“DUDUK sama rendah, berdiri sama tinggi’, ‘Sama cantik sama padan’ dan `Bagai pinang dibelah dua”.
Itulah kepelbagaian ungkapan yang sering benar diucapkan apabila hendak memuji kecantikan dan ketampanan sepasang pengantin baru. Luahan perasaan sebegini jelas membuktikan naluri kita sebagai manusia yang gemar kepada keindahan, dan menolak sesuatu yang tidak sepadan atau tidak secocok.
Apatah lagi, perkahwinan merupakan ikatan perjanjian dua orang insan untuk berkongsi segalanya dalam menempuh kehidupan berumah tangga, yang mengharapkannya kekal sepanjang hayat.
Lantaran itu, sebaiknya kedua-duanya setaraf dalam banyak hal supaya rumah tangga yang akan diharungi lebih mudah dilayari. Kesesuaian atau sefahaman dalam memilih suami mahupun isteri, merupakan asas dalam membina keluarga Muslim.
Kesesuaian bukan sahaja dinilai dari aspek kedudukan, harta kekayaan dan pendidikan akan tetapi kesamaan atau sefahaman dalam agama turut diambil kira di dalam Islam.
Firman Allah s.w.t. bermaksud: “Hai manusia, se-sungguhnya Kami ciptakan kamu daripada seorang lelaki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Al-Hujarat: 13)
Penolong Profesor di Jabatan Usuluddin dan Perbandingan Agama, Fakulti Ilmu Wahyu dan Sains kemanusiaan, Universiti Islam Antarabangsa Malaysia (UIAM) Gombak, Dr. Amilah Awang Abd. Rahman dalam hal ini menjelaskan, apabila kita membicarakan soal sekufu atau `kafaah’, kita tidak boleh melihat ia sebagai satu perkara yang terpisah daripada agama itu sendiri.
Menjadi satu kepentingan, agar umat Islam melihatnya sebagai satu keadaan yang menyeluruh kerana Islam sentiasa memandang sesuatu perkara itu secara global. “Dalam isu kafaah ini, sebenarnya Islam mengutamakan kepentingan pembinaan keluarga itu sendiri, atau ia memandang jauh kerana keluarga di dalam Islam itu amat penting”.
“Bahkan ada yang mengatakan, keluarga merupakan buah pinggang kepada masyarakat”.
“Ini bermaksud, kalau keluarga itu baik, maka baiklah masyarakat. Begitu juga sekiranya keluarga itu pincang, maka pincanglah juga masyarakatnya,” kata Dr. Amilah sewaktu ditemui di pejabatnya.
Hakikatnya terang Dr. Amilah lagi, keluarga memainkan peranan penting dalam agama Islam. Jadi apabila Islam menggalakkan sekufu, ini bermakna Islam melihat lebih jauh lagi mengenai peranan sesuatu keluarga itu. Ini kerana perbezaan yang terlalu banyak dan ketara di antara pasangan suami dengan isteri dalam pelbagai perkara, hanya akan menimbulkan berbagai-bagai masalah untuk meneruskan kehidupan berkeluarga yang akan dibina kelak. Bahkan sekiranya tiada sekufu antara kedua-duanya, maka isteri atau walinya berhak menuntut fasakh selepas perkahwinannya. (1)
Mari kita bangun negeri kita, jayalah indonesia, jayalah Insinyur Insinyur Indonesia. Mari kita turut serta dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Tuesday, May 18, 2010
Kisah cinta Ali dan Fathimah
Cinta adalah hal fitrah yang tentu saja dimiliki oleh setiap orang,
namun bagaimanakah membingkai perasaan tersebut
agar bukan Cinta yang mengendalikan Diri kita
Tetapi Diri kita yang mengendalikan Cinta
Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah.
Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya.
Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya.
Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta.
Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta.
Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya.
Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya!
Maka gadis cilik itu bangkit.
Gagah ia berjalan menuju Ka’bah.
Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam.
Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali.
Mengagumkan!
‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta.
Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan.
Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi.
Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah.
Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.
”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali.
Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakr.
Kedudukan di sisi Nabi?
Abu Bakr lebih utama,
mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali,
namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi.
Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah
sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya..
Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah.
Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakr; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab..
Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali.
Lihatlah berapa banyak budak muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud..
Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali?
Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insyaallah lebih bisa membahagiakan Fathimah.
’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin.
”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali.
”Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”
Cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan.
Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.
Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.
Lamaran Abu Bakr ditolak.
Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri.
Ah, ujian itu rupanya belum berakhir.
Setelah Abu Bakr mundur,
datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa,
seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum muslimin berani tegak mengangkat muka,
seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh-musuh Allah bertekuk lutut.
’Umar ibn Al Khaththab.
Ya, Al Faruq,
sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah.
’Umar memang masuk Islam belakangan,
sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakr.
Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya?
Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman?
Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin?
Dan lebih dari itu,
’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata,
”Aku datang bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ’Umar..”
Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah.
Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya.
’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam.
Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam.
Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir.
Menanti dan bersembunyi.
’Umar telah berangkat sebelumnya.
Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah.
”Wahai Quraisy”, katanya.
”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah.
Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!”
’Umar adalah lelaki pemberani.
’Ali, sekali lagi sadar.
Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah.
Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak.
’Umar jauh lebih layak.
Dan ’Ali ridha.
Cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan.
Itulah keberanian.
Atau mempersilakan.
Yang ini pengorbanan.
Maka ’Ali bingung ketika kabar itu meruyak.
Lamaran ’Umar juga ditolak.
Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi?
Yang seperti ’Utsman sang miliarder kah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah?
Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’ kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah?
Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.
Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka.
Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka?
Sa’d ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu?
Atau Sa’d ibn ’Ubadah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?
”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan.
”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi..”
”Aku?”, tanyanya tak yakin.
”Ya. Engkau wahai saudaraku!”
”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”
’Ali pun menghadap Sang Nabi.
Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah.
Ya, menikahi.
Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya.
Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya.
Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap?
Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap?
Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.
”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan.
Pemuda yang siap bertanggungjawab atas rasa cintanya.
Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan-pilihannya.
Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.
Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!”
Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.
Dan ia pun bingung.
Apa maksudnya?
Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan.
Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab.
Mungkin tidak sekarang.
Tapi ia siap ditolak.
Itu resiko.
Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab.
Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan.
Ah, itu menyakitkan.
”Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”
”Entahlah..”
”Apa maksudmu?”
”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”
”Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka,
”Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua!
Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya!”
Dan ’Ali pun menikahi Fathimah.
Dengan menggadaikan baju besinya.
Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya.
Itu hutang.
Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ’Umar, dan Fathimah.
Dengan keberanian untuk menikah.
Sekarang.
Bukan janji-janji dan nanti-nanti.
’Ali adalah gentleman sejati.
Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel,
“Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!”
Inilah jalan cinta para pejuang.
Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggungjawab.
Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Seperti ’Ali.
Ia mempersilakan.
Atau mengambil kesempatan.
Yang pertama adalah pengorbanan.
Yang kedua adalah keberanian.
Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi,
dalam suatu riwayat dikisahkan
bahwa suatu hari (setelah mereka menikah)
Fathimah berkata kepada ‘Ali,
“Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali merasakan jatuh cinta pada seorang pemuda”
‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu”
Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu”
Kisah ini disampaikan disini,
bukan untuk membuat kita menjadi mendayu-dayu atau romantis-romantis-an
Kisah ini disampaikan
agar kita bisa belajar lebih jauh dari ‘Ali dan Fathimah
bahwa ternyata keduanya telah memiliki perasaan yang sama semenjak mereka belum menikah tetapi
dengan rapat keduanya menjaga perasaan itu
Perasaan yang insyaAllah akan indah ketika waktunya tiba
namun bagaimanakah membingkai perasaan tersebut
agar bukan Cinta yang mengendalikan Diri kita
Tetapi Diri kita yang mengendalikan Cinta
Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah.
Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya.
Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya.
Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta.
Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta.
Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya.
Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya!
Maka gadis cilik itu bangkit.
Gagah ia berjalan menuju Ka’bah.
Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam.
Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali.
Mengagumkan!
‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta.
Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan.
Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi.
Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah.
Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.
”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali.
Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakr.
Kedudukan di sisi Nabi?
Abu Bakr lebih utama,
mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali,
namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi.
Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah
sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya..
Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah.
Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakr; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab..
Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali.
Lihatlah berapa banyak budak muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud..
Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali?
Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insyaallah lebih bisa membahagiakan Fathimah.
’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin.
”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali.
”Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”
Cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan.
Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.
Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.
Lamaran Abu Bakr ditolak.
Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri.
Ah, ujian itu rupanya belum berakhir.
Setelah Abu Bakr mundur,
datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa,
seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum muslimin berani tegak mengangkat muka,
seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh-musuh Allah bertekuk lutut.
’Umar ibn Al Khaththab.
Ya, Al Faruq,
sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah.
’Umar memang masuk Islam belakangan,
sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakr.
Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya?
Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman?
Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin?
Dan lebih dari itu,
’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata,
”Aku datang bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ’Umar..”
Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah.
Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya.
’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam.
Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam.
Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir.
Menanti dan bersembunyi.
’Umar telah berangkat sebelumnya.
Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah.
”Wahai Quraisy”, katanya.
”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah.
Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!”
’Umar adalah lelaki pemberani.
’Ali, sekali lagi sadar.
Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah.
Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak.
’Umar jauh lebih layak.
Dan ’Ali ridha.
Cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan.
Itulah keberanian.
Atau mempersilakan.
Yang ini pengorbanan.
Maka ’Ali bingung ketika kabar itu meruyak.
Lamaran ’Umar juga ditolak.
Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi?
Yang seperti ’Utsman sang miliarder kah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah?
Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’ kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah?
Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.
Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka.
Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka?
Sa’d ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu?
Atau Sa’d ibn ’Ubadah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?
”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan.
”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi..”
”Aku?”, tanyanya tak yakin.
”Ya. Engkau wahai saudaraku!”
”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”
’Ali pun menghadap Sang Nabi.
Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah.
Ya, menikahi.
Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya.
Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya.
Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap?
Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap?
Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.
”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan.
Pemuda yang siap bertanggungjawab atas rasa cintanya.
Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan-pilihannya.
Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.
Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!”
Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.
Dan ia pun bingung.
Apa maksudnya?
Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan.
Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab.
Mungkin tidak sekarang.
Tapi ia siap ditolak.
Itu resiko.
Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab.
Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan.
Ah, itu menyakitkan.
”Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”
”Entahlah..”
”Apa maksudmu?”
”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”
”Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka,
”Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua!
Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya!”
Dan ’Ali pun menikahi Fathimah.
Dengan menggadaikan baju besinya.
Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya.
Itu hutang.
Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ’Umar, dan Fathimah.
Dengan keberanian untuk menikah.
Sekarang.
Bukan janji-janji dan nanti-nanti.
’Ali adalah gentleman sejati.
Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel,
“Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!”
Inilah jalan cinta para pejuang.
Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggungjawab.
Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Seperti ’Ali.
Ia mempersilakan.
Atau mengambil kesempatan.
Yang pertama adalah pengorbanan.
Yang kedua adalah keberanian.
Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi,
dalam suatu riwayat dikisahkan
bahwa suatu hari (setelah mereka menikah)
Fathimah berkata kepada ‘Ali,
“Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali merasakan jatuh cinta pada seorang pemuda”
‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu”
Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu”
Kisah ini disampaikan disini,
bukan untuk membuat kita menjadi mendayu-dayu atau romantis-romantis-an
Kisah ini disampaikan
agar kita bisa belajar lebih jauh dari ‘Ali dan Fathimah
bahwa ternyata keduanya telah memiliki perasaan yang sama semenjak mereka belum menikah tetapi
dengan rapat keduanya menjaga perasaan itu
Perasaan yang insyaAllah akan indah ketika waktunya tiba
Tawakaltu alallah
Kita harus belajar apa yang wajib dan apa yang haram, supaya kita jangan jatuh ke dalam kedurhakaan. Jadi kita harus belajar, harus mengaji mengenai ibadat syar'i, seperti: bersuci, mandi dan berwuduk, solat, puasa dan sebagainya kerana inilah tugas-tugas keagamaan yang Fardu Ain hukumnya. Tiap-tiap muslim wajib mengaji ilmu fekah, hukum-hukumnya dan syarat-syaratnya, agar dapat melakukannya dengan sebenar-benarnya.
Terkadang engkau terus menerus melakukan sesuatu yang engkau kira baik, bertahun-tahun lamanya, padahal sebenarnya merusak; dan engkau terus melakukan hal-hal yang merusak kesetiaanmu, solatmu dsbnya. (Sebab ada pernah ada orang di masjid di suatu tempat ia tidak mengetahui bagaimana caranya sujud, bagaimana caranya menaruh tangan. Sudah baik hatinya mau solat, tetapi belum belajar bagaimana caranya solat; solatnya itu tidak cocok dengan yang diajarkan oleh Rasulullah SAW).
Sedang kau sendiri tidak merasa salah. Kerana itu Fardu 'Ain harus dikaji; kemudian dilengkapi dengan sunat-sunat; sunat 'ain yang biasa dikerjakan oleh tiap-tiap orang. Terkadang ada sesuatu yang sulit; Misalnya: dalam berpergian/musafir dengan keretapi, ini sulit, bagaimana solatnya?, sedang engkau sendiri belum pernah mengaji dan pada waktu itu tidak seorang ulama pun untuk tempat bertanya. Oleh sebab itu kita harus mengaji, bagaimana solatnya.
Kalau sedang berada di dalam kapal, atau kita mau naik haji misalnya. Kalau di kapal haji tentunya banyak ulamak-ulamak yang bisa kita tanya, tapi bagaimana kalau sedang berada dalam keretapi, sedangkan tidak ada ulama yang bisa kita tanya?
Oleh sebab itu sekali lagi ditekankan, bahawa mengaji itu sangat penting. Demikian pula mengenai ibadah batin, inipun harus kita kaji. Sebagaimana ada ibadah lahir, juga ada ibadah batin, bidangnya ialah Ilmu Tasauf. Ibadah-ibadah seperti : solat, puasa, naik haji, mengeluarkan zakat; ini semua termasuk ibadah lahir. Sedangkan ibadah batin di antaranya, kita tidak boleh takabbur.
Lawan takabbur ialah Tawaddu; Zikrul Minnah lawannya Ujub; Kisorulamal lawannya Tulil-amal; semu ibadah batin. Hati kita harus diisi dengan sifat-sifat yang baik. Kalau kita tidak mengaji / tidak tahu, kadang-kadang kita melakukan ibadah lahir sahaja, sedangkan hati kita tidak melakukan ibadah batin. Kedua-duanya harus dilakukan, agar tidak pincang. Ibadah batin itu ialah amal-amal yang dilakukan oleh hati. Engkau harus mengetahui dan mengajinya.
Ibadah batin itu diantaranya ialah tawakkul (dalam bahasa kita tawakkal dan dalam bahasa Arab tawakkul).
Tawakkal itu ialah percaya kepada Allah S.W.T. Dalam segala urusan yang kita khawatirkan, kita serahkan kepada Allah S.W.T.
Manusia itu tidak luput dari kekuatiran, misalnya : kita berusaha mencari rezki yang halal tapi kita kuatir akan rugi dalam dagang kita atau sawah kita kena hama yang tidak diduga-duga. Nah kekuatiran itu, kita serahkan kepada Allah S.W.T. (Boleh dilihat dengan panjang lebar akan diterangkan oleh Imam Ghazali, dalam kitabnya Minhadjul-Abidin)
Kita jangan menentang, kita harus redho menerima apa yang ditakdirkan oleh Allah S.W.T.
Bagaimana caranya? nanti akan diterangkan.(dalam Kitab Minhajul Abidin)
Sabar, tahan uji, tahan derita, tahan payah dalam megerjakan taat kepada Allah adalah sifat orang yang kuat batinya, sebab erti sabar itu adalah tahan uji batin.
Taubat, bagaimana caranya taubat itu ? nanti Insya Allah akan diterangkan dalan kitab Minhadjul-Abidin dan diambil juga dari kitab-kitab lainya yang sebahagian besar karangan Imam Ghazali juga. Ikhlas, meskipun ikhlas itu sudah masuk kedalam bahasa kita, tapi perlu juga diterangkan erti Ikhlas yang sebenar-benarnya : iaitu meninggalkan riya dalam amal, dan lain-lainnya. Nanti semua akan diterangkan.
Engkau harus tahu apa yang dilarang mengenai pekerjaan hati, hati kita suka melakukan apa-apa yang dilarang oleh Allah S.W.T. Kita harus tahu larangan-larangan batin itu, sebab kalau kita tidak menjauhi larangan-larangan batin dan tidak melakukan kewajiban-kewajiban batin, apa ertinya beragama Islam ? Jadi hati nantinya kosong; kalau hati jahat atau busuk , berarti kosong, sebab agama Islam bertugas membersihkan hati. Kalau hati kita tidak bersih dan tidak Sholeh, apa ertnya beragama Islam ?, hanya disunat dan membaca Syahadat waktu mau Nikah.
Terkadang engkau terus menerus melakukan sesuatu yang engkau kira baik, bertahun-tahun lamanya, padahal sebenarnya merusak; dan engkau terus melakukan hal-hal yang merusak kesetiaanmu, solatmu dsbnya. (Sebab ada pernah ada orang di masjid di suatu tempat ia tidak mengetahui bagaimana caranya sujud, bagaimana caranya menaruh tangan. Sudah baik hatinya mau solat, tetapi belum belajar bagaimana caranya solat; solatnya itu tidak cocok dengan yang diajarkan oleh Rasulullah SAW).
Sedang kau sendiri tidak merasa salah. Kerana itu Fardu 'Ain harus dikaji; kemudian dilengkapi dengan sunat-sunat; sunat 'ain yang biasa dikerjakan oleh tiap-tiap orang. Terkadang ada sesuatu yang sulit; Misalnya: dalam berpergian/musafir dengan keretapi, ini sulit, bagaimana solatnya?, sedang engkau sendiri belum pernah mengaji dan pada waktu itu tidak seorang ulama pun untuk tempat bertanya. Oleh sebab itu kita harus mengaji, bagaimana solatnya.
Kalau sedang berada di dalam kapal, atau kita mau naik haji misalnya. Kalau di kapal haji tentunya banyak ulamak-ulamak yang bisa kita tanya, tapi bagaimana kalau sedang berada dalam keretapi, sedangkan tidak ada ulama yang bisa kita tanya?
Oleh sebab itu sekali lagi ditekankan, bahawa mengaji itu sangat penting. Demikian pula mengenai ibadah batin, inipun harus kita kaji. Sebagaimana ada ibadah lahir, juga ada ibadah batin, bidangnya ialah Ilmu Tasauf. Ibadah-ibadah seperti : solat, puasa, naik haji, mengeluarkan zakat; ini semua termasuk ibadah lahir. Sedangkan ibadah batin di antaranya, kita tidak boleh takabbur.
Lawan takabbur ialah Tawaddu; Zikrul Minnah lawannya Ujub; Kisorulamal lawannya Tulil-amal; semu ibadah batin. Hati kita harus diisi dengan sifat-sifat yang baik. Kalau kita tidak mengaji / tidak tahu, kadang-kadang kita melakukan ibadah lahir sahaja, sedangkan hati kita tidak melakukan ibadah batin. Kedua-duanya harus dilakukan, agar tidak pincang. Ibadah batin itu ialah amal-amal yang dilakukan oleh hati. Engkau harus mengetahui dan mengajinya.
Ibadah batin itu diantaranya ialah tawakkul (dalam bahasa kita tawakkal dan dalam bahasa Arab tawakkul).
Tawakkal itu ialah percaya kepada Allah S.W.T. Dalam segala urusan yang kita khawatirkan, kita serahkan kepada Allah S.W.T.
Manusia itu tidak luput dari kekuatiran, misalnya : kita berusaha mencari rezki yang halal tapi kita kuatir akan rugi dalam dagang kita atau sawah kita kena hama yang tidak diduga-duga. Nah kekuatiran itu, kita serahkan kepada Allah S.W.T. (Boleh dilihat dengan panjang lebar akan diterangkan oleh Imam Ghazali, dalam kitabnya Minhadjul-Abidin)
Kita jangan menentang, kita harus redho menerima apa yang ditakdirkan oleh Allah S.W.T.
Bagaimana caranya? nanti akan diterangkan.(dalam Kitab Minhajul Abidin)
Sabar, tahan uji, tahan derita, tahan payah dalam megerjakan taat kepada Allah adalah sifat orang yang kuat batinya, sebab erti sabar itu adalah tahan uji batin.
Taubat, bagaimana caranya taubat itu ? nanti Insya Allah akan diterangkan dalan kitab Minhadjul-Abidin dan diambil juga dari kitab-kitab lainya yang sebahagian besar karangan Imam Ghazali juga. Ikhlas, meskipun ikhlas itu sudah masuk kedalam bahasa kita, tapi perlu juga diterangkan erti Ikhlas yang sebenar-benarnya : iaitu meninggalkan riya dalam amal, dan lain-lainnya. Nanti semua akan diterangkan.
Engkau harus tahu apa yang dilarang mengenai pekerjaan hati, hati kita suka melakukan apa-apa yang dilarang oleh Allah S.W.T. Kita harus tahu larangan-larangan batin itu, sebab kalau kita tidak menjauhi larangan-larangan batin dan tidak melakukan kewajiban-kewajiban batin, apa ertinya beragama Islam ? Jadi hati nantinya kosong; kalau hati jahat atau busuk , berarti kosong, sebab agama Islam bertugas membersihkan hati. Kalau hati kita tidak bersih dan tidak Sholeh, apa ertnya beragama Islam ?, hanya disunat dan membaca Syahadat waktu mau Nikah.
Subscribe to:
Posts (Atom)