yang memang sesat) adalah hanya untuk masalah ibadah. Pertanyaannya, apakah maulid itu ibadah? Tak satupun orang yang masih waras bilang bahwa maulid adalah ibadah. Karena maulid bukan ibadah. Maka tentu maulid tidaklah bid'ah yang sesat itu.
Oke, tapi kan tidak ada di zaman Nabi, beliau ga ngelakuin? Sebuah pertanyaan timbul, apakah hal yang tak dilakukan Nabi lantas artinya hal itu terlarang? Apakah ketiadaan Nabi tidak melakukan sesuatu itu adalah sebuah dalil? padahal dalam kaidah dinyatakan, ketiadaan dalil tidak menunjukkan bahwa itu dalil. Jika memang maulid dilarang, oke, adakah 1 dalil saja yang menyatakan secara terang-terangan bahwa maulid dilarang? Sampai tangan kamu gempor cari hadits yang melarang maulid pun ga akan ada. Nah, hal yang tidak ada dalilnya gini, dalam kaidah fiqih menunjukkan bolehnya dikerjakannya hal tersebut. Ini jika memang mereka yang kontra maulid memaksakan diri bahwa maulid harus berdalil (dan memang ada 21 dalil berhubungan dengan maulid di sana)
Terlepas dari ada atau tidak adanya dalil, maulid sendiri adalah sebuah ekspresi atas cinta Nabi, salahkah kita mengungkapkan cinta pada Nabi kita? Padahal cinta Nabi adalah perintah agama. Oke, ga apa tidak suka maulid, tapi setidaknya jangan menyalahkan orang yang mencintai Nabi dengan cara maulid. Lagi pula acara maulid sendiri kontainnya juga baca alqur'an, mendendangkan pujian pada Nabi, membaca sejarah beliau, bergembira atas kelahirannya, dan bersedekah dengan memberi makan pada orang yang hadir di acara itu. Apakah semua ini salah? Baca qur'an salah? Baca sejarah Nabi, salah? memuji beliau, apa juga salah? Memberi makan, bersedekah, apakah tidak boleh dan salah? Bukankah hal-hal ini semua berdalil dan di anjurkan agama? Oke, andai dalam acara maulid terjadi hal yang diharamkan, semisal bercampurnya laki-laki dan perempuan, maka kita pun mengingkarinya, tetapi bukan pada maulidnya, namun campur baurnya itu yang memang dilarang agama.
Problem tersendiri adalah saat kita memahami dalil hanya setengah-setengah dan tidak menyeluruh, atau mengartikannya sepotong tanpa melihat potongan yang lain. Atau hanya melihat satu dalil dan mengabaikan yang lain. Dan maulid ini adalah salah satu korban pemahaman nash yang tidak sempurna tadi. Alangkah meruginya orang yang menghalangi orang lain yang ingin mengekspresikan cintanya pada Rosulnya. Lebih memalukan lagi, ga mau maulid, tapi waktu diberi makanan oleh-oleh maulid, diembat juga.
Dalam sebuah cerita yang diriwayatkan Imam Al-bukhori di shahihnya, dikisahkan, bahwa Abu Lahab, musuh bebuyutan Nabi, di neraka mendapat keringanan tiap senin dengan minum air dari pangkal ibu jarinya, hanya sebab waktu Nabi dilahirkan, dia melonjak gembira dan membebaskan budaknya, tsuwaibah. Lantas bagaimana sekarang dengan orang yang dia setiap saat selalu gembira dengan Nabinya, bahagia dengan kelahirannya dan dia beriman padanya? Hal yang lucu tentu kalau ada orang mencintai Nabi malah dituduh sesat, kira-kira pergi ke mana akal orang yang seperti itu? Tidak malu apa kalah sama abu lahab, yang masih sempet mencintai Nabi?
Akhir catatan, cinta kita pada Nabi teramat kurang, malah mingkin kita tidak bisa total mencintainya, lalu jika tidak dengan acara-acara semacam ini, dengan apa lagi kita berusaha menumbuhkan cinta di hati kita? So, hayuk maulidan, ga usah ragu lagi, udah dapat cinta nabi, juga pulang dapat nasi, kenyang lahir batin, iya ga? Rizki jasmani juga rizki ruhani... Dan ga baik lho menolak rizki tu, hehehe...
Allahumma sholli wa sallim wa baarik alaih, wa ala alih :)
(thanks buat Gus Mamak yang udah ingatkan aku buat postingan ni ^^)
gelar syaikhul islam
Assalamu'alaikum wr wb.
Sekedar sharing tentang Gelar Syeikhul Islam. Maaf bila sudah pernah menerimanya. Mungkin diantara anda sekalian, jika mendengar Gelar Syeikhul Islam maka yg teringat adalah Ibnu Taimiyah. Namun ternyata Gelar Syeikhul Islam bukan ekslusif semata untuk Ibnu Taimiyah saja.
Ada TUJUH ulam yang bergelar Syaikh Al-Islam.
Tidak sembarang ulama yang memperoleh gelar Syaikh al-Islam. Ulama yang memiliki ketinggian ilmu saja yang pantas menyandangnya.
Gelar *Syaikh al-Islam* biasanya diberikan oleh beberapa ulama kepada
seorang ulama atas ketinggian ilmunya. Ada beberapa kriteria untuk dapat
menyandangnya.
Ibnu Nashiruddin, dalam kitab Radd al-Wafir, mencatat beberapa kriteria
tersebut.
*Pertama*, seorang tokoh yang paham al-Qur’an dan as-Sunnah dengan
perbedaan qira’ah dan asbab an-nuzul-nya.
*Kedua*, menguasai bahasa Arab secara sempurna.
*Ketiga*, menguasai masalah ushul (pokok) dan furu’ (cabang) dalam Islam.
*Empat*, ia adalah ulama yang menjaga ibadahnya, tawadhu, dan tak menganggap diri manusia maksum.
Walhasil, tak banyak ulama yang menyandang gelar tersebut. Berikut ulama yang bergelar Syaikh al-Islam:
*1. Ibnu Qudamah Al-Maqdisi*
Pemilik nama lengkapnya Asy-Syaikh Muwaffaquddin Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Qudamah al-Hanbali al-Maqdisi ini lahir di Nablusi, dekat Baitul Maqdis, Palestina, pada 541 Hijriah. Usia 10 tahun, ia sudah menghafal al-Qur`an.
Menginjak usia 20 tahun, Ibnu Qudamah, pergi ke Baghdad untuk menuntut ilmu kepada beberapa ulama, antara lain: Abu Zur’ah bin Thahir, Ahmad bin Muqarib, dan ulama perempuan Khadijah an-Nahrawaniyah. Merasa belum puas, ia lanjutkan perjalanan menuntut ilmu pada ulama di Damaskus dan Makkah.
Beberapa ulama, seperti Hafidz Dziya’ al-Maqdisi dan Hafidz al-Mizzi
mengakui gelar Syaikh al-Islam pantas melekat pada Ibnu Qudamah al-Maqdisi.
Semasa hidupnya, Ibnu Qudamah telah menelurkan berbagai karya. Di antara nya al- Mughni (fiqih), al- I’tiqad (aqidah), ar- Raudhah, dan al-Burhan. Selain itu ia menulis biografi para ulama yang telah menjadi gurunya.
Ibnu Qudamah wafat pada hari Sabtu, bertepatan dengan hari Ied pada 620 Hijriah.
*2. Izzudin bin Abdissalam*
Izzudin, lahir tahun 577 hijriyah. Ia berguru pada ulama ternama, seperti
Hafidz Ibnu Asakir dan Saif al-Amidi.
Ia adalah ulama yang berani berkata haq di hadapan penguasa. Sikap beraninya ini membuat beberapa penguasa Mesir di waktu itu tidak mampu menentangnya, termasuk ketika Izzudin meminta agar mereka menyiapkan pasukan untuk menghadapi pasukan Tatar di Syam.
Beberapa karya yang pernah ditulisnya adalah al-Qawa’id al-Kubra, Majaz
al-Qur’an, Tafsir al-Qur’an, Muhtashar Shahih Muslim, dan Al Fatawa
al-Mishriyah.
Itulah makanya, Tajuddin as-Subki, Ibnu al-Imad, Tilmitsani, dan Imam
as-Suyuthi memberikan gelar Syaikh al-Islam kepada Izzudin. Ia wafat tahun 660 H dan dimakamkan di Cairo, Mesir.
*3. Imam Nawawi*
Lahir di Nawa, sebuah desa yang berada di Propinsi Dar’an Suriah pada 631 H. Keluarganya sangat menghargai ilmu dien.
Di tahun 649 hijriyah, ia melakukan perjalanan ke Damaskus, Syria untuk
mempelajari kitab Tanbih dan al-Muhadzab. Kitab rujukan dalam madzhab
Syafi’i itu berhasil ia lahap dalam tempo 4,5 bulan. Dalam sehari ia
menghadiri 12 majelis ilmu dalam berbagai macam disiplin ilmu.
Beliau juga termasuk ulama yang produktif, beberapa karya beliau antara
lain, Syarah Shahih Muslim, Syarah Muhadzab, dan Riyadh as-Shalihin.
Banyak ulama yang mengakui Imam Nawawi sebagai Syaikh al-Islam. Di
antaranya, Tajuddin As Subki dalam Thabaqat-nya, Imam Sakhawi dalam
al-Ihtimam, serta Syaikh Abdul Ghani Daqqar dalam karyanya Imam an-Nawawi Syaikh al-Islam wa al-Muslimin.
Beliau wafat pada tahun 676 H dan dikebumikan di Nawa.
*4. Taqiyuddin Ibnu Daqiq al-Ied*
Lahir pada 625 hijriyah, berasal dari keluarga terpandang. Melalui ayahnya, Abu Hasan Ali bin Wahab yang juga seorang ulama ia mendalami fikih mazhab Syafi’i. Ia juga mempelajari hal yang sama kepada murid ayahnya, Al Baha’ al-Qufthi. Sedangkan, ilmu bahasa Arab ia berguru kepada Muhammad bin Fadh al-Mursi.
Semangatnya dalam menuntut ilmu begitu kuat. Taqiyuddin terbang ke Cairo dan berguru kepada Izzudin bin Abdissalam.
Ia pernah mengajar di Dar al-Hadits, Qahira. Banyak ulama yang mengakui ketinggian ilmunya. Al Adfawi pernah berkata, ”Tidak ragu lagi bahwa ia adalah seorang mujtahid, tak ada yang menyanggah, kecuali orang-orang yang keras kepala.”
Karya yang telah dihasilkan, di antaranya Ihkam al-Ahkam, Syarh Umdah
al-Ahkam, al-Iqtirah (Musthalah Hadits), dan Syarh Muqadimah Mathruzi (ushul fikih).
Beberapa ulama telah menyebutnya sebagai Syaikh al-Islam, antara lain
Tajuddin as-Subki dalam Thabaqat-nya, Imam ad-Dzahabi dalam Tadzkirah
al-Huffadz, dan Ibnu Hajar al-Haitami al-Maki. Taqiyuddin wafat pada 716 H.
*5. Ibnu Taimiyah*
Setelah pasukan Tatar menguasai Harran (kini berada di Turki), ia yang lahir di tahun 661 hijriyah, diajak ayahnya hijrah ke Damaskus. Di sana ia berguru kepada beberapa ulama, salah satunya Ibnu Abdu al-Qawi at-Thufi.
Penguasaan terhadap ilmu tidak diragukan lagi, selain menguasai masalah
ushul dan furu’, ia juga seorang hafidz, faqih, dan mufassir. Tak heran pada umur 19 tahun beliau sudah berfatwa.
Guru dari Ibnu Qayim al-Jauziyah, dan Ibnu Katsir ini pernah membuat karya yang cukup fenomenal, Majmu’ah al- Fatawa, Jawab As Shahih, Iqtidha’ Sirath al-Mustaqim, dan Qawa’id Nuraniyah.
Para ulama yang menjulukinya sebagai Syaikh al-Islam antara lain, Imam
Dzahabi, Ibnu Qayim al-Jauziyah, dan Hafidz al-Mizzi.
Ibnu Taimiyah Wafat pada 20 Dzulhijjah 728 H, ketika beliau dalam penjara Qal’ah Dimasyq yang disaksikan oleh salah seorang muridnya Ibnu Qayyim.
*6. Taqiyuddin as-Subki*
As Subki lahir di tahun 683 hijriyah. Ayahnya, Zainuddin adalah sekaligus
gurunya itu adalah seorang hakim. Ia diboyong orang tuanya ke Mesir, untuk berguru kepada beberapa ulama, seperti Hafidz Dimyathi dan Syaikh al-Islam Ibnu Daqiq al-Ied.
Para ulama semasanya, seperti Al Baji, Ibnu Rif’ah, dan Dimyathi
menjulukinya dengan Imam Muhaditsin, Imam Fuqaha, dan Imam Ushuliyin.
Tajuddin as-Subki dan Hafidz al-Mizzi pun memberikan gelar Syaikh al-Islam.
Beberapa karyanya antara lain, Tafsir Durar an-Nadzim, Al Ibhaj Syarh
Minhaj, dan Majmu’ Syarh al-Muhadzab.
Jasad as-Subki, yang wafat pada tahun 756 di Cairo ini diiringi ribuan umat
Islam. Ada yang mengatakan bahwa tidak ada yang bisa menandingi jumlah petakziyah Imam Ahmad bin Hanbal, kecuali jumlah petakziyah as-Subki.
*7. Ibnu Hajar al-Atsqalani*
Ia lahir dalam keadaan yatim pada tahun 733 hijriyah di Mesir. Di usia 9
tahun, beliau sudah mempu menghafal al-Qur’an, hafal al-’Umdah (kumpulan Hadits-Hadits hukum), Alfiyah Hadits Iraqi (ilmu Hadits).
Imam Syaukani menyebutkan bahwa guru-guru Ibnu Hajar adalah para pakar di bidang masing-masing, antara lain: Hafidz al-Iraqi (ahli Hadits), Ibnu Mulaqqin (ulama terbanyak berkarya), dan Al Bulqini (ahli fikih). Ia pun telah melakukan perjalanan ke Hijaz, Yaman, Syam, dan Makkah untuk mecari ilmu.
Guru dari Imam Sakhawi dan Imam Suyuthi ini menghasilkan karya fenomenal Fathu al-Bari, dalam waktu 25 tahun. Juga beberapa buku yang berhubungan dengan kedudukan periwayat Hadits, seperti Lisan al-Mizan dan Tahdzib at- Tahdzib.
Ulama yang menggelarinya dengan Syaikh al-Islam adalah Imam as Suyuthi. Imam Sakhawi pun mengarang buku khusus yang berjudul Jawahir ad Dhurar fi Tarjamah Syaikh al Islam Ibnu Hajar. Beliau wafat tahun 852 H di Mesir.
(inpas online)
-----------------------
Sekedar sharing tentang Gelar Syeikhul Islam. Maaf bila sudah pernah menerimanya. Mungkin diantara anda sekalian, jika mendengar Gelar Syeikhul Islam maka yg teringat adalah Ibnu Taimiyah. Namun ternyata Gelar Syeikhul Islam bukan ekslusif semata untuk Ibnu Taimiyah saja.
Ada TUJUH ulam yang bergelar Syaikh Al-Islam.
Tidak sembarang ulama yang memperoleh gelar Syaikh al-Islam. Ulama yang memiliki ketinggian ilmu saja yang pantas menyandangnya.
Gelar *Syaikh al-Islam* biasanya diberikan oleh beberapa ulama kepada
seorang ulama atas ketinggian ilmunya. Ada beberapa kriteria untuk dapat
menyandangnya.
Ibnu Nashiruddin, dalam kitab Radd al-Wafir, mencatat beberapa kriteria
tersebut.
*Pertama*, seorang tokoh yang paham al-Qur’an dan as-Sunnah dengan
perbedaan qira’ah dan asbab an-nuzul-nya.
*Kedua*, menguasai bahasa Arab secara sempurna.
*Ketiga*, menguasai masalah ushul (pokok) dan furu’ (cabang) dalam Islam.
*Empat*, ia adalah ulama yang menjaga ibadahnya, tawadhu, dan tak menganggap diri manusia maksum.
Walhasil, tak banyak ulama yang menyandang gelar tersebut. Berikut ulama yang bergelar Syaikh al-Islam:
*1. Ibnu Qudamah Al-Maqdisi*
Pemilik nama lengkapnya Asy-Syaikh Muwaffaquddin Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Qudamah al-Hanbali al-Maqdisi ini lahir di Nablusi, dekat Baitul Maqdis, Palestina, pada 541 Hijriah. Usia 10 tahun, ia sudah menghafal al-Qur`an.
Menginjak usia 20 tahun, Ibnu Qudamah, pergi ke Baghdad untuk menuntut ilmu kepada beberapa ulama, antara lain: Abu Zur’ah bin Thahir, Ahmad bin Muqarib, dan ulama perempuan Khadijah an-Nahrawaniyah. Merasa belum puas, ia lanjutkan perjalanan menuntut ilmu pada ulama di Damaskus dan Makkah.
Beberapa ulama, seperti Hafidz Dziya’ al-Maqdisi dan Hafidz al-Mizzi
mengakui gelar Syaikh al-Islam pantas melekat pada Ibnu Qudamah al-Maqdisi.
Semasa hidupnya, Ibnu Qudamah telah menelurkan berbagai karya. Di antara nya al- Mughni (fiqih), al- I’tiqad (aqidah), ar- Raudhah, dan al-Burhan. Selain itu ia menulis biografi para ulama yang telah menjadi gurunya.
Ibnu Qudamah wafat pada hari Sabtu, bertepatan dengan hari Ied pada 620 Hijriah.
*2. Izzudin bin Abdissalam*
Izzudin, lahir tahun 577 hijriyah. Ia berguru pada ulama ternama, seperti
Hafidz Ibnu Asakir dan Saif al-Amidi.
Ia adalah ulama yang berani berkata haq di hadapan penguasa. Sikap beraninya ini membuat beberapa penguasa Mesir di waktu itu tidak mampu menentangnya, termasuk ketika Izzudin meminta agar mereka menyiapkan pasukan untuk menghadapi pasukan Tatar di Syam.
Beberapa karya yang pernah ditulisnya adalah al-Qawa’id al-Kubra, Majaz
al-Qur’an, Tafsir al-Qur’an, Muhtashar Shahih Muslim, dan Al Fatawa
al-Mishriyah.
Itulah makanya, Tajuddin as-Subki, Ibnu al-Imad, Tilmitsani, dan Imam
as-Suyuthi memberikan gelar Syaikh al-Islam kepada Izzudin. Ia wafat tahun 660 H dan dimakamkan di Cairo, Mesir.
*3. Imam Nawawi*
Lahir di Nawa, sebuah desa yang berada di Propinsi Dar’an Suriah pada 631 H. Keluarganya sangat menghargai ilmu dien.
Di tahun 649 hijriyah, ia melakukan perjalanan ke Damaskus, Syria untuk
mempelajari kitab Tanbih dan al-Muhadzab. Kitab rujukan dalam madzhab
Syafi’i itu berhasil ia lahap dalam tempo 4,5 bulan. Dalam sehari ia
menghadiri 12 majelis ilmu dalam berbagai macam disiplin ilmu.
Beliau juga termasuk ulama yang produktif, beberapa karya beliau antara
lain, Syarah Shahih Muslim, Syarah Muhadzab, dan Riyadh as-Shalihin.
Banyak ulama yang mengakui Imam Nawawi sebagai Syaikh al-Islam. Di
antaranya, Tajuddin As Subki dalam Thabaqat-nya, Imam Sakhawi dalam
al-Ihtimam, serta Syaikh Abdul Ghani Daqqar dalam karyanya Imam an-Nawawi Syaikh al-Islam wa al-Muslimin.
Beliau wafat pada tahun 676 H dan dikebumikan di Nawa.
*4. Taqiyuddin Ibnu Daqiq al-Ied*
Lahir pada 625 hijriyah, berasal dari keluarga terpandang. Melalui ayahnya, Abu Hasan Ali bin Wahab yang juga seorang ulama ia mendalami fikih mazhab Syafi’i. Ia juga mempelajari hal yang sama kepada murid ayahnya, Al Baha’ al-Qufthi. Sedangkan, ilmu bahasa Arab ia berguru kepada Muhammad bin Fadh al-Mursi.
Semangatnya dalam menuntut ilmu begitu kuat. Taqiyuddin terbang ke Cairo dan berguru kepada Izzudin bin Abdissalam.
Ia pernah mengajar di Dar al-Hadits, Qahira. Banyak ulama yang mengakui ketinggian ilmunya. Al Adfawi pernah berkata, ”Tidak ragu lagi bahwa ia adalah seorang mujtahid, tak ada yang menyanggah, kecuali orang-orang yang keras kepala.”
Karya yang telah dihasilkan, di antaranya Ihkam al-Ahkam, Syarh Umdah
al-Ahkam, al-Iqtirah (Musthalah Hadits), dan Syarh Muqadimah Mathruzi (ushul fikih).
Beberapa ulama telah menyebutnya sebagai Syaikh al-Islam, antara lain
Tajuddin as-Subki dalam Thabaqat-nya, Imam ad-Dzahabi dalam Tadzkirah
al-Huffadz, dan Ibnu Hajar al-Haitami al-Maki. Taqiyuddin wafat pada 716 H.
*5. Ibnu Taimiyah*
Setelah pasukan Tatar menguasai Harran (kini berada di Turki), ia yang lahir di tahun 661 hijriyah, diajak ayahnya hijrah ke Damaskus. Di sana ia berguru kepada beberapa ulama, salah satunya Ibnu Abdu al-Qawi at-Thufi.
Penguasaan terhadap ilmu tidak diragukan lagi, selain menguasai masalah
ushul dan furu’, ia juga seorang hafidz, faqih, dan mufassir. Tak heran pada umur 19 tahun beliau sudah berfatwa.
Guru dari Ibnu Qayim al-Jauziyah, dan Ibnu Katsir ini pernah membuat karya yang cukup fenomenal, Majmu’ah al- Fatawa, Jawab As Shahih, Iqtidha’ Sirath al-Mustaqim, dan Qawa’id Nuraniyah.
Para ulama yang menjulukinya sebagai Syaikh al-Islam antara lain, Imam
Dzahabi, Ibnu Qayim al-Jauziyah, dan Hafidz al-Mizzi.
Ibnu Taimiyah Wafat pada 20 Dzulhijjah 728 H, ketika beliau dalam penjara Qal’ah Dimasyq yang disaksikan oleh salah seorang muridnya Ibnu Qayyim.
*6. Taqiyuddin as-Subki*
As Subki lahir di tahun 683 hijriyah. Ayahnya, Zainuddin adalah sekaligus
gurunya itu adalah seorang hakim. Ia diboyong orang tuanya ke Mesir, untuk berguru kepada beberapa ulama, seperti Hafidz Dimyathi dan Syaikh al-Islam Ibnu Daqiq al-Ied.
Para ulama semasanya, seperti Al Baji, Ibnu Rif’ah, dan Dimyathi
menjulukinya dengan Imam Muhaditsin, Imam Fuqaha, dan Imam Ushuliyin.
Tajuddin as-Subki dan Hafidz al-Mizzi pun memberikan gelar Syaikh al-Islam.
Beberapa karyanya antara lain, Tafsir Durar an-Nadzim, Al Ibhaj Syarh
Minhaj, dan Majmu’ Syarh al-Muhadzab.
Jasad as-Subki, yang wafat pada tahun 756 di Cairo ini diiringi ribuan umat
Islam. Ada yang mengatakan bahwa tidak ada yang bisa menandingi jumlah petakziyah Imam Ahmad bin Hanbal, kecuali jumlah petakziyah as-Subki.
*7. Ibnu Hajar al-Atsqalani*
Ia lahir dalam keadaan yatim pada tahun 733 hijriyah di Mesir. Di usia 9
tahun, beliau sudah mempu menghafal al-Qur’an, hafal al-’Umdah (kumpulan Hadits-Hadits hukum), Alfiyah Hadits Iraqi (ilmu Hadits).
Imam Syaukani menyebutkan bahwa guru-guru Ibnu Hajar adalah para pakar di bidang masing-masing, antara lain: Hafidz al-Iraqi (ahli Hadits), Ibnu Mulaqqin (ulama terbanyak berkarya), dan Al Bulqini (ahli fikih). Ia pun telah melakukan perjalanan ke Hijaz, Yaman, Syam, dan Makkah untuk mecari ilmu.
Guru dari Imam Sakhawi dan Imam Suyuthi ini menghasilkan karya fenomenal Fathu al-Bari, dalam waktu 25 tahun. Juga beberapa buku yang berhubungan dengan kedudukan periwayat Hadits, seperti Lisan al-Mizan dan Tahdzib at- Tahdzib.
Ulama yang menggelarinya dengan Syaikh al-Islam adalah Imam as Suyuthi. Imam Sakhawi pun mengarang buku khusus yang berjudul Jawahir ad Dhurar fi Tarjamah Syaikh al Islam Ibnu Hajar. Beliau wafat tahun 852 H di Mesir.
(inpas online)
-----------------------
Subscribe to:
Posts (Atom)